9 Menunggu

Menunggu adalah hal yang paling membosankan dalam hidupku.

Di tengah lapangan sana, latihan masih terus berlangsung dan aku benar-benar mulai bosan menunggu mereka selesai berlatih. Apalagi ada beberapa anak yang membuat kesalahan dalam melakukan percobaan teknik terbaru mereka sehingga harus mengulanginya lagi dari awal.

Karena tidak ada yang kulakukan selain menonton, kuputuskan untuk browsing dengan menggunakan ponsel pintar milikku. Lebih baik kulanjutkan saja pencarianku tentang buku Miracle of Heaven meskipun informasi yang kudapatkan akan nihil sekalipun.

Di tengah sibuknya aku membaca judul-judul artikel, kudengar beberapa anak perempuan yang memasuki ruangan dan duduk dengan jarak tiga bangku di depanku. Kutahu siapa mereka. Mereka terdiri dari tiga cewek. Trio superberisik. Senior dari jurusan Bahasa. Dan salah satunya adalah penggemar berat Regan.

"OMG! Regan cakep banget! Makin gesit juga!" teriak Nita yang duduk di tengah dan diapit oleh dua dayang-dayangnya yang tak kalah heboh turut menyoraki dan bertepuk tangan. Aku hanya menyebut namanya karena terlalu malas memanggilnya "kak". Kutahu sifat Nita yang terlalu bossy dan sok senior, yang tiap juniornya harus tunduk padanya seolah dialah pemilik dan yang berkuasa atas sekolah ini.

"Jadi kapan, Nit, lo mau nembak dia?" tanya Amara yang duduk di sebelah kanannya. Tangannya sibuk bertepuk tangan untuk Regan sejak tadi.

"Kenapa harus gue yang nembak duluan? Harusnya dia duluan dong yang nembak gue. Secara Nita mana pernah nembak cowok duluan," kata Nita dengan nada bicaranya yang centil dan dibuat-buat.

Terlalu pede, batinku.

"Jual mahal amat lo, Nit. Jaman sekarang banyak kali cewek yang nembak duluan. Ntar kalo Regan diduluin sama yang lain gimana?" tukas Sania ikut berkomentar. Dia sibuk memotret-motret Regan dan timnya dengan ponselnya yang berwarna pink.

"Nggak mungkin. Regan kan nggak pernah ngobrol sama cewek-cewek di sekolah ini. Mana mungkin ada yang berani deketin dia."

"Tetep aja, Nit. Kalo nunggu Regan nembak lo duluan kayaknya sampe taun kadal juga nggak bakal terjadi."

"Iya, mesti lo duluan yang bilang," sahut Amara menyetujui perkataan Sania. "Tapi kalo Regan nggak suka sama lo gimana?"

Kulihat Nita bersandar di bangkunya dengan malas. "Selama ini gue sering ngasih hadiah ke dia. Sekalipun nggak pernah dia tolak. Dia juga pernah ngasih balik gue hadiah saat ulang tahun gue. Itu artinya dia care dong sama gue meskipun sikapnya rada dingin. Justru itulah yang bikin dia jadi menarik," terang Nita percaya diri.

Aku hanya menggeleng mendengar penuturan Nita tentang Regan. Aku yakin Regan tidak seperti yang Nita bicarakan. Tentang hadiah-hadiah yang disebutnya barusan aku juga tidak yakin. Kudengar kembali percakapan mereka. Bukan salahku jika bisa menangkap pembicaraan mereka dengan jelas karena jarak tempat duduk kami yang masih terbilang dekat.

"Iya juga sih," kata Sania kemudian. "Tapi kalo menurut kita, lo tetep harus bilang biar nggak ngerasa digantungin kayak gini, Nit."

Nita terdiam. Sepertinya dia sedang memikirkan ucapan Sania.

"Tapi, masa sih harus gue duluan yang nembak dia? Secara gue gitu, nggak seru banget kalo cewek nembak cowok," ucap Nita samar-samar yang masih bisa kudengar. Kuyakin dia sedang bimbang sekarang.

"Udah, lupain gengsi lo itu. Kalo lo terus mikirin gengsi, sampe kapanpun lo nggak bakalan bisa dapetin hatinya Regan," tandas Amara semangat.

Tidak semudah itu Esmeralda, batinku lelah.

Tidak ada yang bicara lagi diantara ketiganya tetapi belasan detik kemudian digantikan dengan teriakan heboh karena di tengah lapangan sana Regan berhasil melakukan shooting ke ring lawan.

