1 Prolog

Setiap orang memiliki kisah yang belum selesai. Tapi tidak semua dari kisah itu berujung penyesalan. Yang membuat hati tidak bisa benar-benar terbuka untuk menerima kisah baru.

Mungkin nanti, suatu hari nanti kisah lama itu akan hadir kembali. Mungkin menuntut sebuah akhir. Mungkin juga tidak. Hanya sebatas bernostalgia, dan tetap akan menjadi kisah yang selamanya menggantung.

Kenangan manis semasa SMA itu juga sama. Aku masih sering mengingatnya di kala senggang. Menghabiskan menit demi menit untuk mengenang. Memikirkannya sembari ditemani secangkir capuccino hangat. Mengingat senyumnya, suara tawanya, juga tatapannya ketika mata kami bertemu.

Entahlah. Hanya saja aku masih sering memikirkannya tanpa alasan.

Awalnya kupikir tidak masalah. Meski tidak berjodoh denganku toh pada akhirnya dia juga akan mendapatkan seseorang yang lebih pantas untuknya dan berbahagia.

Aku memilih menyimpan perasaanku hanya untuk kunikmati sendiri. Untuk kukenang di kemudian hari. Membiarkannya berjalan seiring waktu.

Jika berada di dekatnya, tentu saja aku selalu berdebar. Beberapa kali bahkan diriku seolah akan terambil alih. Aku juga terlalu sering terpesona olehnya hingga nyaris kehilangan kendali atas diriku.

Seperti orang lain, tentu aku juga ingin bisa mengatakan perasaanku. Tapi, meski berada di dekatnya, aku tetap tidak mampu mengatakannya.

Kemudian, semua kembali seperti sediakala. Hanya diam-diam dan membiarkan semua mengalir apa adanya. Dengan setulus hati aku mengharapkan kebahagiaannya. Pendamping terbaik yang pantas untuknya.

Kini, ketika semua telah berlalu dan aku merenung sekali lagi. Mungkin sebenarnya perasaanku tidak cukup kuat padanya. Atau mungkin aku yang tidak memiliki cukup keberanian. Padahal pepatah lama mengatakan, 'ketakutan adalah sementara tapi penyesalan selamanya.' Yang kemudian kusesali adalah kebodohanku.

Jika benar-benar mengharapkan kebahagiaannya, kenapa bukan aku yang membuatnya bahagia. Kenapa bukan aku yang memantaskan diri untuk menjadi pendamping terbaiknya. Kenapa aku harus mengharapkan kebahagiaannya dari seseorang yang tidak kutahu. Yang tidak kukenal. Yang mungkin saja akan membuatnya menangis.

Pada akhirnya semua pengharapanku tentang kebahagiaannya berakhir menyakitkan.

Dia tidak berbahagia di sana. Tidak dengan seorang pendamping terbaik. Dia menderita seorang diri, kesepian, dan menahan rasa sakit yang begitu dalam. Selama bertahun-tahun menangis dalam diam. Selama bertahun-tahun hanya bisa bertahan.

Aku, aku yang membiarkannya menjalani kehidupan yang menyedihkan itu.

Seandainya aku yang menjadi pendampingnya, aku tidak akan pernah membuatnya menderita. Seandainya aku yang berada di sisinya, aku tidak akan membiarkannya merasa kesepian. Seandainya itu aku, tentu tidak akan kuizinkan dia merasakan sakit dan menjalani kehidupan yang menyedihkan.

Seandainya...

Seandainya...

Tapi di dunia ini, kata seandainya tidak mampu mengubah apa pun. Tidak juga mengembalikan waktu-waktu yang telah hilang oleh rasa sakit.

--------------###

Awalnya dia mengganggu, begitu berisik. Meski seperti itu, saya tahu dia berbeda. Dia cerdas. Dia memiliki penalaran yang tajam. Dia pekerja keras.

Kelemahannya adalah dia memiliki kepekaan dan sensitivitas yang tinggi. Sebagai seseorang yang hidup di masyarakat, peka dan sensitif tentu saja bagus, tapi berbeda saat menjadi seorang polisi. Terlalu peka dan sensitif dapat mempengaruhi objektivitas sudut pandang.

Kami terlibat perdebatan dalam pembahasan yang sama beberapa kali. Saya tahu dengan kecerdasan dan penalarannya, fakta-fakta yang saya sampaikan harusnya masuk ke logikanya. Harusnya mudah dia cerna. Bodohnya, perasaan dicampur aduk dengan logika. Bodohnya lagi, dia menjadi terlalu naif.

Saya berulangkali mengatakan bahwa dia tidak cocok menjadi seorang polisi. Saya tidak tahu itu karena lukanya yang belum sepenuhnya sembuh atau karena sifatnya.

