7 • Enam.

Rasyid Aldebaran dan Zeroun Alvaro, keduanya berdiri di depan pintu dengan siaga. Suara tangis Bu Nur masih terdengar. Merasuk sampai ke dalam jiwa keduanya. Meski telah berkali-kali berada dalam posisi yang sama, mereka tetap tidak akan pernah bisa terbiasa. Sebab, kehilangan untuk selamanya adalah sebuah duka yang paling menyakitkan dibanding apa pun di dunia ini.

"Si Ibu bukan pelaku kekerasan," kata Zeroun lebih kepada dirinya sendiri.

"Cara kejahatan dijalankan, tempat mayat ditemukan, juga tidak menggambarkan bisa dilakukan oleh Ibu korban dengan kondisi fisiknya yang terbatas." Al ikut menyahut.

Tidak peduli Zeroun berbicara padanya atau tidak, Al juga ingin mengucapkan apa yang ada di pikirannya. Ia bersandar di dinding, melipat tangan di depan dadanya.

"Mustahil orang yang tidak bisa melihat membawa mayat korban ke tempat seperti itu. Seharusnya pelakunya memang benar orang ketiga," tambah Al dengan wajah merenung.

Jari telunjuk Al bergerak-gerak di bawah bibirnya tanpa ia sadari. Kebiasaan ketika sedang berpikir. Zeroun mengamati. Sebelah matanya menyipit.

"Oh ya, kenapa menurut Zeroun Bu Nur bukan pelakunya?" Sepertinya sedikit terlambat untuk Al baru menanyakan alasannya pada Zeroun.

Zeroun menatap ke depan. Ke sebuah dinding putih. Ia ikut melipat tangan di depan dada.

"Secara psikologi, saat seseorang marah ia akan menggunakan apa pun yang ada di tangannya. Seketika itu juga untuk menyalurkan emosinya. Jika tidak sedang membawa apa pun, akan dilakukan dengan tangannya. Jika tidak cukup, akan menggunakan kakinya. Bagi Bu Nur yang selalu membawa tongkat bantunya kemana-mana, tongkat adalah yang paling berperan besar digunakan sebagai alat untuk melampiaskan emosinya. Berdasarkan memar di tubuh korban, sama sekali tidak terlihat luka memanjang yang disebabkan oleh pukulan tongkat. Sama sekali tidak ada." Zeroun mengulang dengan tegas kalimat terakhirnya.

"Bahkan ibunya sendiri tidak pernah memukul. Siapa lagi yang berani?" Al menanggapi.

"Apa yang kamu lihat di rumah Ibu korban?" Kali ini Zeroun yang bertanya. "Seharusnya ada petunjuk di sana."

Al mengingat sesaat sebelum menjawab. Zeroun adalah tipe yang teliti dan hobi mengoreksi orang lain. Jadi, ia tidak ingin dianggap asal memberi jawaban sebelum matang berpikir. Ia tidak ingin dikritik.

"Televisi tua, kipas angin duduk, bufet, asbak. Hanya ada sandal wanita dan anak-anak. Hanya ada satu bantal di atas tikar. Menurut keterangan Pak Bas, suami Bu Nur sudah lama meninggal. Kelihatannya mereka memang hanya tinggal berdua." Al sangat yakin dengan jawabannya. "Oh ya, apa menurut Zeroun Bu Nur seorang perokok?"

Zeroun telah mengamati dan memang selalu diam-diam mengamati setiap orang yang ia temui. Jadi ia bisa menggeleng dengan yakin sebagai jawabannya.

"Tidak ada aroma rokok. Bibirnya tidak menghitam. Kesehatannya juga terlihat begitu baik untuk seorang perokok." Menyadari jawabannya sendiri, Zeroun dan Al saling melempar pandangan. Apa yang ada di pikiran keduanya sama. Asbak.

Suara tangis sudah tidak lagi terdengar. Ada jeda cukup lama sebelum akhirnya pintu ruangan terbuka dan Bu Nur ke luar. Untuk ke sekian kalinya Zeroun dan Al saling bertukar pandangan.

