18 • Tujuh Belas.

Kini ruangan benar-benar kosong.

Al sedang berpikir untuk memesan angkutan online tapi segera ia urungkan niatnya. Sudah lama ia tidak naik angkutan umum. Terakhir kali mungkin saat SMP. Al akan berjalan kaki saja dan mengambil angkutan umum di simpang empat depan.

Al meninggalkan ruangan.

Baru berjalan 50 meter, mobil Zeroun lewat. Al berencana menyapa, tapi mobil itu hanya berlalu begitu saja. Melewati Al seolah ia adalah makhluk tak kasatmata.

"Dasar es batu!" umpat Al dengan suara yang bisa didengar orang-orang di sekelilingnya.

Tidak lama kemudian, mobil Zeroun mundur. Sampai di tempat Al, mobil berhenti dan Zeroun menurunkan kacanya. Al sempat panik, mengira Zeroun mendengar umpatannya dan kembali untuk balas dendam.

"Masuk!" kata Zeroun singkat. Ia menawari tumpangan tapi nada bicaranya lebih seperti mengeluarkan titah.

Al celingukan ke kanan dan kiri. Menunjuk dirinya sendiri dan memang dirinya yang dimaksud. Tidak ada orang lain di sekitarnya.

"Terima kasih. Saya jalan saja." Al menolak dengan sopan.

"Masuk!" kata Zeroun lagi. Masih dengan nada bicara yang sama.

Mungkin Zeroun adalah tipe orang tidak pernah ditolak, atau mungkin tidak bisa ditolak. Al menggelengkan kepalanya tanpa sadar, tidak habis pikir.

Zeroun yang masih menunggu memerhatikan. Tidak ingin dianggap berpikiran macam-macam, Al memaksakan senyumnya dan menuruti Zeroun masuk ke mobil.

Zeroun menanyakan alamat tempat Al tinggal. Al menjawab dengan lengkap. Dari RT, RW, nomor rumah, sampai setiap belokan yang akan mereka lewati. Sebenarnya Al berniat melucu dan menggoda Zeroun. Tapi yang digoda justru tidak sadar.

Benar-benar membosankan. Jangan-jangan Zeroun tidak memiliki selera humor. Apa mungkin cara mengimbangi orang yang berpikir rumit harus dengan memperumit diri juga. Mungkin jika ingin melucu Al harus menggunakan rumus fisika atau soal matematika.

Hening.

Teringat sesuatu, Zeroun membuka dasbor dan memberikan topi milik Al. "Terima kasih," katanya singkat.

Al menatap Zeroun takjub. Tidak menyangka akan mendengar kata 'terima kasih' diucapkan oleh seorang Zeroun. Al mengorek telinganya dengan jari barang kali salah dengar.

Tidak, tidak salah.

"Siapa sangka seorang Zeroun Alvaro ternyata bisa berkata 'terima kasih'." Al merasa lucu sekaligus ajaib. Ia tertawa.

"Apa yang aneh?" Zeroun menanggapi. "Jika merasa terbantu wajar berterima kasih. Kalau merasa salah wajib meminta maaf. Kalau butuh bantuan berkata 'tolong.' Itu teori dasar kehidupan. Kamu tidak tahu?"

Al semakin merasa geli mendengar penjelasan Zeroun. Bukan dirinya yang tidak tahu. Justru sebaliknya. Al mengira, Zeroun yang tidak tahu kata-kata itu. Tidak pernah diajari.

Sekarang Al mengerti satu hal lain, ternyata, orang seperti Zeroun juga melalui tingkat pelajaran teori dasar dalam hidupnya seperti dirinya, seperti anak-anak lain.

"Saya tahu, tentu saya tahu," Al menimpali. "Saya juga tahu dari semua kata dalam tatanan Bahasa Indonesia, kata apa yang paling jarang bahkan tidak pernah Anda ucapkan."

"Apa?"

"Maaf!" tebak Al. Air wajah Zeroun berubah seketika. Ia tahu Al tengah menggodanya. "Betul, 'kan?" Al menepuk kedua tangannya. Merasa menang, ia pun kembali tertawa.

Zeroun tidak menanggapi. Ia tidak berniat untuk berdebat. Tidak juga tertarik dengan pembahasan hal-hal mengenai kepribadiannya. Zeroun hanya melirik ketika Al mengenakan topinya.