Dia selalu menolak, dia tidak terima. Dia bilang saya menilai sebelah pihak. Dia bilang penilaian saya tidak adil. Tapi yang dilakukan bukannya membuktikan bahwa saya salah, tapi terus-menerus terombang-ambing. Terus-menerus meragu.

Dia benar-benar mengecewakan.

Harusnya dia tahu potensinya, harusnya dia tahu dia bisa lebih baik.

--------------###

Saat itu aku tahu aku menyukainya. Tapi apakah aku mencintainya, aku tidak tahu. Karena pada diriku sendiri aku bahkan tidak berani mengakuinya.

Sampai hari kelulusan tiba, dia menghilang. Pergi ke tempat yang jauh untuk mengejar mimpinya.

Setelah kepergiannya, tidak satu pun orang-orang di sekelilingku yang membicarakannya. Tidak satu pun yang tahu kabarnya. Tapi aku masih sering memikirkannya tanpa alasan. Terbesit harapan untuk bisa bertemu lagi.

Aku adalah siswi pindahan kelas XI semester dua. Pertama kali menyadari keberadaannya ketika berada di kelas XII. Aku melihat dia berlari keliling lapangan saat masih jam pelajaran. Kelas kami bersebelahan. Dia di kelas IPA 3, sementara aku di IPA 2.

Ketika istirahat di kantin, aku baru tahu kalau pagi itu dia di hukum karena buku tugasnya tertinggal. Dia mengatakan kalau itu ulah kakaknya. Kalau semalam dia melihat kakaknya menyelinap masuk ke dalam kamarnya.

Setelah hari itu, aku masih sering mendengar dia bercerita tentang kakaknya. Masih sering merasa kesal karena dikerjai. Masih suka mengomel sendiri. Aku suka melihatnya yang seperti itu.

Dia anak laki-laki yang ceria meski kadang kala terlihat jauh. Tenggelam dalam dunianya sendiri.

Dia selalu dapat mengimbangi lingkungannya. Ketika berada di antara orang yang diam, dia akan lebih aktif. Ketika berada di antara teman-teman yang aktif, dia hanya akan berbicara seperlunya.

Kadang dia terlihat menonjolkan diri. Kadang kala bersembunyi. Kepribadiannya cukup rumit, tapi aku menyukainya.

"Balqis!"

Seseorang memanggilku. Jantungku berdebar keras. Aku tahu itu suaranya.

Dia tahu namaku. Dia memanggilku. Bagiku itu sesuatu yang tak terduga. Aku terkejut. Aku tidak menyangka. Aku bahagia.

"Titip LKS Caesar, ya." Dia menyodorkan sebuah LKS padaku. Aku hanya mengangguk. Aku tersenyum. "Kelasmu sudah ujian fisika? Kalau sudah, bagi dong kisi-kisinya," tambahnya.

Dia menjadi yang lebih aktif berbicara karena aku hanya diam. Lebih banyak mendengarkan dan menyahut. Lebih banyak grogi karena berada dekat dengannya. Dia terus berbicara, terus bercerita sampai kami berpisah di kelas masing-masing.

Sepanjang hari itu aku merasa bahagia. Hatiku bersorak gembira.

Hari-hari berikutnya, aku merasa kami sering bertukar pandangan. Sering bertukar senyum. Merasa saling memperhatikan. Mungkin ini sindrom kegeeran. Tapi aku menyukainya.

Meski pada akhirnya tidak ada yang pernah terjadi di antara kami, aku tetap menikmatinya. Aku tetap merasa senang. Tetap mengenangnya berkali-kali.

Aku sering berpikir, merenung, seandainya aku tidak memilih dan menikah dengan pria lain apa tragedi ini akan terjadi? Seandainya aku tidak pindah ke kota ini, apa tragedi ini tepat akan terjadi?

Tidak. Aku tetap tidak akan pernah tahu jawabannya sebanyak apa pun aku bertanya. Aku tidak tahu apa takdirku benar-benar bisa diubah.

--------------###

Saat salah seorang yang aku kenal melakukan kejahatan, rasanya jadi berbeda. Aku mungkin tetap mampu bercerita dan tertawa bersamanya, tapi rasanya tidak akan pernah sama lagi.

Sebelumnya aku tahu, aku mengenalnya. Tahu sifat, prilaku, dan segala hal tentangnya. Sebelumnya kami begitu dekat, begitu saling mempercayai. Tapi kemudian aku sadar, kenyataannya aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Tidak tahu wataknya, tidak mengerti isi hatinya.

Ah tidak, tidak!

Sebelum ini aku mengenalnya. Aku yakin aku mengenalnya. Mungkin saja dia yang telah berubah. Mungkin dia yang menjadi berbeda dari dia yang sebelumnya kukenal.

avataravatar
Next chapter