7 Berawal Dari Nilai Sempurna

"Naura,"

Mendadak ada yang memanggilku dari belakang ketika aku baru sampai di sekolah pagi ini. Seperti biasa aku dijemput oleh Maya dan berjalan berbarengan menuju kelas. Posisi kami saat ini masih di lingkungan area parkir sekolah.

Aku berbalik badan dan mendapati Pak Burhan yang hendak bersiap menuju ruangan kantornya dengan menenteng tas hitamnya.

"Selamat pagi, Pak," ucapku dan Maya secara bersamaan.

Pak Burhan mengangguk dan tersenyum ke arahku. Sesekali beliau membetulkan letak kacamatanya yang bertengger di batang hidungnya.

"Bapak memanggil saya?" tanyaku sesopan mungkin.

Pak Burhan terkekeh. "Naura, Bapak hanya ingin bilang, pertahankan nilaimu. Kalau kamu bisa seperti ini terus, Bapak yakin kamu bisa meraih nilai tertinggi di ujian nanti."

Aku mengerutkan kening. Maya menatapku dengan kode matanya namun aku juga tidak bisa memberinya jawaban pasti. "Maksud Bapak?"

"Nilai ulangan Fisika kamu kemarin dapat nilai sempurna. Karena ketemu kamu di sini jadi saya sekalian bocorkan saja. Kamu dapat seratus. Sudah saya duga, kamu itu sebenarnya pintar hanya saja kamu malas belajar lebih giat lagi."

"Apa? Se-seratus???" pekikku kaget. Kata-kata Pak Burhan barusan seperti listrik yang menyengat seluruh tubuhku. Maya apa lagi. Dia juga tampak syok mendengarnya.

"Yang benar, Pak? Naura dapat seratus? Jangan-jangan Bapak salah koreksi lagi," kata Maya memastikan. Aku pun mengangguk-anggukkan kepalaku menyetujui ucapan Maya.

Pak Burhan tertawa kecil dan mengangguk bangga. "Benar. Buat apa saya bohong? Tetap pertahankan ya, Naura. Dan kamu, Maya, kamu juga harus belajar lebih giat lagi. Nilai kamu dapat enam lima kali ini."

Maya melongo sesaat lalu mengangguk lagi. "I-iya, Pak. Saya akan berusaha."

"Dan saya dengar murid dari kelas tiga IPA akan memberi hadiah bagi siapa saja anak di sekolah ini yang berhasil mendapatkan nilai sempurna seperti dia. Kamu tahu kan siapa orangnya?" tanya Pak Burhan. Pak Burhan ini jika di luar kelas memang menyenangkan. Beliau lebih suka berbaur dan mengobrol kecil dengan murid-muridnya bila berpapasan dengannya.

"Sepertinya saya tahu deh, Pak," kata Maya. Dan bukan hanya Maya, aku sendiri pun sudah bisa menebaknya.

"Kak Regan kan Pak?" imbuh Maya lagi.

Ya, Regan memang murid terpintar di sekolah ini. Tapi aku sama sekali tidak tahu kalau dia akan memberi hadiah atau semacamnya bila ada murid lain yang berhasil menyamainya.

Pak Burhan mengangguk. "Akhirnya ada anak yang bisa menyamai nilainya. Karena paling mentok anak-anak selain Regan hanya bisa mendapatkan nilai sembilan lima dari seluruh murid di sini. Sepertinya kamu beruntung bisa mendapatkan hadiah dari cowok top satu di SMA Gemilang," goda Pak Burhan.

Aku tersipu. "Bapak bisa saja. Itu karena saya memang ingat dengan rumus-rumus dari soal yang Bapak berikan."

"Tetap saja kamu bisa menyelesaikannya dengan baik. Pertahankan ya, Bapak ke ruangan dulu," ucap Pak Burhan lalu pergi mendahului kami.

Aku menatap Maya yang masih terpana dengan kabar barusan. Sedetik kemudian dia jadi heboh dan memelukku.

"Aaahh! Na, nggak nyangka gue kalau lo diem-diem bisa cerdas gini. Berarti lo bisa bantuin gue ngerjain PR Fisika dong!" teriak Maya tepat di telingaku. Aku serasa budeg sendiri mendengar kehebohannya.

Aku mencoba melepaskan diri dari Maya. "Cuma kebetulan, May. Nanti juga jeblok lagi nilainya."

"Ah, nggak mungkin. Pak Burhan aja ngakuin kepintaran lo. Apalagi katanya lo bakal dapet hadiah dari kak Regan. Hoki banget sih lo, Na!"

"Tapi kenapa gue ngerasa itu bukan hadiah ya? Tapi malapetaka."

"Cuma perasaan lo aja kali. Gue jadi penasaran, hadiah apa yang bakal dia kasih buat lo?"

Aku hanya mengedikkan bahu. Aku tidak butuh hadiah, yang kubutuhkan hanyalah Regan bisa baik padaku. Itu saja.

