19 Chapter 18

Tertawa. Menangis. Sedih.

Bahagia,

dan menghabiskan waktuku yang berharga bersamamu

adalah racun paling membunuhku secara perlahan ....

***

Seorang perempuan berusia enam belas tahun mengintip ruang latihan para trainee lelaki dari kaca jendela. Ia mengedarkan pandangan, mencari Kim Seung-Yeol, lelaki yang memiliki tinggi 180 meski usianya baru delapan belas tahun. Senyumnya merekah ketika menemukan Seung-Yeol duduk tak jauh dari jendela. Ia pun melempar bola kertas dari saku, tepat mengenai punggung lelaki itu.

Merasa ada sesuatu yang mengenainya, Seung-Yeol pun menoleh, mendapati si pelempar sedang memanggilnya. Tanpa mengucap sepatah kata, ia mundur dari kerumunan lalu keluar menghampiri perempuan tadi.

"Kau sudah selesai?" tanya Seung-Yeol.

"Sudah, baru saja selesai. Kalau Seung-Yeol?"

"Sudah, tadi aku sedang istirahat. Kenapa?"

"Ayo keluar." Eun-Soo mengangkat kotak makanan pada Seung-Yeol. lalu menarik Seung-Yeol ke sebuah tempat yang agak jauh dari sana. Ia tidak ingin hubungan mereka diketahui oleh trainee lain dan direktur.

"Coba lihat apa yang aku bawa untukmu." Perempuan itu mengeluarkan kotak makanan yang dibawanya. Beberapa potong telur gulung dan sayuran.

"Kau yang membuatnya?" tanya lelaki itu sembari mencicipi makanan itu.

Perempuan itu mengangguk. "Bagaimana rasanya?" tanyanya sembari tersenyum lebar, menantikan jawaban yang ia inginkan.

Seung-Yeol tersenyum sambil mengacungkan jempol. "Enak."

Perempuan itu tersenyum manis. Semua trainee di sana tahu kalau perempuan itu memiliki senyum maut yang mampu meluluhkan hati lelaki setelah Soona. Perempuan yang biasa dipanggil Eun-Soo itu memperhatikan Seung-Yeol yang melahap masakannya. Ia tahu Seung-Yeol adalah tipe anak yang malas untuk membawa bekal dari rumah, jadi dia berinisiatif membawakan bekal untuknya. Ia tidak ingin lelaki itu kelaparan, lalu sakit dan berakhir merengek untuk dirawat olehnya.

"Seung-Yeol." Perempuan itu memanggil dengan suara lembutnya. "Jika salah satu dari kita debut lebih dulu, berjanjilah untuk tidak saling melupakan, ya .... Tidak peduli sesibuk apapun kita nanti, luangkan waktu untuk memberi kabar, setidaknya satu pesan dalam sehari atau seminggu juga boleh. OK?"

Seung-Yeol berhenti melahap makanannya. Ia menoleh ke arah Eun-Soo, lalu tersenyum lebar. "Jangan khawatir. Jika aku debut nanti, aku akan mengirimmu pesan seratus kali sehari. Kau juga harus begitu, ya!" ujarnya sembari mengacungkan jempolnya.

Eun-Soo tersenyum, lalu tertawa melihat wajah Seung-Yeol yang polos. Seung-Yeol yang tidak mengerti kenapa Eun-Soo tertawa hanya terdiam, lalu tak lama ikut tertawa.

"Nah, jika nanti debut, apa kau berpikir untuk melakukan operasi plastik?" tanya Eun-Soo sembari meneliti tiap senti wajah Seung-Yeol.

"Tidak. Wajahku sudah terlalu tampan, jadi aku tidak butuh operasi plastik," jawabnya dengan percaya diri membuat perempuan di sampingnya kembali tertawa.

"Ya ampun, kau memang sangat percaya diri, ya."

"Tentu saja. Eun-Soo, jika nanti debut, kau ingin pakai nama panggung apa?"

"Aku?" Eun-Soo menunjuk dirinya sendiri. "Hmm …. Aku pakai nama asliku. Kalau kau?"

"Entahlah. Namaku agak sulit disebut, jadi aku akan mencari nama panggung yang cocok untukku."

"Bagaimana kalau Loey?" usul Eun-Soo. "Kebalikan dari namamu."

Seung-Yeol berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar. "Aku rasa tidak buruk. Loey dari kata Yeol. Ah! Kau memang jenius!!"

"Oh ayolah, berhenti menganggapku anak kecil. Aku akan debut sebentar lagi dan kau masih memperlakukanku seperti anak kecil?" Eun-Soo menggerutu ketika Loey mengacak-acak rambutnya.

