14 You'll Be Mine

Senyum manis diantara lesung pipi yang kentara menghiasi wajah Chika yang masih memegang piring berisikan makan siang keduanya—satu piring berdua. Mengucapkan satu kata yang sangat ingin Dirga dengar dari birai merah milik Chika. Ritme jantungnya tak beraturan saat itu juga.

Sayangnya, Dirga harus menelan mentah-mentah bayangan manis itu. Bukannya suara sang damba yang didengarnya, malah suara berat yang melambung. Ayah Chika datang tidak tepat waktu.

"Sayang,"

Diam-diam Dirga menghela nafasnya, dirinya juga melihat Chika menertawakannya. Mau tidak mau Dirga harus memasang senyum didepan calon mertua. Tidak salahkan jika dirinya berharap? Lagipula dia merubah jalur hidupnya.

"Papi, lihatlah separuh kamar Chika yang sudah selesai. Bagus kan?" tunjuknya pada sang ayah.

Abraham selaku ayah dari Chika mengitari kamar putri satu-satunya. Mengangguk kecil sebagai bentuk apresiasi hasil tangan Dirga. Mungkin dimasa depan sang ayah berharap Dirga juga bisa membangunkan rumah untuk Chika hidup bersamanya.

Tolong jaga rahasia ini, jangan sampai Dirga mendengarnya. Pasti akan melebihi gorila kegirangan.

Pada dasarnya ayah Chika memang tidak mengizinkan gadis kecilnya untuk berpacaran. Namun, melihat keseriusan Dirga saat menjaga dan menemani putrinya, kini cara pandangnya terhadap Dirga berubah. Dan menurut sang ayah, juga belum waktunya untuk memberi tahu keduanya tentang hal ini.

Andai Dirga bisa mengutarakan perasaannya saat ini, rasanya jantung Dirga hampir copot saja, saat melihat cara ayah Chika memandang gambar hati di dinding kamar anaknya. Alis pria paruh baya itu dinaikkan sebelah, tangannya juga dilipat di depan dada. Terlihat berwibawa sekali dimata Dirga. Pasti Chika tidak mewarisi sifat laki-laki yang dipanggil 'om' itu.

"Tunggu, sepertinya tadi Papi mendengar 'sayang-sayang'. Memangnya siapa sayang siapa?"

Mampus kau, Dirga, begitu batin Dirga. Dirga frustasi saat ayah Chika melontarkan kalimat itu. Dirinya juga mengigit bibir bawahnya. Chika yang melihatnya hampir ingin menertawakannya lagi.

"Tidak tahu tuh, Pi," ujar Chika yang juga berakting seperti tidak tahu.

Chika ini bagaimana, ya. Sudah tahu Dirga diposisi sulit menjawab, bukannya membantu malah semakin membuat Dirga berada dalam masalah. "Mungkin Papi salah dengar. Tidak ada kok yang berkata 'sayang-sayang'. Kak Dirga itu berkata 'layang-layang' untuk gambar di dinding. Tapi Chika menolak" jelasnya.

Ya walau terdengar tidak masuk akal, Dirga tetap memanjatkan syukur karena Chika membantunya. Benarkan apa yang Dirga pikirkan tadi, sifat kewibawaan ayahnya tidak menurun ke Chika. Untung saja gadis itu lucu, mana kuat Dirga mengomelinya.

Kendati Chika berbohong, ayahnya mengerti itu hanya alasan untuk membantu Dirga. Toh, sebagai ayah, Abraham juga menanggapinya hanya sebatas candaan anak remaja. Akhirnya, memilih untuk meninggalkan Chika dan Dirga. Tenang, pintu kamar Chika tetap terbuka, kok.

***

"Mungkinkah aku harus menggunakan cara sedikit nakal?" gumamnya sendiri. Saat ini menatap benda pipih yang menampilkan akun media soal milik Dirga. Bersantai disofa dengan kaki saling menumpu sambil menggeser atas bawah lini masa itu.

Sehabis acara pernikahan itu, memang para anggota Goldie belum memiliki jadwal tampil lagi. Dan itu menjadikan masing-masing anggota jauh dari sang manajer, terutama Dirga. Tidak adil bagi Caroline, saat dirinya telah resmi menjadi manajer, malah membuatnya semakin jauh dari sang pujaan. Ditambah mengingat saat kejadian di lorong gedung pernikahan itu. Kedua netranya menangkap Dirga tengah berpelukan dengan gadis yang menurutnya masih bocah. Hasratnya semakin menggila untuk memiliki Dirga seutuhnya, cepat atau lambat.

"Tapi tidak sekarang, karena ini adalah cara cantik untuk menarik perhatiannya,"

Siang dengan suhu cukup tinggi saat ini mendadak terasa dingin saat tubuh semampainya direndam dengan air bercampur sabun. Wangi stroberi menyeruak menenangkan isi kepala. Suara gemericik yang timbul dari pergerakan tangannya menjadi musik pengisi ketenangan.

Bibirnya tersenyum simpul guna pertanda sesuatu yang sangat menyenangkan akan terjadi. Sebentar lagi. Lantas menegakkan tubuh mengambil bathrobe yang tergantung tak jauh dari tempatnya saat ini. Kegiatan berendamnya sudah selesai.

