3 • Dua

Al dan Irawan kembali ke kantor paling akhir dibanding dua rekannya yang lain.

"Ke mana yang lain?" tanya Al entah pada siapa.

Meja Adam dan Dio kosong, padahal sebelumnya mereka mengatakan akan kembali lebih dulu.

Kapten terlihat duduk nyaman di tempatnya, tapi keberadaan Adam dan Dio masih belum terjawab. Al menoleh ke arah Irawan yang ditanggapi hanya dengan mengangkat kedua bahunya.

"Al! Sstt…" Suara Adam terdengar dari lantai dua.

Pertanyaan Al terjawab sudah.

Lantai dua adalah ruangan untuk unit Inafis, kamar otopsi, laboratorium kecil, ruang data, dan ruang arsip.

Al dan Irawan menyusul. Dio juga telah berada di lantai dua. Al memerhatikan Adam dan Dio yang hanya berdiri saja di depan kamar otopsi.

Mungkin sedang menunggu hasilnya ke luar, pikir Al.

Al ikut berdiri menunggu seperti yang lain. Setelah 5 menit, ia melirik jam di tangannya. Petugas forensik hanya melakukan pemeriksaan bagian luar tubuh korban karena belum ada izin otopsi. Harusnya tidak memakan waktu terlalu lama. Harusnya sudah selesai jika dikerjakan sejak tadi.

"Belum ada informasi baru?" Al bertanya memastikan.

Dio menjawab dengan menggeleng lemas. Tapi sesaat kemudian, tatapannya berubah antusias.

Seolah baru saja mendapat ide, Adam dan Dio saling bertukar pandangan sebagai isyarat. Adam mengangguk mengerti.

Adam menggeser tempat Dio yang berada tepat di samping Al. Adam mengaitkan lengannya di leher Al dan membawanya sedikit menjauh.

"Begini," Adam mulai berbicara "Kapten mendesak kita agar bisa mengumpulkan informasi secepatnya. Sayangnya sampai sekarang si Informan masih belum juga keluar dari kamar otopsi."

"Informan?" Al bertanya tidak mengerti. Ia menoleh pada Irawan.

"Zeroun," jawab Irawan.

"Zeroun?" Al masih tidak tahu siapa yang dimaksud.

Adam menghela nafas frustrasi.

Dio ikut merapat bersama Al dan Adam. "Itu, yang tadi berpapasan dengan kita waktu di TKP. Yang di antara alisnya selalu ada garis vertikal." Dio mencontohkan dengan membentuk kerutan di antara alisnya.

"Ooh..." Al akhirnya paham siapa orang yang dimaksud. "Petugas yang selalu pakai kemeja putih sama persis itu? Yang selama seminggu pernah diganti atau enggak, enggak ada yang tahu."

Adam, Dio, dan Irawan tersenyum geli. Mereka tidak menyangka kalau Al juga memiliki sisi yang suka berbicara dengan cara yang kurang lebih sama dengan Dio.

Sebagai petugas yang baru dipindah tugaskan, wajar jika Al tidak segera tahu siapa yang Adam maksud. Zeroun tidak suka keramaian. Tidak membaur dengan rekan yang lain. Ia juga tidak pernah berlama-lama berada di TKP sehingga jarang bertemu petugas penyedik lain.

Zeroun adalah satu-satunya polisi forensik yang dimiliki markas. Meski tidak pernah berlama-lama di TKP, ia sering kembali lagi untuk memeriksa informasi yang diterimanya. Analisa dan penalarannya terkait kasus selalu dijadikan patokan. Kontribusinya dalam memecahkan kasus juga sudah tidak terhitung. Karenanya wajar kedudukannya kemudian menjadi penting.

Orang-orang menjuluki Zeroun si genius yang aneh karena sifat anti sosialnya. Ia tidak banyak bicara. Suaranya seperti emas yang terlalu berharga untuk dikeluarkan.

"Dia akan bicara panjang lebar hanya untuk dua situasi." Dio mengangkat jari tengah dan telunjuknya. "Membahas kasus dan berteori."

Adam dan Irawan mengangguk bersamaan.

"Bagaimana, masih berani masuk?" tantang Adam.

Tidak mengerti situasi macam apa yang menahan Adam dan Dio menunda mengerjakan perintah Kapten, Al mengangguk yakin. Jika hanya karena sifat yang aneh dan anti sosial, apa yang harus ditakutkan. Al hanya akan mengambil hasil laporan, bukan orangnya. Harusnya tidak akan sulit dan tidak semenakutkan itu.