"Jangan cepat dewasa, ya, Eun-Soo. Aku akan merindukan Eun-Soo yang jahil dan lucu seperti sekarang ini," ujar Seung-Yeol sembari menepuk pucuk kepala Eun-Soo.

"Aku akan menjadi Eun-Soo yang menawan dan dewasa di atas panggung, tapi aku akan kembali jahil ketika bertemu denganmu."

"Benarkah? Ah, rasanya aku jadi takut para lelaki menggodamu nanti."

Tawa Eun-Soo pecah. "Dasar! Meski ada jutaan lelaki menggodaku, Seung-Yeol tetap yang terbaik."

"Dasar gombal." Seung-Yeol berusaha menahan senyuman, tapi gagal. Menatap wajah Eun-Soo yang polos dan lugu membuat Seung-Yeol selalu ingin tersenyum. "Ngomong-ngomong dulu kau bilang kau ingin menjadi dokter atau guru, kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"

Eun-Soo tersenyum malu ketika mendengar pertanyaan Seung-Yeol. Wajahnya merona, membuatnya semakin terlihat menggemaskan. Ia menyembunyikan wajah dari Seung-Yeol yang menanti jawabannya.

"Karena Seung-Yeol." Eun-Soo menjawabnya malu-malu, tidak berani menatap langsung mata Seung-Yeol.

Hanya jawaban singkat yang mampu membuat wajah keduanya memerah. Mendadak keadaan menjadi canggung dan sunyi, hanya terdengar suara deru kendaraan. Meski sudah menjalin hubungan selama satu tahun, mereka masih canggung jika mengatakan hal-hal romantis, apalagi Eun-Soo yang dikenal dengan imej polos dan lucu.

Sejak SMP, ada banyak lelaki yang menggoda Eun-Soo, tapi ia menanggapinya sebagai candaan. Mereka pun menganggap Eun-Soo adalah adik kecil yang harus dilindungi, berbeda dengan Seung-Yeol. Satu-satunya lelaki yang memperlakukan Eun-Soo seperti perempuan. Seung-Yeol sering memainkan piano untuknya dan sering membelikan Eun-Soo makanan kesukaan. Karena itulah, Eun-Soo tidak ingin kehilangan Seung-Yeol.

"Jika aku menjadi guru atau dokter, aku tidak akan pantas berdampingan denganmu yang seorang idol. Banyak idola yang tidak bisa bersatu dengan orang yang dicintai karena mereka tidak sederajat. Pasti ada banyak fans yang mengharapkan idolanya memiliki pasangan seorang idola juga. Aku tidak mau berpisah dengan Seung-Yeol, karena itulah aku juga harus menjadi idol untuk bisa bersamamu. Selain itu, aku ingin dikenal banyak orang, memiliki banyak fans dan keluarga baru. Sepertinya menyenangkan …."

Loey tertegun mendengar jawaban Eun-Soo. Ia tersenyum lebar, lalu menepuk pucuk kepala perempuan itu dengan lembut diiringi senyuman yang tak hilang dari wajahnya. "Kalau begitu, ayo gapai semuanya bersama, ok?"

Eun-Soo mengangguk semangat sambil tersenyum. Mereka saling menatap, lalu tertawa. Seung-Yeol mengeluarkan sebuah kalung dari saku jaket, lalu memakaikannya pada Eun-Soo.

"Kalung?" Eun-Soo menyentuh bandul berbentuk bintang yang memantulkan cahaya lampu taman. "

"Kalung yang menandakan kau adalah milikku." Seung-Yeol memberikan kalung yang satu lagi pada Eun-Soo. "Pakaikan untukku."

Eun-Soo menurut. Sambil tersenyum lebar, ia memakaikan kalung itu pada Seung-Yeol.

"Nah, dengan ini kau adalah milikku dan aku adalah milikmu. Meski nanti kita akan debut dan sibuk dengan dunia masing-masing, kalung ini akan menjadi penghubung di antara kita. Kau suka? Harganya tidak terlalu mahal, aku akan menggantinya nanti setelah punya uang."

Eun-Soo mengangguk sambil memandangi dua kalung itu bergantian. "Tidak masalah harganya murah. Aku benar-benar menyukainya. Cantik. Sangat cantik. Dua bintang, seperti kita."

Keduanya memandang langit yang perlahan menggelap. Jutaan bintang bersinar di balik awan-awan tipis. Perasaan yang meledak-ledak tanpa ada yang bisa membatasinya. Perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya telah tumbuh tanpa izin siapa pun. Bagi Seung-Yeol, Eun-Soo adalah satu-satunya perempuan yang terus membekas di hatinya yang rapuh. Dan bagi Eun-Soo, Seung-Yeol satu-satunya lelaki yang tidak ingin dilepasnya hingga kapan pun.

avataravatar
Next chapter