35 • Tiga Puluh Empat.

Balqis merasa tidak aman setiap kali menatap Zeroun. Setiap nada bicara yang terucap dari pria itu memang tidak enak didengar, tapi bukan itu alasannya. Balqis tahu.

Walau kehadiran Zeroun membuat perasaan tidak nyaman, Balqis tetap berusaha melebarkan senyumnya. Tetap bersikap ramah. Senyum adalah topeng terbaik. Melebihi segala topeng. Itu sudah terbukti.

Selama ini sebanyak apa pun Balqis menangis, menahan rasa sakit, merasa marah, tidak satu pun orang yang tahu perasaannya. Ia hanya perlu tersenyum. Hanya perlu bersikap ramah. Banyak orang bahkan terus menatapnya dengan iri. Terus membual dan menghitung kemewahan yang dimilikinya. Bersedia dengan apa pun menukarkan semua yang Balqis miliki dengan kehidupannya.

Jika bisa, selama ini Balqis-lah yang ingin menukarkan kehidupannya bersama Huda dengan kehidupan biasanya yang dulu.

"Sebelumnya saya meminta maaf jika kalimat saya nanti akan menyakiti Anda." Zeroun berkata lagi.

Balqis mengangguk, Zahra mulai tenang, Nanda menyimak.

"Anda tahu kenapa kami bisa yakin dengan cepat bahwa Nurul bukan pelakunya meski Nurul sudah mengaku?"

Balqis menggeleng. Zahra mulai menyimak, Nanda masih menyimak.

"Nurul bilang, dia memukul kepala korban sampai meninggal. Kenyataannya menurut hasil otopsi, korban meninggal karena Asfiksia. Sebab terbenam," jelas Zeroun. "Jadi, bagaimana bisa orang itu disebut pembunuh kalau dia tidak tahu bagaimana dia membunuh korbannya?"

Balqis tidak langsung menjawab. Ia menatap Zeroun. Caranya menatap kini berbeda. Tidak seperti Balqis. Tidak ada keramahan, tidak ada kelembutan. Hanya keangkuhan.

"Saya tidak mengerti apa hubungannya itu dengan saya."

Bahkan nada bicaranya juga terdengar angkuh. Senyum di bibirnya pudar, kemudian menghilang sama sekali.

"Anda tahu pasti kenapa Nurul memilih mengaku sebagai pembunuhnya dan mengungkapkannya di depan media." Zeroun mulai menyerang.

"Saya tidak mengerti!" elak Balqis.

Zeroun tersenyum. Ia mengubah posisi duduknya. "Dua tahun lalu, setelah segala cara diupayakan dan Anda tetap tidak dapat terlepas dari korban, Anda mulai menyusun rencana. Anda mulai mencari bidak yang..."

"Nurul bukan bidak!" Balqis memutus dengan marah.

Zahra dan Nanda terkejut. Al juga terkejut.

"... yang mau mengorbankan dirinya." Zeroun yang tidak begitu peduli tetap melanjutkan. "Anda melakukan banyak hal. Membantu keluarga Nurul, memperlakukannya dengan baik, membantunya bermimpi, juga memberikan dukungan. Sayangnya itu bukan demi dia. Semua kebaikan Anda adalah demi Anda sendiri. Agar saat Anda memerlukan seseorang untuk berkorban, dia tidak akan ragu."

Zahra tersenyum sinis. "Omong kosong!" desisnya.

Zeroun tersenyum lagi. "Jangan khawatir!" tambahnya. Ia mengangkat tangannya. Tidak memberi kesempatan Zahra untuk menginterupsi atau melontarkan omelannya yang berisik. "Nurul bukan satu-satunya yang dimanipulasi di sini. Pemeran pendukung juga dibutuhkan. Orang-orang yang setia dan mau berdiri paling depan untuk membela Anda." Mata Zeroun mengarah pada Zahra dan Nanda.

"Aku membela Balqis atas kemauanku sendiri. Apanya yang dimanipulasi?" Zahra tertawa. "Berlaku sama untuk Nurul. Dia membunuh Huda juga atas pilihannya sendiri. Enggak ada hubungannya dengan Balqis!"

