5 • Empat.

Begitu laporan telah sampai ke tangan Kapten Lukman, ia dan anggota tim yang bertanggung jawab segera mengadakan rapat.

Rapat dimulai dengan pemaparan Al sebagai perantara yang bertugas menyampaikan laporan.

Zeroun tidak pernah melakukannya sendiri. Biasanya ia memang menggunakan perantara dari petugas lain yang bertugas mengambil laporan untuk menggantikannya menyampaikan hasil laporan.

Al menjelaskan hasil otopsi seperti apa yang Zeroun pesankan. Bahwa di dalam tubuh korban tidak ditemukan benda-benda yang terdapat dalam air sungai, yang mungkin saja tertelan. Tanda-tanda asfiksia atau hipotermia yang biasanya terjadi pada korban yang meninggal sebab tenggelam juga tidak terlihat.

Al menjelaskan bahwa itu berarti korban jelas telah meninggal sebelum di lemparkan ke dalam sungai.

"Jadi penyebab..."

Al mengangkat tangannya tanda tidak memberi Adam izin untuk menginterupsi.

Adam melotot pada Al, tidak menyangka sebagai anak baru, Iwata akan berani bereaksi menyebalkan. Adam mendengus kesal, sementara Dio menertawakan.

"Maaf, tapi pesan Zeroun 'jangan biarkan ada yang memotong kalimatmu sebelum penjelasan selesai'." Al yang merasa tidak enak, meminta Adam memakluminya.

Kembali pada penjelasannya, Al menyebutkan ada tanda-tanda kekerasan yang diterima korban berdasarkan memar yang terdapat di beberapa bagian tubuh. Dari banyak memar, terdapat satu yang fatal.

Sebuah memar yang dipastikan tidak ada hubungannya dengan memar yang yang diterima setelah tubuh tenggelam. Memar di bagian perut. Bentuk memar terlihat mirip sebuah tendangan.

Tendangan menyebabkan limpa korban pecah. Yang akhirnya disimpulkan sebagai penyebab kematian korban.

Hening sesaat. Al telah selesai menyampaikan hasil laporan. Kapten Lukman mengambil alih. Ia menepuk-nepukkan tangannya. Meminta perhatian.

"Mulai besok kita akan fokus mencari tahu identitas korban. kita akan mengungkap sketsa wajah korban dengan bantuan media. Hanya dengan mengetahui identitasnya kita bisa berada lebih dekat dengan pelakunya." Suara Kapten Lukman yang tegas, menunjukkan wibawanya sebagai pemimpin tim. "Karena ada kemungkinan pelaku kekerasan adalah pelaku pembunuhan, yang berarti orang tua atau wali korban juga patut kita perhitungkan."

"Saat anak-anak kesakitan, bukannya orang tua yang paling terluka? Kenapa orang tua korban justru dicurigai sebagai pelaku?" Dio menanggapi. "Bagaimana dengan kemungkinan korban berkelahi dengan anak lain yang lebih besar?"

"Seberapa besar anak-anak lain itu untuk mampu menendang dengan begitu kuat hingga limpa korban pecah? Seberapa besar anak-anak lain yang kamu maksud mampu dengan tenang memikirkan cara membuang mayat korban ke sungai untuk menghilangkan jejak?" Zeroun yang entah sejak kapan telah berdiri di depan pintu, menanggapi.

Dio ingin membalas, tapi Zeroun tidak membiarkannya mengeluarkan suara. Zeroun masih melanjutkan.

"Melibatkan perasaan dalam membuat hipotesis sama sekali tidak masuk akal dan tidak bisa dipercaya. Kalau memang orang tua korban tidak boleh dicurigai, kenapa selama tiga hari ini tidak ada laporan anak hilang? Kenapa setelah berita mengenai mayat seorang anak tanpa identitas disiarkan tidak ada orang tua yang datang mengidentifikasi?" Zeroun mendelik pada Dio. Tatapannya mengintimidasi. "Kamu tahu berapa banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menjadikan anak mereka sebagai korbannya? Jumlahnya masih yang terbanyak dibanding kasus bullying."

Tidak ada kalimat balasan. Dio mendadak kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa menelan ludah sembari menunduk.

"Mungkin," Al angkat bicara, "Kita juga harus berpikir dari sudut pandang yang berbeda. Bahwa ada kemungkinan orang lain selain keluarga yang bisa menjadi tersangka," kata Al.

Dio mengangguk-anggukkan kepalanya. Senang ada orang lain yang bisa menangkap maksudnya dengan benar.

"Atas dasar apa?" Zeroun menatap Al tajam.

"Atas..." Al ragu, tapi berusaha mengatakannya dengan penuh percaya diri. "Atas dasar semua yang kita bahas masih berupa kemungkinan. Jadi, jika ada satu kemungkinan, pasti ada kemungkinan lain."

Zeroun masih tetap menatap Al. Tidak segera menepis jawabannya.

Karena tidak ingin dianggap lancang, Al lantas membungkam mulutnya dan memaksakan senyum bersahabat. Tidak ada rencana untuk mendebat. Apalagi menantang. Hanya karena telanjur berkata-kata dan ditanya, tentu saja Al harus menjawab.

