10 Menginap

Malam ini Chika akan menginap di rumah Dirga. Sebenarnya ini akal-akalan Dirga saja dengan alasan pengganti rasa kesalnya tadi, agar Dirga bisa memeluk gadis itu. Memang dasar nakal, tapi Dirga suka caranya. Pun awalnya Chika bingung, karena keesokannya mereka harus sekolah. Maka dengan tawaran akan diantarkan pulang sebelum jam enam pagi, gadis itu menerimanya. Apalagi gadis itu juga takut lantaran Dirga tak mengijinkannya tidur di kamar tamu dan harus tidur bersamanya. Karena baginya Chika bukan tamu, melainkan keluarga. Tetap saja gadis itu takut diapa-apakan Dirga.

Keduanya masih berada dibalkon, menikmati waktu yang semakin malam. Hawa juga semakin menurunkan suhunya. Membuat Chika harus mengusapkan kedua telapak tangannya untuk menciptakan kehangatan. Namun tak lama tubuhnya malah direngkuh laki-laki didepannya, punggungnya juga tak luput dari usapan tangan kekar mikir Dirga.

"Kalau kedinginan itu bilang, jangan mengode"

"Chika tidak mengode, ya. Percaya diri sekali, sih"

Dirga jelas tertawa, dirinya berhasil menggoda Chika. "Nyatanya kau juga menerima pelukanku" katanya mengeratkan pelukannya. Chika hanya bergeming tak bisa menimpali kalimat Dirga. Hingga terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar Dirga. Ibunya datang mengajak Dirga dan Chika untuk makan malam bersama.

Bersamaan dengan Chika yang menatap pintu terketuk, dirinya meloloskan diri dari tubuh banteng milik Dirga. Meninggalkan Dirga yang masih berdiri ditempat melihat gadis itu menghampiri pintu.

"Ingin kemana?" tanya Dirga.

Mendengar pertanyaan itu menghentikan langkahnya. Berbalik menghadap presensi didepannya seraya berkata, "Makan" tangannya menunjuk ke arah pintu. "Kan tadi Mama menyuruh kita makan," tambahnya.

Enteng sekali memang Chika berbicara. Tidak tahu saja, diam-diam Dirga sudah menahan gemasnya. Dirga bisa saja mencumbunya saat ini karena terlalu gemas, jika saja suara gedoran pintu cukup keras tidak mengalihkan atensinya—kali ini Dinda yang melakukannya. Beruntunglah Chika malam ini. Lantas, laki-laki bercelana pendek itu berjalan menghampiri Chika, menarik tangan putih itu keluar kamar. "Ayo keluar. Sebelum ada hal lebih lainnya terjadi di sini".

"Hal lain apa?"

Bagi Dirga, kalimat Chika barusn tidak perlu ditimpali lebih jauh lagi. Dirinya hanya berfokus menarik tangan Chika menuju ruang makan. Melewati satu per satu anakan tangga disertai racauan Chika karena tidak bisa mengimbangi langkah Dirga.

Ruang makan berisi tiga manusia, sepasang suami-istri dan putri tertuanya tengah menunggu tokoh utama dari acara makan malam ini. Ditambah sang tokoh utama membawa seseorang yang spesial baginya. Sungguh, perayaan ulang tahun yang sederhana, namun penuh makna.

Barangkali ketakutan Dirga jika sang kakak akan menggodanya bersama Chika berujung menghancurkan acara makan malam ini, maka dengan Chika duduk berhadapan dengan ibunya merupakan pilihan terbaik menghindari godaan sang kakak. Sebenarnya juga tidak berpengaruh, karena Dinda tetap saja menggoda keduanya.

"Langsung nikahi saja, Pa, Ma" celetuknya dengan sedikit kekehan.

Sontak Chika menoleh, matanya membola karena terkejut. Dirga yang melihat langsung menendang kaki sang kakak hingga mengaduh. "Sakit, bodoh" katanya sambil melotot ke arah Dirga. Sebenarnya, tendangan adiknya itu tidak kencang, tapi yang jadi masalahnya tendangan itu mengenai tulang keringnya. Dinda saja sampai terheran, adiknya ini manusia atau Ironman. Rasanya- kalian tahu sendirilah.

"Sudah, adik dengan kakak kok tidak bisa rukun," tegur sang ayah dengan lembut.