"Kalau begitu renungkan ini." Zeroun menatap kesal pada Zahra. Kesal untuk sifat naifnya. "Siapa yang paling mengenal sifat kalian? Siapa yang mengusulkan reuni? Siapa yang bekerja paling keras? Siapa yang memperhatikan tanda-tanda tapi terus menyembunyikan? Siapa yang sifatnya paling berubah akhir-akhir ini? Siapa yang paling sering tiba-tiba menghilang? Siapa yang datang tapi membuat dirinya terasa jauh?"

"Itu enggak ada hubungannya!" bantah Zahra.

"Hubungannya adalah menumbuhkan rasa bersalah!" Tegas Zeroun. "'Kami berteman dekat tapi tidak tahu apa-apa', 'seandainya kita tahu lebih awal, dia tidak akan menderita seperti ini. Seandainya kita sedikit lebih peduli, seandai ini, seandainya itu.'"

"Apa menurut Anda saya tipe yang seperti itu?" Balqis bertanya dengan maksud yang tidak mudah dimengerti.

"Menurut saya itu tidak penting." Zeroun menatap datar. "Azhar Huda Pradipto memanipulasi orang lain dengan menyembunyikan sifat-sifat buruknya. Anda memanipulasi orang lain dengan memberikan kebaikan. Menurut Anda di antara kalian berdua siapa yang lebih buruk?"

Balqis balas menatap Zeroun. Sekarang ia tahu kenapa sejak awal ia merasa tidak aman dengan kehadiran pria itu.

"Sekarang pertanyaannya, kenapa harus begitu lama?" Zeroun melanjutkan. "Seharusnya satu tahun cukup. Selain berhasil memanipulasi orang lain, sepertinya Anda juga telah berhasil memanipulasi diri sendiri. Karena saat mengeksekusi rencana-rencana Anda, Anda tidak ingin ada perasaan bersalah."

"Balqis, kamu hanya perlu bilang kalau semua itu enggak benar dan enggak akan ada yang percaya omongannya," Zahra menanggapi. Masih menatap tajam Zeroun seolah menantang. "Toh selain omongan kosong, dia enggak punya bukti."

Nanda mengangguk setuju.

"Memanipulasi adalah kejahatan paling mendekati sempurna. Nyaris tanpa bukti. Karena jika tidak ada yang mengaku, hipotesis ini akan benar-benar menjadi omongan kosong," Al menimpali.

"Al, kamu percaya omong kosongnya?" Kali ini Nanda yang menginterupsi. Pertanyaan yang ia ajukan lebih seperti ingin mendengar alasannya.

"Tentu saja!" Zahra yang menjawab. "Mereka satu paket. Sama-sama polisi. Sama-sama hobi mencurigai dan menyerang Balqis."

Bola mata Al bergerak dari Nanda, Zahra, kemudian Balqis. Ia ingin tahu apa Balqis juga berpikiran sama dengan Zahra. Melihat wanita itu, kini membuatnya sakit. Balqis balik menatap, seolah memohon, mengharapkan dukungan.

'Apa ini juga manipulasi?'

Ketika berpikir seperti itu Al merasa sulit bernafas. Sulit menatap wajah Balqis. Al mengalihkan pandangnya, mengumpulkan keteguhan hatinya.

Saling tidak bertemu dan saling tidak melihat jauh lebih mudah, dibanding harus kembali dan bertemu dalam situasi seberengsek ini.

"Ketika mengumpulkan informasi mengenai Nurul," Al melanjutkan kata-katanya dan kembali menatap Balqis "Saya menemukan jeda yang cukup lama sebelum Anda memberi jawaban kepada agen penyalur. Setelah diperiksa, saya kemudian tahu kalau Anda... menyelidiki latar belakang Nurul," jelas Al.

"Apa itu bukti?" Nanda benar-benar bertanya. "Sebagai seseorang yang memperkerjakan, wajar Balqis mencari tahu seperti apa orang yang akan dia pekerjakan."

