4 Bab 3 ~ Reno

Hari gini, masih ada orang tua yang tidak mendukung anaknya jadi musisi? Kuno banget. Mungkin itu yang ada dalam benak kalian. Dan itu juga yang ada di benakku saat ini.

Kemarahanku tak sebesar keherananku. Bahkan saat kecil, mereka tak sebenci ini dengan aktivitas panggungku. Atau ... mungkin saat itu mereka berpikir, itu hanya dunia anak-anak yang sambil lalu, sehingga mereka tidak begitu keras melarangku.

Aku mencoba untuk memutar kembali memori masa kecilku. Mengingat saat Papa dan Mama melarangku menyanyi. Tidak pernah. Bahkan mereka sangat mendukungku, buktinya mereka membelikanku keyboard untuk latihanku menyanyi.

"Reen!"  Aku tersentak saat suara Reno menggetarkan gendang telingaku.

"Kemarin Yuwa, sekarang kamu. Ada apa, sih, dengan kalian girls?" bentak Reno, wajahnya memerah menahan marah.

"Sorry, Nok. Sekali lagi, ya? Please ...." pintaku sambil memasang wajah imut yang kata Kak Yuni tak terkalahkan.

"Fine. Sekali lagi. Kalau salah lagi, kita sudahi saja latihan ini. Capek tau!"

"Siip!" Aku harus bisa. Aku bisa!

****

Latihan itu akhirnya selesai. Aku menarik napas lega. Reno sudah tidak marah-marah. Yuwa dan Anton juga terlihat bercanda sambil membereskan alat-alat mereka. Aku hanya terdiam menunggu mereka selesai.

"Kak Yuni mana Reen?" tanya Anton.

"Ngapain cari Kak Yuni? Caper kamu?"

"Jiah. Usaha dikit boleh, kan?"

"Najis punya sepupu kayak kamu. Jauh-jauh sana!"

"Awas kamu, ya! Kalau beneran aku jadian ama Kak Yuni ...."

"Kagak bakal," potongku cepat.

"Kupelet,"

"Kusantet!"

"Ya ampun, apaan, sih, kalian?" sela Reno menengahi pertengkaran kami.

"Reen. Ntar kuanter pulang, ya? Aku sekalian ada perlu di sekitar rumahmu," kata Reno santai. Sempat kulirik Yuwa yang nampak menegang sejenak. Aku tahu, Yuwa memang lama naksir Reno. Tapi dia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Aku tahu, dia juga tahu kalau Reno tidak pernah melihatnya sebagai seorang gadis.

"Boleh. Mau kemana, Nok?" Aku mengambil tas ranselku dan mengikuti langkahnya keluar ruangan.

"Ada, deh. Mau tahu aja," katanya sambil nyengir.

"Mau ketemu cewek, ya?" bisikku di telinganya.

"Ssstt! Ra-ha-sia!" bisiknya balik.

Kami lantas tertawa menyadari kekonyolan ini. Aku sadar, sepasang mata dari tadi mengawasi tingkah kami. Dan semua memang aku sengaja, untuk memancing perasaannya. Perasaan Yuwa.

*****

Diatas motor yang dikemudikan Reno, kembali aku mencoba memahami hatiku. Mencoba menggali perasaanku. Benarkah ini yang kuinginkan?

"Apa kamu serius menekuni dunia ini? Apa yang kau harapkan dengan menjadi penyanyi? Apa kamu ingin uang yang banyak dengan menjual suaramu?" tanya Papa padaku suatu hari.

"Maksud Papa?"

"Papa lihat, beberapa hari yang lalu kamu meninggalkan pelajaran karena ada acara menyanyi. Apa kamu seserius itu?"

"Darimana Papa tahu?" Tentu saja aku kaget mendengar pertanyaan Papa, karena saat itu aku memang pergi diam-diam.

"Jadi, kamu memang sengaja, kan?"

"Pa ... aku ...."

"Reen. Papa kecewa sama kamu. Papa sudah memberi kamu kepercayaan, tapi kamu salah gunakan. Apa yang kamu inginkan? Terkenal?"

"Pa ...."

"Papa kecewa. Sungguh." Papa berlalu tanpa mendengar penjelasanku. Namun mendengar desah kecewa dari Papa membuatku jadi semakin bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku?

Plak!

"Auu!" jeritku saat kurasakan sebuah tepukan mendarat di helm yang aku kenakan.

"Ngelamun, wae! Turun!" bentak Reno.

"Iya, iya. Duh, pake nggeplak lagi. Awas kamu, ya," sungutku sambil bergegas turun dari motornya.

"Whoiii ... helm! Lepas!"

"Ya ampuuun. Iya-iya, sabar kenapa?" Aku sengaja memperlambat gerakan membuka helmku untuk menggodanya. Dengan geram dia pun menarik tanganku membuat jarak kami jadi lebih dekat. Aku menahan napas saat tangannya terulur ke wajahku, membuka tali helm di bawah daguku. Mataku berkedip beberapa saat melihat wajahnya yang begitu dekat denganku. Ternyata Reno memang seganteng itu. Wajar kalau Yuwa begitu sukanya.

"Udah! Sana masuk!" kata Reno memalingkan wajahnya. Ada sedikit rasa kecewa ketika dia tak memberiku harapan untuk sedikit mendapat kasih sayangnya.

"Reen, baik-baik sama Papa, ya? Beliau sangat sayang padamu," katanya sambil tersenyum.

"Eh? Papa?"

Reno tak menjawab apapun. Hanya tersenyum dan melambaikan tangan saat berlalu dari hadapanku. Apa lagi ini? Reno dan Papa?

avataravatar
Next chapter