20 Ancaman Davina

Sementara itu, di sisi lain juga Davina sedang dalam perjalanan menuju rumah pamannya. Wanita cantik itu berada di dalam mobil, terdiam dan melamun. Pikirannya sudah menerawang jauh dan memikirkan hal lain yang sebenarnya ia sendiri tidak tau harus berbuat apa.

Davina memang sudah berusaha untuk mencintai Revan, namun bukan berarti ia sudah sepenuhnya benar benar melupakan Dilan sang mantan kekasihnya itu. Davina tidak bisa memungkiri perasaannya sendiri, namun bagaimanapun juga ia benar-benar harus segera melupakan Dilan, mengingat dirinya sudah memiliki seorang suami.

'Aku tidak boleh terus menerus mengingat tentang Dilan. Bagaimanapun juga dia adalah masa lalu yang harus aku lupakan. Aku tau Dilan memang sangat baik padaku, yang selalu ada di saat aku butuh. Tapi, aku sudah bersuami dan aku tidak mau melukai perasaan suamiku. Maafkan aku Dilan, bukan aku bermaksud untuk egois. Tapi ini semua aku lakukan demi kebaikanmu juga.' batin Davina dengan mantap.

Wanita cantik itu menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya sendiri. Ia pun meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Menghapus semua foto-foto kenangan dirinya yang masih bersama Dilan. Ini adalah saatnya untuk menghapus semua kenangan itu.

Hingga beberapa menit kemudian, Davina sampai di rumah bibinya. Terlihat rumah itu lumayan sepi karena hanya ada bibi dan sepupunya.

"Ada apa kau kemari? Apa kau masih belum puas mempermalukan bibi dan sepupu mu?"

Sambutan yang cukup tidak mengenakkan bagi Davina. Bibinya itu berbicara kasar tanpa henti kepada Davina. Sudah dari dulu, dan itu sama sekali tidak membuat Davina terkejut.

Mendengar itu, Davina justru melangkahkan kakinya begitu saja masuk ke dalam rumah tanpa menunggu persetujuan dari sang bibi. Wanita cantik itu mendapati sepupunya sedang duduk di depan televisi sambil memakan beberapa camilan, dan juga mengenakan pakaian yang tidak asing bagi Davina.

"K-kau?!" bentak Davina yang membuat Nara tersentak seketika.

Davina dengan sepasang maniknya yang terbuka sempurna itu berjalan cepat menghampiri Nara. Tangannya langsung meraih camilan yang di pegang oleh gadis cantik itu dan membuangnya ke sembarang arah.

"Hei, apa-apaan? Kau mengganggu ku. Apa kau tidak tau sopan santun?!" teriak Nara yang sangat kesal dengan tindakan Davina.

"Atas dasar apa kau berani menyentuh barang milikku?" sarkas Davina.

Nara terdiam sejenak mencerna perkataan Davina. Dan ia baru ingat bahwa ia sedang memakai pakaian milik Davina. Tapi, kenapa Davina bisa tau bahwa itu miliknya? Pakaian Davina sangat banyak.

"A-apa maksudmu? Barang apa yang kau maksud?" tanya Nara dengan lagak tidak mengerti dengan apa yang di maksud oleh Davina, padahal sebenarnya gadis itu tau pasti bahwa yang di maksud oleh Davina adalah pakaian yang ia kenakan saat ini.

"Jangan berpura-pura tidak tau!" bentak Davina.

Plakkk!!!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Nara. Gadis itu meringis kesakitan sambil memegang pipinya yang terasa panas dan perih.

"Davina?! Berani kau menampar putriku?" teriak Sarah.

"Kenapa? Apa kau tidak terima jika aku menyakiti putrimu yang lancang ini?" tanya Davina dengan santainya.

Semenjak menikah, Davina benar-benar berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dulu Davina sangat pendiam dan tidak berani meninggikan suaranya ketika berbicara, namun entah kenapa saat ini ia benar-benar berubah dan menjadi lebih berani.

"Aku masih ingat dengan jelas bagaimana cara kalian berdua memperlakukan aku dahulu. Bahkan kalian semua tidak menganggap aku sebagai manusia, apa kalian tidak ingat dengan itu?" ucap Davina.

Wanita muda itu berdiri tepat di depan bibi dan sepupunya. Pelupuk matanya sudah penuh dengan cairan bening yang siap untuk menetes, namun ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk menahannya. Ia tidak ingin menangisi hal yang seperti itu. Namun rasa sakit hatinya masih terlalu membekas yang mana itu benar-benar membuat dirinya terus menerus merasa sangat kacau.

"Dia hanya meminjam barang mu, kenapa kau semarah ini?" tanya Sarah dengan gemetar. Wanita paruh baya itu tidak tau kalau Davina bisa se marah ini dan berani mengungkit masal lalu tentang bagaimana perlakuannya kepada keponakannya itu.

"Dia tidak mengatakan bahwa dia ingin meminjam. Dan aku tidak tau dia dengan lancang memakainya," ketus Davina yang masih kekeh untuk melampiaskan kekesalannya.

