webnovel

BAB 2 – Sang Ibunda

"Selamat siang, Bu …" sapa Indra pada sang ibu yang tengah duduk di belakang mesin jahitnya.

"Hei … selamat siang, Nak … jam segini sudah pulang?" sahut ibunya sambil menerima uluran tangan si anak sulung, yang diikuti oleh salam hormat dan ciuman takzim pada punggung telapak tangan.

"Kan sudah nggak ada pelajaran, Bu …"

"Oh, iya … kamu sudah lulus. Ibu sampai lupa …"

"Belum lulus, Bu. Kan belum ada pengumumannya," sanggah si anak lelaki, yang selalu saja merasa hatinya jadi damai dan ingin tersenyum bila sedang berdua saja dengan ibunya.

"Ah, kamu pasti akan lulus … anak ibu itu nggak ada yang bodoh. Iya, kan? Miskin itu memang sudah jadi nasib kita, tapi nggak berarti boleh menjadi bodoh," demikian ujar ibunya.

"Kalau nggak punya uang untuk sekolah, bukankah akan jadi bodoh juga pada akhirnya?" kembali si anak menyanggah.

"Belum tentu juga. Semua itu tergantung kemauan. Buktinya, Ibu tak pernah memiliki uang yang cukup untuk menyekolahkan kamu. Tapi … hmmm, anak Ibu malah sudah hampir lulus saja dari SMA." Tak kalah pintar, sang ibu kembali menyahut untuk mengoreksi pendapat anaknya yang salah.

Mendengar jawaban ibunya, si anak tak hilang akal untuk tetap mempertahankan pemikirannya,

"Ibu … kalau untuk kuliah, bukankah butuh biaya banyak? Katanya, kalau pengin pintar harus bisa duduk di bangku kuliah. Berarti, kita tidak akan jadi pandai kalau nggak mampu biayain kuliah. Karena, orang miskin nggak akan mungkin bisa belajar di universitas," dengan puas, sang anak langsung meluapkan ganjalan hatinya secara halus.

Namun, mendadak saja ia malah jadi tercengang saat mendengar jawaban dari ibunya,

"ah, enggak juga … nggak gitu amat, Ndra. Karena semuanya juga tergantung pada niat dan tekad masing-masing," demikian jawab wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu.

"Kalau niatnya besar, tapi nggak ada biaya?" kejar si anak tanpa lelah.

"Kan ada beasiswa bagi yang kurang mampu atau punya prestasi …" sang ibu terus meladeni.

"Emang cukup buat hidup? Makan, sewa kamar kost, transportasi, foto copy, atau malah kudu rental komputer?" terus tak mau henti, si anak kembali menyudutkan dengan pertanyaan.

"Ha ha … kamu ini pinter banget kalau mau ngorek sesuatu. Eh, ibu jadi curiga … jangan-jangan, kamu kepingin kuliah …" sang ibu balas menanya sambil menatap lekat wajah anaknya.

"Ah, ibu kalau ditanya ngeles aja. Coba jawab dulu, bagaimana kalau beasiswa nggak cukup untuk membiayai hidup selama kuliah?" tukas si anak sulung.

"Kan bisa nyambi kerja, Ndra … kuliah itu kan nggak seharian kayak orang kerja kantoran ...," dengan kalem, ibunya menjawab.

---

Wanita yang menjadi ibunya, adalah merupakan sosok yang luar biasa dan sangat ia kagumi serta sayangi. Betapa tidak begitu? Karena segera setelah ia kehilangan suami dan juga segala harta benda yang habis untuk membayar hutang, ibunya tidaklah lantas menjadi seorang yang patah semangat.

Indra dapat mengingat dan mengetahui hal tersebut dengan jelas. Sebab saat itu, kebetulan saja ia baru saja menyelesaikan ujian SMP. Dan yang terekam dalam benaknya, sang ibu hanyalah terlihat menjadi sedih saat harus kehilangan suami yang begitu ia cintai. Namun ia tahu pasti, wanita itu bahkan tak terlihat sedikitpun menyesali saat harus kehilangan rumah beserta isi dan kendaraan yang mereka miliki.

Dibelakang hari, barulah ibunya menuturkan pada Indra yang dianggap sudah cukup besar. Bahwa membayar hutang sang ayah yang sudah meninggal, adalah merupakan kewajiban yang ditinggalkan. Hal itu ditegaskan juga, sebagai sebuah pengertian agar arwah ayahnya bisa dibebaskan dari semua tanggungan saat berada di alam abadi.

Demikianlah adanya wanita bernama Widuri yang sangat ia sayangi sebagai ibu. Karena setelah mereka pulang ke desa dengan tanpa membawa sepotong harta berharga kecuali pakaian, iapun tak pernah menyesali apa yang telah dilakukannya. Dan bahkan, wanita tersebut masih bisa tetap bijak serta terlihat gembira membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Meskipun selama ini, mereka tak pernah merasakan kembali nikmatnya kehidupan mapan seperti jaman dahulu.

