1 Chapter 1 ( Prolog )

Dahulu, ada waktu dimana banyak orang percaya bahwa dunia akan berakhir tepat pada saat tahun, bulan, hari, jam, menit dan detik semuanya tepat berada pada angka 12. Aku masih ingat betul itu. Kakekku yang bicara demikian. Aku yang pada saat itu masih berusia 10 tahun pun dengan seksama mendengarkan. Sebagaimana normalnya bocah pada seusianya, aku pun percaya-percaya saja dengan semua kata-kata kakekku itu.

Hingga kemudian, di suatu hari, aku menyadari betapa bodohnya aku mempercayai kisah itu. Hari kiamat yang dimaksud dalam ramalan tersebut telah lewat beberapa dekade lamanya, tidak mungkin aku atau kakekku masih ada jika ramalan itu benar terjadi.

Semenjak itu aku membenci setiap kisah lama yang kakek ceritakan. Aku pasti akan memaksanya memberikan bukti valid apabila kisah itu memang benar adanya. Tak banyak yang bisa dia tunjukan, hanya segelintir saja yang bisa dia berikan. Sisanya, mungkin hanya hoax yang kakekku percaya begitu saja.

Meski zaman telah maju, inovasi teknologi yang semakin berkembang dan mudahnya akses terhadap internet, sepertinya orang tua tetap mudah termakan berita bohong. Mungkin karena penurunan fungsi otak mereka. Daya pikir dan ingatan mereka telah berkurang drastis dari sebelumnya.

Aku tidak akan menyalahkan kakekku untuk itu. Sudah jadi hukum alam apabila orang tua mulai mengalami sejumlah penurunan kondisi fisik.

Semua orang pun memaklumi. Terlebih, tak semua orang tua mengalami penurunan kondisi fisik yang sama. Masih ada beberapa yang tetap bugar dan mampu berpikir sebagaimana saat masa mudanya dulu.

Kakek, hmm. Masa kecilku dahulu sepenuhnya kuhabiskan bersamanya. Itu bukan berarti aku tak memiliki orang tua, hanya saja mereka terlalu sibuk pada pekerjaan mereka.

Tinggal di kota besar memang bukan perkara mudah. Kesibukan dan kepadatan tiap harinya memaksa setiap insan yang ada memeras keringat tanpa henti hingga petang tiba.

Umumnya, pasangan yang berada di kota ini memilih tidak atau menunda memiliki anak karena alasan pekerjaan. Bagi mereka-seperti orang tuaku-yang mantap memiliki anak, maka harus ada konsekuensi yang diterima; resign dari pekerjaan, menitipkan, atau penelantaran anak karena penyesalan yang mendalam.

Akan tetapi, mengingat tingginya biaya hidup dan begitu menyedihkannya gaji sebagai karyawan kantoran di kota ini maka orang tuaku memilih untuk menitipkanku kepada orang tua mereka yang tersisa dari pihak ayah, kakekku.

Beliau adalah seorang pensiunan polisi, warga kelas menengah yang tidak perlu lagi bekerja karena dana pensiunan dari pemerintah. Betapa indah hidupnya.

Aku yang tinggal dengannya pun merasakan begitu banyak kenikmatan atas kerja kerasnya selama puluhan tahun menjadi polisi itu. Masa kecilku dipenuhi oleh kebahagiaan terlepas kurangnya waktuku bersama kedua orang tuaku.

Mereka biasanya datang untuk menjemputku saat petang. Lalu setelah itu mereka akan langsung tidur sesampainya di rumah. Tak sekalipun aku pernah makan malam bersama mereka, sebab aku pasti terlebih dahulu makan malam di rumah kakekku sebelum mereka datang menjemput.

Kadang, aku merasa ingin bersama mereka seharian. Menikmati waktu sehari saja sebagaimana keluarga pada umumnya. Namun, kadang juga aku merasa getir dan hampa. Seolah tidak ada empatiku terhadap mereka berdua.

Bahkan, hingga saat kejadian itu terjadi. Aku tak merasakan hatiku gentar sedikitpun. Air mata saja tak turun setetes pun.

"Gravitaciona Netralia!"

Seketika, semua benda di atas tanah melayang di udara. Kayu, kaleng, tong sampah, hingga mobil berukuran sedang terangkat tiba-tiba. Fenomena baru nan aneh itu membuat gempar dan heran penduduk seluruh kota.

"Maximalia!"

