29 • Dua Puluh Delapan.

Hasil penyelidikan tim satu mengungkap banyak hal yang sebelumnya sama sekali belum diketahui.

Bu Ruri, wanita paruh abad lebih. Tinggi 151 senti. Perawakannya selalu serius dan jarang tersenyum. Rambutnya selalu digelung ke atas. Sangat jarang berbicara dan tidak suka ikut campur. Tubuhnya sedikit gemuk tapi tetap bisa bergerak cepat setiap kali mengerjakan pekerjaan rumah.

Bu Ruri telah bekerja untuk Huda dan keluarga Pradipto selama 22 tahun.

Untuk kehidupan pribadi, Bu Ruri adalah seorang janda. Ia memiliki satu anak perempuan dan satu orang cucu.

Irawan berhasil mengetahui bahwa seminggu sebelum Huda terbunuh, Bu Ruri meminjam uang sebesar 10 juta. Pinjaman itu hanya diketahui oleh Huda, Bu Ruri, dan asisten Huda yang mengambilkan uang.

Anak Bu Ruri memiliki masalah ekonomi. Suaminya yang bekerja di luar negeri sebagai buruh kasar sudah tiga bulan tidak terdengar kabarnya. Tidak juga mengirim uang. Beberapa pinjaman yang pernah diajukan jatuh tempo pada saat yang bersamaan. Jika dalam dua hari bunga dan pinjamannya tidak juga dilunasi, maka kreditor akan mengambil paksa rumah yang ditempati.

Bagaimana situasi Bu Ruri ketika meminta bantuan, ia tidak menceritakan detailnya. Begitu juga alasan mengapa Huda mau memberi pinjaman tanpa jaminan. Bu Ruri sama sekali tidak berani berkomentar tentang itu. Entah karena sudah dianggap keluarga atau karena cara meminta yang mampu meluluhkan hati Huda. Hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu alasannya.

Nurul, 18 tahun. Gadis berlesung pipi, tinggi 158 senti. Di awal ia bekerja, Balqis pernah membantu mengangsur utang keluarganya. Utang yang menumpuk karena harus menanggung biaya pengobatan sang ayah. Nurul memiliki 3 adik yang masih kecil-kecil dan ibunya hanya bekerja sebagai buruh cuci.

Kondisi ekonomi keluarga yang menyebabkan Nurul putus sekolah. Setelah bekerja dengan Balqis, ia disarankan untuk ikut ujian paket C agar memiliki ijazah, agar kedepannya hidup Nurul bisa lebih baik.

Tahu apa yang disukai serta potensi yang Nurul miliki, Balqis juga menawarinya untuk ikut kursus membuat kue. Balqis yang mengaturkan jadwal libur dan jadwal kursusnya. Nurul setuju dengan cepat. Berterima kasih berulang kali.

Nurul, gadis putus sekolah yang awalnya hanya hidup dengan berpikir untuk melunasi utang keluarga, perlahan, mulai membangun mimpi.

"Semua karena Ibu." Nurul berkata dengan rasa terima kasih yang begitu dalam ketika Al bertanya. Tatapannya penuh haru dan syukur. Senyum di akhir kalimatnya menyimpan beribu makna tersembunyi.

Nurul pernah ikut dihukum pecut saat pertama kali bekerja. Ia mencoba ikut campur ketika Huda 'mendisiplinkan' istrinya. Ia kemudian memilih berhenti membela nyonyanya karena biasanya selain menghukum Nurul, Huda juga akan melipat gandakan hukuman istrinya.

Dari informasi yang Adam kumpulkan, dua tahun lalu Balqis mulai mencari ART baru. Agen penyalur yang dihubungi Balqis telah banyak merekomendasikan orang, namun tidak satu pun yang cocok dengan kriteria yang Balqis inginkan.

Alasannya pertama, suami Balqis adalah tipe yang sangat pemilih sehingga tidak cukup modal pengalaman bekerja sebagai pertimbangan. Kedua, akan ada perjanjian kerja yang harus ditandatangani sehingga Balqis sangat selektif dalam memilih.