Di tengah teriakan para supporter berisik di depanku, tahu-tahu datang seorang cowok yang langsung duduk di samping kananku. Kutolehkan kepalaku ke arahnya dan aku terkejut melihatnya yang duduk santai dengan senyum kecil di sudut bibirnya.

"Hai," sapa Melvin padaku.

"Hai," jawabku canggung.

"Akhirnya hukumanmu darinya udah ditetapin ya?"

Aku mengangguk kecil yang kuyakin Melvin tidak melihatnya. "Ya, selama dua bulan aku harus jadi babu di sini."

Melvin tertawa kecil, tapi aku tidak menganggapnya sebagai ledekan. "Ayo kita lihat apa selama itu kamu bisa bertahan ngadepin sikap dia apa nggak."

"Aku bakal berusaha."

"Good."

"Oh ya, kenapa Kakak di sini? Nggak ikut latihan bareng mereka?" tanyaku penasaran. By the way, aku baru sadar kalau di lapangan itu tidak ada sosok Melvin sejak tadi. Dia juga bagian dari tim itu.

"Aku jarang ikut latihan. Gimana ya, males aja. Baru latihan kalau udah deket sama jadwal pertandingan aja," akunya tanpa sungkan.

Aku menghela napas. Bintang utama pebasket di sekolah ini adalah Regan dan Melvin. Mereka adalah rekan terbaik dalam melakukan passing and catching di lapangan. Pergerakan mereka juga sangat lincah dan terlatih. Memiliki postur tubuh dan stamina yang bagus. Tapi aku agak terusik saat dia mengatakan itu. Jarang latihan saja permainannya sudah sangat bagus, apalagi kalau sering berlatih? Andai saja ada pihak lawan dari sekolah lain yang mendengar ini, mereka pasti akan kesal.

"KYAAAA!! REGAAANNN! SEMANGAATTT YAAAA. KAMI MENDUKUNGMUUU!!!"

Tiba-tiba kami dikagetkan dengan jeritan Nita dan para dayangnya. Hampir saja ponselku terlepas dari tanganku sakit kagetnya.

"Hufftt, berisik banget," keluh Melvin. "Aku bingung kenapa cewek lebih suka sama cowok yang main basket ketimbang olahraga yang lain. Kamu tahu apa sebabnya?" tanyanya padaku dan hanya gelengan kepalaku saja yang kutunjukkan. "Di klub voli ada Renaldi yang nggak kalah kerennya dari Regan. Permainannya udah nggak bisa diragukan lagi. Di klub bulutangkis juga ada Steven si juara pertama di kejuaraan bulutangkis tingkat SMA beberapa bulan lalu. Dia juga nggak kalah tampan dari Regan. Lagi, di klub sepak bola ada Adrian si pemain jenius sekaligus game maker. Tapi kenapa cewek-cewek itu lebih menyukai Regan si pebasket itu, masih jadi sebuah misteri buatku."

"Mungkin karena basket adalah olahraga yang diunggulkan di sini," kataku memberi alibi yang menurutku cukup masuk akal.

"Hmm, bukankah sepak bola juga diunggulkan? Kudengar pernah ada pelatih timnas yang diam-diam melakukan kunjungan ke sini untuk mengamati pemain kita."

"Ah, kalau itu aku nggak tahu lagi." Aku menyerah.

"Kamu sendiri gimana? Kamu juga suka sama dia, apa karena dia pintar main basket?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan Melvin. Tentu bukan itu jawabannya. Aku sudah menyukainya sejak dari kehidupanku sebelumnya. "Aku bahkan nggak suka kalau Regan main basket. Dengan dia jadi orang biasa aja itu udah cukup buatku."

Melvin terkekeh. "Andai semua cewek kayak kamu."

"Eh?"

"Nih." Melvin menyerahkan sesuatu padaku.

Aku menerimanya. Sebuah kartu nama. Aku menatap Melvin dan menunggunya memberi penjelasan padaku.

"Hubungi dia kalau kamu mau tahu informasi tentang buku yang kamu cari. Dia anak rekan bisnis ayahku, seorang mahasiswa yang sekarang ikut magang di perusahaan penerbitan milik kerabatnya. Aku udah kabari dia kalau kamu butuh bantuan. Katanya dia bisa bantu."

Lucky! Aku tidak menyangka Melvin akan membukakan jalan untukku. Dengan begini aku bisa lebih mudah mencari informasi yang pasti.

