23 • Dua Puluh Dua.

Tim satu unit Kejahatan dan Kekerasan Reserse Kriminal Umum telah berkumpul di ruang rapat. Anggotanya lengkap, termasuk Komandan Lukman.

Ketika informasi pertama akan disampaikan, Zeroun Alvaro memasuki ruangan. Ia duduk di kursi kosong paling ujung. Di sampingnya duduk Al yang menatap dengan heran.

Bukan hanya Al, tapi Adam, Dio, dan Irawan pun sama. Ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Zeroun. Tatapan penuh tanda tanya, tidak percaya, dan takjub. Bahkan Kapten Lukman juga terlihat terkejut. Hanya saja, Kapten Lukman sempat mengulum senyum di akhir keterkejutannya.

"Silakan dilanjut," Zeroun membuka suara.

"Oke. Irawan tolong ulang dari awal informasi yang kamu dapatkan," Kapten Lukman menimpali.

Bergabungnya Zeroun dalam rapat tim untuk ikut membahas kasus memang bukan hal yang biasa. Langka. Tentu saja. Karena tidak pernah mau ikut bergabung itulah ia dijuluki anti-sosial, manusia aneh, menyebalkan, dan lain-lain.

Selama ini Zeroun lebih senang berpikir sendiri dalam ruangannya yang tenang. Menganalisa sendiri, mengambil kesimpulan sendiri. Informasi yang telah dikumpulkan oleh tim yang bertugas menyelidik akan disodorkan pada Zeroun untuk dicocokkan dengan hasil otopsi dan analisanya. Hasil akhirnya, seseorang dari tim akan datang dan mengambilnya.

Seperti kata Al, ikut berdiskusi langsung dalam rapat akan lebih efektif. Tidak perlu membuang-buang banyak waktu. Lebih dari itu, tidak dibutuhkan bantuan kurir seperti Al lagi. Tidak juga perlu mengambil risiko untuk dilempar balok.

Irawan menjadi yang pertama menyampaikan hasil penyelidikannya. Ia bertugas mencatat kesaksian dua asisten rumah tangga Huda. Bu Ruri dan Nurul. Irawan memulai dari kesaksian Nurul.

Menurut Nurul, Balqis turun sekitar pukul 05.30. Hal yang pertama kali Balqis lakukan adalah memasak air untuk menyedu teh. Nyonyanya itu mempunyai kebiasaan meminum teh setiap pagi. Kebiasaan yang kemudian ditularkan kepada suaminya. Balqis membuat teh dua cangkir. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk suaminya.

Sekitar setengah jam kemudian, Balqis kembali naik dengan membawa cangkir milik suaminya. Waktunya bagi Balqis untuk mempersiapkan keperluan mandi dan pakaian kerja suaminya. Balqis turun lagi setelah tugasnya selesai. Ia ikut membantu menyiapkan sarapan.

Keterangan Nurul setelahnya sama dengan keterangan Bu Ruri. Karenanya, Irawan beralih pada kesaksian Bu Ruri.

Bu Ruri yang baru pulang dari pasar melihat Balqis dan Nurul menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sarapan seperti biasa. Bu Ruri sampai di rumah pukul enam lewat. Kira-kira 15 menit kemudian, ketika semua orang tengah melakukan tugasnya, Azhar Huda berteriak memanggil Balqis. Dari suaranya, Huda terdengar sedang kesal.

Irawan bertanya mengenai kepribadian Azhar Huda Pradipto. Menurut kedua ART-nya, Huda adalah seorang perfeksionis. Huda akan menjadi mudah marah jika sesuatu tidak berjalan seperti seharusnya.

Hal sehari-hari yang bisa membuat Huda kesal biasanya bila makanannya terlalu panas, terlalu asin, atau terlalu hambar. Jika pakaiannya tidak rapi. Jika tidak ada aroma pengharum tercium di ruangannya. Jika air untuk mandinya terlalu panas.

Semua orang dalam rumah sudah hafal standar-standar yang Huda tetapkan. Sudah sangat jarang menemukan Huda mengeluh atau tidak puas dengan sesuatu yang ada di rumah. Huda juga hampir tidak pernah menegur ART-nya karena melakukan kesalahan.

"Ketika ditanya bagaimana dengan memarahi istrinya, mereka lebih cenderung diam dan memilih untuk tidak berkomentar." Irawan menjelaskan.

Pagi itu sepertinya Huda marah karena pengharum kamar mandi tidak diganti.