Rekomendasi terakhir adalah Nurul. Orang yang dinilai paling mendekati kriteria yang Balqis butuhkan. Balqis masih tidak langsung setuju. Ia meminta waktu. Juga meminta untuk bertemu dengan Nurul lebih dulu.

Chiko Anggara, 31 tahun. Meski wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Huda, tapi secara keseluruhan, ada banyak hal yang membuat keduanya berbeda. Tubuh Chiko tinggi, kurus, dengan warna kulit pucat seolah kurang asupan nutrisi. Rambutnya tebal belah tengah. Ia tipe yang tidak banyak bicara, jarang tersenyum, tapi ramah.

Chiko adalah jenis orang yang jika gagal akan bekerja dua kali, bahkan lima kali lebih keras. Tipe gila kerja yang jika ditekan akan semakin gila. Berbeda dengan Huda. Huda adalah jenis orang yang jika gagal, temukan jalan lain. Karena untuk memperoleh keberhasilan, tidak hanya terletak pada jalan satu arah.

Meski telah banyak berkontribusi untuk perusahaan, Chiko tetap diserang secara pribadi mengenai cara negosiasi dan diplomasinya yang kaku. Sebenarnya, secara pribadi sikap Chiko cukup menyenangkan. Hanya jika menyangkut perusahaan, ia menjadi serius dan keras kepala. Ia tidak akan melakukan kompromi. Tidak akan melonggarkan peraturan.

Kepribadiannya sebagai presiden Explora Grup yang begitu kaku membuat beberapa urusan penting seperti negosiasi diserahkan pada adiknya. Huda lebih fleksibel. Ia tahu cara menyenangkan diri sendiri sekaligus membuat orang lain puas dengan kinerjanya. Kepribadian yang sangat bertolak belakang dengan sang kakak.

Menurut informasi yang Dio terima, beberapa kali Huda dan Chiko terlibat beda pendapat, saling bentak. Tidak jarang suara keduanya terdengar sampai meja sekretaris. Dua hari sebelum Huda terbunuh, keduanya juga terlibat perdebatan panjang. Setelah diketahui, perdebatan terjadi karena Huda beberapa kali membuat keputusan sepihak, tanpa persetujuan Chiko.

Sebagai orang yang selalu bertindak hati-hati, terkadang Chiko tidak suka cara adiknya menyelesaikan masalah. Meski Chiko sudah sering mengingatkan Huda, ia tetap tidak mengubah cara kerjanya. Bagi Huda, yang terpenting adalah hasil.

Dibanding adiknya, ada banyak stigma negatif yang beredar mengenai kepribadian Chiko. Juga jabatannya di perusahaan. Chiko menjadi orang yang sering dibanding-bandingkan. Sering dikritik.

Di perusahaan, pengaruh Chiko sebagai Presiden sangat dipandang oleh para pegawai dan pemegang saham. Mereka adalah orang-orang yang tahu persis betapa Chiko telah bekerja keras, melakukan yang terbaik.

Menurut istrinya, Chiko tidak pernah terpengaruh omongan orang. Ia sama sekali tidak peduli. Baginya kerja keras akan membuktikan kualitasnya. Walau ada selentingan mengenai Huda yang menginginkan jabatan sebagai Presiden atau berambisi ingin menggantikan posisinya, Chiko tahu itu tidak benar. Tidak beralasan.

Hari itu pun sama. Semalam Chiko telah memberi kabar ia akan datang pagi-pagi sebelum berangkat kerja. Chiko tidak suka karena lagi-lagi Huda membuat keputusan seenaknya. Huda mengakuisisi sebuah perusahaan penyulingan kecil tanpa membicarakannya lebih dulu. Chiko datang untuk membahasnya. Untuk memperjelas posisi mereka.

Balqis, 26 tahun. Tinggi 165 senti. Kepribadiannya yang ramah dan baik hati telah diketahui banyak orang. Ia rendah hati. Lebih suka mendengarkan dibanding berbicara. Ia selalu menghindari perdebatan dan memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih cepat dibanding kebanyakan orang.