Saat tawa kemenangan Al berakhir, tidak ada lagi pembicaraan yang terjadi. Hanya suara mesin mobil dan deru jalan yang mengisi kekosongan.

Untuk menceriakan suasana Al berencana memutar musik. Tapi koleksi musik Zeroun dalam flash disknya hanya ada musik klasik.

Beralih pada siaran radio. Ketika Al mendapat lagu yang bagus untuk didengar, Zeroun justru mematikannya.

"Padahal lagunya bagus," Al bergumam. "Apa setiap orang genius itu memiliki cara berpikir yang rumit, susah bergaul, jarang bicara, dan berselera unik. Apa Albert Einstein dan Pak Habibie juga begitu. Apa..."

"Cerewet!"

Satu kata dari Zeroun mampu membuat bibir Al mengatup rapat. Kalimatnya terputus.

Tidak ada yang pernah mengatai Al cerewet sebelumnya. Zeroun yang pertama. Padahal salah Zeroun sendiri terlalu pendiam. Seandainya Zeroun menanggapi kata-kata Al, ia tidak akan menjadi orang yang aktif berbicara seorang diri.

"Bukan cerewet," Al meralat. "Hanya benci hening."

Al mengubah posisi duduknya. Bersama dengan itu ekspresinya juga ikut berubah. Ia menurunkan kaca mobil sampai suara padatnya jalan memenuhi pendengaran mereka.

"Saya berinteraksi tergantung orang yang saya hadapi." Al berkata lagi. "Kalau dengan petugas lain saya juga enggak begini. Itu karena mereka menanggapi ketika saya bicara. Atau mereka menjadi yang lebih aktif membuka percakapan. Kalau hening, saya akan mudah tertidur. Jadi, kalau Anda tidak ingin saya berbicara sendiri, Anda juga harus ikut berbicara. Atau minimal memberi tanggapan."

"Harus?" Zeroun terdengar tidak suka pemakaian kata 'harus' yang Al gunakan.

Sebenarnya Al sendiri tidak mengerti. Ia ingin Zeroun menanggapi kata-katanya, tapi setiap tanggapan yang keluar dari mulut Zeroun ujung-ujungnya mereka pasti berdebat. Ujung-ujungnya pasti sakit hati. Tidak bisa berbicara dengan normal, atau pembicaraan berjalan lancar, atau pembicaraan menjadi menyenangkan. Tidak bisa pembicaraan terjadi seperti berbicara dengan orang lain.

"Kalau begitu jangan protes kalau saya mengoceh sendiri," ketus Al. "Memangnya Anda mau membangunkan saya kalau sampai tertidur?"

"Tidak perlu," jawab Zeroun. "Kita sampai."

Al memerhatikan sekelilingnya. Mobil berjalan pelan kemudian berhenti. Berhenti tepat di depan rumahnya. Ia tidak sadar kapan mobil mulai memasuki kompleks. Padahal jendela terbuka. Padahal ia baru saja melihat ke luar. Mungkin benar ia terlalu cerewet. Atau hanya terlalu kesal meladeni sifat Zeroun.

"Mau mampir dulu?" Al menawari basa-basi. Ia sudah tahu jawaban Zeroun. "Oh, tidak mau. Lagi sibuk..."

Kaca mobil yang tertutup memutus kalimat Al. Mobil melaju pergi. Berbelok keluar dari arah lain.

"Dasar pemarah!" Al mengomel. "Enggak punya selera humor!"

"Siapa?" Seseorang berbicara tepat di samping telinga Al.

Tiba-tiba mendengar seseorang menyahut, membuat Al terkejut hingga nyaris melompat. Orang di sampingnya entah sejak kapan berdiri di tempatnya. Orang itu lebih tinggi dari Al. Tubuhnya terlalu tinggi untuk ras Asia yang biasanya bertubuh mungil.

Al mengenalnya, tentu saja. Belah tengah adalah ciri khas untuk rambutnya yang tebal. Yusuf Poldi, kakak laki-lakinya.

"Kakak ngapain?"

"Kakak ngapain?!" ulang Yusuf sengit. "Memangnya pertanyaan seperti itu pantas?!"

Al menanggapi dengan tertawa. Ia terlalu terkejut melihat kedatangan kakaknya yang tiba-tiba. Sama sekali tidak ada pesan atau telepon. Tidak ada pemberitahuan apa pun. Al memerhatikan kakaknya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Selain ransel di punggung, juga ada koper yang ditarik tangan kiri.