"Apa kalian enggak merasa kalian terlalu memaksakan pendapat dan kecurigaan kalian?" Zahra merasa kasihan.

"Kenapa kalian bodoh sekali!" Zeroun geram.

Al menahan Zeroun. "Dari hampir 50 orang yang direkomendasikan, dengan berbagai pengalaman, dan usia, Balqis menolak semuanya. Yang dia butuhkan adalah gadis polos, yang memiliki masalah, yang membutuhkan perhatian, yang bisa diberikan mimpi."

Al menyerang Balqis tapi dirinya yang tersakiti. Kali ini Al yang menatap Balqis dengan tatapan memohon. Al ingin ini segera berakhir. Ia tidak sanggup menyakiti Balqis lebih dari ini.

Balqis mengalihkan pandangnya. Tatapannya juga tersakiti.

Zahra menyeringai. "Siapa Rasyid Aldebaran? Seberapa dekat dengan Balqis? Setelah sekian lama menghilang dan baru kembali, seandainya dia yang berada di posisi Balqis aku juga pasti akan percaya kalau dia pelakunya."

"Kalian benar-benar mempercayai Balqis? Benar tidak terbesit keraguan sedikit pun?" Zeroun kembali bersuara. Bertanya pada Zahra dan Nanda.

"Kenapa? Kamu ingin mengacaukan Balqis? Ingin mengadu domba kami?" Zahra balik bertanya.

Zeroun tersenyum. Senyum yang hanya ia sendiri yang mengerti maknanya. "Karena secara teori tidak ada manusia yang bisa mempercayai manusia lain sepenuhnya. Kadang kala mereka berdiri paling depan, berbicara paling banyak, bukan karena mereka percaya. Mereka hanya meyakini pendapat mereka sendiri tentang orang itu. Tidak rela keyakinannya dianggap salah."

"Halu!" cibir Zahra.

"Mau dengar sesuatu yang lebih Halu? Mengenai rekonstruksi pembunuhan Azhar Huda Pradipto?"

Tidak seorang pun menanggapi pertanyaan Zeroun. Zeroun sendiri tidak berencana menunggu jawaban untuk memulai.

"Pagi itu Huda tidak terbunuh pukul 06.30-07.00. Jauh sebelum itu. Huda bahkan sama sekali belum berencana untuk mandi. Tapi, Balqis, Anda-lah yang berencana mandi." Zeroun memulai. "Ketika akan mandi kalian berdua bertengkar. Bahkan mungkin pertengkaran itu sendiri adalah bagian dari rencana. Karena yang Huda pukul adalah wajah. Memukul wajah di luar kebiasaannya. Artinya Huda kehilangan kendali saat itu. Artinya lagi, seseorang sengaja membuatnya marah."

Al diam-diam masih memandangi Balqis. Sama seperti dulu. Tapi tidak dengan kondisinya. Memandangi wanita itu harusnya masih menyenangkan, tapi kini tidak lagi.

"Menurut kesaksian Bu Ruri, sewaktu dia pulang dari pasar, Balqis masih mengenakan piama dan rambut terurai. Itu bukan hal yang biasa karena Balqis selalu turun ke dapur dengan pakaian dan penampilan rapi setiap harinya." Al menambahkan. Mata semua orang terarah padanya ketika ia berbicara.

"Kesaksian Bu Ruri membuat saya yakin Huda tidak terbunuh pada pukul setengah tujuh. Rambut sengaja diurai untuk menyembunyikan bekas pukulan Huda dari Bu Ruri. Piama yang belum diganti adalah bukti Anda tidak sempat mandi pagi itu." Zeroun semakin yakin dengan apa yang ia ucapkan.

Seandainya dulu Al mengambil satu langkah untuk lebih dekat dengan Balqis apa yang akan terjadi hari ini, pada jam ini, dan detik ini. Akankah mereka bisa tertawa bersama atau tetap berdiri berseberangan seperti ini.

Sewaktu Al tahu Balqis akan menikah, dengan tulus ia mendoakan kebahagiaannya. Benar-benar tulus. Kini, hati Al tidak lagi berada pada tempatnya. Ia hanya bisa mengepalkan genggamannya erat-erat. Berharap ada penyesalan bisa ia hancur leburkan di sana.