"Sekarang apa yang harus saya lakukan?" tanya Bu Nur. Suaranya serak, matanya sembab, bengkak. Hidungnya memerah.

Al mendekat untuk menjelaskan. "Jika berkenan, seperti apa yang tadi disampaikan di rumah Ibu, kami akan mengajukan beberapa pertanyaan. Untuk membawa pulang jenazah Aldi, Ibu hanya perlu memberi tanda tangan di surat yang nanti akan diberikan."

Ada keraguan sesaat tapi Bu Nur tetap mengangguk. Ia tidak memiliki pilihan lain.

Dari arah lain, Kapten Lukman datang bersama seorang petugas wanita.

Kapten Lukman memperkenalkan dirinya singkat. Juga petugas wanita yang datang bersamanya. Ia juga mengulang apa yang telah Al katakan dengan menambahkan beberapa hal. Karena Bu Nur tidak menolak, Kapten Lukman mengambil alih.

Mereka beralih menuju ruangan lain. Al dan Zeroun mengekor di belakang.

Bu Nur dan petugas wanita yang bersama mereka, masuk lebih dulu ke sebuah ruangan yang tertutup. Petugas yang mendampingi Bu Nur memberi beberapa penjelasan mengenai situasinya. Bahwa tidak ada paksaan dalam tanya jawab kali ini. Meski begitu, kepolisian sangat mengharapkan kerja sama Bu Nur. Bahwa jika ia merasa tertekan atau tiba-tiba tidak enak badan, ia bebas menghentikan tanya jawab yang masih berlangsung. Kapan pun.

Sementara Bu Nur diberi waktu untuk menerima penjelasan, Kapten Lukman dan Irawan terlibat pembicaraan dengan Zeroun. Ketika Zeroun melihat ke arah Al, Al ikut dipanggil.

Kapten Lukman meminta Al menjelaskan sudut pandangnya terhadap kasus secara singkat. Setelah mendengar dan mempertimbangkan, Kapten Lukman dan Irawan masuk ke dalam ruang interogasi.

Semua anggota tim melihat bagaimana jalannya proses interogasi melalui kamera CCTV.

Saat menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan, Bu Nur terlihat gugup dan cemas. Kecemasan yang sudah ada sejak dua orang polisi mendatangi rumahnya. Ia terus ragu-ragu. Berulang kali memperbaharui jawabannya. Terlihat jelas tengah menyembunyikan sesuatu.

Menurut keterangan Bu Nur, ia mulai tidak bertemu dengan Aldi sejak siang tiga hari yang lalu. Bu Nur juga menambahkan bahwa Aldi adalah anak yang pintar sehingga tidak ada kemungkinan tersesat. Hal ini sering terjadi. Biasanya Aldi akan berkeliaran di tempat orang-orang yang pernah berbuat baik padanya.

Irawan tidak membantah. Ia bahkan tidak mengatakan informasi yang telah mereka dapat. Mengenai pengakuan Bu Nur pada Pak Bas yang mengatakan sebelum menghilang Aldi sempat berada di tempat seseorang yang Bu Nur kenal.

Setiap jawaban yang diberikan, Komandan Lukman mencatat detailnya. Bahkan, meski ia tahu itu sebuah kebohongan.

Bu Nur mengatakan bahwa ia sebatang kara. Tidak memiliki keluarga seorang pun di kota ini.

Irawan kemudian menyinggung soal teman pria. Bu Nur terdiam cukup lama. Ia kembali terlihat cemas. Kepalanya menggeleng, bibirnya tertutup rapat.

"Tidak ada?" Irawan memperjelas.

Bu Nur kembali menggeleng. "Tidak ada."

Tatapan Komandan dan Irawan saling bertemu. Mereka tahu itu bohong.

Setelah cukup mengajukan pertanyaan, Komandan Lukman dan Irawan mengatakan terima kasih atas kesediaan Bu Nur. Bu Nur mengangguk. Polwan yang bersamanya mendampingi sampai urusan Bu Nur benar-benar selesai dan ia bisa pulang ke rumah.

