5 Awal Kesalahan

Semangkuk bakso dengan taburan bawang goreng dan seledri di atasnya sudah siap untuk kusantap. Setelah mengobrol dengan Melvin di perpustakaan, aku jadi lebih bersemangat untuk mendekati Regan lagi. Apapun caranya akan kulakukan. Dan untuk langkah awal, aku harus mengisi perutku dulu supaya tidak keroncongan lagi. Aku harus mengaduk-aduknya sebentar agar tak terlalu panas lagi saat kuseruput kuahnya.

Kulihat Maya juga membawa makanan dan minumannya, lalu duduk di depanku. Dia menatapku dengan tatapan tak senangnya.

"Kenapa, May?" tanyaku sambil menuangkan saus dan sambal ke dalam kuah baksoku.

"Nih hari lo kayak bukan Naura yang gue kenal," kata Maya yang ikutan menuangkan saus di makanannya.

"Maksudnya?" tanyaku lagi.

"Pertama, lo nggak mau jawab pertanyaan gue waktu di kelas tentang kenapa lo bisa secepet itu ngerjain ulangan fisika. Apa lo nyontek apa gimana? Kedua, lo juga ninggalin gue dan nggak barengin gue ke kantin. Emang gue salah apa sama lo sehingga lo harus giniin gue?" sungut Maya, namun sedetik kemudian wajahnya berubah sedih.

Aku menghentikan adukanku. Jujur saja aku yang sekarang tidak nyaman berada di dekat Maya karena ingatanku tentang apa yang terjadi pada Regan selalu saja muncul di benakku. Di surat kabar itu menyebutkan bahwa Regan depresi karena permasalahan rumah tangganya yang tak kunjung selesai sehingga dia lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan cara overdosis. Memang permasalahan seperti apa yang membuatnya sedepresi itu? Apa yang sudah Maya lakukan padanya? Apa Maya menuntut sesuatu yang Regan sendiri tidak bisa memberikannya?

Huft. Berkali-kali aku bertanya pada diriku sendiri, namun jawabannya tak kunjung kudapati. Andai saja bisa, ingin sekali aku menanyakannya pada Maya sekarang juga. Mengungkapkan segala kemarahanku padanya. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa mendapatkan jawaban itu darinya mengingat Maya yang sekarang belum tahu apa-apa tentang kehidupannya dengan Regan di masa mendatang? Jika aku merubah segalanya dari sini, apakah semua itu akan berpengaruh di masa kami dewasa? Dengan begitu, Regan akan tetap hidup dan kami bisa bersama.

"Tuh kan cuma diem aja."

Kata-kata Maya kembali mengusik lamunanku. Aku bingung harus bagaimana bersikap pada Maya. Jika aku terus bersikap seperti sosok remajaku sebelumnya yang polos, maka aku akan membohongi diriku sendiri. Saat ini aku memang membenci Maya. Tapi, lagi-lagi akal sehatku terusik. Bagaimana mungkin aku bisa membencinya dalam situasi seperti sekarang ini? Aku kembali ke masa remajaku dan bertemu dengannya di masa yang pernah kami lalui bersama. Biar bagaimanapun, di masa ini Maya tidak salah. Dan mungkin aku harus tetap menjadi sahabat terbaiknya.

Akhirnya, kukesampingkan niatan makanku dan memberi sedikit penjelasan pada Maya. "Oke, soal ulangan itu mungkin suatu keajaiban. Gue inget rumus dari semua soal-soal itu. Jadi wajar kan kalau gue bisa nyelesain ulangannya? Dan yang pasti, gue nggak nyontek, kok."

"Tapi... kok bisa lo inget rumus-rumusnya? Biasanya kan lo payah soal rumus, Na." Terlihat Maya masih tetap tak percaya dengan penjelasanku barusan.

"Gimana jelasinnya ya," ucapku sambil menyeruput kuah baksoku dan kembali menjawab, "semalem gue dapet firasat kalau pagi ini bakal ulangan. Jadi gue hapalin rumus-rumus di materi terakhir yang Pak Burhan kasih. Ternyata bener keluar semua," alibiku. Tentu saja aku berbohong. Alasan ini adalah yang paling tepat untuk membungkam ke-kepoan Maya.

