2 Bab 1 Anak Sekolah

Sepertinya, global warming semakin hari semakin parah saja. Belakangan, kekeringan mulai melanda Afrika sana. Harga air akan naik lagi, atau tidak? Entahlah, aku bukan ahli ekonomi atau semacamnya. Berita sudah melaporkan dimana-mana, kalau Mesir sedang krisis air, dan bahkan beberapa oase di gurun makin menipis persediaan airnya. Menurut prediksi, keadaan akan makin parah karena sudah ada dua oase besar yang sudah kering sepenuhnya.

Yah, kalau soal alam ya apa boleh buat. Kita takkan bisa memprediksi kapan akan banjir, gempa, atau kekeringan. Palingan, ini perkara global warming. Nah, manusia memanen hasil tindakannya sendiri kan sekarang?

Beberapa hari ini, Ayah dan Ibu terus saja menonton berita yang topiknya ini-ini terus.

"Kekeringan yang parah", gumam Ibu.

Sedari tadi ia terus duduk di sofa yang ia tarik ke depan TV,dan pandangan matanya tak pernah lepas dari layar kaca. "Ayah! Sini, lihat ini!", mendadak ibu meneriaki Ayah, menunjuk-nunjuk layar kaca.

Aku dan Andrew baru saja pulang sekolah dan tengah kelaparan, menunggu makan siang. Tapi sedari tadi Ibu tak mengalihkan sedikitpun perhatiannya pada kami, jadi mungkin hari ini taka da makan siang?

"Kosong, tak ada apapun!", lapor Andrew.

Ia baru saja mematroli dapur, dan tak ada makan siang sama sekali hari ini! Wuah, Ibu tak memasak makan siang demi menonton berita TV.

"Kau lihat, bahkan oase nya mengering!",kata Ibu histeris pada Ayah.

"Aku amat yakin, ini bukan fenomena biasa", kata Ayah tegas.

"Menurutku juga begitu! Tak pernah ada yang separah ini, selain ulah manusia pastinya!"mereka berdua berdiri di depan TV, menunjuk-nunjuk layar kaca, dan tak pernah melepaskan pandangannya dari layar TV.

"Bu, makan siang hari ini?", selaku.

"Mm, ada telur di rak atas dan mie instan di sebelahnya", jawab Ibu tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

Aku pun membongkar rak dan mengeluarkan dua bungkus mie. "Aku mau dua bungkus."pinta Andrew.

"Kau pikir aku pelayan?"protesku.

"Eh please, satu bungkus takkan kenyang." Balasnya agak memelas.

Mau tak mau aku memasak tiga bungkus mie, dan kami melahapnya dengan cepat. "Eh, kau bisa bantu aku bikin puisi", kata Andrew di sela suapan terakhirnya. Mukanya terlihat memelas. Aku hampir tersenyum melihat ekspresinya yang cuma bisa kulihat sepuluh tahun sekali, dia emang paling minta ampun kalau dapat tugas seperti ini.

"Aku punya banyak tugas tau, besok karya ilmiahku sudah harus kumpul, bikin powerpoint presentasi, dan ngerjain habis soal deret geometri Bu Jenny!" kataku merana.

Arrgh, aku bakal ngerjain sampai tengah malam nih. Kapan aku bisa tidur? Sudah berhari-hari aku kurang tidur terus, dan kantong mataku terus menghitam. Memang kalau sudah semester terakhir, sibuknya luar biasa.

"Nasibmu", komen Andrew sambil geleng-geleng.

"Kau juga bakalan begitu kok, tahun depan."

"Nggak akan sama sepertimu." Jawabnya enteng.

Baru saja kami membereskan meja makan, terdengar ketukan pintu depan. Jarang ada yang mengetuk pintu rumah kami, selain tukang pos atau pengiriman barang. Jadi setiap kali pintu kami diketuk, selalu menyedot perhatianku dan Andrew. Andrew sudah berlari hampir mencapai pintu depan, saat Ayah menghentikannya. Ayah berjalan antusias membuka pintu. Andrew melihatku dengan kebingungan, begitu juga sebaliknya denganku.Ada apa ini? Ibu juga, berjalan cepat ke arah pintu penuh semangat.