"Saya tidak ingat pernah membuat kesimpulan orang tua atau wali korban adalah mutlak pelaku. Seingat saya, seperti yang Kapten Lukman katakan, mereka patut dicurigai. Tanda-tanda yang terlihat mengatakan seperti itu." Zeroun akhirnya kembali bersuara.

Benar. Zeroun memang tidak pernah mengatakan orang tua korban mutlak adalah pelaku. Al dan Dio saling bertukar pandangan kemudian membungkam. Menelan kembali kata-kata mereka.

"Oke, oke." Kapten Lukman kembali menepuk-nepukkan tangannya yang besar dan kasar karena masa remajanya yang berat. "Kita akan segera tahu siapa yang patut dicurigai dan siapa tersangka sebenarnya setelah kasus selesai. Jadi untuk itu kalian harus terus bekerja keras. Cukup untuk hari ini. Kalian sudah bisa bubar."

Kapten mengakhiri.

Tepat setelah kata 'bubar', lampu dalam ruangan padam. Ruangan gelap meski tidak gulita. Ini baru pukul 18.05. Senja baru akan mulai muncul dan sisa-sisa mentari masih menyelinap di antara dinding-dinding dan masuk melalui celah-celah kecil, membias di balik kaca.

Tim dan unit dari ruangan lain telah meninggalkan kantor sejak satu jam sebelumnya. Tim Al menjadi yang terakhir karena mereka harus membahas kelanjutan kasus dan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Walau tidak gulita, jika ada cahaya lain yang muncul ketika pintu ruang rapat terbuka, tetap saja akan menjadi pemandangan yang mencolok. Apalagi jika cahaya berasal dari empat batang lilin yang dijajar.

Sebuah lagu ulang tahun terdengar bersamaan dengan munculnya seorang wanita. Ia mengenakan gaun panjang dan kerudung yang menutupi kepala dan rambutnya. Tubuhnya tinggi dan masih tetap ramping meski telah melahirkan dua orang bocah yang lucu-lucu. Nadira dan Naufal. Keduanya berada di sisi kanan dan kirinya. Ikut mengiringi langkah ibunya yang mendorong kereta makan berisi black forest. Kedua bocah ikut menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan nada yang saling kejar-mengejar.

Nadira dan Naufal segera memeluk Kapten Lukman. Wajah sang ayah tampak tersipu di bawah temaramnya cahaya lilin.

Kapten Lukman yang semula adalah seorang polisi yang tegas dan disiplin, menjelma menjadi seorang kepala rumah tangga yang penyayang dan penuh kasih.

Suasana yang semula serius karena membahas kasus, berubah 360 derajat. Berubah menjadi romantisme kasih sayang dalam keluarga. Kapten menciumi satu per satu putra dan putrinya kemudian menggendong keduanya bersamaan.

Kapten juga berbisik lembut di telinga istrinya. Mengucapkan terima kasih dan mengatakan keterharuannya.

Seperti terhipnotis, para penonton yang masih berada dalam ruangan hanya diam membisu. Menikmati. Tidak ingin merusak suasana. Zeroun bahkan menggeleng-gelengkan kepalanya ketika sadar ikut terbawa perasaan.

Begitu lilin ditiup dan keluarga kecil Kapten Lukman saling berpelukan, Zeroun dan yang lainnya bertepuk tangan. Kue akan dipotong untuk dibagi-bagikan, tapi istri Kapten yang memang terkenal ceroboh melupakan pisaunya.

"Biar Al saja yang ambilkan." Adam menyalakan lampu dan merekomendasikan Al. "Loh!" Al yang dimaksud mendadak tidak terlihat.

"Bukannya tadi dia masih..."

"Al, kamu sedang apa?" Adam yang menemukan Al tepat di bawah meja bertanya.

Tangan Al yang pertama kali terlihat diacungkan ke udara. Perlahan ia keluar dengan melebarkan cengirannya, malu-malu. "Tadi sepertinya ada yang jatuh," katanya memberi alasan.

"Apa yang jatuh?" Dio bertanya. Yang lainnya ikut ingin tahu.

Al mengangkat kedua bahunya bersamaan. Tidak yakin. Tatapannya kemudian bertemu pandang dengan tatapan menyelidiki Zeroun, yang segera Al alihkan seolah tidak melihat tatapan itu.

"Pisau." Irawan memberi kode.

"Pisau? Ah, iya. Biar saya ambilkan," kata Al dan dengan segera ia berlalu.

Tatapan Zeroun masih terus mengikuti gerak-gerik Al. Hidungnya mengendus sesuatu yang mencurigakan. Bahkan setelah Al meninggalkan ruangan dan akhirnya tidak lagi terlihat, tatapannya masih berakhir pada ujung pintu ke luar.

"Ah, ternyata pisaunya ada di sini!" Istri Kapten Lukman berseru ketika menemukan pisau kue yang terselip di antara kotak kue dan tumpukan piring-piring kecil.

Kue mulai dipotong tanpa menunggu Al kembali. Ketika kue yang telah dipotong diedarkan untuk dibagi-bagi, ada dua piring yang kehilangan pemiliknya. Satu piring jelas milik Al. Sementara satu lagi...

"Kemana Zeroun?" Adam bertanya entah pada siapa.

avataravatar
Next chapter