5 Ignorant

Mobil sport hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi memecah jalanan menyalip mobil merah mengkilap yang berada didepannya. Layaknya sedang melakukan balapan sungguhan, sang pemilik mobil hitam semakin menaikkan kecepatan pada stik game yang dipegangnya—berharap tak diselip kembali. Namanya juga Dirga, ia tak pernah sekalipun ingin dikalahkan kendati itu dalam permainan. Duduk diatas keramik beralaskan karpet berbulu putih serta meja berukuran kecil disamping kiri berisikan makanan sebagai cemilan disela-sela istirahat.

Pintu kamar Dirga berderit cukup keras menampilkan seorang gadis yang tiba-tiba saja menjatuhkan dirinya pada ranjang milik Dirga. Pria itu tak mengalihkan pandangannya sama sekali—jelas siapa yang datang tanpa mengetuk kalau bukan kakaknya. Menimbulkan debuman pada pegas-pegas yang terpantul. Untung saja setiap Dirga sedang mandi, ia tak pernah lupa mengunci pintu kamarnya. Kan tidak lucu, jika kakaknya melihat Dirga sedang mandi atau hanya mengenakan handuk. Bisa-bisa kakaknya memutuskan pacarnya—karena melihat tubuh Dirga.

"Dir", panggilnya. Dirga yang mendengar panggilan sang kakak hanya berdehem, masih setia dengan game-nya. "Jalan yuk"

"Tumben kakak mengajakku. Kemana pacar kakak?"

Sungguh, Dirga itu kolot sekali—batin Dinda. Rasanya ingin mencaci adiknya sendiri, tapi dirinya sedang malas bertengkar. "Tidak tau", jawabnya malas.

Mendengar ucapan sang kakak, Dirga menghentikan kegiatannya. Sedikit ide terlintas dikepala laki-laki itu. Ditaruhnya stik game dari tangannya, menyamakan posisi disamping sang kakak. "Biar kutebak", jedanya. Ini mengasyikkan bagi Dirga, biasanya saja Dinda yang selalu menggodanya tentang Chika. Sesekali tak apa, biar sang kakak tau rasanya digoda. "Pasti sedang bertengkar", tebaknya dengan tawa puas.

Lantas Dinda merubah posisinya menjadi duduk, menatap sang adik tajam. Tubuh kekar itu seketika mengaduh kesakitan saat tangan sang kakak memukul lengan kirinya—sebenarnya tidak sakit, hanya terkejut. Mungkin jika sang kakak adalah laki-laki, bisa saja saat ini mereka bertarung diatas ranjang—bukan bertarung yang seperti pria dan wanita lakukan.

"Aduh, kakak ini kenapa sih?", ucapnya sembari mengusap lengan atasnya.

Dinda hanya merotasikan matanya. Menatap jengah sang adik yang sok mengaduh kesakitan. Berlebihan sekali—batinnya. Dinda sadar, sang adik itu tubuhnya kekar, mana mungkin pukulannya bisa sesakit itu.

Keheningan tiba-tiba menghampiri mereka. Dinda yang beranjak sibuk membuka koleksi komik milik Dirga, dan sang adik yang sibuk dengan pemikirannya. Sejenak ia lupa jika game-nya masih menyala. Seperti ada sesuatu yang mengganjal pikiran Dirga, laki-laki itu akhirnya membuka suara. Bertanya pada sang kakak. Sedikit ragu akan pertanyaannya, takut menyinggung sang kakak. "Kak, aku ingin bertanya".

"Hm"

"Selama kakak berpacaran, kakak pernah melakukan apa dengan pacar kakak?"

"Melakukan yang biasa dilakukan pasangan," jawabnya santai.

"Seperti ?"

Dinda menatap manik milik adiknya, seperti sedang menelisik alasan dari pertanyaan Dirga. Cukup lama Dinda memperhatikan sang adik, lantas pribadi berbaju putih besar dengan hot pants hitam berdiri menyatukan tangannya layaknya pembawa acara yang menyampaikan berita sebelum melanjutkan kalimatnya. "Berciuman". Pun selepas itu, manik cantik miliknya menangkup air muka Dirga. Sungguh, ingin sekali menertawakannya.

Dilihatnya sang adik yang menegang ternganga tak percaya atas perbuatan yang pernah dilakukan gadis itu dengan pacarnya. Hingga kalimat yang dilontarkan Dirga justru membuatnya berganti menegang. "Kau sudah tidak perawan?"

Jika ditelisik lebih jauh, Dinda memang gadis yang sedikit nakal, kendati seperti itu Dinda masih tau batasan. Ia jelas tak ingin membuat malu keluarganya karena perbuatannya. Bisa-bisa dirinya diusir dari keluarga Adhitama. Membayangkannya saja sudah membuat gadis itu merinding. Pribadinya masih ingin mengejar keinginannya menjadi dokter.