"Setidaknya aku memiliki copy-an filenya," seringainya. Berjalan mengambil laptop yang terletak diatas tilam tanpa mengganti pakaiannya terlebih dulu. "Caroline, you're smart".

Denting suara pesan masuk dari ponsel milik Caroline, tertera nama Jamal disana. Bola manik itu terotasi jengah, padahal yang diharapkan itu Dirga, seperti pada drama televisi. Seseorang yang dicinta akan menghubungi saat sedang dipikirkan.

'Bagaimana, apa sudah ada rencana untuk Goldie?'

Sebenarnya sih malas bagi Caroline untuk membuka apalagi membaca pesan Jamal. Ya tapi citranya sebagai manajer tidak ingin hancur juga. Tuntutan kerjaan juga membuatnya harus membuatnya terlihat baik.

Andai saja waktu itu Dirga tidak menolongnya saat hampir tertabrak karena mabuk, serta melihat laki-laki itu tampil di kafe Arodebra—kafe tempat Goldie selalu tampil. Caroline tidak akan mau mengajukan diri untuk menjadi manajer grup penyanyi yang karirnya saja tidak jelas.

Sedikit lebih, wanita berusia dua puluh enam tahun itu sudah tahu karir Goldie yang berkali-kali gagal lolos audisi. Setidaknya ilmu yang dimilikinya bisa membantu karir Goldie—Ah, tidak, bukan, tapi membantu mendekatkan dirinya pada Dirga.

Saat ini kendalanya ada pada gadis itu. Jika dilihat, gadis yang ditemuinya saat itu memang cantik, hanya saja masih bocah. Apa iya Dirga memiliki selera dengan bocah? Pasti tidak tahu caranya bercinta.

"Bercinta? Bercinta itu apa?"

"Hey," tegur Dirga. Chika itu terkadang suka sekali berbicara sembarangan. Dirga sampai menghentikan kegiatan mewarnai dinding. "Siapa yang menyuruhmu berkata seperti itu?"

"Instagram," ucapnya tanpa rasa bersalah. "Ayolah kak, beritahu Chika. Nanti Chika akan mencium Kak Dirga, deh"

Cium? Mana bisa aku menolaknya—batin Dirga. Dengan gerakan cepat, Dirga menaruh kuas yang digunakannya pada ember berisikan air. Menghampiri Chika yang terduduk dengan ponselnya yang masih berpendar. "Jadi, bercinta itu bisa diartikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan pasangan suami istri. Misalnya membuat baby"

"O perkosa..!!" lantang Chika.

Cepat-cepat tangan Dirga membekap benda kenyal yang baru saja melantangkan kata tidak senonoh. "Hei, jangan keras-keras, bagaimana jika keluargamu lainnya mendengar?" bisik Dirga yang dibalas anggukan oleh Chika. "Ayo, lakukan sekarang. Kau bilang akan menciumku jika memberi tahu kata tadi"

Perlahan dilepasnya bekapan itu dari mulut Chika. Kemudian, Chika bersimpuh dihadapan sang lelaki. Wajahnya didekatkan pada tubuh Dirga. Tapi tunggu, Dirga tak merasakan adanya interaksi indera peraba keduanya. Malah, yang ditangkap indera pendengarnya adalah beberapa kali suara endusan kecil. Yang tadinya Dirga sudah menutup matanya, sesegera membuka kelopaknya kembali.

"Chika mencium Kak Dirga itu bau masam,"

"Kau menipuku, ya," lantas dibawanya Chika pada jurang kejahilan Dirga. Dengan menggelitiki gadis itu, mungkin akan memberikan efek jera pada Chika. Oke, itu sedikit berlebihan, anggap saja memberikan sedikit pelajaran agar Chika tidak menipu dengan cara seperti ini lagi.

Di ruangan lain, seseorang baru saja mendengar percakapan Chika dan Dirga. Menatap kosong layar komputer. Bagaimana bisa seorang kakak tidak memberikan contoh yang baik pada sang adik. Disaat sang adik yang masih terbilang polos, malah Johan melakukan hal tabu. Andaikan Chika mengerti seperti apa bau sperma, pasti ia akan menyadari aroma tubuh teman perempuan kakaknya adalah sperma.

Johan tahu itu hal yang salah, namun sisi biologisnya tak bisa menampik hasrat yang menggerogoti tubuhnya. Pikirannya juga saat itu kalut saat melihat tubuh wanita yang sebenarnya adalah kekasihnya. Melirik ke belakang melihat tempat terjadinya kegiatan kotor serta desahan-desahan panas. Kain penutup tempat tidurnya pun juga belum sempat ia bersihkan, takut jika orang tuanya melihat jika ada bercak darah disitu.

"Dia tak akan hamil"

Pikiran Johan tak tenang. Memikirkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi kedepannya. Bagaimana nanti jika kekasihnya benar-benar hamil? Bagaimana jika nanti keluarganya marah? Johan belum siap mempertanggungjawabkan semua.

.

.

.

bersambung

avataravatar
Next chapter