4 A blood christmas

Satu minggu lagi natal akan tiba, musim dingin sudah tiba dan libur pun akan tiba. Chloe, Steve dan Kiehl berteriak senang setiap harinya. Bila ada natal, pastinya ada banyak kue dan kado. Apalagi yang ditunggu oleh anak kecil selain hadiah yang banyak? Dan tahun ini, natal terasa istimewa. Ayah yang biasanya tidak ada di rumah, akan bersama mereka selama tiga hari penuh.

Woahh....

Minggu pagi ini, Steve bermain salju bersama kedua saudaranya di halaman depan. Membuat bola salju, boneka salju lalu melemparnya pada lawan. Mereka terlihat lucu.

"Steve, awas kau. Dasar curang." Chloe berteriak kencang. Hidungnya merah terkena lemparan salju dari Steve.

"Rasakan!"

Mereka bertiga kembali tertawa riang. Mereka seakan berada pada dunianya sendiri. Melupakan pekerjaan rumah dan bergembira untuk menyambut natal.

Seseorang menatap mereka dari jauh. Ia iri. Ia ingin bermain bersama ketiga saudara itu. Namun, ibunya menyuruhnya untuk tetap di rumah. Bahkan, ia sering berteriak jika anaknya berusaha kabur dari rumah.

Boy hanya bisa menatap ibunya yang sudah mabuk di ruang makan. Kepalanya terantuk di atas meja dan ia menangis dengan kencang. Boy merasa ketakutan. Ia takut jika ibunya kembali memukulinya ketika sadar.

"Ibu, aku ingin keluar. Bolehkah?" Boy memohon pada ibunya. Sang ibu hanya diam. Ia tertidur.

Boy berlari keluar rumah lalu menghampiri teman-temannya. Ia berdiri di dekat pagar dan tersenyum menatap ketiga temannya. Chloe yang menyadarinya lebih dulu. Lalu, ia menyikut Steve.

Boy makin melebarkan senyumnya. Steve yang merasa disikut lalu mengikuti arah telunjuk kakaknya. Ada Boy berdiri disana. Steve memanggilnya. Dan berteriak," Hei mainlah bersama kami."

Chloe menatap tajam pada Steve. Tapi, Steve seakan tak peduli. Ia membukakan pintu pagar dan mengajak Boy bermain.

"Boleh aku ikut bermain?"

"Ayo, kita bermain."

Chloe dan Kiehl saling melirik. Ia menatap tak suka pada anak lelaki depan rumah. Boy yang merasa tak disukai memilih diam dan bermain bersama Steve. Walaupun ia sudah besar, tapi ia kekanakan. Chloe mencibir tak suka.

"Anak-anak, minum susu dulu," teriak ibu dari depan pintu rumah. Langkah Boy terhenti. Ia ingin masuk tapi, takut. Ia takut jika ada yang tak suka padanya.

"Ibu, aku ingin ajak Boy minum susu. Boleh ya, bu." Steve merengek. Ia ingin bersama teman kecilnya. Sang ibu hanya bisa mengangguk pasrah lalu mengiyakan keinginan Steve.

Di ruang makan, ketiga saudara itu terdiam dan saling melirik. Sementara Boy, ia merasa terintimidasi dengan suasana rumah yang terkesan tak suka padanya. Ia canggung. Gelas susunya ia pegang erat.

"Hei, jangan lupa makan kukis kalian. Ibu memanggang banyak kukis hari ini." mata Boy berbinar-binar. Ia ingin sekali makan kukis. Ibunya, bahkan tak pernah membuatkan kukis satu kalipun.

"Bibi, aku boleh minta?"

Ibu menoleh dan menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum. Boy tampak polos. Ibu merasa kasihan padanya.

Kukis matang!!

Ibu membawanya ke ruang tengah, tempat mereka duduk bersama selesai menghabiskan susu hangat. Boy, terlihat amat sangat senang. Baru kali ini ia merasa mempunyai keluarga. Tak ada bentakan, caci maki apalagi hinaan. Ah, Boy sangat merindukan keluarga.