"Untuk kebiasaan mandi pagi," Irawan menjelaskan lagi. "Menurut Nurul, jadwal mandi pagi tuannya tidak tentu. Tergantung pergi ke gym atau tidak. Jika tidak pergi ke gym, Pak Huda akan semakin lama berendam di bak mandi."

Irawan membuat jeda. Ia membolak-balik catatannya dan menemukan tulisan yang ia lingkari.

"Menurut Bu Ruri, jika Pak Huda dari gym dia akan mandi pukul tujuh. Jika tidak, biasanya sekitar pukul setengah tujuh. Sama seperti keterangan Nurul, Huda akan berendam lebih lama. Terkadang bisa sampai 1 jam."

Untuk keterangan tambahan, Huda memiliki gym pribadi yang berjarak 10 menit dari tempatnya tinggal. Gym akan dibuka untuk umum pada pukul 08.00, jadi ketika pukul delapan pagi ia pasti sudah kembali ke rumah.

Mendengar Balqis dipanggil dengan suara keras, menurut keterangan Bu Ruri, Nurul segera mempercepat menyelesaikan memotong kentang. Ia mengambil peralatan bersih-bersih dan meminta izin Bu Ruri untuk membersihkan ruangan di lantai dua. Bu Ruri belum memberi persetujuan tapi Nurul sudah melesat lebih dulu dengan peralatannya.

Nurul memang seperti itu. Karena Balqis memperlakukannya dengan baik, Nurul menjadi dekat. Nurul menyayangi Balqis dan menganggapnya seperti seorang kakak. Karena itu, jika mendengar tuannya mulai kesal, Nurul akan merasa khawatir. Tidak jarang kekhawatiran Nurul menjadi terlalu berlebihan.

Irawan kembali pada keterangan versi Nurul.

Irawan bertanya alasan Nurul ikut ke lantai dua ketika tuannya memanggil Balqis. Irawan memancing dengan menyindirnya memiliki kebiasaan menguping.

"Menguping? Tolong perhatikan wajah saya baik-baik ya, Pak. Apa saya terlihat seperti tipe tukang menguping?" Nurul merasa tersinggung. "Setiap pagi memang sudah jadi pekerjaan saya untuk membersihkan ruangan di lantai dua," dalihnya.

Ketika Nurul akan masuk ke ruang kerja tuannya, Balqis keluar dari kamar. Nurul menyapa, Balqis mengatakan akan ke luar sebentar untuk membeli sesuatu. Nurul sempat menawarkan diri untuk menjadi orang yang pergi ke luar, tapi Balqis menolak. Balqis menyuruh Nurul melanjutkan pekerjaannya.

Menurut Nurul, tuannya masih marah saat Balqis meninggalkan kamar. Ia yang baru mulai bersih-bersih mendengar sesuatu yang jatuh dan pecah dari ruangan sebelah. Takut karena mood tuannya masih buruk, Nurul mengangkut kembali peralatan bersih-bersihnya dan ke luar. Ia akan kembali 30 menit lagi.

Ruang di sebelah ruang kerja Huda adalah kamar tidur yang menjadi satu dengan kamar mandi. Dinding ruang kerja, adalah satu-satunya pembatas langsung dengan kamar mandi.

Dari anak tangga paling atas, Nurul melihat Balqis berbicara dengan Chiko Anggara. Tidak seperti biasanya kakak tuannya berkunjung pagi-pagi sekali. Pasti ada sesuatu yang sangat mendesak untuk dibicarakan.

"Menurut keterangan Pak Chiko, semalam ia telah menghubungi adiknya dan membuat janji untuk bertemu sebelum pergi bekerja," Dio melanjutkan.

Chiko mengatakan dalam keterangannya, awalnya ia menunggu di ruang kerja Huda. Tidak ingin berlama-lama karena masih harus memeriksa beberapa materi rapat, ia mengetuk pintu kamar Huda. Chiko memanggil namanya. Memanggil berulang kali. Tidak mendapat jawaban, ia penasaran dan membuka pintu kamar.

Tidak ada siapa pun di kamar. Hanya satu setel pakaian milik Huda tergeletak di atas ranjang. Mengira adiknya tengah ketiduran dalam bathtub, Chiko memeriksa hingga ke kamar mandi. Ia tidak pernah seenaknya masuk ke kamar adiknya sebelum ini. Tapi rasa tidak sabar menuntunnya.

