4 • Ketiga.

Zeroun Alvaro, 27 tahun. Tinggi 185 cm. Berpotongan rambut pendek disisir ke belakang. Penampilannya selalu bersih dan rapi. Dari ujung rambut, sampai ujung sepatu pantofelnya yang senantiasa mengkilap.

Zeroun tidak suka keramaian. Tidak suka berkelompok. Tidak suka bicara basa-basi. Tidak suka diganggu.

Dengan banyak hal yang tidak disukainya, wajar ia dikenal dengan sikapnya yang aneh. Sebagai individu yang anti sosial.

Bukannya Zeroun tidak tahu orang-orang sering menceritakan sikapnya di belakang. Tentang si genius yang aneh. Yang anti sosial. Yang kaku. Yang tidak tahu cara bergaul. Yang mungkin lebih tahu cara berbicara dan nyaman bersama mayat dibanding rekannya sendiri. Juga tentang betapa menyebalkan sikap tidak ingin diganggunya. Zeroun tahu semuanya. Ia tahu, hanya saja tidak peduli.

"Hanya karena dia genius kita harus mentolerir sikapnya yang menyebalkan," komentar petugas yang lain.

Banyak petugas yang mengeluh mengenai sikap Zeroun yang suka menyimpan informasi sendiri. Tidak boleh bertanya. Tidak boleh diganggu sampai dia sendiri yang datang dan menyampaikan informasi itu.

Mereka bisa saja menunggu, tapi kasus tidak. Keluarga dan korban juga tidak. Ada banyak yang perlu diselesaikan. Mereka membutuhkan penjelasan dan kepastian segera.

Zeroun memang tidak menahan informasi berlarut-larut. Tidak juga selama berhari-hari. Ia hanya perlu memastikan informasi yang diberikannya benar dan tidak menyesatkan penyelidikan. Ia butuh waktu untuk menyusun semua dugaan dan hasil pemeriksaan mayat menjadi utuh.

Zeroun tidak pernah menjelaskan alasannya dan hal itu membuat orang lain berpikir buruk tentangnya.

Bagi siapa pun yang ingin mengkritik, Zeroun selalu membuka diri. Juga bagi siapa pun yang tidak menyukainya, ia selalu mempersilakan untuk mengeluh pada atasan. Tapi ia tidak berjanji untuk mengubah dirinya. Baginya semua hal yang ia lakukan memiliki alasan, dan tidak perlu alasan-alasan itu diumbar pada orang lain.

Meski banyak yang tidak menyukainya, benci pada sikap menyebalkannya, tapi tidak ada yang pernah dengan berani mengkritik langsung di depannya. Tidak juga benar-benar pernah mengeluhkan sikapnya pada atasan.

Disadari atau tidak, suka atau tidak, Zeroun memiliki karisma sebagai seseorang yang disegani. Sehingga, meski banyak hal yang dikeluhkan mengenai sikap Zeroun, ia tetap seseorang yang dihormati.

Mungkin semacam pengaruh bawah sadar atas kegeniusannya.

Selain bersih, rapi, dan disiplin, ciri khas lain yang membuat Zeroun mudah dikenali oleh rekan-rekan sesama petugas adalah penampilannya yang selalu sama. Monoton. Kemeja putih dan celana kain formal.

Dalam lemari pakaian Zeroun tidak akan ditemui lebih dari 5 jenis warna, dan dari ke semuanya, warna yang paling mendominasi adalah putih. Baju formal berwarna putih, baju harian berwarna putih, bahkan piama tidurnya juga berwarna putih. Orang lain mungkin akan curiga Zeroun memiliki kecenderungan khusus terhadap warna putih.

Di antara koleksi pakaian Zeroun yang berwarna putih, ada 10 kemeja putih yang identik. Yang menjadi seragam wajibnya pergi bekerja.

Seperti kata Al, tidak akan ada yang tahu jika dalam seminggu Zeroun sama sekali tidak pernah mengganti pakaiannya.

Dalam ruangannya, Zeroun sedang berjalan mondar-mandir. Gelisah menunggu izin.

