3 Bab 2 ~ Duniaku

"Ulang!" teriak Reno. Entah kenapa Yuwa hari ini melakukan banyak kesalahan, membuat Reno dan Anton memarahinya terus-terusan.

"Yu! Konsentrasi!" Aku menatap Yuwa iba. Dia memang terlihat gelisah, hingga beberapa kali dia menekan tuts yang salah. Aku sebenarnya ingin menghiburnya, tapi aku capek, berkali-kali mengulang nada yang sama.

"Sudahlah Nok, kita istirahat dulu, ya?" leraiku. Reno yang sudah hendak marah lagi mencoba menahan diri.

"Yuk, Yuwa. Kita keluar dulu." Seperti orang yang kehilangan nyawa, Yuwa hanya menurut saja ketika aku menarik tangannya keluar ruangan.

Sore ini, seperti sore-sore yang lalu. Kami kembali berada di studio sewaan untuk latihan. Sudah banyak studio yang kami datangi, tapi kami paling suka dengan studio yang ada di sini karena fasilitasnya paling lengkap tapi terjangkau dengan kantong kami.

Di depan studio ini ada cafe mini tempat biasa kami nongkrong seusai latihan.

"Lemon tea?" tanyaku yang dijawab Yuwa dengan anggukan cepat.

Aku menuju counter dan memesan dua lemon tea serta french fries seporsi.

"Santai Yu, mungkin Reno sedang capek. Jadi agak sedikit keras tadi bicaranya."

Yuwa menghela napas panjang.

"Coba kalau kamu yang bikin salah. Dia tidak pernah membentakmu, kan?" Aku terperanjat dengan kata-katanya.

"Ah, kamu salah ingat kali, dulu dia pernah membentak semua anggota, kan? Padahal dia sendiri juga salah," elakku agar Yuwa sedikit melupakan kejadian tadi.

Yuwa mengernyitkan kening, memiringkan kepala, mencoba mengingat kejadian yang aku bilang.

"SD pelemahan. Ingat?"

"Ya ampuuun. Itu sudah lama banget. Iya bener, konyol banget dia, tuh." Yuwa tertawa setelah berhasil memulihkan ingatannya.

"Kamu sedang haid?"

"Nggak."

"Berarti kamu sedang ada masalah," kataku tanpa meminta pendapatnya. Yuwa hanya melongo mendengar kata-kataku. "Benar, kan?"

"Sumpah! Kamu gila, Reen," ujarnya sambil nyengir, "Kamu belajar jadi dukun di mana?"

"Rahasia dong. Ntar kamu ikutin, hilang ilmunya," jawabku asal. Yuwa hanya tertawa menanggapinya.

"Kamu memang paling pintar di antara kami semua. Kenapa memutuskan jadi penyanyi? Kenapa kamu tidak ingin jadi bos seperti orang tuamu saja? Atau jadi dokter, mungkin?" Yuwa memandangku dengan tampang penasarannya. Sedangkan aku, hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Pertanyaan klasik.

"Kenapa kamu nge-band?" tanyaku balik.

"Karena aku suka main keyboard."

"Jadi hanya suka? Bukan karena panggilan jiwa?" tanyaku.

"Panggilan jiwa? Please, deh, Reen. Definisi itu saja aku tidak memahaminya," kata Yuwa tanpa perlu menutupi diri.

"Sama. Aku juga menyanyi karena aku suka. Dan untuk saat ini aku ingin menikmatinya selagi aku masih suka. Lalu kenapa kamu bertanya begitu padaku?" Yuwa menggaruk kepalanya yang kutahu pasti tidak gatal.

"Panggilan jiwa?" tanya Yuwa bingung.

"Tidak perlu memahami panggilan jiwa kalau itu akan menyulitkanmu. Hanya cukup satu kata. Suka. Apa perlu alasan khusus untuk suka?" Aku menelengkan kepala sambil tersenyum menang.

"Yuk, ah. Ngobrol ama kamu nggak tambah bener, malah pusing." Aku tertawa mendengar kata-katanya.

"Tenang, Yu. Aku dan Reno tidak ada hubungan apa-apa." Aku mengerlingkan mata ketika kurasakan tubuhnya menegang di depanku. Hampir saja bola mata itu bisa dengan mudah kucungkil keluar ketika aku menertawakannya.

"Kamu ...."

"Ayooo ... katanya mau jadi bener." Aku melangkah masuk studio mendahuluinya. Yuwa mengikuti langkahku dengan lesu. Mungkin dia malu karena sikap cemburu butanya telah membuat dia nampak bodoh di mataku.

*****

"Darimana kamu? Ngamen lagi?" tanya Papa ketus.

"Assalamualaikum, Pa." Aku mendekatinya, meraih tangan, dan mengecupnya ringan.

"Waalaikumsalam," jawab Papa enggan.

"Maaf Pa, aku capek. Boleh aku masuk dulu?" pamitku pada Papa. Meski beliau menyakiti perasaanku, membentakku, atau bahkan akan menghajarku, Alhamdulillah papa belum pernah menurunkan tangannya padaku, namun aku akan tetap bersikap baik padanya.

"Kamu belum menjawab pertanyaan Papa. Kamu ngamen lagi?" geram papa.

"Iya, Pa. Maaf," jawabku pelan, meski dalam hatiku ingin kuteriakkan kata, "Iya, aku ngamen. Papa puas?!"

"Kamu memang ...."

"Pa, please. Not now, I'm sorry." Aku terpaksa meninggalkan papa dengan segala kebenciannya. Biar. Biar saja.

avataravatar
Next chapter