Ayah dan Ibu menyapa hangat orang asing di depan pintu, mereka tertawa keras, bersalam-salaman, lalu mempersilahkannya masuk. Kulihat orang asing itu bertubuh tinggi, berkulit gelap akibat sering terpapar sinar matahari, kepalanya botak, ia punya mata besar dan mulut lebar. Ia memakai jaket kulit yang sudah agak tua, celana jins dan sepatu besar bersol tebal. Ia berjalan sampai di dekat sofa, ketika ia melihatku dan Andrew. Seketika ia kebingungan sepertiku dan Andrew, kemudian ia tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi putihnya nan besar.

"Hei," sapanya, "Kamu pasti Andrew." ia berjalan ke arah Andrew, lalu menepuk-nepuk bahunya. Aku berjalan mendekati Andrew, dan orang asing itu melihat ke arahku. "Kalau kamu, pasti Becky."

Aku tak tahu harus berkata apa, jadi aku menunduk sedikit memberi hormat sambil tersenyum.

"Anak-anak, ini Paman Marthin", kata Ayah mengenalkan.

"Paman Marthin?" gumamku.

"Paman Marthin ini teman lama", Ibu menjelaskan.

"Mereka sudah besar-besar semua", kata Paman Marthin pada Ayah.

"Umurmu berapa?"

"17", jawab Andrew.

"Kalau Becky?"

"18."

Ia mengacungkan kedua jempolnya pada kami, lalu entah ngomong apa pada Ayah.

"Anak-anak, sana mandi dulu dan kerjakan PR di kamar. Ibu dan Ayah mau berbicang dengan Paman Marthin. Sudah lama kami tidak bertemu," perintah Ibu.

Aku menuruti dengan patuh, sedangkan Andrew kelihatan tak rela naik ke kamarnya, berharap bisa tetap di bawah sini ikut mendengarkan. Tapi ia mau tak mau, Ibu bersikeras agar kami mengerjakan PR di kamar.

Aku naik lalu mandi, dan benar-benar mengurung diri di kamar setelahnya. Berjam-jam lamanya aku menyelesaikan powerpointku, menyelesaikan karya ilmiahku yang tersisa sedikit, dan sekarang aku masih berkutat dengan deret geometri. Samar-samar kudengar pintu kamarku diketuk, dan ketika kuberbalik melihat ke belakang, Andrew sedang berdiri di depan pintu.

"Ngapain kau disini?"

"Sssst! Jangan ngomong keras-keras." katanya dengan suara berbisik, lalu menutup pintu kamarku pelan-pelan.

"Nanti mereka dengar." katanya dengan suara normal.

"Memangnya kenapa kalau mereka dengar?"

"Nanti Ibu tahu aku masuk ke kamarmu. Ibu tak memperbolehkanku keluar dari kamar"

"Nah, kau kenapa lagi? Jangan-jangan sedari tadi kau naik-turun ya, gangguin mereka?", tebakku.

"Eh, jangan asal ngomong", ia agak nggak enakan, berarti apa yang aku tebak ini benar.

"Dasar", ejekku.

"Jadi, kau mau ngapain kesini?"

"Bantu aku sebentar." katanya sambil menyodorkan selembar kertas kucek dan sebatang pensil.

Pahlawan

Pahlawan

Kau adalah pahlawan

Jasamu super besar

Pahlawan oh pahlawan

Kau membela Negara

Jasamu super besar

Kau adalah pahlawan

Pahlawan

Puisi terbaik buatan Andrew, aku tak bisa komen apa-apa. "Yah.. puisi ini..."

"Eh, sudah waktunya makan malam", potong Andrew.

"Jam makan masih 30 menit!" jawabku. "Lagian, aku belum lapar"

"Ayolah, kita turun ke bawah. Bosan disini terus", bujuknya.

Aku tahu.Tujuan utamanya datang kesini adalah untuk membujukku turun bareng. Dasar, anak ini!

"Eh, jadi maksudmu kesini mau bujuk aku turun."

"Kau tak penasaran mereka lagi bahas apa?" katanya pada akhirnya.

"Nggak. Dasar kau kepo. Aku bakalan turun jam makan malam. Sekarang, jangan ganggu aku", usirku.