"Lo belajar? Tumben."

"Intinya sih gue inget rumus sama materinya. Itu aja kok," ucapku meyakinkan. "Terus soal gue ninggalin lo, gue harus cepet-cepet sampai kantin biar nggak ngantri lama. Habis ini gue mau ke lab komputer juga soalnya buat browsing."

Maya mengangguk-angguk dan mulai mengerti penjelasanku. Aku tak berkata apa-apa lagi dan mulai menyantap baksoku. Dengan banyak bicara seperti ini saja sudah membuang beberapa menit waktuku untuk bisa browsing tentang buku terjemahan yang Regan incar.

Tak lama, aku sudah menghabiskan makananku. Maya yang memang sejatinya bak Putri Solo pun tak bisa mengimbangiku dalam santap cepat. Dia bahkan rela jika aku harus pergi duluan dan meninggalkannya.

"Gue duluan nggak apa-apa kan, May?" tanyaku tak enak hati.

Maya mengulas senyum manisnya. "Nggak apa-apa. Udah sana."

"Sampai ketemu di kelas ya," kataku sambil bangkit berdiri dari dudukku.

Maya mengangguk dan memberikan simbol huruf O dengan jari telunjuk dan jempolnya.

"Sip," kataku serta melenggang pergi dari area kantin.

***

Aku menaiki lantai dua tempat laboratorium komputer berada. Letaknya di gedung sebelah Utara, berdekatan dengan ruang OSIS. Di sekolah ini, lab komputer bisa digunakan dengan bebas asalkan tidak dipakai untuk jadwal kelas. Dan biasanya di jam-jam istirahat seperti sekarang lab itu akan dipenuhi dengan siswa-siswi yang ingin sekedar browsing internet, mengerjakan tugas, atau bahkan bermain media sosial. Tidak ada yang namanya game online karena pihak sekolah tidak mengijinkan dan aktifitas mereka akan sepenuhnya diawasi langsung oleh penjaga lab tersebut.

Tapi, tidak seperti biasanya ruangan itu kosong. Tak ada satu muridpun yang beraktifitas di sana. Semua komputer dalam keadaan mati kecuali komputer paling pojok, yang berada dekat dinding di sudut ruangan. Komputer itu menyala seperti habis ditinggal si pemakainya lalu lupa untuk mematikannya.

Tanpa membuang waktu, akupun bergegas menuju komputer itu dan duduk dengan tenang. Seperti dugaanku, komputer ini memang bekas dipakai murid lain dan lupa mematikannya. Di layar masih menampilkan dokumen dari microsoft word dengan tulisan berbahasa inggris yang tidak rapi. Akhirnya kupencet tanda silang pada pojok kanan atas pada dokumen microsoft word itu tanpa menyimpannya, lalu menggantikannya dengan membuka Google dan mulai searching.

Beberapa deret situs web yang muncul ternyata tidak memuaskan rasa ingin tahuku. Seperti yang Melvin bilang, buku itu langka dan hanya akan dicetak dalam jumlah yang sangat sedikit. Dan terbukti aku tidak menemukan di penerbit mana buku itu akan dicetak. Yang ada di dalam daftar situs-situs itu hanyalah buku asli dalam bahasa inggris. Itupun harus memesan di negara aslinya.

Aku menunduk sebentar sambil memegangi kepalaku. Pening. Kupikir aku bisa mendapat bocorannya dari internet, ternyata zonk. Lalu pendengaranku menangkap langkah kaki seseorang yang berjalan mendekat ke arahku.

"Ngapain kamu di sini?"

Suara itu berasal dari belakangku. Aku menoleh ke belakang untuk melihat sosok itu. Ternyata Regan. Dia tengah berdiri dengan kedua tangannya yang berada di dalam saku celananya. Matanya menatap tajam ke arahku.

Aku cepat-cepat berdiri dan berhadapan dengannya. "K-kak Regan?" ucapku gugup.

"Saya tanya ngapain kamu di sini?" ulang Regan dengan penuh penekanan di tiap kata-katanya.

"A-aku cuma lagi browsing," jawabku jujur.