"Enak saja. Aku ini masih tersegel".

Sepersekian detik, Dirga terlonjak karena kejutan sang kakak yang memukulinya kembali. Kali ini pukulannya lebih banyak dan juga lebih keras. Seakan tak memberi ampun pada sang adik, Dinda mencengkram salah satu bahu Dirga, hingga sang pemilik bahu meringis kesakitan. Ini benar-benar sakit bagi Dirga, Laki-laki itu merasakan kuku panjang kakaknya menancap dalam pada bahunya.

Tangan kekar itu berusaha menarik tangan sang kakak dari bahunya hingga urat-uratnya kentara jelas. Dirga terus saja mengerang kesakitan. Sepertinya setelah ini Dirga akan seperti anak yang mendapatkan kekerasan dari ibunya.

Pribadi gagah dengan celana pendek abu-abu itu tak tau letak kesalahannya. Bahkan Dirga berpikir kembali pada topik pembicaraan mereka. Tidak ada yang salah menurutnya. Hingga sang kakak kembali berujar.

"Kau pasti sudah mengambil perawannya Chika, ya!", masih dengan memukuli Dirga.

Ah, pantas saja adiknya dipukuli tidak jelas seperti ini.

"Tidak. Aku kan hanya bertanya pada kakak". Saat itu juga sang kakak langsung menghentikan pukulannya. "Aku belum mengambil perawannya Chika. Aku ini ingin menjaganya. Bukan merusaknya" jedanya saat Dinda menenangkan diri.

"Tapi aku akan mengikuti jejak kakak untuk berciuman dengannya"

Saat ini Dirga pasti sudah dapat pukulan dan cengkraman dari Dinda jika saja keduanya tak mendengar suara sayu dari ibundanya.

"Di—aaa", panggil sang ibunda.

"Mama memanggil siapa ?" tanya Dinda setelah mendengar panggilan itu.

"Kakak tidak mendengar, jika yang dipanggil itu Dinda, bukan Dirga ?"

"Dirga bukan Dinda"

"Dinda"

"Dirga"

"Dinda, kakak"

"Dirga, Dir"

"Dinda, kak"

"D-i-r-g-a"

"Kakak ini tidak percaya jika yang dipanggil Dinda ?" tanyanya yang kembali duduk menghadap layar untuk kembali bermain game yang sempat ditinggalkannya. Dirga sempat melihat sang kakak dan mendapatkan gelengan dari Dinda atas ucapannya tadi. "Tadi sebelum aku bermain game, Mama berkata jika nanti ada panggilan, itu berarti panggilan untuk Dinda. Kalau tidak percaya ya sudah. Jangan salahkan aku jika nanti kakak tidak diberi uang jajan oleh Mama", alibinya.

Dinda memang paling takut jika tak diberi uang jajan dari ayah atau ibunya. Tak tau saja jika dirinya sedang dikerjai Dirga. Uang jajan jauh lebih mendominasi pikirannya. Tanpa melanjutkan perdebatan mereka, Dinda lantas turun menyusul datangnya suara. Dirga yang melihat kakaknya sudah menghilang dari balik pintu itu tertawa keras. Mudah sekali ditipu dengan tidak diberikan uang jajan.

***

Ruangan demi ruangan dilewati Dinda untuk sampai pada halaman belakang rumah. Dilihatnya sang ibu yang sedang membawa sekop dan pot hitam kecil ditangannya, serta kumpulan benih berbagai macam tanaman.

Sang ibu memang sangat menyukai bertanam. Apalagi jika sudah melihat tanamannya tumbuh subur nan indah. Rasa kasih sayang terhadap tanaman dan anaknya bisa sama rata. Meskipun begitu, sang ibu tetap akan lebih memprioritaskan anak-anaknya.

"Ada apa Ma ?" tanya Dinda.

Ibunya terkejut kala yang menjawab panggilannya ternyata anak gadisnya bukan Dirga. "Kenapa Dinda yang datang ?" jedanya seiring bergantian menatap salah satu pot. "Yang Mama panggil itu Dirga untuk mengangkat pot besar itu. Mama tidak kuat, bahkan sekalipun dirimu yang lebih kuat dari Mama, tetap tak akan kuat mengangkat pot besar itu. Apalagi itu juga sudah berisikan tanah"

Seketika itu juga emosi Dinda membuncah. Meneriaki adik yang benar-benar menyebalkan baginya itu. Tidak peduli jika itu diperhatikan ibunya sendiri.

"Dirga sialan! Kau yang mendapat panggilan itu, bodoh!".

.

.

.

bersambung...

avataravatar
Next chapter