28 • Dua Puluh Tujuh.

Selesai mendengarkan seluruh cerita Balqis, Zahra dan Nanda hanya bisa tercengang. Mendadak kehabisan kata-kata. Sekali lagi menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan ketidak pekaan dan ketidak tahuan mereka.

Zahra tidak ingin diam saja. Ia bertekad untuk melakukan sesuatu. Ia berpikir sepanjang malam. Tahu Nanda ternyata juga tidak bisa tidur, berdua mereka mendiskusikan apa yang harus dilakukan. Keduanya sama-sama memutar otak. Sama-sama merenung. Sepanjang malam dihabiskan untuk berpikir.

Keesokan harinya Zahra dan Nanda memulai tagar peduli Balqis di media sosial masing-masing. Komentar-komentar positif mengenai Balqis di replay. Artikel-artikel yang mengulas hal positif dan sisi baik Balqis dibagikan berkali-kali. Dengan tekad untuk membangkitkan kepedulian mengenai Balqis. Mengingatkan lagi segala kebaikan Balqis dan kerendahan hatinya.

Tidak ingin membuat suasana keruh di tengah niat baik yang mereka lakukan untuk Balqis, mereka sepakat untuk tidak membahas sisi buruk Huda. Mereka tidak ingin membangkitkan amarah di sisi yang lain. Tidak juga membalas komentar-komentar yang memperburuk situasi. Sepenuhnya tentang kepedulian terhadap Balqis.

Meski tagar peduli Balqis tidak masuk trending, nama Balqis menjadi yang paling banyak disebut di Twitter. Berbagai respons positif bermunculan. Usaha yang Zahra dan Nanda lakukan mendapat apresiasi baik.

Tidak sampai di situ, Zahra mencoba menghimpun dukungan melalui teman-teman alumni. Ia mengirimkan pesan melalui WA ke banyak teman-teman. Membuat pertemuan. Menyebutkan jam dan tempat di mana mereka bisa berkumpul.

Sayangnya respons positif yang di dapat di media sosial tidak sama baiknya di dunia nyata. Di tempat dan jam yang sudah ditentukan, hanya ada 4 wanita, ditambah Zahra, Nanda, dan dua anak laki-laki yang datang. Dari seluruh angkatan yang dihubungi, hanya 8 orang yang hadir. Jumlahnya bahkan tidak mencapai setengah anak-anak di kelas.

Tidak lantas menyerah, Zahra mengirim pesan yang sama ke semua orang yang sebelumnya ia chat. Beberapa orang bahkan ada yang langsung ia telepon. Zahra juga menyuruh semua orang melakukan hal yang sama.

Dari ketujuh orang, hanya Nanda yang bersemangat mengikuti komando Zahra. Yang lain enggan. Tiga orang bahkan tidak mengangkat ponsel mereka sama sekali.

Mendadak semua orang yang Zahra hubungi menjadi sangat sibuk. Tidak kunjung membaca pesannya, tidak mengangkat panggilannya, dan tidak memberi tanggapan sama sekali. Zahra mulai kesal.

"Sudah, menyerah saja," celetuk salah satu dari mereka.

"Iya, ini bukan seperti media sosial yang masih bisa main kucing-kucingan. Di dunia nyata, berdiri di pihak Balqis sama artinya menentang orang terkaya nomor satu. Siapa yang berani," Aya menimpali. "Lagi pula Balqis sendiri enggak datang. Padahal kupikir dia ada di sini juga."

"Kalau memang peduli, enggak harus dilihat orangnya, 'kan." Nada bicara Zahra meninggi. Sebenarnya ia kesal karena pesan dan panggilannya diabaikan, tapi ia justru melampiaskannya setelah mendengar kata-kata Aya.

"Zahra..." Nanda berusaha menenangkan.

"Seingatku bukannya Balqis pernah nolong kamu waktu di sekolah, ya. Kenapa sekarang kamu jadi enggak tahu diri begini, sih. Bisa-bisanya ngomong begitu," tambah Zahra. Ia menepis tangan Nanda dan terus meluapkan emosinya.

Disebut tidak tahu diri tentu saja Aya marah. Padahal ia sengaja meluangkan waktu agar bisa datang. Meminta izin bosnya agar boleh pulang lebih awal. Sampai di sini, Zahra justru mengatainya tidak tahu diri.

"Aku ikut datang ke sini karena masih tahu budi. Kupikir Balqis juga ikut datang. Kalau aku tahu cuma ada kamu, enggak mungkin juga aku datang," sinis Aya. Ia tersenyum merendahkan.

"Kalau Balqis bisa datang, dia juga pasti datang," sahut Zahra tidak kalah sinis. "Tapi kamu tahu sendiri bagaimana wartawan dan orang-orang kalau ketemu Balqis di luar. Memangnya kalau begitu kita bisa tenang buat pertemuan?!"