Selain ayah dan ibu, Balqis memiliki dua orang adik. Satu laki-laki yang sedang menyelesaikan kuliah semester akhirnya di luar kota, dan satu lagi adik perempuan yang tinggal bersama mereka.

Lahan kelapa sawit yang saat ini dimiliki ayah Balqis, awalnya adalah tanah warisan bersama kedua saudaranya. Pelan-pelan ia mengumpulkan uang untuk membeli sebagian lagi lahan saudaranya yang tidak difungsikan. Dan, jadilah perkebunan kelapa sawit yang sekarang.

Sebelum memulai bisnisnya, ayah Balqis adalah salah satu pegawai di Explora Grup.

Balqis telah mengenal Huda selama nyaris 10 tahun. Karena merupakan wanita cerdas, ia bisa belajar bisnis dan mengerti saham dengan cepat. Bisa mengimbangi cara hidup Huda dan bersosialisasi dengan kolega-koleganya.

"Ada kalanya saya merasa lelah. Tapi karena saya telah memutuskan menikah dengan Huda, saya jadi tidak bisa berhenti." Balqis berkata dengan binar-binar mata mengenang. "Saat itu Huda juga selalu mendukung saya."

Tiga bulan pertama pernikahan terasa begitu indah. Memiliki suami yang sangat mencintainya dan mertua yang sayang padanya.

Tiga bulan selanjutnya dihabiskan Balqis untuk beradaptasi. Balqis berusaha mengejar langkah suaminya. Berusaha mengimbangi pijakannya. Mempelajari banyak hal. Melihat, mendengar, dan menemui sesuatu baru. Berkenalan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda dengannya, juga membuka diri pada publik.

Di tahun yang berbeda, hari-hari indah serta kerja kerasnya pelan-pelan menjelma menjadi neraka. Perubahan yang begitu tiba-tiba.

Huda mulai menetapkan standarnya untuk urusan rumah dan segala hal tentang Balqis. Huda mulai menggunakan istilah 'mendisiplinkan' untuk kekerasan yang dilakukannya. Semakin hari cara 'mendisiplinkan' Huda semakin liar. Ketika hilang kendali, Huda bisa memukul Balqis berkali-kali. Tanpa ampun.

Selama menikah dengan Huda, Balqis telah 5 kali masuk rumah sakit. Tiga kali karena kekerasan yang Huda lakukan, dan dua kali untuk percobaan bunuh diri.

Mendengar laporan yang Adam sampaikan, tanpa sadar Al meremuk kertas laporan yang ada di tangannya. Ia menatap ke arah meja walau pikirannya tidak sedang di sana. Seperti Zahra dan Nanda, hatinya tersayat perih. Perasaannya turut terluka. Seperti Zahra dan Nanda, ketidak tahuan melahirkan penyesalan dan rasa bersalah yang sangat.

Bagian yang paling menyedihkan adalah tidak ada yang tahu apa yang selama ini Balqis alami. Tidak teman-teman, orang tua, ataupun mertua yang katanya begitu menyayanginya. Tidak ada. Sampai pelaku menjadi korban dan semuanya bertambah rumit. Balqis benar-benar melalui hari-hari yang penuh kesakitan dan air mata seorang diri.

Diketahui bahwa Balqis pernah pulang ke rumah orang tuanya selama dua minggu. Balqis juga pernah melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan Huda padanya. Tapi kecerdikan dan kelicikan Huda melampaui segala usaha Balqis. Pada akhirnya ia tetap tidak bisa terlepas.

Huda tidak pernah memukul wajah atau bagian lain yang mudah terlihat. Tidak juga ada saksi karena tembok-tembok rumah dibangun kedap suara. Segala kegiatan Balqis dibatasi. Apa yang boleh dan tidak boleh, Huda yang mengatur semua.