Hal itulah yang membuat si anak laki-laki menjadi begitu respect terhadap ibunya. Ia kagum dan sayang, karena wanita yang melahirkan dirinya telah begitu banyak berkorban bagi keluarganya. Dan satu hal lagi yang membuatnya semakin mencinta sang ibu, adalah tentang keluhuran budi serta sikap pantang menyerahnya dalam menghadapi beratnya kehidupan.

---

"Nah, sekarang giliran ibu yang bertanya," mendadak, ibunya langsung membalikkan keadaan.

"Tentang apa, Bu?" meskipun sudah menduga pertanyaan yang akan diajukan, Indra mencoba memasang wajah yang pura-pura tidak tahu.

"Apa benar kamu ingin kuliah setelah lulus nanti?" benar saja, pertanyaan itulah yang langsung terdengar.

"Emang bisa, kalau aku ingin kuliah?" balas Indra sambil kembali berlagak tak mengerti.

"Tentu saja bisa. Dimana ada kemauan, disitulah ada jalan …" langsung saja sang ibu menjawab dengan optimis.

"Dimanakah jalannya? Apakah aku bisa menemukannya?" tangkas, sang anak langsung saja menyahut.

"Ibu percaya jika kamu akan bisa. Karena, kamu adalah seorang anak yang cerdas dan ulet."

"Lalu, bagaimanakah jalannya? Ibu belum menjawab," si anak mengulang pertanyaannya, sepertinya ia tak puas jika belum mendapatkan sebuah fakta yang mendukung teori sang ibu.

"Lha yo tinggal niatmu saja, mau kuliah dimana?"

"Maksud ibu?"

"Kita harus berpikir realistis, Le. Tak perlu dikatakan lagi, kamu pasti tahu bagaimana keadaan orangtuamu. Apa iya, kamu kuliah terus ibu harus jual rumah kakekmu ini?" belum juga bersedia menjelaskan maksud yang tadi, sang ibu malah memutar-mutar kata.

"Itu juga aku nggak mau. Kalau rumah ini dijual, ibu dan adik mau tidur dimana? He he he …" memutuskan untuk tidak lagi tegang, Indra mencoba berbicara dengan lebih santai.

"Nah … itu kamu tahu. Nggak mungkin, to?"

"Iya, Bu … Lalu, apa yang masih bisa mungkin jika aku masih tetap pengin kuliah?"

"Kalau kuliah di luar kota yang pakai bayar uang banyak dan nyewa kamar kos, tentu saja akan berat bagi kita. Belum lagi, kamu harus beli makan dua atau tiga kali sehari … karena itulah, pemerintah juga sudah memperhatikan itu dari semenjak dulu." sang ibu mulai menjelaskan.

"Terus? Nggak bayar? Beasiswa?"

"Iya … pastilah banyak yang pernah kuliah dengan beasiswa pemerintah. Tapi ada juga, kuliah yang nggak harus nge-kos. Alias, semuanya bisa kamu lakukan dari rumah."

"Emang ada?"

"Ada, namanya Universitas Terbuka. Dan statusnya adalah Universitas Negeri. Jangan khawatir dan rendah diri, karena mahasiwa disana juga banyak yang berprestasi …" Demikian ibunya menjelaskan.

"Oh, aku malah baru kali ini dengar," sang anak menangapi.

Mengetahui jika anaknya berminat, sang ibu langsung saja menjelaskan detil terkait Universitas Terbuka yang pernah ia ketahui pada jaman dulu. Karena banyak juga temannya yang berkuliah di sana, serta juga mengukir prestasi serta karier bagus saat bekerja.

---

Tak lama berselang setelah ibunya menceritakan tentang sebuah Universitas yang tak kalah bermutu dan bisa dimanfaatkan oleh semua golongan dalam mencari ilmu, Indra nampak diam mencerna dengan penuh minat dan kesungguhan.

Melihat hal itu, langsung saja sang ibu bertanya, "kamu ingin ikut bergabung di situ, Ndra?"

Melihat betapa seriusnya Indra berpikir, sang ibu mengira jika anaknya tertarik dengan apa yang ia ceritakan radi. Namun ternyata Widuri kecele, karena si anak malah menggelengkan kepala saat ditunggu jawabnya.

"Loh, kenapa tidak? Tadi kok seperti yang serius mikir gitu. Kalau kamu kuliah di situ, pastilah bisa nyambi bekerja. Lagipula, ibu juga dapat dikit-dikit bantu kamu …" terdengar kecewa, sang ibu langsung saja mulai hendak memberi nasehat.

***

Next chapter