Hari sudah semakin sore, namun tanda-tanda kedatangan seseorang yang mengaku keluarga atau mengenal korban masih belum terlihat. Zeroun mengusulkan pada Kapten agar segera dilakukan otopsi.

Ada banyak tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban dan unsur-unsur tindak pidana jelas terpenuhi. Al yang berdiri di belakang Zeroun, ikut meyakinkan.

Begitu izin turun, Zeroun bersama seorang asistennya, Noni, yang berasal dari unit Inafis, mempersiapkan segala keperluan otopsi. Sebelum otopsi dimulai, Noni mengambil kamera dan menggantungkannya di leher.

Zeroun suka bekerja sama dengan Noni. Gadis itu tidak banyak bertanya, tidak mengganggu, dan tidak sok tahu. Bekerja dengan Noni, Zeroun bisa tetap menemukan ketenangan yang dibutuhkannya saat bekerja.

Noni sendiri telah banyak belajar. Ia tahu watak Zeroun dan bagaimana harus bersikap jika bekerja dengannya. Terutama karena ia memiliki banyak stok kesabaran dan tidak pantang menangis.

Pintu terbuka ketika Zeroun mulai mengangkat pisaunya. Seorang berdiri di sana dengan senyum sok akrab yang dipaksakan. Rasyid Aldebaran.

Sebelum satu kata keluar dari mulut Zeroun atau pisau bedah melayang ke arahnya, Al bicara cepat dengan bahasa isyarat seadanya. Ia membentuk tanda X dengan jari di depan mulutnya. Kemudian menunjuk-nunjuk lantai.

'Saya tidak akan mengganggu selama di dalam. Tidak akan berbicara satu patah kata pun.'

"Anak itu pasti diutus lagi untuk membawa laporan secepatnya," Zeroun membatin. Ia tidak menanggapi Al dan kembali pada pisau bedahnya.

Selama tidak ada kata 'tidak,' Al tahu itu artinya tidak masalah. Noni tersenyum menyambut Al dan mempersilakannya menunggu di sudut ruangan.

Al sendiri merasa lega. Dengan sikap seorang pria dewasa yang masih suka melempar barang ketika mengamuk, siapa yang tahu suasana hati Zeroun saat ini.

Lima belas menit pertama setelah proses otopsi dimulai, Al mondar-mandir tidak tenang. Meski sedang berdiri membelakangi Al, Zeroun tetap saja merasa terganggu. Noni yang tanggap langsung menyuruh Al agar diam, tenang.

Al melipat tangan depan wajahnya, memohon maaf, dan duduk kembali di tempatnya dengan tenang.

Lima belas menit selanjutnya, Al memang tidak sedang mondar-mandir. Ia tetap duduk di tempatnya. Duduk, tapi dengan ujung sepatu dientak-entakkannya ke lantai.

Zeroun menghela nafas, kemudian meletakkan pisaunya dengan kasar. "Keluar!" titahnya kesal.

"Apa?" Al memasang wajah polos tak berdosa. Tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Tidak mengerti kesalahan fatal apa yang baru diperbuatnya.

Zeroun tidak berbicara dua kali. Ia hanya menunjuk Al dan pintu sebagai isyarat.

Al melirik pada Noni penuh tanya. Noni bukanlah orang yang mengusir, tapi menjadi orang yang merasa tidak enak. Terlebih melihat ekpresi bayi-tanpa-dosa di wajah Al. Noni menarik sudut bibirnya menjadi senyum yang dipaksakan. Ia mengantarkan Al dengan ramah dan membukakan pintu untuknya.

"Lain kali jangan mengeluarkan suara untuk apa pun. Bahkan untuk bernapas pun wajib berhati-hati," bisik Noni memberi saran.

"Saya turut berduka untukmu kalau begitu," Al bersimpati dengan tulus pada Noni.

Noni mengangguk-anggukan kepalanya dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat, kemudian menutup pintu.

Awalnya memang berat bekerja dengan Zeroun. Ada banyak aturan tidak tertulis dan tidak terkatakan yang harus Noni patuhi.