Belum sampai setengah jam ia menghabiskan waktu bersama keluarga Richardson, seseorang mengetuk pintu depan dengan kasar sambil berteriak kencang.

"Hai...buka. Aku tahu anakku ada di dalam. Cepat buka!!" teriak Emma.

Steve melirik ibunya yang masih dalam keadaan tenang seolah tak terjadi apa-apa. Ia pun menemui orang itu dengan berjalan pelan ke arah pintu keluar. Ia membukanya.

"Mana anakku? Dia pasti disini. Mana?"

"Tak bisakah kau berlaku sopan santun terhadap pemilik rumah?" Ibu menggertaknya.

Wanita itu terdiam, ia memandang dengan penuh marah pada Ibu Steve. Sejenak pandangannya beralih pada satu sosok yang berdiri ketakutan di balik tembok.

Wanita itu masuk dan menarik anaknya. Ia menarik dengan kasar. Ibu mencegahnya. Namun, karena wanita itu terlalu kuat akhirnya ibu tersungkur. Steve membantunya. Ia merasa kasihan melihat Boy ditarik dan dilempar dengan kasar.

****

Malam natal.

Chloe, Steve dan Kiehl sudah berdandan rapi sejak siang hari. Hadiah dan makanan terhampar rapi di bawah pohon natal. Steve menyambut gembira hadiah itu. Ia berharap akan mendapat hadiah terbaik. Setidaknya, itu adalah mainan favorit dirinya.

"Woaahh....aku dapat baju pesta. Ini pasti dari Ayah. Terima kasih Ayah." Chloe mengecup pipi Ayahnya. Lalu mencoba pakaian itu di dalam kamarnya.

"Ayah, aku dapat boneka barbie kesukaanku. Terima kasih Ayah." kini gikiran Kiehl yang mengecup pipi Ayahnya.

Lalu, giliran Steve membuka kadonya. Ia membuka perlahan dan mengintip isinya. Steve meraba hingga ke dalam kardus sampai ia mengernyitkan dahinya. Dan ia pun menariknya keluar.

Mata Steve berbinar. Ayahnya tahu apa yang ia mau. Skate board.

"Terima kasih Ayah." Steve menerjang tubuh Ayahnya lalu ikut mengecupnya.

Setelah acara bertukar kado selesai, mereka pun makan malam dengan suasana hangat. Makanan hangat, pakaian hangat dan perapian yang hangat.

Menjelang tengah malam, salju turun semakin banyak. Hawa dingin masuk melalui perapian. Steve bersama Ayahnya duduk di halaman belakang sambil menghabiskan sisa coklat hangat mereka.

Steve memukul pelan Ayahnya, ia tertawa saat Ayahnya membuat lelucon yang menurutnya itu lucu.

"Haa..hhaa...bahkan lelucon Mr Hanson tak selucu leluconmu Ayah," ungkap Steve. Tuan Richardson mengusak rambut putranya lalu memeluknya dari samping.

"Benarkah Ayah orang yang lucu?"

"Benar. Bahkan Ayah adalah Ayah yang paling lucu sedunia. Ayah, kalau sudah besar aku ingin seperti Ayah. Menjadi detektif terkenal dan nomer satu di New York juga Amerika. Aku bangga padamu, Ayah." Steve berganti memeluk ayahnya. Erat, sangat erat. Seolah-olah ia tak ingin melewatkannya satu detik pun.

"Semoga tuhan mengabulkan cita-citamu," doa Ayah dalam hati.

Saat sedang saling memeluk mesra antara Ayah dan anak, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara letusan pistol. Ayah terhenyak kaget. Begitu pun Steve. Ayah refleks bangkit dari duduknya, tapi Steve menahannya.

"Ayah, jangan pergi," cegah Steve. Ia berfirasat buruk bahwa akan terjadi sesuatu pada Ayahnya.

"Ini tugas Ayah, nak. Suatu hari kau akan mengerti." Ayah segera berlari ke dalam rumah dan bersiap mengambil senjata apinya. Lalu, ia segera bergegas keluar rumah dan menghampiri asal tembakan.