"Browsing?!" Lalu Regan mendorongku ke samping dan aku nyaris saja terjatuh. Untung di sebelahku ada dinding jadi aku bisa berpegangan. Raut wajah Regan kini berubah merah padam. Tangannya sibuk mengklik-klik mousenya dan menatap tajam ke layar.

Apa yang terjadi? batinku.

"Mana filenya??!" bentak Regan marah.

Jantungku terasa berdegup kencang. Baru kali ini aku diteriaki seperti ini oleh cowok. "File apa?" tanyaku tak mengerti.

"File! Word yang tadinya di sini mana???" tanya Regan sambil menunjuk ke layar komputer.

"Yang isinya tulisan bahasa inggris itu?" tanyaku memastikan.

"Benar!"

"Aku menutupnya. Aku lihat cuma komputer ini yang nyala jadi kupikir udah nggak ada yang pakai lagi, makanya aku pakai. Daripada aku nyalain komputer yang lain, lama."

"Kamu menutupnya dan kamu buang gitu aja?!" Regan makin meradang.

Aku mengangguk kecil. "Emangnya kenapa, Kak?"

"Itu tugas bahasa inggris saya yang harus saya kumpulin setelah jam istirahat ini selesai! Dan kamu malah menutupnya gitu aja?!" bentaknya lagi.

Kakiku serasa melemas. Tulisan di word yang kupikir tidak terpakai itu adalah tugas milik Regan? Dan aku baru saja merusaknya! Idiot, idiot, idiot. Seharusnya aku bisa sedikit lebih pintar saat kembali ke masa ini. Kenapa aku malah jadi semakin bodoh dan malah membuatnya marah?

Aku menggigit bibir bawahku sesaat. "Maaf, aku benar-benar nggak tahu. Maaf," sesalku.

"Maaf? Kamu bisa balikin nggak? Saya sampai nggak istirahat dan nggak makan demi ngerjain tugas ini dan kamu malah bikin saya dalam masalah!"

Well, kenapa posisinya jadi aku yang sepenuhnya bersalah? Tentu ini menjadi salahnya juga yang meninggalkan komputer dalam keadaan menyala dan siapapun yang melihatnya pasti akan mengira kalau komputer itu lupa dimatikan.

Aku memberanikan diri menatap Regan lebih tegas. "Aku benar-benar nggak tahu, kenapa kesannya jadi aku yang bersalah banget?"

"Ya memang kamu yang salah!"

"Kalau gitu biar aku tanya, kalau itu emang tugas penting kenapa nggak Kakak simpan lebih dulu sebelum ada orang lain yang masuk ke sini dan akhirnya pakai komputer Kakak?" tantangku.

Regan tambah memelototiku. "Coba kamu buka wordnya dan tulis sesuatu di situ."

"Eh?"

"Cepetan!"

Aku terhenyak sesaat dan melakukan apa yang Regan suruh. Aku mengeklik icon miscrosoft word di layar dan mulai menuliskan sesuatu di sana. Yang kutulis hanyalah sebuah lirik lagu dalam satu paragraf saja.

"Udah," kataku memberitahu.

"Sekarang save filenya."

Aku kembali menurut. Kusimpan tulisan yang baru saja kuketik, tapi... mataku membulat. Ini pasti ada yang salah. Berkali-kali aku menyimpannya tetap tidak bisa tersimpan. Bahkan setelah kutekan tombol perintah di keyboard pun tetap tidak bisa! Aku menelan ludahku sendiri. Sepertinya aku mulai mengerti dengan alasan kemarahan Regan kali ini.

"Bisa nggak?!" tanya Regan lebih ketus lagi setelah melihat usahaku yang sia-sia.

Aku menggeleng lemah.

"Semua komputer di sini error kecuali yang ini, makanya saya keluar buat manggil teknisinya sekalian benerin wordnya yang juga ikutan error nggak bisa nge-save."

Kini aku tahu alasan itu memang lebih masuk akal. "Terus kenapa nggak dikerjain di rumah, malah baru dikerjain sekarang?"