"Makasih banget ya, kak. Aku bener-bener nggak nyangka kak Melvin mau bantu aku kayak gini," ucapku senang sembari memasukkan kartu nama itu ke dalam tas.

"Udah kubilang kan aku mau membantumu. Ini cuma bantuan kecil dariku."

Terserah dia mau menganggap ini bantuan kecil atau apa. Bagiku bantuan ini sudah sangatlah besar dan berarti untukku. Berkali-kali aku mengucapkan terima kasihku padanya dan berkali-kali juga Melvin membalasku dengan anggukan dan senyumannya yang menawan.

Kualihkan kembali pandanganku ke depan. Entah kenapa aku tidak ingin melihat senyuman itu lama-lama karena hal itu akan semakin membuatku merasa bersalah padanya.

"Kalo gue bisa dapetin Regan, bukan hanya ketenaran yang bisa gue dapet. Tapi isi dompetnya juga. Ya nggak sih? Haha."

"Jelas. Jangan lupa sama kita-kita ya, Nit. Gitu-gitu kan kami udah berjasa juga buat lo," timpal Amara.

"Beres!"

Kudengar kembali celotehan Nita di depanku. Apa yang baru saja kudengar? Aku tidak salah dengar kan? Nita jelas-jelas mengatakan hal yang tak pernah kusangka sebelumnya. Rasanya kesal sekali mendengarnya yang hanya memanfaatkan Regan.

"Hei, kalian."

Suara Melvin terdengar setelahnya. Aku menoleh lagi padanya dan mendapati keseriusan di wajahnya. Sedangkan trio betina di depanku sudah menoleh ke arah kami dan tampak syok begitu melihat Melvin sedang duduk di belakang mereka.

"Me-Melvin? Se-sejak kapan lo ada di situ? Dan Naura juga di sini?" tanya Nita ciut. Ada ketakutan di wajahnya dan dua temannya yang lain.

"Coba ulangi lagi apa yang barusan kalian omongin," tegas Melvin. Sorot matanya tertuju langsung pada manik mata Nita.

Nita seketika bangkit berdiri dan menghadap ke arah kami. Begitu juga yang lainnya.

"I-ini nggak seperti yang lo denger kok, Vin. Serius!" Nita mencoba membela diri di depan Melvin.

"Lo ngincer isi dompetnya, kan? Itu yang gue sama Naura denger tadi," tandas Melvin memberikan fakta padanya.

"Vin, nggak kayak gitu. Please jangan bilang apa-apa ke Regan ya," kata Nita memohon-mohon. Sekarang dia mendekati Melvin dan berusaha meyakinkannya supaya mau tutup mulut.

Aku masih menyaksikan momen ini tanpa berniat menyela pembicaraan mereka. Habislah. Kali ini Nita sedang dalam masalah.

"Apapun yang menyangkut Regan, itu juga jadi urusan gue. Gue nggak habis pikir omongan sampah kayak gitu bisa keluar dari mulut anak Bahasa yang kebanyakan dari mereka punya sikap kalem dan punya pikiran positif."

Aku serasa ikut tak berkutik mendengarnya. Ternyata Melvin lebih tegas dari yang kubayangkan. Dan ketika dia marah maka kata-kata seperti itupun bisa terucap olehnya. Kulihat Nita dan dayangnya juga terdiam. Rasanya baru kali ini aku melihat mereka tak berkutik di depan Melvin.

Lalu Melvin beranjak dari duduknya. Dia menatapku sebentar. "Aku pergi dulu ya, ada urusan," pamitnya.

"Oh, emm... iya," jawabku kaku.

Dia tak mengatakan apa-apa lagi dan keluar ruangan dengan sikap tenangnya dan dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke saku celananya. Aku sempat terpana sesaat. Keren sekali.

Sedangkan Nita dan dua temannya mengikuti Melvin dari belakang. Mereka berulangkali meminta maaf namun sepertinya Melvin tidak menanggapi.

"Vin, please tunggu!" teriak Nita yang akhirnya sosoknya sudah menghilang dari ruangan.

Aku kembali menatap ke depan. Saat itu aku baru menyadari kalau Regan juga menatapku. Mungkin dia tahu ada sedikit keributan yang dibuat oleh Nita barusan jadi perhatiannya tertuju pada kami. Tak lama Regan kembali beraksi dan melakukan operan ke salah satu temannya.

Huft, kapan latihannya selesai? batinku tak sabar.

avataravatar