Kapten Lukman kembali mengumpulkan tim 1 untuk membahas kelanjutan kasus dan membagi tugas.

Adam dan Dio bertugas melacak keberadaan Aldi terakhir kali sebelum menghilang. Mereka akan memulai dari terminal seperti yang Bu Nur katakan.

Irawan bertugas mengintai Bu Nur. Barangkali dalam waktu dekat ia akan bertemu dengan seseorang yang mencurigakan.

Sementara Al, tugasnya adalah mencari tahu siapa orang yang sering mengunjungi Bu Nur. Tepatnya siapa pengguna asbak rokok yang ada di rumahnya.

Begitu tugas selesai dibagi, rapat dibubarkan. Mereka akan memulai kerja keras lagi besok. Dengan semangat baru. Fokus baru.

Noni menyapa ketika Al tengah berkemas di mejanya. Ia menyampaikan pesan Zeroun yang ingin bertemu di ruangannya.

Adam, Dio, dan Irawan saling bertukar pandangan. 'Mencurigakan'. 'Ada yang tidak beres'. Apa yang ada di benak ketiganya sama. Penuh kecurigaan dan hal-hal yang tidak baik.

Al yang selalu optimis tidak berburuk sangka seperti tiga rekannya yang lain. 'Mungkin saja Zeroun mulai merasa kalau bersosialisasi itu ternyata penting', pikir Al naif.

Al mengetuk pintu dan masuk ke ruangan Zeroun.

"Saya dengar kamu yang diberi tugas untuk mencari tahu siapa orang yang sering berkunjung ke rumah Bu Nur." Zeroun memulai setelah Al duduk.

Al mengangguk, mengiyakan.

"Karena tempat mayat ditemukan cukup jauh, pelakunya pasti menggunakan mobil untuk mengangkut mayat korban. Karena tidak ditemukan saksi di TKP sampai hari ini, ada kemungkinan pelaku adalah salah satu pemancing di tempat itu. Ia tahu betul situasi dan jam yang aman untuk membuang mayat," jelas Zeroun.

Al mengangguk mengerti. Ia masih menunggu. Menyimak petunjuk apa lagi yang akan Zeroun berikan padanya. Zeroun mengangguk. Al menaikkan sebelah alisnya. Zeroun mengangguk lagi. Sudah. Selesai. Katanya dalam isyarat.

"Sudah?" tanya Al memastikan.

"Sudah."

"Oh." Al mengangguk lagi. Ia hendak beranjak dari tempat duduknya, tapi ada sesuatu yang menahan. "Boleh saya bertanya?" Zeroun mempersilakan. "Kenapa Zeroun tidak ikut dalam rapat dan menyampaikan keterangan secara langsung?"

"Saya lebih suka berpikir sendiri. Dengan begitu tidak akan ada yang mengaburkan objektivitas pandangan saya."

"Tapi bukannya duduk bersama dan berdebat bisa membuka pikiran kita tentang kemungkinan lain," Al menimpali.

"Buang-buang waktu," kata Zeroun mengakhiri pembahasan mereka.

Al terperangah mendengar jawaban terakhir Zeroun. Ia tidak percaya sesuatu yang begitu demokratis, Zeroun sebut sebagai membuang-buang waktu.

Al menggeleng-gelengkan kepalanya dan pergi tanpa mengatakan apa pun. Ia benar-benar tidak bisa memahami isi kepala Zeroun.

Sebelum keluar dari ruangan, lampu tiba-tiba mati. Ruangan gelap gulita. Spontan Al berjongkok. Suara sakelar diketek terdengar jelas. Ingatannya mengenai kelakuan Zeroun di pantri tempo hari kembali melintas.

"Zeroun!" Suara Al meninggi.

Lampu kembali dinyalakan. Al berdiri dan menatap Zeroun dengan kesal.

"Yang kamu takutkan bukan hantu, tapi kegelapan." Zeroun berkata dengan nada menyerang.

"Saya tidak pernah bilang takut hantu." Suara Al mendadak rendah meski masih kesal. Bola matanya ia putar-putar. Tidak berani menatap Zeroun.