Mereka berada di sebuah kafe yang memiliki ruangan luas. Duduk di tengah. Perdebatan yang semakin panas membuat pengunjung lain yang ada dalam ruangan ikut mendengar. Mau tidak mau, karena Zahra dan Aya terus saja berbicara dengan berteriak-teriak.

Mendadak menjadi pusat perhatian, membuat teman-teman yang lain merasa malu. Nanda terus menarik-narik baju Zahra. Berkali-kali. Menyuruhnya duduk, tenang, diam, tutup mulut, dan sejenisnya. Berkali-kali juga tangannya dilepas, dan kata-katanya tidak diidahkah sama sekali.

Aya pun sama. Kedua teman yang datang bersamanya juga sudah berusaha membujuknya agar tenang. Mereka mengingatkan baik-baik tapi justru ikut dimarahi. Ikut kena omel dan diteriaki.

"Itu dia masalahnya. Ada banyak kecurigaan dan tudingan kalau Balqis pelakunya. Masalahnya di sini, semuanya belum jelas. Polisi belum bisa mengungkap siapa pelakunya."

"Aya!" Zahra melotot hingga bola matanya terlihat hampir jatuh. "Orang luar berhak berpikir sesuka mereka, tapi kita enggak. Kita tahu betul kepribadian Balqis seperti apa."

Aya tidak menanggapi. Ia membuang muka. Meski seperti itu tatapannya tetap sinis. Bibirnya bergerak-gerak seolah sedang menggumamkan sesuatu.

"Seandainya sejak awal kita tahu apa yang menimpa Balqis, apa yang dia alami, kita bisa membantu mencari jalan ke luar. Kita bisa bertindak cepat sebelum semuanya jadi rumit seperti sekarang." Zahra masih belum berhenti berbicara.

"Oh, jadi itu juga salahku. Salahku Balqis disiksa suaminya. Salahku juga kalau sampai Balqis benar-benar pelakunya?" balas Aya. "Kalau menurutmu orang lain juga ikut bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada orang lain, salahkan juga satu dunia karena pembantaian Hilter. Salahkan juga semua orang karena bencana kelaparan yang ada di Afrika."

Zahra kehilangan kata-katanya untuk beberapa saat. Ia tidak tahu bagaimana lagi caranya berbicara pada Aya. Tidak tahu dengan apa membuatnya mengerti. Kata-kata seperti apa yang harus ia gunakan agar maksudnya tersampaikan. Rasanya semakin kesal karena meski ia mengambil jeda untuk berpikir, kata-kata yang tepat tetap tidak ia temukan.

"Susah, ya kalau omong sama orang yang memang enggak punya empati!" sergah Zahra akhirnya. "Ngakunya aja teman, tapi di waktu susah omongannya ke mana-mana."

"Sudah Zahra, sudah." Nanda menginterupsi untuk yang kesekian kalinya.

"Nanda, kamu ini kenapa, sih?!" Kali ini Zahra melampiaskan kekesalannya pada Nanda. "Seharusnya kamu bantuin aku bela Balqis bukannya diam aja. Nanda..."

Melihat mata Nanda sudah mulai berkaca-kaca, Zahra segera membungkam mulutnya sendiri. Walau sudah diam, air yang telanjur tertampung di kelopak mata Nanda tetap tumpah.

"Kita enggak bisa memaksa orang lain buat mengerti situasi Balqis. Sementara kita yang teman dekatnya enggak tahu apa-apa. Sebelum ini kita di mana? Di mana kita waktu Balqis nangis? Waktu Balqis kesakitan. Waktu Balqis ketakutan. Waktu suaminya mukulin dia. Zahra, kita bahkan enggak tahu kalau Balqis pernah masuk rumah sakit karena..." Nanda tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Air mata Nanda sudah terlalu banyak berderai. Kata-kata yang tidak bisa ia selesaikan adalah bagian yang paling menyakitinya.

Bagaimana jika saat itu Huda tidak datang tepat waktu. Bagaimana jika dokter gagal menyelamatkannya. Apa mereka akan tahu apa yang sudah Balqis alami. Apa mereka akan tahu penderitaannya.

"Kamu kenapa nangis terus, sih?!" gerutu Zahra dengan mata yang ikut berkaca-kaca.

Kalimat Nanda menusuk tepat di hati Zahra. Membawanya pada kenyataan bahwa kehadirannya sebagai teman dekat tidak jauh berbeda dari Aya yang ia katai tidak punya empati.

Zahra merasa telah dihempaskan dari suatu ketinggian tak terduga. Persahabatan yang selama ini ia agung-agungkan dan banggakan ternyata hanya sedangkal ini.

Zahra mulai menghitung, selama ini sudah berapa banyak ia melewatkan panggilan Balqis. Berapa kali ia tidak memilih untuk menelepon balik karena sibuk. Karena berpikir mungkin masih bisa ditunda. Mungkin hanya hal sepele.