"Jangan-jangan Kakak diusir Kakak Ipar," tebak Al asal. Ia tertawa lagi.

"Hush, jangan ngomong sembarangan!" Yusuf memukul punggung adiknya. "Cepat buka pintu. Sudah pegal ini."

"Siap!" Al memberi hormat ala petugas polisi.

"Eh, tunggu dulu!" Yusuf menarik ransel Al ketika adiknya akan mendahului langkahnya. "Nih, bawakan juga kopernya!" tambahnya memberi titah.

"Baik, Ndoro." Al menerima koper dari kakaknya dengan punggung membungkuk.

Keduanya berjalan menuju ke arah rumah yang berjarak lima langkah bak Pangeran dan Pengawalnya.

Yusuf membusungkan dadanya, mengangkat dagunya, dan berjalan dengan gagah. Sementara Al berjalan dengan tubuh sedikit membungkuk dan tatapannya hanya tertuju pada tanah yang diinjaknya. Ia berjalan perlahan di belakang kakaknya.

Di rumah Yusuf adalah pria yang humoris, jahil, dan tidak pernah serius sama sekali. Jika kakak lain di luar sana bertugas menjaga dan membantu adiknya, Yusuf tidak. Yang ia tahu hanya menjahili Al.

Salah satu dari beberapa kejahilan Yusuf yang terparah adalah ketika membantu Al yang berada di kelas 5 Sekolah Dasar mengerjakan PR. Sama sekali tidak membantu sebenarnya. Yusuf sengaja memberi tahu jawaban yang salah. Bahkan jawaban Al yang sebelumnya benar pun disesatkan.

Alhasil, ketika guru mengoreksi jawaban PR Al, ia mendapat nilai nol. Al juga ditegur wali kelasnya. Karena tugas rumah harusnya Al bisa mendapat nilai yang lebih baik, nyatanya tidak. Seolah dikerjakan dengan asal, sama sekali tidak belajar. Al diceramahi panjang lebar.

Sesampainya di rumah, Al menangis sembari melempar bukunya. Ia melapor pada ayah dan ibu. Al juga bersumpah tidak akan pernah lagi meminta Yusuf untuk membantunya mengerjakan tugas.

Bagi Yusuf berbuat jahil adalah menyenangkan. Hanya ia yang membuat batasan untuk dirinya dan menentukan kapan boleh berhenti. Ayah sudah berulang kali menghukumnya karena kesalahan yang sama. Ibu juga sudah terlalu sering mengomel, mengingatkan Yusuf agar berhenti mempermainkan adiknya. Berharap anak mereka akan jera. Hari ini berhenti, tapi keesokan harinya ia akan mulai lagi, membuat Al marah-marah lagi, dan menangis lagi.

Perbuatan Yusuf yang paling parah lainnya adalah saat ulang tahun Al. Yusuf mematikan semua lampu dan memakai topeng badut. Dari balik lemari, Yusuf sudah melihat Al bersembunyi di bawah meja.

Yusuf berpura-pura mencari. Berpura-pura tidak tahu di mana Al bersembunyi. Dengan perlahan ia mendekati meja, mengejutkan Al, dan mencengkeram kerah bajunya.

Reaksi Al benar-benar berbeda dari biasanya. Yusuf pun sampai terkejut. Al berteriak-teriak histeris. Berkali-kali mengucapkan kata 'maaf' dan menangis. Badannya gemetar ketakutan. Ketika ayah menyalakan lampu dan ibu berusaha menenangkan, Al jatuh pingsan.

Hari itu menjadi hari kejahilan Yusuf yang paling ia sesali. Bahkan sampai sekarang. Ayah kembali menghukumnya. Pulang-pergi sekolah dengan berjalan kaki. Yusuf juga tidak beri uang jajan, hanya ada bekal yang dibuatkan ibu. Hukuman berlangsung selama seminggu.

Begitu masa hukuman selesai, Yusuf kembali pada kejahilannya. Tidak juga jera. Masih terus menjahili dan mengganggu Al. Bedanya, hanya tidak lagi dengan cara mematikan lampu dan menakut-nakuti.

Hari itu Yusuf baru mengetahui di mana letak luka adiknya. Ia berjanji pada dirinya untuk tidak menyentuh titik sensitif itu lagi.

"Jadi berapa hari rencananya Kakak menginap?" Al masuk ke kamar yang sudah kosong sejak orang tua mereka pindah. Yusuf sedang mengeluarkan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari.