"Udah yuk, kita ke kelas."

Maya menarik tanganku dan menjauhi area parkir. Tanpa sadar aku pun berpikir hal yang sama seperti Maya.

***

Tak terasa beberapa jam sudah berlalu dan memasuki jam istirahat. Sebelum aku dan Maya pergi ke kantin, aku iseng membuka laci mejaku. Dan aku seperti sudah tidak kaget lagi dengan apa yang kutemukan di sana.

Kuambil surat tanpa amplop yang kadang muncul di dalam laci mejaku itu. Aku sudah tidak begitu ingin tahu siapa pengirimnya karena jika semakin kupikirkan, itu hanya akan membuat kepalaku jadi pusing.

~Jika kamu menemui suatu masalah, jangan goyah. Tetaplah kuat. Pikirkan dengan kepala dingin, maka jalan keluar akan selalu tersedia untukmu. Tetaplah berada di dalam cahaya yang menerangimu supaya kamu tidak tersesat.~

Aku tidak mengerti dengan isi surat misterius kali ini. Sebenarnya apa yang ingin disampaikan si pengirim padaku? Kenapa aku merasa isi surat ini adalah sebuah peringatan? Tapi peringatan untuk apa?

"Yuk Na ke kantin sekarang," kata Maya membuyarkan pikiranku.

Aku mengangguk dan bergegas memasukkan surat itu lagi ke dalam laci mejaku. Baru saja aku dan Maya mau berjalan keluar kelas, seorang senior cowok datang ke kelas kami dengan suaranya yang seolah menggelegar ke seisi ruangan.

"Mana yang namanya Naura Sherlyn Ananta?" tanya cowok itu yang tak lain adalah Regan pada beberapa anak yang masih berada di dalam kelas.

Aku terpaku dan memandangi Maya. Maya pun sama hanya diam. Semua teman-teman yang tersisa hanya memandang ke arahku dan Regan, seperti bertanya-tanya apa masalah yang sudah kuperbuat sehingga senior satu ini dengan sendirinya mendatangi kelas kami langsung. Dan kudengar dari belakang cewek-cewek sibuk berkasak-kusuk mengagumi sosok Regan.

"Ada apa Kak nyari Naura?" tanya Maya akhirnya memberanikan diri.

"Saya ada perlu sama dia."

Akhirnya, Maya dan teman-teman yang lain secara serempak menunjuk ke arahku. Aku memolototi Maya yang sudah berkhianat dengan kompak ikut-ikutan menunjukku. Dan Maya hanya sedikit tersenyum paksa seperti takut jika membuat Regan marah dengan tidak menjawab pertanyaannya.

"Oh, ternyata kamu yang namanya Naura? Yang dari awal selalu bikin masalah sama saya?" tanya Regan sinis dan langsung berdiri berhadapan denganku.

"Dan kamu yang dapat nilai sempurna ini??" tanya Regan lagi sambil menunjukkan dengan jelas copy'an lembar jawab dari ulangan Fisikaku kemarin. Ternyata benar apa kata Pak Burhan bahwa aku memang mendapat nilai sempurna. Terlihat dengan jelas ada angka 100 yang dilingkari di bagian kanan atas.

Anak-anak yang lain nampaknya tidak percaya dengan ucapan Regan sehingga semuanya bergerak mendekatiku dan melihat nilai di lembar jawab yang masih dipegang oleh Regan.

"Na, seriusan itu nilai lo?"

"Kok bisa sih? Lo nyontek apa gimana?"

"Gimana caranya bisa nyontek? Lo lupa kalau Pak Burhan punya mata seribu?" Maya menanggapi perkataan beberapa anak cowok yang berdiri di dekatku.

Regan menurunkan copy'an lembar jawab milikku. "Apa kamu tahu kabar tentang pemberian hadiah dari saya jika ada yang berhasil menyamai nilai Fisika saya?"

"Aku baru tahu dari Pak Burhan tadi pagi."

Lagi-lagi semuanya pada heboh begitu mendengar Regan akan memberiku hadiah.

"Tadinya saya berpikir mau ngasih hadiah sama murid yang sukses menyamai nilai saya yang sempurna. Tapi karena saya tahu orang itu ternyata adalah kamu, saya berubah pikiran."

"Aku juga nggak butuh hadiah dari Kakak," jawabku tegas. Dan hal itu membuat Maya dan anak-anak yang lain jadi melongo. Mungkin karena aku terlalu berani menanggapi ucapan Regan.

Regan menatapku lurus-lurus. "Sebaliknya saya mau nagih hutang kamu ke saya!"

"Hutang?" tanyaku tak mengerti.

"Gara-gara kamu saya jadi gagal ikut Olimpiade Bahasa Inggris tahu nggak! Kamu lupa?!" tukas Regan tajam.

Maya menepuk bahuku sekali. "Na, beneran apa yang dibilang kak Regan? Kok bisa?"

Itu karena kecerobohanku di lab komputer waktu itu, jawabku dalam hati.