"Bu Ruri sedang ke pasar saat Anda membunuh Huda. Hanya Anda dan Nurul yang berada di rumah. Nurul melihat tubuh Tuannya di dalam bathtub dengan kepala dan shower berlumuran darah. Dia tidak melihat setelah Anda memukul kepala Huda, Anda membenamkannya ke dalam air sehingga Nurul salah memperkirakan."

Zeroun mengambil jeda. Ia memerhatikan reaksi Balqis dan dua temannya. Balqis masih tidak bereaksi. Masih memasang topeng ketenangan. Zahra masih menatap tajam dengan ekspresi menantang. Nanda, keraguan terlihat mulai menyergap ke dalam hatinya. Ia mencengkeram erat baju Zahra.

"Bagaimana seseorang bisa membangun alibi, mengacaukan waktu kematian, dan mempersiapkan banyak hal dalam waktu singkat jika pembunuhan yang terjadi tidak direncanakan?"

Zeroun bertanya bukan untuk mendapatkan jawaban. Ia hanya ingin mengajak orang yang masih meragukan pemikirannya agar berpikir.

"Kalau begitu bagaimana dengan suara Huda yang didengar Balqis, Nurul, Bu Ruri? Bagaimana dengan suara sesuatu pecah yang Nurul dengar?" Zahra berusaha mematahkan argumen-argumen Zeroun.

"Pertanyaan bagus. Akhirnya setelah berulang kali mengatakan sesuatu yang tidak berguna, ada juga yang berbobot," sindir Zeroun.

Zahra sudah berdesis, siap membalas Zeroun dengan caci maki yang sudah ia siapkan. Lagi-lagi Nanda menarik bajunya. Menahannya, dan memaksanya diam. Akhirnya ia hanya bisa melotot. Hanya bisa mengumpat dalam hati.

"Pagi ini saya memikirkannya dan mendapatkan jawabannya." Zeroun tersenyum penuh kemenangan. "Saya menemukan sebuah rekaman di ponsel Nurul tertanggal 27 April sekitar satu setengah tahun lalu. Di sana terekam suara Huda, makiannya, juga teriakan memanggil nama Balqis. Rekaman itu awalnya akan dipublikasikan. Tapi karena Nurul tidak bisa membayangkan hukum yang akan diterima Nyonyanya dan konsekuensi yang akan ia terima karena melanggar kontrak, Nurul pun mengurungkan niatnya."

"Apa itu betul? Anda mendapatkannya dalam ponsel Nurul?" Al bertanya memburu.

"Kamu tidak percaya?" Zeroun menyikut Al. "Terserah! Tanyakan sendiri nanti pada Kapten."

"Padahal saya hanya bertanya." Suara Al terdengar seperti sedang menggerutu.

"Untuk botol pecah yang Nurul dengar, kami sudah mengkonfirmasi kebenarannya. Nurul tidak mendengarkan dari ruangan kerja. Nurul mendengar langsung di TKP karena dia-lah yang memecahkan botol sabunnya. Ia butuh sesuatu untuk mendukung kesaksiannya, untuk mengacaukan waktu kematian ketika polisi bertanya." Zeroun menjawab semua bantahan Zahra.

"Dipikir berkali-kali juga tetap enggak masuk akal." Zahra masih pada pendapatnya. "Balqis, kamu hanya perlu bilang dua kata dan kita bisa langsung mengusir mereka."

Hening. Semua orang menunggu jawaban Balqis. Menunggu keputusannya.

"Bukan saya," ucap Balqis.

Zahra dan Nanda menghela nafas lega. Balqis telah mengatakan dua kata yang paling ingin mereka dengar. Berbanding terbalik dengan Al dan Zeroun yang terlihat terkejut.

Orang yang paling ingin Balqis manipulasi lebih dari siapa pun adalah dirinya sendiri. Ia kecewa karena ternyata Al tidak mempercayainya. Tidak berada di pihaknya untuk membelanya. Tapi ia juga sedih karena Zahra dan Nanda terus membelanya. Terus berada di pihaknya. Terus membohongi kedua sahabatnya.