"Ini hanya baju biasa. Aku bahkan bisa menggantinya 20 kali lebih bagus," sahut Nara meremehkan.

"Apa kau bisa menggantikannya dengan 20 nyawamu di kehidupan yang akan datang?" sarkas Davina.

"K-kau? Keterlaluan!" bentak Sarah.

Sementara Nara hanya bisa terdiam mematung. Davina benar-benar tidak bisa di kendalikan.

"Baju yang di pakai putrimu adalah hadiah terakhir dari ayahku sebelum beliau meninggal. Dan aku saja tidak berani memakainya karena aku menghargai dan menyayangi baju itu, tapi kenapa putrimu dengan seenaknya memakainya? Apa kalian pikir aku tidak bisa marah hanya karena ini adalah hal sepele bagi kalian?"

Davina mengepalkan tangannya kuat. Ia sudah tidak tahan dengan sikap bibi dan sepupunya itu.

Plakk!!

Tamparan keras mendarat di pipi Davina kali ini. Sarah sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi, ia tidak mau di rendahkan oleh Davina yang dulunya selalu ia injak-injak. Kali ini ia harus berani melawan keponakannya itu lagi.

Persetan jika Davina nanti mengadu pada Revan. Wanita paruh baya itu tidak perduli dengan keadaan, dan yang ingin ia lakukan kali ini hanyalah memberi pelajaran kepada Davina.

Davina tertawa merasakan perih pada pipinya. Ia tidak membalasnya dan kini justru menatap tajam wajah bibinya itu.

"Lebih dari 5 tahun aku merawat mu semenjak ayahmu meninggal dunia, dan ini balasanmu untuk ku? Apa kau tidak memikirkan bagaimana hidupmu jika aku dan pamanmu tidak menampungmu waktu itu?" tanya Sarah yang sudah terlarut dalan emosinya.

"Merawatku? Sepeti apa? Seperti memperlakukan ku layaknya pembantu? Meminta ku untuk bekerja untuk kalian alih-alih untuk melanjutkan sekolah ku? Seperti itu cara kalian merawatku?" sahut Davina.

Sarah terdiam, dan keadaan menjadi sangat hening. Wanita paruh baya itu kikuk seketika, begitu juga dengan putri kesayangannya.

"Cih, benar benar sangat munafik!" sinis Davina.

Wanita muda itu berjalan mendekati bibinya sambil tersenyum miring. Ada kesenangan tersendiri ketika melihat bibi dan sepupunya itu ketakutan karenanya. Ternyata seperti inilah yang dulu di rasakan oleh bibi dan sepupunya itu ketika menindasnya.

"Bibi dengarkan aku baik-baik, aku bukanlah Davina yang dulu. Dan sepertinya kedatanganku ke sini yang awalnya berniat untuk meminta maaf sepertinya salah. Bibi ataupun putri kesayangan bibi ini tidak pantas mendapatkan permintaan maaf dariku. Sampai kapan pun itu," lanjut Davina.

"Kenapa kau seperti ini? Jika memang kau marah karena bibi dan paman menikahkan mu dengan CEO itu, seharusnya kau katakan saja sebelumnya supaya bibi bisa membatalkan pernikahan mu," ucap Sarah yang sudah sangat ketakutan. Wanita paruh baya itu sudah tidak tau lagi harus berkata apa untuk menenangkan Davina.

Sementara Davina justru tertawa renyah mendengar semua perkataan yang di lontarkan oleh bibinya itu.

"Ah, benar. Karena bibi membahas pernikahan ini, maka aku akan mengucapkan terimakasih alih-alih marah kepada bibi. Revan memberikan aku segalanya, dan itu bisa membuat ku 100 kali lebih mudah untuk menjatuhkan bibi, Nara... Ataupun paman." Davina menyeringai.

Entah keberanian darimana ia mengatakan itu semua, tapi yang jelas Davina memang harus mengatakan itu. Jika dia tidak menikah dengan Revan, maka kemungkinan besar ia masih terus terbelenggu dalam kekejaman keluarga pamannya itu tanpa tau sampai kapan semua itu akan berakhir.

"Sepertinya sudah cukup aku bersenang-senang hari ini--" Davina melirik Nara sekilas, "dan untukmu Nara... Perhatikan lagi tingkah mu, jangan sampai kau mengambil yang bukan milikmu lagi. Mengerti?" lanjutnya menyeringai. Tidak ada ketakutan sama sekali di benak Davina. Dan yang ada hanyalah kepuasan.

Nara hanya bisa menganggukkan kepalanya takut. Untuk pertama kali dalam hidupnya menuruti perkataan dari sepupunya itu.

Davina pun segera melangkahkan kakinya meninggalkan rumah bibinya setelah melampiaskan segala kekesalannya. Ia benar bisa bernafas lega sudah memberi peringatan kepada bibinya yang jahat itu. Sarah layak mendapatkan itu semua.

"Anak sialan. Kau lihat saja sampai di mana kesombongan mu itu!" gumam Sarah menatap kepergian Davina sembari mengepalkan tangannya kuat.

.

avataravatar
Next chapter