27 • Dua Puluh Enam.

Tidak ada yang mereda meski dua hari telah berlalu. Berita-berita masih selalu membuka pembahasan terkait kasus yang menimpa keluarga Pradipto. Artikel-artikel masih gencar melakukan serangan terhadap hal-hal yang mencurigakan. Para polisi semakin bergerak cepat dalam investigasi mereka. Semua bagian bekerja di koridor masing-masing. Mereka bergegas agar bisa segera mengungkap kebenaran.

Balqis kembali ke rumah orang tuanya meski mertuanya berharap ia mau tinggal di tempat mereka. Bu Ruri dan Nurul tetap berada di rumah, sesuai instruksi ibu Huda. Tetap melakukan kegiatan dan bersih-bersih sama seperti sebelumnya. Agar saat Balqis kembali, rumah tetap dalam keadaan rapi dan terawat.

Beberapa kali petugas masih sering mendatangi Balqis dan orang-orang terdekatnya. Menanyakan berbagai hal dan terus menyinggung persoalan KDRT yang menimpanya.

Zahra terus membujuk Balqis agar mau melakukan pemeriksaan visum. Agar derajat luka dan seberapa buruk Balqis diperlakukan bisa diketahui. Nanda juga ikut membujuk.

Zahra membujuk bukan tanpa alasan. Ia berencana membangun pemikiran baru bagi penggemar fanatik Huda. Bahwa Huda tidak sesempurna pemberitaan yang beredar. Bahwa Balqis juga korban. Ia tidak ingin memberi kesempatan pada orang-orang yang tidak suka pada Balqis terus melempar prasangka dan tuduhan seenaknya.

Ketika Balqis akhirnya setuju, seorang wartawan yang sejak berita terbunuhnya Azhar Huda Pradipto dipublikasikan telah memata-matai Balqis, akhirnya mendapatkan kesempatan. Ia mengikuti Balqis ketika bersama Zahra dan Nanda meninggalkan rumah. Ketiganya pergi untuk melakukan pemeriksaan visum.

Ketika akhirnya artikel selesai ditulis dan diterbitkan, kesan yang muncul tidak semulus harapan Zahra. Narasi baru kembali terbentuk. Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan pada Balqis bukannya mereda justru semakin menggila. Kini, ada alasan kuat untuk Balqis membunuh suaminya.

Hari-hari yang Balqis lalui kembali berantakan. Semua media sosialnya diserang para penggemar Huda. Rumahnya tidak pernah sepi dari serbuan wartawan. Hubungan Balqis dengan mertuanya berubah buruk dalam semalam. Meski telah melakukan konferensi pers, semua seakan tidak pernah cukup. Tetap tidak bisa memuaskan keingintahuan banyak orang. Tetap masih banyak tanda tanya yang muncul.

Zahra meminta maaf berulang kali pada Balqis. Idenya-lah yang justru membuat segalanya menjadi kacau. Ia mengambil cuti lebih awal untuk menemani Balqis melewati hari-harinya. Nanda hanya bisa menemani sahabatnya sehari. Cutinya sudah diambil dua bulan lalu dan Nanda tidak diizinkan mengambil libur lebih dari sehari.

Tidak banyak yang bisa mereka lakukan. Hari demi hari hanya dihabiskan di dalam rumah. Menginjakkan kaki sedikit lebih jauh dari pagar menjadi begitu menakutkan.

Menghadapi tatapan orang-orang terasa begitu melelahkan. Ketika ada yang mulai berbicara, Balqis merasa dirinya-lah yang tengah diperbicarakan. Tatapan dan bisik-bisik semua orang, seperti seluruh dunia membicarakannya. Menghujatnya. Tatapan jijik, sinis, dan takut selalu saja Balqis temui.

Bagi Zahra yang tidak mengalami apa yang Balqis alami, dunia tidak semengerikan yang Balqis dipikirkan. Zahra mengerti pemikiran positif Balqis sudah banyak terkuras hingga menyisakan hal-hal negatif. Akibatnya otaknya juga lebih banyak memproses bagian negatif, menjadikannya terasa dua kali lebih buruk.

Akhirnya Balqis memilih bersembunyi dalam rumah. Menjauhi dunia luar. Menghindari kontak dengan orang tidak dikenal.

Tempat persembunyian teramannya adalah pulang. Kembali pada keluarganya. Di mana ia bisa menemukan orang-orang yang mau menerimanya tanpa bertanya. Yang mau tetap memberi kasih sayang tanpa syarat.