Ini sungguh melelahkan. Berpura-pura tenang, menjadi dingin, tidak peduli, dan menyakiti semua orang. Bebannya tidak kunjung berkurang meski ia telah menyangkal. Dukanya juga tidak, meski ia memiliki Zahra dan Nanda di pihaknya. Kenapa ia tidak bisa merasa lega seperti Nanda. Atau tersenyum penuh kemenangan seperti Zahra.

"Anda benar-benar memilih untuk tidak mengakuinya?" Zeroun tidak ingin percaya.

Ketika akhirnya Balqis menghela nafas dan mengangkat wajahnya, ia terlihat begitu kelelahan. Ringkih. Seperti tidak lagi mampu mengangkat beban yang dengan paksa diletakkan di pundaknya. Semua topeng telah ia tanggalkan.

"Apa aku memiliki pilihan lain?" Balqis berbicara dengan suara yang begitu sulit ia keluarkan.

"Balqis..." Nanda sangat terkejut. Kalimat seperti itu harusnya tidak perlu Balqis ucapkan setelah berkata bukan dia yang membunuh Huda.

Zahra juga terkejut. Lehernya mendadak kaku. Ia perlu waktu lama untuk bisa menghadap Balqis. Untuk bisa melihat reaksinya. Untuk tahu kata-kata itu serius atau hanya main-main.

Al tidak terkejut tapi terluka. Pengakuan Balqis tidak membuatnya merasa lega. Tidak sama sekali. Tidak juga meredakan tanya dan keinginan tahuannya, tapi lebih pada menghancurkan hatinya. Ia telah menetapkan hati tapi tetap merasa terluka. Ia telah tahu kebenarannya tapi tetap merasa dikhianati.

"Kalau aku tidak mengasihani diriku sendiri, siapa yang akan mengasihaniku?" Balqis menatap mata orang-orang yang tidak bisa menerima jawabannya. Satu per satu. "Hah?"

"Apa benar-benar enggak ada yang berubah kalau bertahan sedikit lagi? Apa benar-benar enggak ada pilihan? Benarkah enggak ada jalan keluar lain?!" Al menghardik. Membuat semua orang terkejut. Seolah ia satu-satunya yang marah. Seolah ia satu-satunya yang dikhianati.

Senyum Balqis bias.

"Al, apa kamu pikir dia hanya memukulku 12 kali dan aku langsung berpikir ingin membunuhnya? Bahkan setelah aku berpikir untuk membunuh dia masih tetap melakukannya. Setelah aku merencanakannya, perlakuannya juga tidak berubah. Selama itu aku terus bersabar. Berpikir dia akan berubah. Berusaha dengan cara baik-baik untuk berpisah. Selama itu aku terus menahan diri. Berharap seseorang akan datang menolongku. Sampai kemudian terbesit, kalau aku tidak mati di tangannya, aku pasti akan mati di tanganku sendiri."

Mata Balqis berkaca-kaca. Tatapannya pada Al dipenuhi kesedihan dan ketidak berdayaannya. Air matanya sudah akan tumpah, tapi Balqis mengalihkan pandangnya ke langit-langit. Menelan ludahnya. Ia tidak berharap dimengerti. Tidak juga sanggup menahan amarah dan kekecewaan semua orang.

"Aku sudah kembali. Harusnya kamu meminta tolong padaku." Suara Al berubah lembut. "Bukannya kita sudah bahas saat reuni. Bukannya kamu sudah janji." Al benar-benar merasa kecewa. Tidak tahu apa yang bisa dilakukannya untuk menampung kekecewaan yang telanjur menggunung.

Air mata Balqis akhirnya menetes.

Al benar. Kenapa hari itu Al sama sekali tidak ada dalam pikirannya. Kenapa Balqis bisa sama sekali tidak ingat janji mereka. Kenapa ia bisa melakukannya padahal dua hari sebelumnya ia dipenuhi keraguan. Padahal ia sempat berpikir untuk berhenti.