Lalu, tak berselang lama, benda-benda yang lebih berat mulai terangkat ke udara. Truk besar melayang seperti ditarik magnet di atas langit, pohon-pohon seolah tercabut dari tanah, bangunan pun tampak terbang ke angkasa.

Kami hanya bisa menatap dengan tertegun fenomena yang terjadi itu. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya kini terjadi tiba-tiba. Tak seorang pun menduganya. Semua orang terkejut menyaksikannya.

Lalu, di saat kami terpana dalam perasaan heran dan bingung itu, hujan material yang terangkat ke udara terjadi.

Segala macam benda yang melayang sebelumnya jatuh menimpa kami yang ada di bawahnya. Tanah, besi, pohon, kayu, aspal, beton semuanya jatuh menimbun kami seperti hujan. Ribuan orang menjadi korban, termasuk ayah dan ibuku. Darah menggenang di jalanan yang hancur lebur, kota besar yang ramai beberapa menit sebelumnya seketika berubah senyap dalam sekejap.

Tragedi. Orang-orang yang selamat waktu itu menyebut kejadian tersebut dengan julukan "Kiamat Kecil". Banyak orang pun mulai mengaitkan kejadian itu dengan berbagai macam mitos tentang hari akhir yang beredar di dunia.

Aku yang saat itu tak begitu memahami apa yang terjadi hanya termenung diam. Aku tak bicara. Aku bingung dan heran.

Saat kulihat kakekku menangisi jasad kedua orang tuaku, aku pun hanya diam di belakangnya. Agak lama beliau berduka di depan peti mati mereka yang terbuka. Aku tak tahu harus berbuat apa saat itu. Kemudian, akhirnya kakekkku beranjak dan menghampiri. Dia memelukku begitu erat, kemudian pergi beranjak.

Aku yang didasari rasa bingung dan penasaran lantas mendekati peti mati kedua orang tuaku. Aku bertambah bingung saat melihat jasad mereka ditutupi semacam kain perak mirip aluminium.

Aku yang bodoh waktu itu tanpa pikir panjang membukanya, namun bukan puas yang kurasakan karena tahu alasan itu. Aku terbelalak. Kupandang wajah ayahku yang hancur seluruhnya. Hanya rahang yang tersisa, sebagian kepalanya pun hilang entah kemana. Disana, di tempat wajah ayahku sebelumnya berada, hanya ada lingkaran merah kehitaman yang membawa mimpi buruk kepadaku tiap malamnya.

Itulah pertamakali aku merasakan keterikatan terhadap orang tuaku. Aku menangis kala itu juga. Terisak aku di sisi peti mati keduanya menangiskan segala macam kesedihan yang kupunya.

Namun, setelah itu yang kurasakan hanyalah benci terhadap diriku sendiri. Benci karena hanya setelah kematian mereka lah aku bisa merasakan keterikatanku dengan mereka.

"Ahoyo!"

Suara gadis kecil itu terdengar saat aku menangiskan kesedihanku.

Aku tak tahu darimana asalnya. Kukira hanya anak balita yang iseng mendekatiku. Aku pun menengok ke sekelilingku. Aku kaget saat tak melihat seorang pun di dekatku. Aku menoleh ke belakang, dan disana kupandang semua tamu yang hadir tengah terpaku menatap seorang wanita muda bergaun warna ungu dipadu hitam dengan kerudung rantai yang terpasang di kepalanya.

Tatapannya menusuk menatap tajam ke arahku. Lalu, senyumannya itu. Aku tak akan pernah lupa. Senyum manis bak madu yang membius bahkan aku-seorang bocah-terhadap keanggunan wanita itu.

Namun, ada yang janggal darinya. Ya, janggal. Sesuatu yang mana bukanlah ciri normal yang dimilki oleh manusia pada umumnya.

Iris wanita itu merah dengan pupil hitam yang di tepiannya berwarna emas. Kulitnya putih pucat. Kuku-kuku di jarinya panjang dan tajam. Lalu, hal paling mencolok dari wanita itu yang kulihat adalah sepasang taring tajam yang tampak saat dia sedikit membuka mulutnya.

Aku terkesima, dan takut. Pada saat itu juga aku membatu dan tak tahu harus berbuat apa.

"Spora Infectia," ucapnya lirih.

Dan dengan begitu saja, aku pun jatuh tak sadarkan diri. Selebihnya, aku teringat bangun di atas tempat tidurku dengan ditemani kakek. Aku pun bertanya kepadanya, tentang apa yang terjadi saat aku pingsan. Aku sempat bernafas lega karena bukan hanya aku saja yang melihat wanita itu. Namun, tak butuh waktu lama bagiku untuk menyesali hal tersebut.