Pernah suatu malam ketika ia terlelap. Ia tahu ponselnya berdering tapi terlalu malas untuk menjawab panggilan yang masuk. Mungkin saja saat itu Balqis tengah menangis. Pernah juga ketika ia makan dan ponselnya tergeletak di kamar. Hari itu mungkin saja Balqis tengah kesakitan. Pernah juga ketika Zahra nongkrong dengan teman kerjanya. Zahra sempat mengangkat panggilan sebentar dan berjanji untuk menelepon balik begitu sampai di rumah. Tapi di rumah, Zahra lupa dan ketiduran. Ketika itu mungkin saja Balqis tengah membutuhkan teman untuk bercerita. Pernah juga ketika ia mandi dan ketika bekerja.

Yang paling menyakiti Zahra, dari semua panggilan itu, mungkin saja ada satu panggilan yang Balqis lakukan sebelum ia memilih untuk dua kali mengakhiri hidupnya. Ketika itu ke mana dia dan apa yang dilakukannya. Mungkinkah ia tengah tertidur lelap. Atau mungkin makan hingga terlalu kenyang. Atau mungkin sedang tertawa terbahak-bahak.

Jika dari kedua percobaan itu ada yang salah satunya Huda gagal menyelamatkan Balqis, akan bagaimana perasaannya sekarang. Akankah ia bisa tetap berdiri di depan Aya dan meneriakkan banyak hal seolah ia yang paling tahu mengenai Balqis.

Berpikir seperti itu membuat air mata Zahra ikut tumpah.

Beberapa hari ini mereka sudah banyak merasa menyesal atas segala ketidak tahuan mereka. Sudah cukup sering menangis bersama. Tapi menghitung lagi berapa banyak yang telah Balqis lalui, rasanya semua itu tidak akan pernah cukup.

Al datang ketika dua orang telah menangis dan dua orang lainnya memiliki mata yang ikut berkaca-kaca. Al ikut duduk di antara anak laki-laki yang datang lebih dulu.

"Kenapa? Acaranya sudah dimulai?" Al bertanya dengan nada berbisik-bisik. Ia tidak ingin mengganggu suasana penuh haru yang sudah tercipta.

Tidak ada yang menjawab pertanyaan Al. Seorang teman yang duduk paling dekat dengannya hanya meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

"Sayang, kamu tahu kenapa aku enggak pernah ingin berebut jabatan dengan Kakakku walau sebenarnya aku bisa?" Huda berbicara dengan pongah. "Hanya karena aku suka orang-orang membicarakan segala kebaikanku. Memanggilku dengan julukan si Rendah Hati. Aku suka orang-orang berpikir aku lebih baik dari kakakku, lebih pantas, lebih bisa diandalkan. Lebih dalam segala hal. Aku suka saat orang-orang menyerangnya dengan kata-kata dan tulisan yang memojokkan."

Huda menyeringai penuh kebanggaan. Penuh rasa puas dan penuh kemenangan.

Balqis mengingat kalimat itu dengan jelas. Juga ekspresi wajah Huda yang mengerikan. Kini, melihat dirinya sendiri dalam cermin, Balqis merasa telah berubah menjadi Huda dalam versi yang berbeda. Ia merasa hari-hari yang telah mereka lewati, perasaan sakit, dan keinginan untuk bisa terlepas dari Huda telah mengubah dirinya menjadi seperti Huda.

Semakin seseorang membenci sesuatu, semakin ia menjadi seperti apa yang dibencinya.

Di rumah sedang tidak ada orang. Orang tua Balqis mungkin tengah berada di perkebunan. Adiknya sedang mengerjakan tugas di luar. Balqis duduk di depan cermin. Bertanya-tanya benarkah wanita itu adalah dirinya. Bertanya-tanya seperti apa kepribadiannya sebenarnya.

Jam di dinding menunjukkan angka 17.30. Hari ini Zahra berjanji akan menginap lagi. Zahra dan Nanda telah melakukan banyak hal untuk mendukungnya. Ia sungguh tersentuh.

Pagi tadi Zahra bercerita mengenai respons positif dari tagar peduli Balqis yang diangkatnya. Meski seperti itu, Balqis masih sama sekali belum berani membuka akun media sosialnya. Masih tidak ingin.

Ponsel Balqis yang berada tidak jauh dari jangkauannya bergetar. Sebuah pesan masuk. Pesan dari Rasyid Aldebaran.

Tiga hari ini Al selalu mengirim pesan. Di situasi seperti ini, Balqis bingung harus merasa bagaimana. Harus menanggapi seperti apa. Perhatian Al, kepeduliannya, Balqis merasa sangat terbebani.

Hati Balqis mulai merasa berat bukan di mulai dari hari ini, atau saat Al mengiriminya pesan singkat. Sebelum itu. Ketika suatu malam Nanda menyebut namanya lagi untuk pertama kalinya.

Balqis meraih ponselnya dan membuka pesan dari Al. Jam mengirim yang sama, dan kata-kata dalam pesan yang juga sama.

'Apa hari ini kamu baik-baik saja?'

avataravatar
Next chapter