"Selama 4 tahun lebih dia merengut kebahagiaanmu. Sekarang, meski dia sudah pergi perasaan bahagiamu tetap enggak akan kembali. Hari-hari penuh lukamu tetap enggak bisa dipulihkan. Justru kebebasanmu hilang. Apa itu setimpal?" Al kembali bertanya.

Balqis tidak menanggapi satu pun kalimat Al. Kini ia bahkan tidak sanggup menatap pria itu.

"Apa itu artinya kamu juga mengakui telah memanipulasi kami?" Masih belum bisa percaya, tidak ingin percaya, Zahra bertanya.

Balqis mengangguk. "Aku memanipulasi Nurul agar bersedia berkorban untukku. Aku juga memerlukan pemeran pendukung karena tidak mungkin mengalahkan kepopuleran yang Huda bangun bertahun-tahun. Aku memerlukan orang-orang yang mau membelaku saat aku tidak mampu membela diriku sendiri. Peran itu cocok untuk kalian berdua."

"Balqis!"

Zahra mengangkat tangannya hendak memukul Balqis, Nanda menahannya. Air mata Nanda sudah tumpah sejak pertama kali Balqis mengakui perbuatannya.

"Kamu selalu berdiri seperti itu. Memberi jarak. Enggak pernah benar-benar mempercayai orang lain. Enggak pernah benar-benar mau menceritakan perasaanmu. Enggak mau terbuka. Selalu berusaha menyelesaikan semuanya sendiri. Menanggung semuanya sendiri." Nanda berbicara di sela-sela isak tangisnya. "Apa kamu tahu kesedihan dan penyesalan kami selama beberapa hari ini?"

Hening.

"Terima kasih sudah membelaku selama beberapa hari ini," ucap Balqis. Dibanding kata maaf, ia lebih memilih ucapan terima kasih.

Suara tangis Nanda semakin keras. Air matanya tumpah semakin deras.

"Kita bahkan sudah membuat janji ke gym bareng," Nanda berkata lagi, menangis lagi.

Benar. Mereka sudah membuat janji pergi ke gym bersama di malam Zahra dan Nanda menginap. Tapi malam itu Balqis tahu hari ini akan terjadi. Ia tahu mereka mungkin tidak akan pernah bisa pergi ke gym bersama. Balqis tetap menyetujuinya meski tahu hari itu tidak akan pernah terjadi.

"Huda memanipulasi orang-orang agar memujanya. Anda membencinya tapi menggunakan cara yang sama yang dia gunakan. Tidakkah Anda berpikir Anda akan menjadi seperti orang yang Anda benci?" Kali ini Zeroun yang berbicara.

"Aku tahu. Terlalu membenci seseorang membuat kita tanpa sadar menjadi seperti orang itu. Iya, 'kan?" Balqis tersenyum bias lagi. "Karena itu saya akan menyerahkan diri. Saya enggak ingin menjadi seperti dia." Balqis mengulurkan kedua tangannya.

Zeroun menyerahkan bagian penangkapan pada Al.

"Terima kasih telah mengirimiku pesan singkat setiap hari." Balqis berkata ketika Al memborgol tangannya. "Pesan-pesan itu memberiku kekuatan untuk bisa menghadapi hari ini."

Al menatap Balqis. Ia ingin mengatakan banyak hal. Bahwa ia mengerti perasaan seseorang yang menjadi korban kekerasan. Bahwa ia juga mengalaminya. Namun Al berpikir lagi.

Apa posisinya saat itu sama dengan posisi Balqis? Apa ketika ada seseorang yang memberinya pisau saat ayahnya memukul, ia tidak akan membalas?

Al tidak tahu. Tidak yakin.

Akhirnya Al mengurungkan niatnya. Ia tidak mengatakan apa pun. Hanya diam dan membuang muka. Hatinya dibanjiri luka.

Sebelum mereka membawa Balqis, Zeroun memberi kabar pada Kapten Lukman. Memberikan rincian situasi secara singkat dan mengatakan bagian mereka telah selesai.

