4 Pertemuan Pertama Dengan Melvin

Atmosfer ruang perpustakaan terasa berbeda. Entah hanya perasaanku saja atau aku yang merasa serba canggung. Saat ini aku berada di satu ruangan bersama cowok top nomor dua di sekolah setelah Regan. Cowok yang sudah dua kali berhasil menjuarai Olimpiade Kimia tingkat SMA. Melvin Aldiano Putra. Cowok itu duduk sendirian di bangku paling belakang, di seberang rak yang berisi buku-buku tentang ilmu Sains. Ternyata sosok itu masih tetap sama seperti yang ada di dalam ingatanku. Tak tersentuh, tak banyak bicara pada sembarang orang, dan penyendiri. Berbeda dengan Regan yang lebih suka menonjolkan dirinya di depan umum.

Aku masih berdiri di depan rak buku-buku fiksi dan mengambil salah satunya. Kuintip Melvin yang masih fokus membaca bukunya. Ada rasa menggelitik di hatiku ketika menatapnya. Dialah pendamping hidupku, suamiku. Tapi aneh rasanya jika aku harus menyebutnya seperti itu. Jika Melvin mendengarnya, dia pasti akan menganggapku gila karena pada masa ini dia hanyalah seorang murid SMA biasa yang masih belum tahu akan seperti apa kehidupan di masa depannya nanti.

Terlalu lama aku menatapnya dari balik rak buku sampai aku menyadari kini Melvin telah berganti menatapku. Tatapannya sangat teduh dan sekarang dia sudah mengulas senyumnya yang entah mengapa aku baru menyadari jika senyuman itu ternyata sangat menawan.

Aku cepat-cepat menghindari kontak mata dengannya. Aku tidak tahu mengapa aku jadi salah tingkah hanya dengan ditatap seperti itu.

"Kenapa terus berdiri di situ? Sini gabung."

Kudengar dia bicara dan aku yakin ucapannya itu ditujukan padaku. Kembali kutolehkan kepalaku ke arahnya. Ternyata benar, dia sedang bicara padaku. Melvin menunjuk bangku kosong yang ada di depannya.

Apa dia baru saja memintaku duduk bersamanya?

Tanpa menjawab aku melangkah ke bangku itu dan duduk berhadapan dengannya. Kulirik sekilas buku yang Melvin baca. Buku sains populer tentang Astronomi. Tiba-tiba aku bergidik mengetahui selera bacaan Melvin. Itu pasti buku terjemahan yang kemungkinan berat dipahami oleh manusia sepertiku, yang meskipun aku membawa ingatanku yang lalu, tetap saja aku masih payah dalam beberapa mata pelajaran.

"Ada yang salah sama mukaku?" tanya Melvin dengan suara pelan, mengingat sekarang sedang di perpustakaan yang tidak diperbolehkan bicara terlalu kencang.

"Eh? Nggak, kok," kataku cepat.

"Terus kenapa ngeliatin terus dari tadi?"

Aku terdiam. Ternyata aksiku sudah diketahuinya sejak awal. Aku bingung harus membuat alasan apa karena tidak mungkin kan aku memberitahunya kalau aku sedang memikirkannya sebagai pasanganku? Dia pasti akan salah paham.

"Oh ya kamu ngapain ke sini? Nggak ikut kelas?" tanya Melvin lagi membuka topik lain. Sepertinya dia mengetahui kebingunganku yang tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku baru selesai ngerjain ulangan. Pak Burhan bilang bagi yang udah selesai, boleh keluar. Jadi aku ke sini," jawabku jujur.

Melvin mengangguk-angguk. "Ulangan apa?"

"Fisika."

"Hebat juga."

"Kak Melvin sendiri ngapain di sini? Nggak ikut kelas?" tanyaku balik.

"Di kelas lagi ada remedial kimia, jadi—"

"Yang nggak ikut remedial boleh keluar kelas juga?" sahutku menebak perkataan Melvin.

Melvin seketika menatapku takjub kemudian mengangguk.

"Juara Olimpiade mana mungkin ikut remedial ya," kataku berusaha mencairkan suasana. Rasanya agak canggung bertatapan dengan Melvin yang sebelumnya tidak pernah sedekat ini di sekolah.

Melvin tersenyum lagi. "Bisa saja kalau aku sengaja menjawab soal asal-asalan. Dengan begitu aku bisa ikut remedial."

Aku ikut tersenyum mendengar selorohan Melvin. Ternyata dia bisa juga bercanda seperti ini. Dan... sepertinya aku salah mengerti satu hal. Rasa-rasanya Melvin tak sependiam dulu mengingat sejauh ini Melvin agak banyak bicara denganku. Tapi, aku senang, setidaknya dia tak merasa kesepian seperti waktu itu.