"Saya sudah memerhatikanmu seharian ini. Meski ketelitian dan cara berpikirmu lumayan, pendapat saya tentangmu tetap tidak berubah. Kamu masih tidak cocok menjadi polisi," tegas Zeroun.

"Apa?!" Al tidak terima dikritik sebelah pihak.

"Jika ada seseorang yang berada di tempat gelap, sepi, dan terkenal angker pada malam hari berteriak minta tolong, apa yang pertama kali akan kamu lakukan?" Zeroun bertanya sembari berjalan kembali ke kursinya.

Al tidak langsung menjawab. Ia mengambil jeda untuk berpikir, bersandar pada pintu.

"Waktu yang kamu habiskan untuk berpikir bisa membuat seseorang dalam bahaya atau bahkan kehilangan nyawa." Zeroun kemudian menghela nafas. "Seharusnya dari awal kamu tidak lulus tes masuk ke kepolisian."

"Tentu saja saya tahu jawabannya. Tapi kalau saya langsung menjawab tanpa meluangkan waktu untuk berpikir, pasti saya akan dikritik. 'Ceroboh, menjawab tanpa berpikir.'" Al meniru cara Zeroun berbicara. "Pada akhirnya saya juga akan tetap dikritik bagaimanapun saya menjawab."

"Jadi?"

Seharusnya Al langsung memberi jawaban bukannya memberi penjelasan mengenai posisinya di mata Zeroun. 10 detik. Al menghabiskan waktu Zeroun untuk menunggu selama 10 detik.

"Tentu saja saya akan langsung menolong orang yang berteriak. Seangker atau segelap..."

Zeroun memotong jawaban Al dengan menggelengkan kepalanya. "Karena tidak ingin dicap sebagai penakut lalu bertingkah ceroboh dengan mengambil keputusan tanpa berpikir," cibir Zeroun. "Seharusnya kamu melaporkan situasimu lebih dulu. Agar bantuan bisa bersiap dan segera ke TKP bila keadaan berubah menjadi darurat."

Al telah menjawab dengan ceroboh, Zeroun benar. Karena terpancing perasaan kesalnya dan tidak ingin diremehkan, ia menjawab dengan emosi. Karena tidak suka dinilai sebelah pihak, ia berpikir singkat sebelum balik melancarkan serangan.

"Oke, jawaban saya memang salah." Al mengakuinya dengan berat hati. "Tapi tetap saja Anda tidak berhak menilai orang lain dari kacamata sendiri," tambahnya membela diri.

"Tentu saya berhak. Karena kedepannya saya akan dilibatkan dalam segala kasus yang timmu tangani. Jadi saya berhak menilai bagaimana kapasitas orang-orang yang akan bekerja sama dengan saya." Zeroun menjawab dengan tenang.

Masih tidak terima, Al semakin dan semakin merasa kesal. Ditambah lagi ia tidak bisa menemukan kalimat balasan yang tepat untuk menyerang balik.

Al berdiri menyentak, "Jangan matikan lampunya sebelum saya keluar!" tambahnya memperingatkan.

Al pergi dengan kesal.

Di halaman parkir, ketiga rekan satu timnya ternyata masih menunggun. Ingin tahu bagaimana Al berakhir. Apa yang telah Zeroun lakukan.

Al menatap memelas pada Adam, Dio, dan Irawan secara bergantian. Ingin sekali ia mengungkapkan kekesalan yang mengganjal di dadanya. Tentang betapa tidak terimanya ia dengan kata-kata yang Zeroun ucapkan. Tentang tidak adilnya Zeroun memberi penilaian.

Setelah hanya menatapi ketiga rekannya, Al menghela nafas. Tidak ada cerita yang keluar dari mulutnya. Tidak ada unek-unek. Tidak juga lampiaskan kekesalan.

"Aku bilang juga apa. Kalau Zeroun minta bertemu, pasti tentang sesuatu yang buruk," celetuk Dio.

"Memang tadi kamu ada bilang begitu?" Adam balik berceletuk.

Al dan Irawan juga ingin tahu. Tidak satu pun dari mereka yang merasa mendengar Dio berbicara seperti itu.