Yang pertama kali Chiko lihat ketika membuka pintu adalah pecahan kaca botol sabun dekat wastafel. Pintu kamar mandi tepat berada di sisi wastafel.

Sekilas, jika dilihat dari pintu kamar mandi, Huda memang tampak seperti tengah tertidur. Pemandangan selanjutnya yang membuat Chiko sadar adalah warna merah yang bercampur dengan air sabun dalam bathtub. Nafas Chiko tertahan untuk beberapa saat.

Semuanya kemudian berlangsung dengan cepat. Chiko bergegas memeriksa keadaan adiknya. Tapi dengan segera ia tahu kalau Huda sudah tidak lagi bernyawa. Ia berlari ke luar dan bertemu Balqis di depan pintu kamar.

Balqis benar-benar syok mengetahui apa yang terjadi pada suaminya. Ketika ia memastikan dengan mata kepalanya sendiri, suasana rumah menjadi heboh. Penuh kepanikan.

Kemudian polisi yang dipanggil datang. Tetangga yang ingin tahu mulai berkumpul. Intip-mengintip, mencoba mencuri-curi dengar walau tidak ada yang berhasil mereka dengar atau intip. Wartawan dan reporter ikut berkumpul dan semakin bertambah ramai.

Dalam keterangan yang Balqis sampaikan pada Adam, ketika ia bangun pagi semua hal masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Ia turun ke dapur, memasak air, dan menyedu teh. Bertanya pada Nurul akan memasak apa karena hanya Nurul yang ditemuinya di dapur.

Balqis naik kembali ke kamar untuk mempersiapkan keperluan mandi dan pakaian kerja suaminya. Semalam Huda berpesan ia akan mandi lebih pagi karena kakaknya akan datang ke rumah. Mereka akan membahas masalah pekerjaan.

Balqis membangunkan suaminya yang masih terlelap. Ia juga menawarkan teh yang telah ia sedu. Mereka sempat bercanda dan saling menggoda sebelum Balqis kembali turun. Hari itu ia pikir hari-hari akan berjalan sama dan semuanya baik-baik saja.

Adam bertanya mengenai alasan Huda memanggilnya dengan nada marah. Balqis mengaku telah membuat kesalahan. Air dalam bak mandi terlalu panas dan pengharum kamar mandi lupa ia ganti.

Balqis sama sekali tidak menyebutkan kata pertengkaran atau kekerasan yang Huda lakukan. Ia hanya mengatakan mereka berdebat singkat. Balqis meminta maaf dan segera memperbaiki kesalahannya.

Adam telah memeriksa struk belanjaan Balqis dan mendatangi swalayan yang Balqis datangi. Menurut keterangan kasir yang bertugas di jam itu, benar Balqis membeli beberapa barang. Balqis memang mengenakan masker, tapi ia bisa langsung mengenalinya karena Balqis merupakan pelanggan tetap. Ia juga tahu Balqis tinggal di perumahan elite seberang jalan.

Swalayan mulai buka pukul 07.00 dan swalayan masih tutup ketika Balqis sampai. Ia harus menunggu sekitar 15 menit. CCTV menangkap wajah Balqis yang mengenakan masker.

Masker yang Balqis gunakan hanya untuk menyembunyikan memar di wajahnya. Sebelum ini Balqis tidak pernah keluar dengan menggunakan masker. Hanya sesekali. Hanya ketika ia terinfeksi flu. CCTV juga memperlihatkan adegan Balqis mengobrol dengan tetangganya saat di swalayan, tepat setelah ia selesai berbelanja.

Keterangan semua saksi telah disampaikan.

Zeroun yang masih duduk di tempatnya mendengar kata per kata yang disampaikan dengan serius. Dengan konsentrasi tinggi. Garis vertikal muncul di antara alisnya. Perlahan benaknya mulai menyusun hipotesis.

Al menjadi petugas yang selanjutnya menyampaikan informasi yang telah ia kumpulkan.

Al telah bertanya pada beberapa tetangga yang paling dekat dengan rumah korban. Tidak satu pun dari mereka pernah mendengar keributan yang ditimbulkan pasangan Huda-Balqis. Saat Al berusaha mengumpulkan informasi lebih banyak lagi, diketahui bahwa rumah memang sengaja dibangun kedap suara. Fungsinya adalah untuk menjaga privasi penghuninya.