Ia mengeluh lalu keluar dari kamarku, membiarkanku mengerjakan tugas dengan damai.

**

Aku mulai lapar empat puluh lima menit kemudian, dan meninggalkan meja belajar. Andrew sudah berdiri di dekat pintu kamarku, sambil menggerutu kalau aku lama sekali baru keluar dari kamar. Ya ampun, dasar anak ini!

Kami menuruni tangga perlahan-lahan, takut mengganggu mereka. Tapi, mereka sudah menatapi kami ketika kami menuruni anak tangga terakhir.

"Bu, makan malam...?" tanyaku agak ragu. Seketika ketiga pasang mata itu melonggarkan ketajamannya.

"Ah, iya", kata Ibu kebingungan.

"Ibu tidak masak makan malam ya?" tanya Andrew. "Gimana kalau malam ini kita pesan pizza aja?" usulnya.

"Ah iya, betul. Anak pintar", puji Ibu.

Aku dan Andrew terkaget-kaget mendengar jawaban Ibu, karena biasanya Ibu suka ngomel kalau kami makan fastfood atau snack dan semacamnya. Tapi malam ini,Ibu menyetujui usul iseng-isengnya And. Pantas saja sih, Andrew kepo tak karuan. Aku juga penasaran, siapa sih tamu kami ini?

Malam itu, kami menghabiskan makan malam dengan lahap (kesempatan yang jarang kami dapatkan). Andrew cepat sekali akrab dengan Paman Marthin. Dalam setengah jam, mereka sudah akrab layaknya teman karib.Paman Marthin memikat Andrew dengan menceritakan pengalamannya mendaki Himalaya, memasuki Amazon, atau menyelam bersama hiu di Raja Ampat. Dia orang unik yang punya pengalaman tak biasa. Kami mendengarkan ceritanya sampai hampir tengah malam, dan aku baru sadar kalau aku belum menyelesaikan deret geometriku!

Paginya aku berangkat ke sekolah dengan kantong mata tebal dan menghitam, hampir semua murid cewek di sekolah memerhatikan mataku. Saat istirahat, Jessy dan beberapa murid cewek datang ke tempatku dan berpidato tentang tips menghilangkan mata panda, oke, aku sangat berterima kasih atas kepedulian mereka, tapi sebenarnya aku tak terlalu peduli. Aku berperang melawan ngantuk selama pelajaran, hingga bel pulang sekolah yang kutunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Dengan penuh semangat, aku berlari keluar kelas, hingga Nadie dan Cindy menghentikanku di depan pintu.

"Becky, apa OSIS sudah punya rencana untuk PromNight?", tanya Cindy.

"Yaa..sudah ada rencana kasarnya", jawabku.

"Gimana? Nanti diadakan dimana?",tanya Cindy.

"Aduh, semoga jangan di lapangan sekolah deh, nggak keren ah." kata Nadie.

Ya ampun, cewek-cewek ini. Mereka lanjut ngomong sendiri tentang rencana beli gaun baru, penampilan yang wow, mau cari partner cowok yang keren...ah, aku tak mengerti pemikiran mereka. Hey, ujian di depan mata! Bisa-bisanya mereka sibuk tentang Prom. Ingin rasanya aku berteriak keras-keras di telinga mereka, supaya sadar sedikit.

Ketika aku memutar badan untuk pergi, datang Tiana dan Linda, dua cewek yang setipe dengan Nadie dan Cindy.

"Eh, sudah ada info ya tentang PromNight nanti? Gimana? Gimana? Mau tahu dong!", seru Linda.

Wuah, aku segera menyelinap keluar dari kepungan mereka, membiarkan mereka membahas sendiri. Mereka bahkan tak peduli ketika aku berjalan menjauh.

Jadi OSIS memang sibuk, suka dikerubuti anak-anak dengan pertanyaan tentang acara ini dan itu. Fiuh, secepat kilat aku berjalan melewati lapangan, menuju arah parkiran sepeda. Kulihat Andrew sudah disana.

"Hei, tadi pagi kau tak memanggilku saat berangkat ke sekolah", protes Andrew begitu ia melihatku.

"Sorry, sorry! Aku buru-buru tadi pagi. Kenapa?Kau telat ya?"