"Satu pertanyaan terakhir," kata Zeroun sebelum mereka masuk ke dalam mobil. "Apa Anda sendiri yang membenamkan korban ke dalam air?"

"Iya."

"Benar Anda?" Zeroun bertanya lagi, memastikan.

Kali ini Balqis tidak dengan cepat menjawab. Ia Mengingat lagi, memikirkannya kembali. Muncul keraguan. Kemudian menjawab pertanyaan Zeroun hanya dengan anggukan kepala.

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

"Balqis sudah mengakui perbuatannya." Kapten Lukman menutup panggil dan berbicara pada Nurul.

"Perbuatan apa?" Nurul mengerutkan keningnya.

"Memukul kepala Azhar Huda Pradipto dan membunuhnya. Balqis juga mengaku sudah merencanakan pembunuhan dalam waktu lama," jelas Kapten Lukman.

"Bohong!" Nurul tersenyum sinis. "Saya pelakunya. Saya yang membunuh Bapak. Saya yang membunuh Azhar Huda Pradipto. Kalian pasti menyudutkan Ibu. Kalian melakukan hal-hal yang enggak menyenangkan agar Ibu mengakui perbuatan yang enggak dia lakukan." Nurul terlihat marah.

"Bagaimana bisa kamu pelakunya sementara kamu sendiri tidak tahu kalau korban dibunuh dengan cara dibenamkan, bukannya dipukul." Kapten Lukman tetap tenang menghadapi emosi Nurul yang mulai meledak-ledak.

Nurul mengerutkan keningnya lagi. "Salah, salah. Pasti ada yang salah. Ini pasti salah!" Nurul tampak seperti orang linglung. Ia merancau, berbicara sendiri.

"Apa kamu tahu," Kapten Lukman berbicara lagi. "Balqis sudah merencanakan membunuh suaminya sejak dua tahun lalu. Dia memilihmu. Memanfaatkan kepolosanmu dan kebaikan hatinya. Dia melakukan banyak hal untuk menarik simpatimu. Untuk membuatmu rela berkorban dan mau berdiri di tempatnya."

Mereka beradu pandangan.

Kapten Lukman dan Nurul berada dalam ruang interogasi. Kapten Lukman menceritakan bagaimana Balqis memilih Nurul, bagaimana Balqis bisa tahu permasalahan utang yang menjerat keluarganya. Bagaimana bantuan-bantuan yang Balqis berikan. Bagaimana perhatiannya. Bagaimana semua sudah dikalkulasi. Agar saat Balqis meminta semuanya kembali, Nurul tahu bagaimana harus membayar lunas.

Nurul terdiam. Keningnya berkerut semakin dalam. Alisnya terangkat. Ia menatap Kapten Lukman lama. Terdiam lama. Terkejut. Tidak percaya. Hatinya mungkin hancur. Mungkin terluka. Merasa dikhianati.

Nurul masih mendengarkan setiap kata yang Kapten Lukman ucapkan. Masih menyimak ceritanya. Tapi perhatian Nurul tidak lagi bisa fokus. Suara Kapten Lukman kadang terdengar begitu jauh, kadang putus-putus. Ia seperti tidak lagi berpijak pada bumi. Kepalanya tidak mampu berpikir. Hatinya begitu penuh. Begitu berantakan.

"Nurul, Nurul! Kamu masih mendengar saya? Kamu baik-baik saja?"

Tatapan Nurul yang semula terlihat jauh, kembali pada tempatnya. Nurul mengangkat pandangnya. Kembali menatap Kapten Lukman. Ada yang berbeda dari tatapan gadis polos itu. Ada tekad di sana. Ada keputusan yang telah ia buat.

"Bapak pikir Ibu melakukan itu karena Ibu jahat?" Nurul menjawab pertanyaan yang ia ajukan pada Kapten Lukman dengan menggelengkan kepalanya. "Karena Ibu enggak punya pilihan." Nurul menyodorkan tangannya. "Saya pelakunya. Saya yang sudah membunuh Azhar Huda Pradipto."

Kulit di bawah mata Kapten Lukman tertarik. Nurul benar-benar bagian yang tak terduga.

avataravatar
Next chapter