Regan menghela napas kesal. "Itu tugas yang diminta Bu Dini tadi pagi sebagai syarat kalau saya pantas ikut Olimpiade Bahasa Inggris tingkat SMA! Karena banyak kandidat yang punya peluang besar, Bu Dini minta tugas ini diselesaikan sekarang juga dan bakal dipilih berdasarkan penilaian dari tugas ini. Kamu masih mau nanya apa lagi sekarang??"

Oh my God. Aku bahkan tidak tahu kalau sebentar lagi akan diadakan Olimpiade tingkat SMA. Tapi, aku masih belum menyerah karena dalam hal ini bukan sepenuhnya kesalahanku juga. Aku tidak mau dituding sebagai penjahat disaat aku tidak tahu apa-apa sebelumnya.

Kutatap mata Regan yang masih menatapku tajam. "Biar begitu, aku nggak tahu kalau itu tugas Kakak. Awalnya aku ke sini cuma mau browsing internet aja. Kupikir wordnya udah nggak kepake."

"Dan kamu nggak lihat tulisan di kertas itu? Apa kamu nggak punya mata buat baca?"

Pertanyaan Regan seketika membuatku bingung. Kertas apa lagi yang dimaksudnya? Seolah bisa membaca ekspresiku, dia menunjukkan sesuatu padaku dengan dagunya. Aku mengikuti arahannya ke tempat keyboard berada. Lagi-lagi mataku membulat begitu melihat ada selembar kertas A4 yang sedikit ditimpa dengan keyboard. Mungkin supaya kertas itu tetap berada di sana. Ya Tuhan, aku bahkan tidak menyadari keberadaan kertas sebesar itu.

Aku memungutnya lalu membacanya dalam hati.

KOMPUTER INI ADA YANG PAKE. SIAPAPUN YANG DATANG TOLONG JANGAN DIPAKE DULU SEBELUM SAYA DATANG KARENA SAYA SEDANG KE RUANG TEKNISI. KOMPUTER ERROR DAN MS.WORD GAK BISA NGESAVE DAN GAK BISA DI MINIMIZE JUGA. TOLONG JANGAN SENTUH TUGAS SAYA. MAKASIH.

TTD

REGAN!

Asli, aku memang idiot. Kertas dan tulisan sebesar itu saja tidak terlihat olehku. Aku benar-benar dibutakan oleh ambisiku sendiri yang ingin cepat-cepat mendapatkan buku itu untuk Regan. Aku benar-benar payah.

"Sekarang gimana caranya kamu mau tanggung jawab? Udah nggak ada waktu lagi buat bikin yang baru dan bel masuk bentar lagi bakalan bunyi. Dan tentu aja saya jadi nggak bisa ikut Olimpiade itu gara-gara kamu," kata Regan masih menyalahkanku.

"Maafin aku yang ceroboh asal serobot aja tanpa periksa lebih teliti lagi. Tapi aku akan tebus kesalahanku. Aku minta maaf, Kak," ucapku lagi dengan nada penuh penyesalan. Andai saja aku lebih cermat menyadari kertas itu.

"Gimana? Komputernya masih error?"

Tiba-tiba Pak Edo ahli teknisi datang. Dia langsung memeriksa keadaan komputer yang dilaporkan Regan barusan.

"Masih, Pak, tapi saya saya mau balik ke kelas. Lagian saya sudah nggak butuh lagi, wordnya sudah hilang," tukas Regan lalu keluar ruangan dengan kesal.

Aku permisi kepada Pak Edo dan menyusul Regan yang sudah keluar lebih dulu.

"Kak Regan, tunggu," kataku menghadangnya. Langkahnya terhenti dan menatapku marah.

"Apa lagi?"

"Aku akan lakuin apapun asal kak Regan mau maafin aku."

Regan menaikkan sebelahnya alisnya. "Apapun?"

Aku mengangguk.

"Akan saya pikirkan. Sekarang minggir!"

Aku menggeser posisiku. Regan kembali melanjutkan langkah kakinya. Kenapa jadi seperti ini? Kenapa pertemuanku dengan Regan tidak pernah berjalan mulus?

Aku kembali melangkah dan tepat bel masuk pun berbunyi. Aku berjalan di koridor dengan perasaan tidak keruan. Kira-kira hukuman apa yang akan Regan berikan padaku nanti?

avataravatar
Next chapter