Adam menyimpan catatan dan memfoto hasil rontgen 5 kali Balqis masuk rumah sakit. Juga hasil visum yang baru-baru ini Balqis lakukan. Adam juga menambahkan semua usaha Balqis berhenti setelah ia berhasil selamat dari usaha bunuh dirinya yang terakhir.

"Sekarang kita tahu keempat saksi juga memiliki motif untuk membunuh korban," ucap Adam setelah semua informasi selesai disampaikan.

"Apa benar seorang kakak yang hidup dalam bayang-bayang adiknya dan selalu dibanding-bandingkan, dikritik, bisa tetap baik-baik saja? Kenapa setelah usaha bunuh dirinya yang terakhir, Balqis berhenti berusaha? Jika merasa berhutang budi dan menganggap Balqis sebagai kakaknya, kenapa Nurul tahan hanya diam saja melihat Nyonyanya disiksa? Jika ada yang mengajak Bu Ruri bersekongkol melakukan pembunuhan apa dia akan menolak? Bukannya itu bisa jadi jalan tercepat untuk melunasi 10 jutanya." Dio mengungkapkan banyak keraguan.

Hening. Tidak ada tanggapan.

Di situasi ini, mendadak semua orang ingin Zeroun berada di tengah-tengah mereka. Zeroun memang menyebalkan. Hanya pendapatnya saja yang ingin didengar. Tapi di balik itu, Zeroun adalah pria yang bisa diandalkan. Meski semua komentar yang keluar dari mulutnya tidak ada yang baik, tapi semuanya masuk akal.

Suasana masih hening ketika mendadak Dio berseru. Membuat Kapten dan yang lainnya melompat dari tempat duduk mereka karena terkejut.

"Saya tahu!" ujarnya penuh semangat. Seolah baru saja mendapat ilham. "Bagaimana kalau semua orang berkomplot untuk membunuh Huda. Mereka semua punya motif, jadi tidak heran kalau semua orang saling bekerja sama dan menyusun rencana pembunuhan."

"Jadi kenapa hanya Balqis yang memiliki alibi saat pembunuhan terjadi?" Seseorang akhirnya bereaksi. Irawan.

"Karena..." Dio mengambil jeda untuk berpikir sesaat. "Dia yang paling menderita," jawabnya ragu.

Irawan menertawakan jawaban Dio yang begitu naif untuk ukuran pria seusianya.

"Atas dasar apa Balqis ditetapkan sebagai orang yang paling menderita?" Irawan bertanya. "Chiko yang kemungkinan sudah sejak kecil hidup dalam bayang-bayang adiknya, apa tidak menderita juga? Nurul yang berhutang budi tapi merasa tidak berdaya, marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa diandalkan, apa tidak menderita juga? Bu Ruri yang melihat bagaimana Huda tumbuh menjadi manipulator, yang mungkin saja pernah menjadi korban, apa tidak menderita juga?"

Dio memerhatikan Irawan lekat-lekat. Ia tidak sedang memikirkan ucapan Irawan, melainkan pembawaannya. "Kenapa mendadak kamu terdengar seperti Zeroun, sih?!" sengit Dio.

Irawan mengangkat bahu dan kedua tangannya bersamaan. Ia tidak sedang meniru, itu pasti terjadi secara sendirinya. Ia hanya menyampaikan apa yang ada dipikirkannya.

"Al!" Adam menggeser kursinya lebih dekat ke tempat Al duduk. Tidak seperti biasanya Al sama sekali belum menyampaikan pendapatnya. Ia mengalungkan lengannya di leher Al. "Menurutmu siapa yang paling berpeluang menjadi pelakunya?"

Pertanyaan Adam membuat seketika Al menjadi pusat perhatian. Dio, Irawan, dan Kapten Lukman menunggu. Mereka juga tertarik untuk mendengar pendapat Al.

Beberapa hari ini Al telah banyak berpikir, tapi ia ingin berpikir sekali lagi sebelum menjawab.

"Saya..." Al menggelengkan kepalanya. "Semua orang memiliki peluang yang sama. Seperti kata Zeroun, harus ada kesempatan baru kejahatan bisa terjadi."