Apa yang kuketahui di hari selanjutnya adalah hal paling mengejutkan yang pernah terjadi. Sebab, saat itu dunia yang ada ini tidak pernah akan sama seperti sebelumnya lagi.

***

Di bawah kolong jembatan, tahun 2120.

Marusshia, kota besar metropolitan yang dibangun tak lama setelah berakhirnya perang dunia tiga. Kota ini adalah simbol dari kebangkitan umat manusia atas peristiw berdarah tersebut, pun sebagai tanda bersatunya seluruh umat di dunia di bawah naungan satu lembaga, PBB. Kota ini adalah tempat tinggal para korban perang yang telah kehilangan tempat tinggal mereka.

Yang kumaksud dengan tempat tinggal adalah 'tanah air' mereka. Sebab, saat perang dunia terjadi banyak negara yang tanahnya dijatuhi bom nuklir sehingga tak layak huni lagi.

Solusinya adalah membangun tempat tinggal di tempat baru di tengah gurun Atacama di chile. Menggunakan teknologi yang maju, pemerintah dunia mengubah seluruh ekosistem gurun sehingga menjadi tempat yang layak dihuni. Selain itu, perubahan iklim yang tiba-tiba terjadi secara mengejutkan mendukung upaya manusia untuk membangun kota di gurun Atacama.

Itu terjadi 20 tahun lalu, fenomena yang aneh menurut banyak orang. Namun, itu tetap tak bisa mengalahkan betapa anehnya fenomena aneh yang terjadi 9 tahun lalu.

Ya, Kiamat Kecil. Begitulah semua orang menyebutnya.

Akibat sejumlah peristiwa itu Marusshia mendapat julukan sebagai "Tempat Yang Terkutuk". Nyatanya pun, sejumlah kejadian aneh sering terjadi disini. Fenomena poltergeist sudah jadi hal umum, penampakan hantu pun bukan lagi barang langka. Malah, anak-anak sering mengejar penampakan yang muncul tersebut.

Namun, untuk sekali lagi. Itu terjadi 9 tahun yang lalu. Setelah bencana itu menerpa kota ini, selang 2 hari kemudian muncul satu fenomena yang tak kalah mengejutkannya. Yaitu, penampakan seorang wanita misterius di depan mata semua orang.

Sampai kini, tak seorang pun tahu apa penyebab bencana dan kemunculan wanita itu. Mengapa dia bisa terlihat oleh mata semua orang dalam waktu yang bersamaan. Itu tidak logis. Penielasan ilmiah sama sekali tidak bisa menguraikan jawaban yang masuk akal tentang itu.

Sungguh, banyak hal mengejutkan yang terjadi di kota ini dalam kurun waktu 20 tahun.

Aku tak bisa menyebutkan berapa banyak jumlah fenomena aneh yang terjadi selama ini. Hanya kejadian besat saja. Tetapi, yang paling membekas dal hidupku adalah kejadian saat bencana "Kiamat Kecil" dan setelahnya.

Mengapa? Karena seperti yang kubilang, dunia berubah setelah kejadian-kejadian itu.

"Gunawan."

Seorang teman memanggil, aku menoleh ke belakang dan kudapati dia sedang mendekatiku.

"Pergilah, disini spot memancingku!" usirku padanya.

Dia tak mengindahkan dan menaruh kursi yang dibawanya di sampingku untuk duduk.

"Disini tempat yang bagus, alirannya tenang, tidak berisik dan ikannya banyak. Mana mau aku pergi?"

Namanya adalah Thomas, rekanku. Dia baik, tapi aku benci saat dia ikut memancing dan berada di dekatku.

"Pergilah, aku tidak ingin kau berada disini," ungkapku dengan ketus.

"Memangnya kenapa? Kau ini pintar mencari tempat memancing yang bagus. Ayolah, jangan egois kepada teman, bukankah kau orang baik Gun?"

"Aku benci kau."

"Ishh, kau ini... " Thomas memasang earphone ke telinganya. Biasa, lagu kesukaannya "Born in the USA" dia setel.

Pria itu kemudian mulai bernyanyi. Suaranya yang parau itu bak keledai sekarat yang kelaparan.

Aku hanya berdecak. Kuhela nafas sejenak, dan kupalingkan pandangan ke arah ikan-ikan yang langsung kabur karena nyanyian super sumbang dari Thomas.

"Inilah kenapa aku membencimu," gumamku pelan.

avataravatar
Next chapter