9 Selamat Ulang Tahun Dirga

Harusnya hari ini menjadi hari bahagia untuk Dirga, mendapat banyak ucapan dan doa bahkan mungkin hadiah dari keluarga serta sahabat. Sebenarnya Dirga juga tidak berharap itu semua. Menurutnya, hanya membuang-buang waktu untuk sekedar meniup lilin dan memotong kue. Dirinya lebih suka menghabiskan hari ulang tahunnya dengan merebahkan diri diatas kasur empuk, sesekali menyalakan musik dari ponselnya. Atau bermain satu atau dua video game koleksinya.

Agaknya itu hanya menjadi angannya saja, lantaran selepas pulang sekolah Dirga mendapat panggilan dari Haikal untuk berlatih koreografi. Jika kalian berpikir ini adalah rencana untuk perayaan ulang tahun Dirga, kalian salah besar. Nyatanya memang mereka berlatih untuk mengisi acara pernikahan. Toh, teman-teman Dirga paham bahwa adik kecilnya itu tidak menyukai pesta ulang tahun. Paling tidak untuk merayakan bertambahnya usia mereka cukup dengan makan bersama.

"Ayolah, Ga, kau itu center digrup ini"

Adalah Haikal yang merasa gerakan Dirga tidak sesuai tempo yang ada. Bahkan tadi sempat bertabrakan dengan Tomi. Jika ditanya apa Haikal marah, jelas dilubuk hatinya dia merasa panas. Bukannya tidak mau diluapkan, tapi Haikal paham bagaimana keadaan Dirga saat ini, apalagi kalau bukan masalah perempuan? Jika dirinya meluapkan dengan penuh emosi atau menyinggung masalahnya, mungkin akan terjadi pertengkaran diantara keduanya. Ditambah saat ini dilihatnya Dirga seperti tak mendengar ataupun menerima ucapan Haikal. Yogi saja sampai melihat rematan kedua tangan Haikal disamping tubuh.

"Jika kau tak bisa menerima masukanku, lebih baik kau keluar. Aku menyesal telah menghubungimu," sarkas Haikal.

"Baik, aku akan keluar" balasnya dengan mata yang menyalang.

"Tunggu," ucap Nanda saat menahan tangan Dirga yang hendak pergi. "Tidak bisakah ini dibicarakan baik-baik? Disini aku pimpinan grup ini, dan aku bertanggung jawab penuh atas anggotaku, duduklah" titahnya seraya menarik tangan Dirga untuk kembali pada posisinya semula.

"Aku tahu, kalian pasti pernah atau sedang memiliki permasalahan dalam kehidupan pribadi. Tapi kumohon jangan dibawa ke dalam sini. Dan khusus permasalahan Dirga, aku putuskan untuk tidak ada yang memiliki pasangan dulu diantara kita. Bukannya aku tak mau meminta persetujuan dulu dari kalian. Aku harus tegas pada kalian. Ingatlah tujuan awal kita apa" jelasnya.

"Aku tahu maksud Nanda itu bukan melarang kalian untuk berpacaran, tapi ada yang lebih penting untuk kita perjuangkan saat ini dibanding mencari pasangan," sambung Septian.

Terlihat Dirga dan Haikal akhirnya berjabat tangan. Namun, yang membuat anggota lainnya tertawa adalah kalimat Yogi yang mengudara di ruang latihan itu. "Aku benci mengatakan ini, tapi ayo kita berpelukan"

Selepasnya latihan kembali dilakukan karena waktu yang semakin mepet. Dirga pun mencoba profesional, mengesampingkan sejenak masalah yang dimilikinya. Bukan masalah sih sebenarnya, hanya persoalan rindu. Pasalnya ini sudah hampir dua minggu lamanya Chika masih juga belum menemuinya. Apalagi ini hari ulang tahunnya.

Pun tak lama setelahnya, pintu ruangan koreografi itu terbuka menimbulkan suara deritan kecil. Seorang gadis dengan rok hitam serta atasan berwarna merah berdiri ditengah pintu. "Selamat ulang tahun, Kak Dirga".

Tungkai Dirga dilangkahkan mendekat pada gadis yang dirindukannya. Ingin sekali rasanya merengkuh tubuh kecilnya sebelum laki-laki itu benar-benar melaluinya setelah melihat barang yang berada ditangan Chika. Padahal Chika sudah memasang senyuman untuk Dirga. Tapi rasa ketidaksukaan itu jauh lebih mendominasi dirinya. Iya, Dirga melihat sebuah kue dengan lilin menyala disana.

Tahu apa yang sedang dipikir Chika dengan manik yang memanas disertai genangan air? Hatinya pedih diabaikan. Bagaimanapun, dirinya tetap sadar jika ini balasan Dirga karena Chika mengabaikannya hampir dua minggu.

"Sudah jangan menangis. Bukan salahmu" ucap Nanda menenangkan Chika.

"Yang salah kue dan lilin itu. Dirga tak suka ulang tahunnya dirayakan dengan kue dan tiup lilin. Dia benci masa lalunya saat ulang tahunnya yang keenam," jeda Septian sejenak untuk mengambil nafas. "Saat itu, kami sedang berada disalah satu kafe untuk perayaan ulang tahunnya. Tamu undangannya pun hanya teman-teman dan saudara terdekat saja. Termasuk keluargaku. Tiba-tiba kami mendengar suara tembakan dari perampok, dan para tamu pun berlarian menyelamatkan diri. Untuk bocah seusia Dirga saat itu cukup sulit untuk berlari, apalagi banyak dekorasi dilantai, sampai dia terjatuh karena tersandung dekorasi itu. Ibunya melihat perampok itu mengarahkan senjatanya ke Dirga, ya namanya juga jiwa seorang ibu, pasti ingin melindungi anaknya. Nahasnya ibunya terkena pelatukan itu. Dan koma selama tiga bulan. Makanya kami tak heran jika Dirga mengabaikanmu begitu saja. Karena kami memaklumi traumanya dan juga ia tak pernah ingin terlihat lemah didepan orang" jelasnya.