Jadi sekarang saatnya aku menerima hukuman itu darinya? "Tapi dengan cara apa aku bisa membayar hutangku ke Kakak?"

"Ada yang harus kamu lakuin. Tapi sebelum itu biar saya coba tes kamu kalau memang benar nilai ini murni hasil dari otak kamu sendiri."

Mataku seketika membulat. "Tes?"

Yang lain terlihat bergidik mendengar kata tes disebut dari seorang cowok top nomor satu. Apalagi dia menguasai banyak mata pelajaran.

"Kalau soal hitung-hitungan saja kamu bisa dapet nilai sempurna, berarti soal yang berisi teori pasti gampang kamu jawab kan?" tantang Regan.

Oh, God. Aku tidak yakin dengan apa yang dilakukan sel otakku sekarang, tetapi aku berani bersumpah bahwa otak dan hati nuraniku saat ini sama-sama menyuruhku untuk menerima tantangan Regan.

Dengan balas menatapnya, aku mengangguk pelan. Regan sedikit tersenyum miring melihat keberanianku yang mau menerima tantangannya. Dia bersiap memberiku pertanyaan.

"Oke. Tanpa lihat buku kamu harus jawab langsung pertanyaan saya."

Terdengar semuanya berbisik-bisik di dekatku menyuruhku meminta maaf lagi saja pada Regan daripada aku harus dipermalukan dengan cara seperti ini. Tapi aku menggeleng. Aku juga tidak mau kalah darinya. Biar kucoba saja apa pertanyaan yang diajukannya padaku setelah ini.

Regan menggebrak mejaku dan menatapku tajam. "Hanya seputar Fisika. Disebut apa definisi dari gaya tarik gravitasi yang bekerja antara dua benda sebanding dengan massa masing-masing benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak kedua benda?"

Aku berpikir sebentar. Maya dan teman-teman yang lain ikut berpikir dan mengingat-ingat tentang materi itu. Dan tentu saja aku tahu jawabannya.

"Hukum Gravitasi Newton," jawabku mantap.

"Jelaskan dengan singkat apa yang dinamakan gaya gravitasi bumi."

Otakku secara ajaib mampu mengingat materi itu. "Gravitasi bumi merupakan salah satu ciri bumi, yaitu benda-benda ditarik ke arah pusat bumi. Gaya tarik bumi terhadap benda-benda inilah yang dinamakan gaya gravitasi bumi."

"Woahh!" kata Maya dan yang lain secara serempak melihat aku bisa menjawab langsung pertanyaan Regan tanpa banyak berpikir.

"Apa yang kamu pahami tentang hukum archimedes?"

"Yang kupahami...," ucapku berpikir sejenak, setelah yakin kulanjutkan jawabanku, "yaitu tentang gaya ke atas yang diterima suatu benda pada zat cair."  

Regan bersedekap dan sepertinya belum puas mendengar jawabanku. "Coba jelaskan seperti apa."

"Gampangannya adalah ketika menimba air dari sumur. Yang kita rasakan saat menimba, timbanya jadi terasa ringan saat ember masih di dalam air dan terasa lebih berat ketika muncul ke permukaan air. Hal ini menunjukkan bahwa berat benda dalam air lebih ringan daripada di udara. Hal ini disebabkan oleh adanya gaya ke atas dari air yang mengurangi berat ember. Gaya ke atas dalam zat cair disebut dengan gaya Archimedes. Sudah puas dengan jawabanku?"

"Itu hanya kata-kata salinan."

"Tapi setidaknya aku bisa mengingat dengan baik teori itu. Bisa dikatakan ingatanku bekerja dengan sangat baik," sanggahku cepat.

"Oke. Setidaknya jawaban kamu memang benar. Datang ke lapangan basket sepulang sekolah. Di sana saya akan kasih tahu apa yang harus kamu lakukan buat nebus kesalahan kamu yang udah menggagalkan saya ikut Olimpiade."

Aku mengangguk mengiyakan. Aku memang harus menebusnya sesegera mungkin. Dengan melihat Regan yang terus menerus sinis padaku saja itu sudah sangat menyiksaku.

Akhirnya Regan meninggalkan kelas kami. Terdapat kelegaan di raut wajah Maya dan anak-anak yang lain. Kenapa jadi mereka yang tertekan? Kan aku yang dites.

"Gila lo, Na. Bisa juga jawab pertanyaan Regan secepet itu. Gue aja musti mikir dulu tadi," kata Andi, sang ketua kelas. Yang lain pun bereaksi sama.

Aku hanya mengedikkan bahu dan tak berniat menjelaskan kepada Andi. Ah, sekarang waktu istirahatku sisa sebentar lagi akibat disita beberapa menit oleh Regan.

"Jadi ke kantin nggak, May?" tanyaku pada Maya.

"Jadi deh. Denger tanya jawab kalian gue jadi laper," kata Maya.

Ya, perutku juga sudah mulai berkumandang.

avataravatar
Next chapter