6 Bab 5 ~ Zidan

"Team! Ini kesempatan kita. Kesempatan untuk menjadi lebih baik. Jadi, tolong jaga konsentrasi. Rileks ... tapi serius. Oke?" Reno mengumpulkan kami dan memulai khotbahnya sebelum kami bersiap naik ke panggung.

Kami menganggukkan kepala dan mulai saling menggenggam tangan untuk menyalurkan energi positif. Mengalirkan kepercayaan diri agar tim ini bisa meraih sukses bersama. Kami mulai dengan mengalunkan doa atas usaha kami.

Di atas sana, sebuah panggung besar menanti kami. Di depannya terdapat beberapa kursi kosong yang nantinya akan diisi oleh beberapa artis terkenal. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa kami akhirnya bisa berdiri di sana. Panggung kompetisi band indie yang tersohor di seluruh negeri.

Gegap gempita suara musik mulai memekakkan telinga. Menandakan acara akan segera dimulai.

"Reen. Pakai ini." Kak Yuni menghampiriku dan memasang in-ear monitor*) di telingaku. Aku terdiam melihatnya sibuk menyiapkan keperluanku untuk tampil di panggung itu. Bahkan dia, yang tak melahirkanku ke dunia ini, sangat perhatian padaku. Tapi kenapa mama ....

"Reen." Kak Yuni mengusap air mata yang lolos dari sudut mataku. "Jangan sedih. Kak Yuni akan selalu di sisimu. Semangat, ya."

Aku memeluk erat kak Yuni. Aku sungguh berharap, dia adalah mamaku. Mama yang kurindukan senyumnya.

*****

Satu persatu, kami mulai menaiki panggung besar itu setelah pembawa acara memanggil nama band kami. Kurasakan keringat dingin membasahi telapak tanganku. Dengan sigap, Reno mengambil tanganku dan mengusapnya pelan. Seakan ingin menyalurkan kekuatan dan ketenangan darinya. Aku pun tersenyum dan mengangguk mantap.

Baru kali ini. Ya, pertama kalinya aku berdiri di depan begitu banyak mata yang menatapku. Debar di jantungku membuat aliran darah di tubuhku mengalir sedikit cepat. Tubuhku pun sedikit memanas ketika tatapan mata para juri mulai terasa menelanjangi kami.

"Reen! Kamu bisa!" teriak kak Yuni dari samping panggung. Aku pun mulai mencoba mengontrol emosiku.

"Ready?" tanya Reno yang dengan segera mulai mengetukkan stik drumnya memberi tanda akan dimulainya penampilan kami.

Detik selanjutnya, kami sudah tenggelam dalam irama kami. Mencoba memberi yang terbaik pada mereka yang duduk di depan sana. Menampilkan kami yang tulus mencintai dunia ini.

*****

"Alhamdulillah!" Kami berempat berangkulan sesaat setelah turun dari panggung.

"Ingat! Jangan pernah berharap terlalu tinggi. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin, kini saatnya kita berserah. Apapun hasilnya nanti, kita tidak akan pernah berhenti mencoba. Kita harus kuat dan saling menguatkan. Siap?" ceramah Reno.

"Siap!" sahut kami kompak.

"Kids. I love you," ucap kak Yuni berkaca-kaca.

"I love you too, Kak," balas Anton bersiap memeluk kak Yuni.

"Minggir!" Aku mendorong tubuh Anton menjauhi kak Yuni dan merangkulnya dengan cepat.

"Ah, Maureen! Rese!" protes Anton. Aku hanya menjulurkan lidah yang disambut tawa oleh kak Yuni.

"Hi guys!" sapa seseorang dari belakang kami. Seorang pemuda tampan yang tadi sempat menolongku.

"Hai. Eemm ... kita ...."

"No-no-no. Kita belum pernah kenal sebelumnya," ucapnya memahami pandangan mata Reno yang bingung karena sapaannya barusan. Reno mengangguk pelan.

"Jadi ...."

"My name is Zidan Akbar, you can call me, Zeen." Lelaki itu mengulurkan tangan kami sambut dengan senang hati.

"Hai. Reno."

"Anton."

"Yuwa."

"Yunita."

"Maureen."

"Hai Maureen."

"You can call me Reen," balasku seraya menyipitkan mata.

"Ah. We have a similar called." Tawanya terdengar riang menyapa telingaku.

"Kamu bukan asli Indonesia?" selidik Reno saat menangkap gejala sikap Zeen yang nampak tertarik padaku.

"Yep. Tapi aku bisa bicara Indonesia. Aku sudah lima tahun tinggal di Jakarta. Aku salah satu tim penyelenggara kompetisi ini.

"Ooh." Kami pun spontan ber-O bersamaan. Zeen tertawa melihat kekompakan kami.

"Dibawah panggung pun kompak," selorohnya.

"Maaf, nih, Zeen. Ada perlu apa, ya?" tanya kak Yuni hati-hati.

"Tidak. Hanya ingin berkenalan saja. Terutama dengan kamu." Dia menatapku sambil tersenyum manis, "Maaf tadi aku tidak sengaja."

Oh, mama. Kenapa tiba-tiba jantungku kembali berdetak dengan cepat. Apalagi pandangan matanya yang tertuju lurus padaku, membuat pipiku memanas. Ingatanku kembali pada kejadian sebelum kami naik ke panggung tadi.

Blush! Otomatis garis bibirku tertarik ke atas, membentuk lengkung sempurna yang menambah kadar kecantikanku naik menjadi 120%.

Kami saling melempar senyum seolah tak pernah ada orang lain di sekitar kami. Mereka bagai lebah-lebah berisik yang sedang mengerumuni tangkai bunga yang sedang mekar.

"Ehem!" Deheman Reno menyadarkan kami.

"Busyet! Ada apa dengan kalian tadi? Kayaknya seru amir," goda Anton tanpa melihat tatapan maut kak Yuni.

"Diem kamu Ton!" bentak kak Yuni.

"Maaf. Tadi dia hampir jatuh karena kesalahan saya. Tapi, tidak jadi jatuh, kan, ya?" jelasnya tanpa melepas pandangannya padaku.

"Eh. Iya-iya. Tadi ... dia ... nabrak aku, gitu. Tapi, dia nolongin aku." Kenapa aku tiba-tiba jadi gugup gini ya?

"Reen!" sentak Kak Yuni dan Reno bersamaan, mereka menatapku tajam. Seolah ingin mengulitiku sampai habis. Aku gelagapan dibuatnya. Memangnya apa salahku?

avataravatar
Next chapter