"Enggak ada, ya?" Dio malah bertanya. Ia berpikir sesaat, mengingat-ingat. Sepertinya ia hanya mengatakannya pada dirinya sendiri. "Tapi kita bertiga tahu hal yang buruk pasti terjadi kalau berkaitan dengan Zeroun."

Adam dan Irawan mengangguk bersamaan. Mereka memang tahu pasti. Hanya Al yang terlalu optimis dan naif. Yah, itu pasti karena Al masih belum begitu mengenal sifat Zeroun.

"Sudah, sudah." Adam menepuk-nepuk bahu Al. "Ini kita bertiga rencananya mau ngopi sebentar. Penyegaran pikiran. Tinggal tunggu persetujuan kamu," tambah Adam.

"Iya. Siapa tahu mood jelekmu bisa langsung hilang. Kalau ngopi belum cukup, kita pergi ke karaoke," Dio menimpali.

"Ayo!" tambah Irawan. Ia menarik paksa Al yang masih tampak tidak bersemangat.

Sepasang mata sedang mengawasi dari atas. Zeroun. Ia hendak mengunci rapat jendelanya ketika melihat Al dan ketiga rekannya berkumpul di halaman parkir. Tatapan Zeroun masih terus mengikuti sampai keempatnya menghilang dari pandangan.

"Masih pakai cara lama?" Kapten Lukman masuk, Zeroun menutup rapat jendelanya, menguncinya. "Kalau seperti ini terus kapan kamu bisa punya teman?" tambahnya menasihati.

"Ini tempat kerja, bukan tempat untuk mencari teman," jawab Zeroun kemudian duduk di kursinya.

"Apa kamu tidak tahu sudah berapa banyak dan apa saja yang orang bicarakan di belakang tentangmu?"

"Ini tempat kerja, bukan tempat untuk mendengarkan orang bergosip," jawab Zeroun lagi.

Kapten Lukman tertawa kecil. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Watak Zeroun Alvaro, tentu saja ia mengenalnya. Ia sangat mengenalnya dan karenanya sering khawatir.

Tidak ingin melanjutkan perdebatan atau menambah nasihat yang sudah sering kali diberikan namun tidak pernah mau Zeroun dengar, Kapten Lukman memberikan sebuah laporan kasus padanya.

Melihat dari judulnya, Zeroun tahu kasus yang Kapten bawakan di luar yurisdiksi mereka. Meski demikian, Zeroun tahu mengenai kasusnya karena saat itu ia yang bertanggung jawab melakukan otopsi pada jenazah korban.

"Pihak penyidik ingin kamu datang ke persidangan sebagai saksi ahli." Kapten menyampaikan maksud kedatangannya.

Zeroun mengangguk setuju. Ini kasus setengah tahun lalu. Akhirnya persidangannya dimulai setelah sempat terjadi drama penangkapan pelaku beberapa kali.

Sebagai petugas sekaligus dokter forensik, Zeroun memang sering kali dipanggil sebagai saksi ahli. Jadi hari ini bukan yang pertama. Ia telah terbiasa.

Zeroun selalu ingat siapa orang yang tubuhnya ia bedah. Yang ia otopsi. Juga apa penyebab pemilik tubuh itu meninggal. Zeroun selalu bisa mengingatnya meski terkadang ia ingin beristirahat. Ingin setidaknya bisa sedikit terbebas dari ingatan-ingatan itu.

"Jangan pulang terlalu malam. Persiapkan sidangnya dengan baik," Kapten Lukman kembali berpesan sebelum meninggalkan ruangan Zeroun.

Zeroun memutuskan untuk tinggal 20 menit lagi. Ia memeriksa laporan yang dibawa Kapten.

Jam di dinding menunjukkan angka 18.15. Di luar, senja muncul sesaat dengan cahayanya yang keemasan. Dengan pesona matahari terbenam. Saat-saat peralihan waktu. Muncul kemudian menghilang. Cahaya matahari digantikan oleh purnama yang merangkak naik perlahan.

avataravatar
Next chapter