Al melirik jam di pergelangan tangannya. "Ini sudah 4 jam. Seharusnya sudah cukup untuk mulai menulis laporan," gumamnya.

Dengan langkah yang ringan dan wajah polos bak malaikat penolong, Al mendekat menuju kamar otopsi. Ketika akan mengetuk pintu, Irawan yang tidak tega menarik Al dan kembali menjauh dari pintu.

"Masih belum mengerti kenapa dia dijuluki aneh?" Irawan berbisik-bisik.

Bukannya langsung menjawab, Al justru menatap ketiga rekannya bergantian. Baginya 'aneh' memiliki makna yang berbeda. Relatif, tergantung siapa yang berpersepsi.

Seperti dirinya. Ia suka menyimpan barang sembarangan, tipe berantakan. Tapi begitu pagi tiba, tidak peduli sesibuk dan seburu-buru apa pun, Al akan selalu memiliki waktu untuk membereskan kekacauan yang diperbuatnya.

Bagi kakak Al hal itu adalah kebiasaan. Tapi bagi teman-teman yang lain, "Oke itu kebiasaan, tapi kebiasaan aneh."

"Zeroun tipe yang tidak suka diganggu. Tidak boleh! Apalagi kalau sedang berpikir," tegas Irawan. "Atau dia akan mengamuk dan melemparkan benda-benda ke arahmu."

Setengah tidak percaya, setengah merasa lucu, Al kembali menatap dua rekannya yang lainnya bergantian. Berniat mengkonfirmasi informasi yang ia terima.

Tidak masuk akal! Bagaimana bisa pria seumur Zeroun masih melemparkan barang-barang ketika mengamuk.

"Dia memang genius." Dio menambahkan dengan nada mengingatkan. "Dan karena genius kita harus memaklumi sifat aneh dan anti sosialnya. Harus berhati-hati jika berada di dekatnya."

Adam dan Irawan kembali mengangguk bersamaan. Setuju.

Dio merasa lega telah mengatakan kalimat terakhirnya sebagai sebuah peringatan. Al membuat kerutan dalam di keningnya. Semakin banyak ia dengar, semakin tidak masuk akal ia rasa.

"Enggak percaya, 'kan?" Adam menimpali. "Coba saja," tambahnya.

Irawan sebagai satu-satunya yang belum setuju mengirim Al sebagai tumbal, mendelik ke arah Adam.

"Jangan khawatir! Pengalaman adalah guru terbaik yang bisa membuat seseorang langsung mengerti seketika itu juga." Adam menutup kalimat bijaknya dengan senyum jahil.

"Oke, informasi tambahan, 'kan? Enggak masalah, serahkan saja pada ahlinya." Al berkata jemawa.

Dengan sikap Al yang penuh percaya diri, tidak ada lagi alasan bagi Irawan untuk menahan.

Al memulai dengan mengetuk pintu.

Hening.

Adam, Dio, dan Irawan menahan nafas. Mengetuk lagi untuk yang kedua kalinya dan masih tidak ada tanggapan. Karena pintu tidak dikunci, Al memaksa membukanya.

"Permisi, saya..."

Mendadak Al kembali menutup pintu dan sesuatu dengan keras terdengar menghantam dinding. Cukup keras untuk bisa membuat sebuah benjolan jika mengenai keningnya, atau bahkan mendapat cedera gegar otak ringan.

Al menghela nafas. Lega berhasil selamat.

Sudah menduga apa yang akan terjadi, Adam dan Dio cekikikan serempak. Pertama, menertawakan ekspresi keterkejutan Al. Kedua, menertawakan kesombongan dari kata-kata sebelumnya.

Adam dan Dio tertawa puas, sementara Irawan hanya menahan senyum. Mereka bahkan sengaja memilih berdiri sedikit lebih jauh dari Al agar tidak sampai ikut menjadi sasaran jika lemparan meleset.

Tidak terima menjadi bahan tertawaan, Al mencoba lagi. Kali ini tidak dengan mengetuk pintu. Atau langsung menerobos masuk tanpa perhitungan. Al berpikir sesaat, menghitung. Mencocokkannya dengan jam di pergelangan tangannya. Setelah cukup, Al menarik nafas dan kembali masuk.