"Tidak tau, tuh. Mungkin Kak Dinda bukan anak Papa dan Mama"

"Enak saja. Kau itu yang bukan anak Papa dan Mama. wajah saja tidak tahu mirip siapa"

"Kakak, tuh"

"Kau"

"Kakak"

"Kau"

"Ka-"

"Sini om, Chika ambilkan nasi untuk om" potongnya cepat. Gadis itu sengaja melakukannya agar perdebatan antara adik dan kakak ini disudahi. Berpura-pura masa bodoh dengan cara menawarkan bantuan kepada ayah dari adik dan kakak tersebut. Berdiri menerima sodoran piring, lanjut menuangkan nasi pada wadah datar berbahan keramik.

Mendadak Dirga juga ikut menyodorkan piringnya dihadapan gadis itu. Ditambah dirinya memasang wajah seperti anak kecil yang meminta sesuatu pada ibunya. "Aku juga ingin makan".

"Minta saja pada Kak Dinda"

"Tidak mau!!" ucap Dirga dan Dinda bersamaan.

Ibunya hanya tertawa melihat tingkah laku tiga remaja itu, "Ya sudah, Dirga biar Mama saja yang ambilkan" katanya seraya mengambil piring milik Dirga, menuangkan beberapa sendok nasi serta beberapa lauk diatasnya. "Dinda ambil sendiri, ya" imbuhnya pada putrinya.

Acara makan malam itu berjalan semestinya walaupun masih disertai percekcokan Dirga dengan Dinda. Chika pun sudah terbiasa melihat kakak kelasnya itu bertengkar dengan saudara kandungnya. Ayah dan ibunya pun tak akan melerai selama mereka tidak bertengkar dengan fisik. Menurutnya itu hal wajar, apalagi jika mereka sudah berkeluarga. Pasti hal seperti ini akan mereka rindukan.

Kini merek tengah berkumpul di ruang keluarga. Biasanya sih akan ada dua orang yang merebutkan remot televisi hanya untuk menonton acara kesukannya masing-masing, tapi khusus malam ini tidak. Karena salah satu dari mereka sedang menikmati sesuatu yang lebih menarik daripada acara televisi.

Wanita paruh baya yang menjabat sebagai ibu dari Dirga dan Dinda itu berjalan keluar dari arah dapur dengan membawa penampan berisikan lima cangkir teh dan kue coklat didalam toples sebagai camilan menonton televisi. Hatinya menghangat menyaksikan putra kesayangannya itu tertawa lepas dihari ulang tahunnya, yang menurutnya Dirga tak pernah sebahagia ini dihari ulang tahun sebelumnya selepas kejadian kelam itu. Bahkan wanita paruh baya itu juga sudah menyayangi Chika seperti anaknya sendiri. "Chika sudah menghubungi Mami jika akan menginap disini?" ucapnya sambil menaruh penampan itu.

Chika mengangguk antusias, "Sudah, Ma".

"Lalu, kau akan tidur dengan pakaian seperti itu?" jeda Dinda tanpa melihat presensi Chika. "Aku yakin kau tak akan nyaman," sambungnya.

Chika memperhatikan tubuhnya, 'Oh iya, kenapa aku tak sadar?' tanyanya dalam hati. Dirinya sempat terdiam sejenak, lantas tersenyum seraya berkata, "Tidak apa-apa, Kak Dinda".

"Tidak usah sok terlihat baik-baik saja," katanya sambil memangku sebelah kaki. "Pakailah salah satu piyamaku. Aku yakin tubuhmu dan tubuhku tidak jauh berbeda".

"Sudah pasti bagus tubuh Chika" celetuk Dirga tiba-tiba.

"Jika kau meledekku sekali lagi, kupastikan malam ini Chika tidur dengan pakaian seperti itu".

"Tidak apa-apa, Chika bisa memakai pakaianku"

"Tidak mau" tolak Chika pada Dirga. "Tubuh Kak Dirga itu seperti banteng. Besar. Chika akan tenggelam jika memakai pakaian Kak Dirga" jelasnya yang disambut gelak tawa Dinda.

***

Kamar dominan berwarna merah dan hitam itu kini menjadi tujuan Chika. Gadis itu menyukai tatanan kamar milik Dinda. Apalagi kasur berseprai merah marun itu menarik perhatiannya. Ini kali pertamanya berkunjung ke kamar Dinda.