"Lalu apa ada korban disana?" tanya Chika.

"Salah satu saudaranya tertembak. Dan untuk membuat trauma Dirga tidak semakin membekas, ayahku menyuruh polisi serta wartawan lawas untuk merahasiakan kejadian ini"

Terlihat Chika menyeka air mata dengan punggung tangan putihnya sebelum Tomi dengan cekatan memberikan tisu pada gadis itu. Dada gadis itu semakin sesak dan panas. Beberapa bulan mengenalnya dan keluarganya, tak pernah sedikitpun tahu fakta menyakitkan ini. Selama ini yang Chika lihat dari laki-laki itu selalu ceria dan bisa melontarkan lawakan kapan saja. Pokoknya sehabis ini harus datang kerumahnya dan meminta maaf—batin Chika.

Dirasa pribadi itu sudah tenang, Tomi mengantarkan Chika untuk ke rumah Dirga. Memang sih, awalnya Chika menolak. Karena takut merepotkan, disamping itu mereka sebelumnya belum saling kenal. Tapi pikiran gadis itu hanya ingin meminta maaf sesegera mungkin. Saat punggung Chika sudah tidak terlihat, Jamal tiba-tiba saja bergumam sendirian yang diyakini didengar oleh teman-temannya. "Pantas Dirga tidak ingin memilih Caroline"

Fokus pada Chika dan Tomi yang sekarang berada pada satu mobil silver. Tetap sih ada rasa kikuk pada Chika, seperti dulu pertama kali kenal dengan Dirga. Keduanya tak berbicara setelah sepuluh menit keluar dari tempat latihan itu. Namun, selepas itu untuk menghilangkan kecanggungan Chika dan Tomi, laki-laki itulah yang membuka topik terlebih dahulu tentang kedekatan Chika dan Dirga setelah laki-laki itu menanyakan namanya. Pun setelahnya keduanya kembali terdiam.

Hingga ban mobil berwarna itu berhenti pada pelataran rumah bergerbang hitam dengan taman kecil yang terlihat sangat terawat. Iya, itu hasil tangan ibunda Dirga untuk mengisi waktu luangnya dirumah.

"Terimakasih, Kak Tomi. Sudah mengantarkanku"

"Sama-sama, Chika"

Langkah kaki gadis itu langsung tertuju pada pintu utama rumah bernuansa klasik modern. Baru saja akan mengetuk pintu rumah itu, sudah terbuka dulu menampilkan wanita paruh baya—Ibunda Dirga. Dada Chika sempat kembali sesak, melihat wanita itu. Namun berusaha untuk tersenyum menutupi ingatannya.

Wanita yang biasa dipanggil 'Mama' oleh Dirga maupun Chika membalas senyuman gadis didepannya. Tangannya juga terulur untuk mengelus pucuk kepala gadis itu. "Chika mencari Dirga, ya?" ucapnya lembut. "Masuk saja, Dirga di kamar," lanjutnya seraya kembali menenteng peralatan kebunnya.

Matanya meniti satu per satu tangga penghubung ruang tamu dengan lantai atas. Mencari kamar dengan pintu bertuliskan nama laki-laki itu. Pintunya tak tertutup rapat. Sedikit ragu untuk mengetuk, takut Dirga memang marah padanya karena kejadian di ruang latihan. Tapi akan semakin lama mereka saling berdiam. Dengan satu tarikan nafas, langkah Chika dilanjutkan untuk membuka pintu kamar yang sedikit terbuka. Netranya menangkup punggung lebar laki-laki itu dengan kedua tangan menyentuh railing balkon. Kakinya gemetar saat berjalan menghampiri Dirga. Gadis itu langsung memeluk Dirga dari belakang masih dengan terisak.

Dirga pun yang merasa ada sebuah tangan melingkar diperutnya berbalik, menatap manik sembab gadis didepannya. Sungguh, bukan ini yang Dirga mau, melihat Chika menangis karenanya. "Pasti sudah tahu, ya?" tanyanya sambil menghilangkan jejak air mata Chika. Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban. "Maafkan aku ya, yang tak menceritakan ini".

"Chika yang seharusnya minta maaf, karena sudah mendiami Kak Dirga"

Dirga terkekeh mendengar ucapan Chika, "Lalu, jawabanmu?"

"Eum.. maaf Kak Dirga, Chika tidak bisa" ucapnya lirih. "Chika tidak ingin merusak karir kakak"

"Tidak apa-apa, tapi setelah ini jangan menjauhiku. Aku sungguh tak bisa"

Ditariknya kedua tangan putih itu. Direngkuh kuat-kuat tubuh yang sejak tadi ingin ia peluk. Ralat, sejak hampir dua minggu lamanya. Menghirup aroma shampo dari surai hitam dengan jepit pita rambut berwarna merah marun. Dirinya sempat tersenyum saat pertama kali mengetahui fakta gadis ini yang sangat menyukai warna merah, sampai pesan makanan saja harus yang berwarna merah.

"Chika minta maaf ya kak, karena membawa kue dan lilin"

"Tidak apa-apa"

.

.

.

bersambung

avataravatar
Next chapter