7 Bab 6 ~ Papa

Malam itu ...

"Apa yang Papa lakukan? Reen ga akan menyetujui rencana Papa."

"Tapi ini yang terbaik buat dia. Apa Mama mau melihat dia terus-terusan seperti sekarang ini?"

"Tapi dia suka. Dia melakukan semua hal itu atas kemauannya sendiri. Lalu kenapa justru sekarang kita memaksanya meninggalkan apa yang dia suka?"

"Tapi apa yang dia kerjakan saat ini tak menghasilkan apapun. Coba kalau dia mau menggantikan pekerjaan yang sudah kita siapkan. Dia tidak perlu bekerja keras, tinggal meneruskan saja, kan?"

"Tapi, Pa ...."

"Papa nggak ngerti jalan pikiran kalian para wanita. Apa yang sebenarnya ada di otak kalian? Papa sudah bersusah payah merintis kerajaan bisnis ini untuk kalian. Terutama untuk Reen, agar dia tidak perlu kesusahan menjalani kehidupannya kelak."

Papa nampak berhenti sejenak mengatur napas yang hampir terputus dengan segala emosi yang terluap. Lelaki yang masih nampak gagah di usia 50 tahun itu mengelus dadanya pelan.

"Aku ... tak sanggup melihat dia pergi pagi pulang malam ketika harus tampil. Aku tak sanggup melihat tubuh kecilnya harus berusaha sekuat itu hanya demi sebuah pengakuan publik. Cukup aku yang merasakan semua itu, Ma. Jangan dia. Aku ...." Papa tergugu di depan mama. Wanita itu pun menghambur dalam peluknya.

Aku tercekat di depan pintu. Setitik air mata lolos dari sudut mataku. Hatiku masih belum bisa mempercayai kejadian yang baru saja aku lihat dan dengar tanpa sengaja saat aku melintas di depan ruang kerja papa.

Mana mungkin itu papa? Mana mungkin aku salah paham? Mereka pasti bersandiwara. Mereka pasti sengaja bersikap seperti itu, agar aku dengan sukarela meninggalkan duniaku saat ini.

Dengan derai airmata, aku pun berlari kembali ke kamar. Aku sudah lupa, kalau aku tadi ternyata haus dan ingin mengambil air minum di dapur yang melintasi ruang kerja papa.

*****

"Reen, kamu kenapa?" Reno menepuk bahuku pelan saat dia tiba di cafe tempatku saat ini membolos sekolah.

"Hai Nok," sapaku lesu.

"Hei. Kenapa dengan wajahmu? Kamu habis nangis? Ada yang gangguin kamu? Atau ...." Aku menarik tubuh Reno dan memeluknya, hanya agar tak lagi ada pertanyaan dari mulutnya.

"Reen." Kurasakan tubuhnya menegang sesaat. Aku tak lagi peduli akan hal lainnya. Aku hanya butuh sandaran atas rasa yang menghantam dadaku.

Reno menegakkan tubuhku agar bisa lepas dari peluknya.

"Hei ... kenapa? Cerita sama aku, jangan begini." Dia menatap tajam mataku.

"Nok. Papa ...." Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku lagi. Tanpa persetujuanku, airmata itu lolos dari sudut mataku.

"Ssshh ... sudah. Tenangkan dirimu dulu." Reno mengambil tempat duduk di sebelahku, dia sepertinya  benar-benar menjaga jarak dariku.

"Memangnya papamu kenapa Reen?" tanyanya pelan.

"Entahlah, Nok. Aku nggak tahu harus mulai dari mana?" Aku menghela napas panjang. Kulempar pandangan keluar jendela yang berada tepat di sisi kiriku.

"Beliau marah lagi?" Aku menggeleng pelan. Nampak Reno juga mengernyitkan kening.

"Terus kenapa?" desak Reno sekali lagi.

Aku hanya mendesah pelan. Keraguan menghantamku saat Reno dengan sukarela menawarkan perhatiannya. Aku takut. Takut membuatnya khawatir. Takut membuatnya mendekatiku hanya karena kasihan padaku.

"Papa ingin aku sekolah keluar negeri." Hanya itu yang keluar dari mulutku, aku tak ingin mengatakan lebih.

"Dan kamu setuju begitu saja?" tanya Reno tak percaya, "Seperti bukan kamu. Katakan Reen, ada apa?"

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ... jadi sedih kalau hal itu benar-benar terjadi." Aku menundukkan pandangan, memainkan jemariku di pangkuan.

"Reen. Sumpah. Ini tidak lucu. Katakan kalau kamu bercanda."

"Hahaha. Ya-ya-ya, aku bercanda," kataku sambil tertawa, "Puas?" tanyaku lagi saat menghentikan tawaku.

Reno mengacak rambut panjangnya. Wajahnya nampak gusar.

"Nok. Kali ini, izinkan aku pergi. Aku yang selama ini selalu menentang kata-kata Papa, yang selalu ingin membuatnya marah, yang ingin membuatnya sekali saja melihat keberadaanku. Aku lelah. Sekali ini, aku ingin menuruti kata-katanya dan membuktikan padanya, bahwa aku pun bisa dibanggakannya. Boleh, kan, Nok?" tanyaku tanpa mampu melihat mata Reno. Aku tak ingin mengubah niatku. Aku harus berdiri untuk Papa dan Mama. Demi mereka bangga meski aku yang terluka.

avataravatar
Next chapter