Pertama kali sampai di rumah, Balqis menangis sangat deras. Sangat lama. Ia telah mencoba menjadi lebih kuat dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Begitu melihat ibunya dan terbenam dalam dekapannya, ia menjadi serapuh seorang bocah. Dinding pertahanannya runtuh. Berpura-pura baik-baik saja tidak lagi ada gunanya. Semua rasa sakit, kesedihan, dan rasa takutnya tumpah ruah.

Dalam dekapan ibunda, Balqis merasa aman dan terlindungi. Ia bisa dengan tenang mencurahkan seluruh sesak yang memenuhi dadanya.

Hari itu Zahra dan Nanda yang mengantar Balqis pulang ke rumah orang tuanya. Mendengar jerit tangis Balqis, Nanda tertular dengan cepat. Zahra menjadi orang selanjutnya yang juga ikut menangis. Tidak hanya tawa, tangis juga mampu menularkan kesedihan yang sama.

Kali ini mereka tidak butuh satu orang kuat di tengah rapuhnya hati mereka. Ada ibu. Yang meski ikut menangis tetap merupakan pribadi yang lebih kuat dari apa pun. Zahra dapat ikut menangis dengan tenang. Meluapkan kesedihan dan amarahnya atas apa yang menimpa Balqis.

Zahra dan Nanda melihat sendiri dengan mata kepalanya berapa banyak luka yang merayapi tubuh Balqis. Bukan hanya memar karena pecutan. Ada juga memar lain akibat pukulan atau tendangan yang sudah mulai memudar. Menurut hasil pemeriksaan, ada dua rusuk Balqis yang pernah patah dalam waktu yang berbeda.

Mendengar penjelasan dokter membuat Zahra sangat marah. Ia tanpa sadar menghantamkan tinjunya ke meja. Dokter yang otomatis masih memberikan pemaparan, tersentak kaget.

Telapak Zahra masih menggenggam erat. Bibirnya mengatup rapat, rahangnya mengeras, sementara tatapannya dipenuhi oleh sejuta kesedihan. Merasa tidak enak, Nanda mewakili Zahra meminta maaf.

Seperti Zahra, hati Nanda juga terluka. Ia bahkan sudah sempat menangis sebelum Zahra memukul meja.

Seperti Zahra, ia juga marah. Terlebih terhadap dirinya sendiri yang tidak tahu apa-apa. Mereka bersahabat. Begitu akrab. Selalu membicarakan banyak hal. Membahas segala macam kejadian. Sebelum ini mereka bahkan menginap bersama. Mereka tertawa, makan, dan melakukan banyak hal. Di jarak sedekat itu, mereka tetap tidak tahu Balqis sedang menderita.

Nanda memeluk Balqis dan menangis tanpa suara untuknya. Untuk permintaan maafnya, untuk ketidak tahuannya, untuk kemarahannya, untuk rasa sakitnya, dan untuk hari-hari yang Balqis lewati tanpa mereka.

"Awas, ya. Jangan sampai ingusmu menempel di bajuku," goda Balqis.

Mereka tertawa kecil. Refleks, Nanda memukul punggung Balqis. Zahra balas memukul Nanda saat melihat kening Balqis mengernyit.

"Kamu sudah tahu temannya punya banyak luka masih dipukul," sengit Zahra. "Minta dipukul lebih keras biar bisa peka?"

"Maaf, maaf," Nanda menyesal. "Balqis, maaf."

Dokter yang masih duduk di depan mereka tersenyum. Ia geli melihat bagaimana Balqis dan teman-temannya berinteraksi.

Balqis kemudian menceritakan semuanya. Bahwa sifat Huda tidak sejak awal kasar. Balqis sendiri tidak tahu apa pemicu perubahan sifat suaminya. Sampai saat ini juga masih tidak mengerti.

Awalnya setelah memukul, Huda akan bersimpuh di kakinya, menangis, dan memohon ampun. Awalnya Balqis mencoba memaklumi, masih bertahan. Berharap Huda berubah. Ia sendiri semakin berhati-hati dalam melakukan segala hal. Semakin teliti. Berharap Huda akan luluh dengan ketulusannya menunggu. Dengan kerja kerasnya untuk bisa mengimbangi suaminya.

Ternyata, mencoba bersabar dan bertahan bukanlah jalan keluar.

Huda tidak lagi hanya sekadar memecut. Ketika emosinya buruk, ia juga akan mengayunkan tangannya dan menendang. Setelahnya Huda tetap akan datang pada Balqis. Tapi tidak lagi dengan ucapan maaf, melainkan keinginan untuk dimengerti.