"Nyaris telat, 5 menit lagi pelajaran mulai", gerutunya

"Sorry." kataku sekali lagi.

Kami pulang-pergi sekolah naik sepeda, tak seperti murid-murid lain yang diantar jemput pakai mobil. Orangtua kami bersikeras kami mesti mandiri, belum lagi jarak rumah ke sekolah relatif dekat. Matahari siang ini menyengat, aku dan Andrew bersepeda dengan kecepatan tinggi hingga sampai ke rumah.

Anehnya, rumah kami siang ini kosong. Ayah dan Ibu tak ada di rumah! Apa mereka masih sibuk dengan tamu baru kami itu? Kenapa tak mengabari kami? Kutelepon hp Ibu, dan ia mengangkatnya ketika aku menelepon untuk keempat kali.

"Halo Ibu, Ibu ada dimana?"

"Halo sayang, Ibu dan Ayah sedang dalam perjalanan. Maafkan kami tak mengabari kalian, tapi ada Paman Marthin kan?"

"Paman Marthin? Tak ada. Ibu dan Ayah ke mana sih?" "Oh kalau begitu ia belum sampai, ia akan sampai sebentar lagi. Tunggu saja dia, ia akan menjemput kalian",kata Ibu dengan suara tak jelas.

"Jemput kemana sih?", aku mulai risih.

"Tunggu saja ya Sayang, kau dan Andrew bersiap-siap sampai Paman Marthin datang. Ibu dan Ayah sudah sampai. Sudah dulu ya" Ibu mematikan hpnya.

Apa? Kenapa tak jelas begitu sih? Aku agak-agak kesal.

"Ibu bilang apa?", tanya Andrew sambil menggigit roti. Ia sudah kelaparan pastinya, aku juga sudah lapar.

"Entahlah, tak jelas. Ia bilang tunggu Paman Marthin" Saat itu juga, sebuah mobil jeep berhenti di depan rumah kami.

"Hei, anak-anak!", sapa Paman Marthin sembari turun dari mobilnya.

"Sorry aku agak telat, tadi aku singgah di KFC beli makan siang",katanya riang.

Aku dan Andrew kebingungan, tapi jelas kami senang ketika mendengar kata KFC. "Jadi, kalian kemas barang-barang kalian. Lalu, ikut denganku", katanya.

"Apa? Kemana?", tanya Andrew.

"Kalian akan tahu nantinya, pokoknya sekarang kemas dulu barang-barang kalian. Dan oh ya, jangan lupa makan siangnya."

Aku benar-benar tak mengerti apa yang direncanakan orangtua kami dan Paman Marthin.

"Mau liburan ya? Tapi aku sebentar lagi ujian!", tebakku. Paman Marthin terkekeh.

"Sayangnya bukan liburan, tapi aku yakin kalian pasti suka. Dan tak apa Becky, ujian itu tak penting", kata Paman Marthin sambil mengedipkan sebelah matanya.

Mau tak mau aku menuruti Paman Marthin, mengemasi barang-barangku dan segera menikmati makan siang, begitu juga Andrew. Paman Marthin memasukkan koper kami ke dalam jeepnya, dan segera membawa kami yang masih memakai seragam sekolah ini entah kemana. Yang pasti, ia menjauh dari kota, menelusuri jalan yang sepi dan hanya terdapat pepohonan yang tumbuh di sekitarnya. Perjalanan memakan waktu hampir satu setengah jam, hingga ia berhenti di sebuah lapangan kosong yang dipagari kawat tinggi yang terdapat papan peringatan dilarang masuk di atasnya.

Paman Marthin menyuruh kami turun, sembari ia menurunkan koper-koper kami. Ia berjalan memimpin di depan menuju pagar kawat, melewati bagian pagar yang telah berlubang besar. Aku dan Andrew mengikuti dalam diam, menyusuri tanah berpasir hingga kami melihat sebuah helikopter. Paman Marthin menaiki helikopter itu dan menaikkan koper kami ke atasnya, diikuti Andrew dan yang terakhir aku. Aku berasa kami ini seperti penyelundup, atau mungkin saja kami sedang diculik! Ah, apa sih yang sedang kupikirkan?

avataravatar
Next chapter