"Oh ya, maaf ya aku tiba-tiba jadi sok akrab sama Kakak," ucapku lagi. Ngomong-ngomong aku memanggilnya "Kak" hanya karena untuk menghargai dia sebagai seniorku. Aku hanya tidak ingin membuatnya tersinggung seperti Regan saat aku memanggilnya.

Melvin menggeleng. "Aku malah senang kamu di sini."

Seketika aku terhenyak mendengarnya."Maksud kak Melvin?"

"Naura anak kelas 2 IPA 1. Kamu termasuk populer di kelasku. Kadang aku sampai bosan mendengar anak-anak cowok membicarakanmu di kelas seolah mereka memang deket sama kamu. Dan sekarang aku ketemu kamu di sini. Berdua. Dan itu termasuk keberuntunganku, kan? Mereka yang membicarakanmu belum tentu bisa berdua sama kamu seperti ini."

Kurasakan pipiku memanas. Kuharap tidak memerah karena dia membuatku jadi malu sendiri. "Justru kak Regan dan kak Melvin lah yang populer. Aku nggak sepopuler itu karena aku nggak punya prestasi apa-apa. Nilai aja masih payah."

"Kamu cantik."

"Eh?" refleksku tak percaya.

"Itu yang anak-anak bilang tentang kamu."

"Itu berarti ... mereka menyukaiku hanya karena aku cantik ya? Ternyata memang nggak ada yang tulus," kataku kecewa atas pernyataan Melvin barusan.

"Itu kan penilaian mereka," kata Melvin kemudian. "Menurutku kamu manis, pintar, lucu dan imut."

Aku menunduk pura-pura membaca buku fiksiku. Lagi-lagi dia membuatku merasa malu. Sungguh aku paling tidak bisa menerima pujian tentang diriku seperti itu karena aku sendiri merasa tidak seperti yang dibicarakan oleh kebanyakan orang. Aku masih butuh banyak belajar.

"Stop bikin aku malu, kak," kataku masih tetap menunduk menatap buku yang nyatanya tidak kubaca satu kalimatpun.

"Kenapa? Kamu nggak percaya diri? Itu benar kok. Dan aku nggak bohong."

Benar. Aku tahu Melvin memang orang yang tidak suka berbohong. Baik dirinya yang remaja ataupun dewasa, dia paling tidak suka berbohong. Dia tetap Melvin yang sama. Tetapi, kenapa Regan tidak? Ah, aku benar-benar tidak mengerti dengan keadaan ini.

"Ngomong-ngomong soal Regan... kamu bikin masalah apa sama dia?" Tiba-tiba Melvin mengusikku dengan pertanyaan tentang Regan yang langsung membuat pandanganku kembali beralih padanya.

"Aku cuma menyapanya, tapi ternyata dia nggak suka kalau aku panggil dia dengan namanya aja." Aku bahkan masih teringat raut wajah Regan ketika menatapku. Tatapan itu benar-benar bukan milik Regan yang dulu.

"Regan memang seperti itu. Dia nggak suka kalau ada junior yang manggil dia dengan nama. Harus ada kata Kak," kata Melvin dengan menekankan kata Kak di akhir kalimatnya.

Aku mengangguk mengerti. "Tapi kak Melvin tahu dari mana?"

"Aku lihat sendiri dari pos satpam kalau kalian sedang berdebat. Kulihat wajah Regan yang nggak bersahabat pasti ada sesuatu yang terjadi."

"Oh," ucapku menerima alasan Melvin yang cukup masuk akal. Tempatku bertemu dengan Regan pagi tadi memang dekat dengan pos satpam. "Cuma itu aja sih masalahnya. Nggak ada yang lain kok."

"Selain itu dia juga cerita ke aku tentang kamu."

"Hah? Yang benar?"

Melvin mengangguk. "Sepertinya kamu udah ditandain di listnya."

"Maksudnya ditandain?" tanyaku tak mengerti.

Melvin bersandar santai di sandaran bangkunya. Dia agak berpikir sebentar lalu menjawab, "Regan termasuk orang yang cukup serius. Sekali ada yang bikin ulah, entah sekecil apapun masalahnya, Regan bakal tandain orang itu dan bikin perhitungan sama dia."

Aku menelan ludah. Apa benar Regan semengerikan itu? Rasanya aku seperti rusa yang sudah diincar sang pemburu lalu siap dibidik kapan saja.

"Kamu takut?" tanya Melvin sambil menatapku lurus-lurus.