Bang....bang...bang....

Suara itu lagi. Steve berlari menghampiri sang Ayah. Ia mencarinya. Ia tak ingin Ayahnya terluka.

"Lepaskan senjatanya, nak. Kau sudah membunuh Ayahmu. Lepaskan!!" Ayah berteriak kencang. Steve berlari ke arah pintu, ia mematung. Dari jauh terlihat Boy mengacungkan senjatanya pada Ayah. Tidak, Ayahnya akan tertembak. Tidak boleh.

"Masuk, Steve." Ibu berteriak dari dalam rumah. Steve tak menggubrisnya. Ia ingin membantu Ayahnya. Sangat. Ia menyayangi Ayahnya.

Bang...bang....bang...

"Tidakkkk..." Steve berteriak sangat kencang.

Tiga letusan tembakan. Satu, dua, tiga. Tuan Richardson jatuh tersungkur. Tuan Richardson tertembak di bagian jantung. Tangannya bersimbah cairan merah. Cairan merah itu mengalir dari dadanya.

Steve berlari dari depan rumah menghampiri Ayahnya yang sudah jatuh ke tanah. Ia tak mau kehilangan Ayahnya. Tidak.

"Ayahhhhh....jangan pergi. Ayahhhh...." Steve berteriak dan mengguncang tubuh Ayahnya. Ia menangis memeluk jasad Ayahnya. Ibu dan kedua saudaranya hanya bisa melihat dari balik pintu. Mereka tak kuasa melihat Ayahnya terluka.

Boy tak menyangka ia telah membunuh Ayah sahabatnya. Ia memandangi tangannya yang memegang senapan dengan moncong yang mengarah pada Tuan Richardson. Tangannya gemetar, ia menjatuhkan senapan itu. Tatapannya kosong.

"Tuan Richardson, maaf. Steve, maaf."

Steve menatap balik anak itu dengan pandangan membunuh. Ia berjanji akan membalas semua yang telah anak itu lakukan pada Ayahnya.

"Pembunuh!!"

****

Awan hitam menyelimuti kota New York yang indah. Lebih tepatnya kompleks perumahan Ammay Road. Perumahan yang sebelumnya damai, berubah mencekam setelah tragedi penembakan yang terjadi pada malam natal. Penembakan yang dilakukan oleh seorang anak kecil berusia lima belas tahun.

Steve tak dapat menyembunyikan rasa sedihnya. Hatinya teriris melihat Ayahnya tertidur untuk selamanya di dalam peti jenazah. Tangannya masih mengepal erat. Pertanda, ia tidak akan bisa melupakan kejadian itu dan akan segera membalaskan dendam Ayahnya. Ia benci anak itu. Sangat benci.

Steve duduk mematung memandangi luar jendela kamarnya. Sesaat setelah pemakaman, ia tak bisa hidup dengan tenang. Bayang-bayang Ayahnya masih melekat kuat di kepalanya.

"Steve...makan siang sudah siap. Ayo, isi perutmu." Ibu mengetuk pintu kamar Steve. Ia membuka dan masuk ke dalam. Ia melihat Steve yang sekiranya masih syok atas kematian Ayahnya. Duduk menghadap jendela dengan airmata bercucuran.

"Maafkan Steve, Ibu. Ini semua salahku. Semua salahku." Steve meracau. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian sang Ayah.

Ibu menghampirinya, memeluk dan mengecup pucuk kepala Steve. Ia amat menyayangi putranya. Putra miliknya satu-satunya.

"Bukan salahmu, kau hebat. Kau sanggup melihat Ayahmu disaat terakhirnya. Sedangkan Ibu, hanya pengecut yang melihat suaminya meninggal secara sadis di depan mata. Percayalah, kau anak ibu yang paling kuat. Ayo, semangat demi Ayahmu di surga." Ibu memeluk kembali Steve. Rasa damai mulai menyelimuti hati Steve.

"Terima kasih Ibu."

****

avataravatar
Next chapter