"Selamanya," jawab Yusuf sesukanya.

"Oh, sudah pisah ranjang," celetuk Al yang kembali dipukul oleh kakaknya. Bukannya mengeluh sakit, Al justru tertawa.

Pertama kali mengetahui keputusan kakaknya untuk menikah, Al sangat terkejut. Seseorang yang begitu kekanakan, masih suka main-main, jahil, dan tidak pernah serius, bagaimana mungkin siap untuk menikah. Bagaimana mungkin memiliki tanggung jawab. Al sempat khawatir. Bahkan cenderung menolak. Mungkin jauh di dasar hatinya ia tidak ingin kehilangan. Tidak juga ingin membagi kakaknya.

Sama halnya ketika Yusuf mendapat promosi dan naik pangkat. Bagaimana cara seseorang yang tidak pernah serius bisa sampai ke posisi itu. Al terus berpikir. Kemudian ia menyadari sesuatu.

Yusuf Poldi ketika berada di sekolah, ketika menjadi suami, ketika bekerja, bukan Yusuf yang Al kenal di rumah. Tidak ada tingkah jahil, tidak sifat kekanakan, juga bukan seorang penganggu. Sama sekali berbeda. Tidak ada Yusuf yang seperti itu yang dikenal teman, rekan kerja, bahkan istrinya.

Kemudian Al menjadi lebih mengerti. Semua sifat dan bagaimana Yusuf memperlakukannya selama ini adalah caranya melakukan tugas sebagai seorang kakak. Jika Yusuf tidak memperlakukan Al dengan cara itu, mungkin Al yang berdiri hari ini adalah dirinya yang berbeda.

"Oh iya, kemarin reuninya bagaimana?" tanya Yusuf. "Si Ketua kelas bagaimana? Siapa namanya? Balqis, ya. Oh iya dia sudah nikah, 'kan? Suaminya ganteng, tapi tetap saja kalah ganteng dari aku. Apa mereka sudah punya anak? Kamu kapan nyusul?" Yusuf berbicara sendiri. Memuji dirinya sendiri.

Melihat tingkah kakaknya, Al jadi ingat komentar Zeroun yang mengatainya cerewet. Mungkin kesan yang Zeroun tangkap sama seperti yang ia tangkap ketika melihat kakaknya asyik berbicara sendiri. Berisik sendiri. Nada bertanya tapi sebenarnya hanya menggoda.

Sikap Al yang seperti itu sudah pasti ditularkan oleh kakaknya. Pasti!

"Jadi bagaimana dengan Ketua Kelas?" tanya Yusuf lagi.

"Kenapa dengan Balqis?" dalih Al balik bertanya.

"Masih pura-pura. Satu sekolah juga tahu kalau kamu suka curi-curi pandang. Tapi, ya dasar mental tempe. Sampai sudah jadi punya orang tetap enggak bisa apa-apa," goda Yusuf. "Sepertinya kamu perlu kuturunkan satu ilmu yang bisa buat kamu jadi lebih laki."

Yah, seperti itulah kakaknya. Di balik sikapnya yang tidak pernah serius, ia bisa menyadari banyak hal. Bahkan yang tidak pernah Al ceritakan sekalipun.

"Kakak memang serba tahu, ya," puji Al sungguh-sungguh. "Aku aja yang terlambat tahu kalau ternyata Kakak berisik dan menyebalkan itu demi kebaikanku."

"Omong apa, sih!" tukas Yusuf. "Nih tangkap!" tambahnya melemparkan gantungan baju pada Al. "Lanjutkan, ya Baginda Raja mau mandi dulu."

Yusuf mengambil handuk yang sudah ia keluarkan, juga peralatan mandi dalam tas kecil. Yusuf keluar dari kamar.

"Kak," panggil Al. Langkah Yusuf terhenti. "Terima kasih," katanya tulus.

Yusuf tidak membalas. Ia hanya menanggapi seolah-olah kata 'terima kasih' yang baru Al ucapkan membuatnya geli. Ia sampai bergidik. Bulu romanya meremang dan perutnya mulas.

Yusuf kembali melangkah. Ia tersenyum lega melihat perbedaan Al yang sekarang. Tidak peduli apa yang terjadi di masa lalu, tidak peduli darah siapa yang mengalir dalam tubuh Al, mereka tetaplah saudara. Al tetap satu-satunya adiknya.

avataravatar
Next chapter