"Em... aku nggak tahu," jawabku sangsi. "Apa kak Regan sebegitu bencinya sama aku? Seperti tadi di tangga. Dia agak kesulitan bawa buku-bukunya tapi nggak mau kubantu."

"Apa kamu suka sama Regan?"

"Eh?"

"Jawab aja."

Aku tidak menjawab. Aku bingung harus mengakuinya atau tidak, bisa saja nanti Melvin sendiri yang mengadukannya pada Regan dan cowok itu akan melabrakku.

"Aku nggak akan bilang ke Regan. Mau kubantu buat deket sama dia? Aku sendiri yang akan bantu kamu kalau mau."

Perkataan Melvin barusan sukses membuatku melongo. Dia seolah tahu apa yang kupikirkan dan dengan tenangnya dia berkata akan membantuku.

Aku tersenyum canggung. Rasanya tak ada gunanya lagi menutupi kebenaran bahwa aku memang menginginkan Regan.

"Pertama-tama yang kamu harus tahu tentang Regan adalah dia nggak suka kekalahan," ujar Melvin membuatku terdiam.

Jelas berbeda sekali dengan sifat Regan waktu itu. Dia tidak terlalu memikirkan sesuatu yang disebut kekalahan. Entah dalam pertandingan, adu debat, semuanya, dan hal apapun itu. Dia justru akan menerima kekalahannya dengan hati yang lapang dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Tapi sekarang, sifatnya justru berkebalikan.

"Terus dia suka banget sama buku fantasi terjemahan limited edition. Semakin langka semakin bagus," imbuh Melvin lagi.

"Seleranya agak sulit juga ya," kataku hampir putus asa.

Melvin tersenyum lebar. "Kamu belum berjuang, lho. Kudengar dia lagi hunting buku yang berjudul Miracle of Heaven karya Hawkins J.Parker yang kabarnya hanya akan ada lima buku yang dicetak di Indonesia. Bisa kamu bayangkan gimana langkanya?"

Mulutku ternganga. Aku benar-benar tak percaya dengan informasi yang Melvin berikan. Buku macam apa yang hanya dicetak dengan jumlah yang amat sedikit itu? Dan lagi, pasti harganya sangat mahal.

"Jangan patah semangat. Kalau kamu bisa dapetin buku itu buat Melvin, dia pasti bakal luluh dan mempertimbangkan kamu."

Tidak bisa. Ini mustahil. "Kayaknya nggak bisa, Kak. Buku selangka itu pasti mahal. Aku mana punya uang."

Melvin menggeleng keras. "Ada harga khusus dan kujamin tidak sampai semahal yang kamu kira. Sekarang informasi tentang pembelian buku itu masih belum ada, minggu depan baru ada. Karena buku itu nggak bisa dipre-order jadi kamu harus bersaing sama ribuan atau bahkan jutaan orang buat dapetin buku itu."

"What??!" pekikku kaget. Aku harus menutup mulutku sendiri supaya petugas perpus tidak menegurku.

Melvin lagi-lagi tersenyum senang seolah puas menggodaku. "Aku serius lho, nggak bohong."

"Meskipun begitu tetap aja rasanya mustahil."

"Kadang kamu harus berjuang buat dapetin apa yang kamu inginkan. Termasuk Regan. Kamu juga harus berjuang kalau mau dapetin hatinya."

"Nggak ada cara lain apa?"

Melvin mengedikkan bahunya. "Menurutku buku itu cara tercepat. Tapi itu terserah kamu mau ikutan nyari apa nggak."

Aku menatap buku fiksi di tanganku. Mungkin tidak ada salahnya dicoba. Meskipun hasilnya nihil sekalipun tapi kurasa memang tidak ada salahnya bergabung ke dalam antrian tersebut. Syukur-syukur ada keajaiban yang terjadi. Aku harus tetap semangat.

Kutatap Melvin yang duduk di depanku. "Makasih, kak. Aku akan semangat mulai dari sekarang. Dan akan aku pikirkan juga cara-cara lain untuk bisa deket sama sahabat Kakak itu."

"Semangat yang bagus," ucap Melvin ikut senang melihat semangatku yang mulai bangkit secara perlahan. Dan mungkin aku juga bersyukur bisa bertemu kembali dengan Melvin dalam balutan sosok remajanya saat ini. Andaikan waktu itu aku lebih akrab dengannya, mungkin apa yang kualami di masa dewasaku tidak akan pernah terjadi, dan Regan pun tidak akan mengalami kejadian buruk seperti itu.

Ingatan ini sungguh menyiksaku. Ingatan akan Regan yang telah tiada, benar-benar membuatku terpukul.

Ah, andai saja aku tidak membawa ingatan ini.

avataravatar
Next chapter