Sama sekali tidak ada saksi dari para tetangga. Mereka juga tidak pernah melihat atau mencurigai kekerasan rumah tangga yang mungkin terjadi. Bahkan setelah dipancing, mereka tetap tidak percaya. Pasangan Huda-Balqis selalu terlihat romantis, kompak, dan baik-baik saja.

Karena tertangkap basah oleh Zeroun, Al juga menyampaikan isi pembicaraannya dengan Balqis. Tentang alasan Balqis tidak ingin mengungkapkan KDRT yang diterimanya.

"Balqis tidak mengakui secara langsung mendapat kekerasan atau tidak, dia hanya mengatakan tidak ingin membahas masalah itu karena mereka masih berduka. Balqis tidak ingin membuat mertuanya sedih dan kecewa."

"Wanita yang baik," celetuk Adam. Dio mengangguk setuju.

"Menilai seseorang baik atau tidak itu sama relatifnya seperti melihat kecantikan seseorang," Zeroun menimpali. "Memberi makan fakir itu bisa berarti baik atau ingin dianggap baik. Baik dan ingin dianggap baik jelas dua hal yang berbeda," tambah Zeroun menatap Adam, dan melirik Al.

Dalam hal ini, kalimat Zeroun seperti berkata, 'Balqis bisa berarti baik atau ingin dianggap baik.' Al tidak suka bagian itu. Al tahu Balqis adalah wanita yang baik. Ia jarang salah mengenali watak seseorang. Walaupun mereka baru bertemu lagi setelah sekian lama, ia yakin Balqis adalah wanita yang baik.

"Ketika seseorang mencoba menjaga perasaan orang lain, apa itu benar-benar berarti baik atau hanya ingin menjaga nilai dirinya sendiri di depan orang lain. Jika seseorang menerima kekerasan dalam waktu lama apa itu berarti baik? Jelas tidak. Karena tidak orang baik yang menyakiti dirinya sendiri." Zeroun masih berbicara.

"Jadi standar orang baik itu seperti apa?" Al bertanya sengit.

Zeroun menatap semua orang. Mereka menanggapi serius pertanyaan Al. Bagi Zeroun, pertanyaan Al hanya kalimat perlawanan. Ketidak setujuannya karena ia tidak menganggap Balqis baik seperti yang semua orang pikirkan.

Pertanyaan Al dijawab Zeroun dengan mengarahkan telunjuk pada dirinya sendiri.

Suasana mendadak hening. Semua orang jelas menahan tawa. Merasa geli.

"Bukan saya!" Zeroun menghela nafas.

Zeroun bisa dengan jelas menangkap kesalah pahaman semua orang mengenai jawabannya. Ia menggeleng. Tidak menyangka satu ruangan bisa kompak melakukan kesalahan berpikir yang sama.

Telunjuk Zeroun memang mengarah pada diri, lebih tepatnya ke arah pelipisnya.

"Standar baik tidaknya seseorang tergantung sudut pandang yang dilihat. Karena berdasarkan sudut pandang, otomatis bukan sesuatu yang mutlak dan orang lain juga harus menerimanya."

"Berarti penilaian Adam tidak salah. Penilaian dia ambil dari sudut pandangnya." Al kembali mendebat.

Rekan satu tim Al mengangguk bersamaan. Memberi dukungan penuh padanya. Setiap kali Al mendebat Zeroun, setiap orang secara otomatis akan mendukung siapa pun lawan Zeroun. Ikut menikmati adu pendapat yang terjadi. Diam-diam berharap Zeroun dapat dikalahkan. Tidak terkecuali Kapten Lukman.

Zeroun menggeleng. "Berbeda situasinya. Kita di sini sedang menilai sebuah kasus. Di mana setiap hal, setiap tingkah laku, patut dicurigai dan dipertanyakan. Di mana segalanya masih dalam zona abu-abu dan tidak boleh diputuskan hanya berdasarkan perasaan atau sudut pandang pribadi."

Al kehilangan kata-katanya. Semua yang ada dalam ruangan setuju dengan jawaban Zeroun. Mereka menerimanya meski tidak ingin.

Zeroun benar lagi. Al kalah lagi. Meski selalu kalah, jika ada perdebatan lagi, akan tetap sama. Al tetap akan mendapat dukungan penuh. Seperti saat ini.

"Oke, oke," Kapten Lukman meminta semua orang kembali fokus. "Sekarang bagaimana dengan hasil otopsinya?"

avataravatar
Next chapter