"Kamar ini Dirga yang menatanya" ucapnya yakin, karena sedari tadi Chika meniti tiap sudut ruangannya.

Chika terkejut? Tentu saja. Sepintar dan sehebat itu Dirga dalam bidang seni. Pantas saja waktu itu Dirga pernah bercerita ingin menjadi arsitek. Tapi itu sebelum mengikuti audisi. 'Audisi', ya? Chika jadi malas mengingatnya.

Lantas Dinda membuka pintu lemari pakaian miliknya. Terlihat banyak pakaian yang menggantung, dan juga terlihat banyak jas putih milik Dinda. Iya, karena Dinda kulish mengambil kedokteran. "Pilihlah".

Chika menunjuk salah satu piyama merah satin. Pun Dinda tersenyum dengan pilihan Chika. Diambilnya piyama itu lantas diarahkan pada Chika. "Sebenarnya, ini adalah piyama kesukaanku," jedanya. "Tapi sudah tidak cukup jika kupakai. Jadi, tak apa kau pakai saja" lanjutnya.

"Terimakasih, Kak Dinda"

Tungkai milik gadis itu berjalan keluar dari kamar Dinda, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri serta mengganti pakaian. Baru saja akan menutup pintu kamar mandi, tangan Dirga lebih dulu mencegah pergerakan pintu. "Aku ingin masuk".

Gadis itu terlonjak, "K-kak Dirga m-mau apa?" tanyanya sedikit takut.

"Menemanimu ganti baju"

"Tidak mau. Tidak boleh," sahutnya dengan cepat.

Dirga hanya terkekeh melihat Chika yang ketakutan. Padahal niat hati hanya ingin menggodanya. Kemudian tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Setelah ganti baju, ayo bicara sebentar. Kutunggu di ruang televisi," titahnya yang dibalas anggukan oleh Chika.

Lima belas menit berlalu bersamaan dengan Chika yang selesai berganti dengan piyama milik Dirga. Melangkahkan tungkainya ke ruang televisi masih dengan menenteng pakaian sebelumnya. Mendapatkan Dirga tengah menonton talk show.

"Kak Dirga" panggilnya. Meletakkan diri tepat disamping Dirga. Laki-laki itu menoleh, sedikit tercekat melihat gadis itu memakai piyama milik kakaknya. Pasalnya, selama Chika memakai pakaian berwarna merah, belum pernah Dirga menatapnya sampai ternganga.

"Chika tidur di kamar tamu saja, ya" lanjut Chika.

Kurasa memang seperti itu seharusnya. Aku takut kehilangan kendali—batin Dirga.

Dirga mengangguk, lantas tersenyum hangat meniti wajah cantik Chika. Dirinya membayangkan suatu saat bisa menikahi Chika pasti suasananya akan seperti saat ini. Tiba-tiba lamunannya tersadar saat Chika melambaikan tangannya didepan wajah Dirga.

"Tadi katanya ingin bicara. Ada apa memangnya?"

"Sebenarnya aku hanya ingin bertanya, siapa yang mengantarmu dari tempat latihanku ke sini?"

"Kak Tom..i" jawabnya sambil mengingat nama salah satu teman Dirga.

"Kalian berbicara tentang apa saja?" tanyanya tanpa melihat Chika.

Sebenarnya gadis itu samar mendengar pertanyaan Dirga barusan, lantaran bersamaan saat dirinya menguap. Chika sudah mengantuk. "Hanya berbicara tentang kita".

"Tentang kita yang seperti apa?" jedanya. "Seperti sepasang kekasih?"

Tak ada suara balasan dari gadis itu. Apa mungkin Chika sedang tersipu malu dengan perkataannya? Padahal mereka tidak berpacaran. Lantas Dirga menoleh ke arah Chika yang ternyata sudah terbuai oleh mimpinya. Pantas tak kunjung mendapat balasan dari Chika.

Laki-laki itu tersenyum damai memperhatikan Chika. Tak lama, digendongnya gadis itu menuju kamar tamu. Tak lupa juga untuk menyelimuti agar Chika tidak kedinginan. Sebelum laki-laki itu meninggalkan Chika, dirinya menyempatkan untuk mengecup birai merah milik Chika. "Aku menyayangi dan juga mencintaimu, Chika".

.

.

.

bersambung

avataravatar
Next chapter