"Jadi siapa yang paling memiliki kesempatan?" Adam bertanya lagi.

"Chiko!" Dio, meski bukan orang yang ditanya menjawab dengan cepat.

"Nurul juga," Irawan menimpali. "Dia yang terakhir kali mendengar suara dari kamar mandi. Bagaimana kalau ternyata keterangannya bohong?"

"Balqis, satu-satunya yang memiliki alibi sempurna juga mencurigakan," Kapten Lukman ikut menimpali.

Al menatap ke arah Kapten Lukman. Begitu juga Adam, Dio, dan Irawan. Mereka sama-sama berpikir. Sesuatu yang terlihat sempurna kadang kala memang lebih mencurigakan.

"Al, menurutmu?" Adam kembali pada Al. Satu-satunya yang belum memberi jawaban.

Kembali Al menggelengkan kepalanya. "Zeroun bilang, untuk bisa melihat sesuatu secara objektif, kita harus meletakkan keempat orang itu pada posisi yang sama."

"Kenapa kamu terus mengkopi-paste kalimat Zeroun?" Dio protes.

"Kenapa kamu terus protes tentang Zeroun?" Irawan balik memprotes Dio.

"Loh, bukannya kita semua enggak suka sama dia?" Dio menjeda kalimatnya karena fokus pada tatapan Irawan. Irawan memberi isyarat dengan bola matanya yang menunjuk ke arah Kapten Lukman. "Maksud saya sifatnya," tambah Dio meralat.

"Kenapa sih kamu sensitif sekali kalau dengar nama Zeroun?" Kali ini Adam yang protes.

"Iya, ya kenapa saya jadi sensitif begini?'" Dio bertanya, lebih kepada dirinya sendiri.

"Omong-omong Zeroun kemana, sih? Kenapa di saat segenting ini dia justru ambil libur?" Adam tanpa sadar memprotes Kapten Lukman yang memberi Zeroun izin.

"Ada urusan pribadi, katanya," jawab Kapten sembari mengangkat bahunya.

"Urusan pribadi? Apa Zeroun punya pacar?" Adam menerka-nerka.

Adam beralih pada Al, Dio, dan Irawan. Ketiganya mengangkat bahu bersamaan. Tidak bisa membayangkan ada yang betah bersama seseorang yang begitu menyebalkan.

"Sepertinya enggak mungkin."

Refleks semua orang menggeleng bersamaan.

"Kalau penasaran, kenapa salah satu dari kalian tidak pergi dan bertanya langsung pada orangnya?" Kapten Lukman memberi saran.

Dengan mengutus salah seorang dari mereka, mereka bisa mendapatkan informasi. Pertama, tentang kasus. Kedua, tentang urusan pribadi apa yang Zeroun lakukan di hari liburnya. Sekali dayung, dua informasi bisa didapatkan.

Ide bagus!

Semua yang berada dalam ruangan saling menatap. Mereka bertukar pandangan. Adam tersenyum. Dio juga tersenyum. Irawan ikut-ikutan tersenyum. Apa yang ada di pikiran ketiganya sama. Mereka sama-sama menatap Al. Dengan senyum yang semakin lebar.

"Saya?" Al menunjuk dirinya. "Sendiri?"

"Kapten, 'kan tadi bilang salah satu dari kita." Dio mengingatkan. Menekan kata-katanya.

"Kalau begitu saya hubungi dulu orangnya." Al mengambil ponselnya, ketika ia akan mulai menghubungi, Adam melarang.

"Jangan dihubungi, langsung datangi saja ke rumahnya," kata Dio. "Kalau dihubungi dia pasti punya 1000 alasan buat enggak mau diganggu."

Adam mengangguk setuju. Irawan ikut mengangguk setuju juga. Terakhir, Kapten Lukman juga mengangguk.

Al menghela nafas, kemudian bersiap untuk mengunjungi Zeroun.

Adam, Dio, dan Irawan melakukan high five atas kekompakan mereka mengintimidasi Al.

avataravatar
Next chapter