Kata-kata cinta dan kasihnya pun masih terus Huda ucapkan. Tapi hati Balqis telah beku oleh rasa sakit dan air mata. Huda adalah pria yang menyenangkan, hangat, dan penuh cinta, semua orang tahu itu. Balqis pun mengakuinya. Hanya saja Huda tidak hanya itu. Ada Huda lain yang sama sekali berbeda. Huda yang mengerikan.

Selain Bu Ruri dan Nurul, tidak ada yang tahu apa yang terjadi dalam rumah. Keduanya terikat perjanjian sebelum diperkerjakan sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka menutup telinga, berpura-pura tidak melihat.

Dinding rumah dibangun dengan kokoh dan kedap suara. Yang meski Balqis menjerit hingga pita suaranya putus, tidak akan ada tetangga yang tahu. Tangis Balqis hanya untuk dirinya sendiri. Untuk ketidak berdayaannya.

Selain dinding rumah yang dibuat kedap suara, Huda juga tidak pernah memukul di sekitar wajah atau bagian lain yang mudah terlihat. Huda benar-benar tahu cara menjaga namanya tetap bersih. Menjaga reputasinya agar tetap dipuja. Langkahnya sukses. Benar-benar berhasil mengelabui semua orang.

Bertahan dan bersabar. Balqis juga telah melakukan segala cara untuk bisa terlepas dari Huda. Hanya saja, kendali Huda jauh lebih kuat dari yang Balqis sadari. Segala usahanya sia-sia. Ia terpaksa kembali ke rumah dan menjalani hari-hari dengan perlakuan yang sama.

Pernah Balqis mengancam akan menggugat cerai. Ketika itu Huda bersumpah tidak akan pernah melepaskan Balqis apa pun yang terjadi.

Pernah juga Balqis kabur dan pulang ke rumah orang tuanya. Alhasil, suplai sawit dari kebun ayahnya dihentikan. Tempat lain pun tidak diizinkan mengambil sawit dari kebun Ayah. Sawit yang sudah dipanen akhirnya menumpuk begitu saja. Pengeluaran terus mengalir. Untuk tetap menjalankan perkebunan, untuk kebutuhan sehari-hari, juga untuk biaya kuliah adik Balqis, sementara itu tidak ada satu rupiah pun pemasukan.

Balqis mencoba untuk tidak goyah, tapi tetap kalah pada akhirnya. Ia menyerah dan kembali pada suaminya. Balqis bahkan belum sempat menceritakan apa yang suaminya telah lakukan padanya. Ia tidak tega melihat orang tuanya kesulitan dan bingung.

Selain mengancam dan kabur, Balqis juga pernah melaporkannya pada polisi. Tapi lagi, kekuasaan sebagai anak dari keluarga terkaya berbicara. Huda bahkan berhasil mendapatkan surat yang menyatakan mental Balqis sedang terganggu. Surat yang entah Huda dapatkan dari mana. Yang menurut diagnosa Balqis sering mengalami halusinasi dan memukuli dirinya sendiri. Yang membuat pernyataannya tidak dipercaya lagi di kepolisian.

Terakhir, Balqis mencoba menghilangkan nyawanya sendiri.

Balqis tidak mampu menceritakan apa yang dialaminya kepada orang tuanya, tidak ingin membuat hati mereka hancur. Balqis juga tidak mampu mengungkapkannya pada media. Tidak juga tega menyakiti perasaan mertua yang telah begitu baik padanya. Yang kemudian dilakukannya adalah menyakiti dirinya sendiri.

Dua kali, dan Balqis selalu gagal. Malaikat maut belum menginginkannya. Huda terus saja berhasil menyelamatkannya.

Yang pertama, Balqis mencoba dengan memakan banyak obat-obatan. Yang kedua, ia memotong nadi di lengannya.

Untuk percobaan yang kedua, media berhasil mengendus sesuatu yang tidak beres. Namun sepintar apa pun hidung mengendus aroma, otak Huda selalu saja mampu satu langkah berada di depan. Ia mengatakan Balqis jatuh dari tangga karena kelelahan dan menyalahkan dirinya sendiri untuk itu. Dalam hitungan detik, Huda menjelma menjadi suami idaman. Ia rela mengambil cuti dan menyisihkan segala kesibukannya demi bisa menemani Balqis di rumah sakit.

Pertunjukan yang sungguh sempurna.

avataravatar
Next chapter