Zeroun mudah tidak senang pada banyak hal. Menuntut kesempurnaan lebih pada hal lain. Sering menyuruhnya keluar di tengah otopsi karena melakukan keteledoran atau kesalahan kecil. Ketika berulang kali kena tegur dan sudah tidak kuat lagi, Noni akan menangis sembunyi-sembunyi.

Ketenangan adalah kunci terpenting dalam menghadapi Zeroun yang penuntut.

Meski merasa sangat terzalimi hingga nyaris menyerah, Noni tetap bertahan. Alasannya adalah karisma Zeroun sebagai seseorang yang disegani.

Sama seperti orang lain. Meski banyak yang tidak disukai dari sifat-sifat Zeroun, karismanya tetap tidak hilang. Noni bisa belajar banyak hal. Mendapat banyak pengetahuan.

Mampu bertahan bekerja dengan Zeroun juga menumbuhkan kepercayaan diri Noni.

Keseriusan Zeroun, ketelitian, kehati-hatian, kerja keras, juga kegeniusannya adalah bagian lain dari sifat Zeroun yang Noni kagumi. Mustahil bisa menemukan seseorang yang menyebalkan sekaligus dikagumi di saat yang bersamaan. Tapi dalam diri Zeroun, kedua hal itu bisa didapatkan.

Pada saat melakukan otopsi, Zeroun seperti tidak berpijak pada dunia yang sama yang orang lain pijak. Ia tenggelam dalam dunianya sendiri. Serius sekaligus menikmati pekerjaannya.

Tetap ada interaksi yang dilakukan dengan Noni. Memintanya mengambilkan pisau ini, peralatan itu, juga memfokuskan gambar di bagian lainnya. Mengomentari beberapa mekanisme yang tidak seharusnya. Menyebutkan keanehan-keanehan yang dicurigai. Hanya, semua kata dan perintah yang keluar dari mulut Zeroun seperti untuk dirinya sendiri.

Meski sudah dua setengah tahun bekerja sebagai asisten Zeroun, Noni masih saja sering terpukau dengan cara Zeroun bekerja.

Banyak teman-teman Noni yang ia tahu bersimpati padanya. Menjadi asisten Zeroun adalah pekerjaan paling melelahkan karena harus menghadapi banyak tekanan.

Benar. Bahkan sampai hari ini tekanan itu tetap ada. Hanya bedanya, Noni tahu tekanan itu dibuat agar ia lebih berhati-hati, lebih teliti, dan tidak lagi serampangan. Perlahan, ia pun bisa menikmati pekerjaannya.

Setelah otopsi selesai, Zeroun memberikan beberapa instruksi pada Noni dan memintanya memeriksa sesuatu di bawah mikroskop.

Sebenarnya Zeroun sudah memiliki prediksi mengenai hasil apa yang akan muncul. Hanya saja, ia tetap membutuhkan hasil laboratorium sebagai bukti.

Begitu Noni kembali dengan hasil lab. dugaan Zeroun telah memiliki nilai bukti sebagai dasarnya. Al diizinkan kembali masuk.

"Siapa namamu?" tanya Zeroun begitu Al berdiri di depannya.

"Rasyid Aldebaran," jawab Al. Matanya sedikit memerah dengan wajah lesu. Tampaknya ia baru saja tertidur.

"Oke Rasyid..."

"Panggil saja saya Al," Al menginterupsi.

Zeroun memberi jeda sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya. Menatap Al. Mungkin tengah mempertimbangkan memanggil Al dengan nama apa.

"Rasyid," Zeroun tetap memanggil Al seperti sebelumnya. Al terlihat tidak puas karena sarannya tidak diterima, tapi tidak berkomentar. "Kamu ke ruang sketsa. Ambil sketsa wajah korban yang telah selesai. Kita tidak bisa berharap banyak mengenai kedatangan keluarga korban untuk identifikasi, jadi kita akan mencari mereka."

Al mengangguk mengerti dan segera pergi menjalankan tugas.

avataravatar
Next chapter