Ketiga rekannya menunggu. Barangkali Al akan keluar secepat ia masuk.

Hening. Tidak ada yang terjadi.

Adam, Dio, dan Irawan saling bertukar pandangan kemudian mendekat ke arah pintu. Masing-masing dari mereka menempelkan sebelah telinganya.

Sesuatu yang menabrak dinding kembali terdengar. Terdengar lagi, satu, dua. Tidak menabrak dinding melainkan jatuh ke lantai.

Mendadak hening kembali. Suara langkah kaki kemudian terdengar mendekat. Adam, Dio, dan Irawan menjauh dari pintu.

Ketika pintu terbuka, Al keluar dengan ekspresi datar. Ada noda hitam yang melekat di dekat matanya. Bukan lebam, karena yang baru saja melayang ke pelipisnya adalah penghapus papan putih plastik.

Sebelum kembali akan ditertawai, Al lebih dulu mengeluarkan kertas yang disembunyikan di balik punggungnya.

"Taraaaaa~" Al berseru girang, penuh rasa puas, dan bangga.

Ketiganya mendekat. Mereka merapat. "Wow!"

Mereka berseru kompak. Mengapresiasi keberhasilan Al dalam menjalankan misi. Adam menepuk bahu Al bangga. Dio mengacungkan kedua jempolnya. Irawan bertepuk tangan tanpa henti.

Al menyerahkan kertas yang dibawanya pada Adam dengan dada membusung.

Kali ini Al bisa berhasil karena ia telah memperhitungkan beberapa hal. Pertama kali membuka pintu, ia sempat melihat Zeroun menulis sesuatu. Seperti dugaannya, 4 jam waktu yang sudah Zeroun habiskan seharusnya cukup untuk mulai membuat laporan. Karena sudah mulai menulis, yang Zeroun butuhkan hanya sedikit waktu lagi.

Sebelum masuk, yang Al lakukan di depan pintu adalah mengulur waktu. Menghitung dan memberikan Zeroun waktu yang cukup untuk menyelesaikan laporannya.

Ternyata perhitungan Al, tidak cukup akurat. Suara sesuatu yang menabrak dinding adalah kala Zeroun nyaris menyelesaikan tulisannya. Al berhasil menghindari balok kayu yang melayang ke arahnya.

Al juga telah memperhitungkan prediksi lainnya jika prediksi awalnya salah, yakni kembali dilempari. Jadi, ia hanya perlu menghindar.

Beberapa kali berhasil menghindari serangan, tapi tidak untuk yang terakhir. Al lengah karena mengira Zeroun telah berhenti karena kehabisan amunisi.

Sementara rekan-rekannya memeriksa laporan yang Zeroun tulis, Al menghilang ke toilet untuk menghapus noda pada wajahnya. Cukup hanya ketiga rekannya yang menertawakan. Jika keluar dengan wajah masih bernoda, bukan hanya ditertawakan, orang-orang mungkin akan mengira ia baru saja kalah adu jotos.

Al menghela nafas.

Penyebab kematian belum bisa ditentukan secara pasti karena otopsi belum dilakukan. Zeroun hanya memeriksa fisik bagian luar korban.

Lebam mayat berwarna merah terang. Lebam terdapat pada dada bagian depan, leher, dan kepala. Kulit sedikit berwarna kehijauan tanda proses pembusukan mulai tampak.

Ada juga Lebam dan luka lain yang dalam laporan diyakini bukan berasal dari persentuhan korban dengan dasar sungai atau benda-benda di sekitarnya. Seperti lebam yang tampak di bagian perut. Atau di beberapa bagian tubuh lainnya. Luka dan lebam yang membuat Al terpikirkan pada satu-satunya kemungkinan.

"Korban kekerasan?" Al bertanya pada Zeroun yang masih berdiri di depannya ketika Al memeriksa isi laporan yang baru diterimanya.

Pria itu mengangguk.

Kini, setelah Al merenung dan berpikir sekali lagi. Kekerasan yang menimpa korban kemungkinan menjadi salah satu alasan belum adanya respons dari pihak keluarga. Padahal penemuan mayat telah disiarkan di televisi.

Korban adalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Di tubuhnya ditemukan beberapa bekas luka dan lebam yang mengindikasi korban pernah menerima kekerasan.

Memikirkan itu, rahang Rasyid Aldebaran mengeras.

avataravatar
Next chapter