2 Favorite Color

Pagi ini cukup sibuk untuk Chika berada di kelasnya. Guru di kelasnya sedang mengajarkan materi logaritma. Tidak terlalu sulit sih untuk Chika memahami materi, karena pribadi bertubuh sedikit gemuk itu menjelaskan cukup rinci.

Asal kalian tau saja, Chika bukan seperti tokoh cerita fiksi yang selalu sempurna disegala aspek. Walaupun ia memiliki tubuh yang nyaris seperti seorang dewi dengan wajah seperti bayi, Chika bukan gadis yang selalu mendapat peringkat satu dikelasnya. Setidaknya peringkat lima besar selalu diraihnya.

"Baiklah, pelajaran saya cukupkan sampai disini. Ingat, tugas rumah dikerjakan dan besok sudah harus di meja saya sebelum jam delapan pagi"

Ucapan Guru Surya dijawab antusias oleh para murid. Jam pelajaran yang hanya empat puluh lima menit sungguh serasa dua jam. Ada yang langsung meletakkan kepalanya di atas meja, ada juga yang sampai melakukan peregangan. Dan bahkan ada yang langsung menuju kantin tepat setelah Guru Surya keluar kelas. Tapi tidak dengan Chika. Gadis itu tidak suka menunda pekerjaan. Jadi, selama ia bisa selesaikan secepatnya, dia akan melakukannya.

Sepertinya perkiraan kita salah. Baru saja Chika akan melanjutkan mengerjakan soal nomor tiga, Arum—teman sebangku Chika, sudah membuat rungu Chika berdenging.

"Ayo Chika, temani aku ke kantin. Aku belum sarapan"

"Ck, ya sudah ayo". Walaupun sedikit berdecak, gadis itu tetap akan menemani sahabatnya. Dirinya tidak ingin melihat sahabatnya yang akan memegang perut karena magh nya yang kambuh. Lagipula ia juga ingin membeli camilan untuk mengerjakan tugas rumah nanti.

***

"Arum, aku pulang dulu ya" ucapnya pada teman sebangkunya.

"Dengan Kak Dirga ?"

"Iya" jawab sekenanya. Jika Chika lihat, Arum seperti orang yang sedang menelisik sesuatu. "Memang kenapa ?"

Sebelum menjawab, gadis berambut sebahu itu memperhatikan sekeliling—memastikan keadaan. "Bukannya kau dekat dengan Kak Dirga ? Kenapa kau tadi tidak menyapanya sama sekali ?" ucapnya berbisik.

Akhirnya Chika menjelaskan kenapa ia tak menyapa Dirga saat di kantin. Dia tidak suka menjadi bahan gosip satu sekolahan. Apalagi Dirga itu kakak kelas tiga.

Jalanan koridor sekolah saat ini cukup sepi. Iya, Chika memang selalu pulang setelah murid-murid pulang lebih dulu, karena Dirga selalu mengajaknya pulang bersama. Seperti saat ini, netranya menatap laki-laki itu duduk pada kap mesin mobil. Salah satu tangannya dimasukkan ke dalam saku dan satu tangan lainnya menyapu rambut legamnya. Tak lupa senyuman mematikan itu disematkan.

"Sudah ? Tidak ada yang ketinggalan ?" tanya Dirga sambil jalan menuju pintu mobil.

"Eum.." jawab Chika dengan anggukan.

Seperti biasa, jika Chika sudah berada satu mobil dengan Dirga, jangan harap lelaki itu bisa menyetel lagu kesukaan pada mobilnya. Disini Chika akan mendominasi mobil pria disebelahnya yang sedang menyetir. Kan sudah pernah dikasih tau jika Chika itu adik kelas yang tidak tau malu.

"Siang ini mau makan apa ?"

"Chika tidak ingin makan. Nanti mampir saja ya ke toko kue"

Pria itu mengernyitkan dahi, tidak setuju dengan penuturan Chika. "Kau harus makan, Chika" ucapnya dengan salah satu tangan ditaruh di atas kepala gadis itu dan sedikit digoyangkan. "Jika tidak, nanti aku dimarahi Mami mu".

"Ih, lagipula Mami tu apa-apaan sih. Sukanya merepotkan Kak Dirga". Dirga hanya tersenyum melihat gadis itu sedang mode kesal seperti ini. Terlihat lucu. "Huh! Seperti Kak Dirga pacar Chika saja" lanjutnya.

Kalimat terakhir Chika menyebabkan terbesitnya rasa panas dalam dada Dirga. Memang, hampir tiga bulan lamanya mereka saling mengenal, Dirga sudah menyukai gadis itu. Setelah Dirga mengantarkan pulang Chika saat kejadian hujan, ibunda Chika sering menanyakan Dirga pada gadis itu. Bahkan sering sekali diajak makan bersama keluarga Chika.

'Kalau begitu, sadarlah jika aku menyukaimu'—batin Dirga.

"Yang merepotkan itu bukan Mami mu. Tapi dirimu" ledek Dirga untuk menutupi rasa panas yang hadir dan disertai tawa kecil.

"Ih.. Kak Dirga ini bagaimana sih ? Chika kan membela kakak. Malah kakak membela Mami" cebiknya dengan kedua tangan dilipat didepan dada.

Keduanya sampai pada tujuannya setelah sekitar dua puluh lima menit perjalanan. Tapi yang membuat Dirga heran, Chika malah memajukan tubuhnya hingga tangannya menyentuh dashboard mobil.

"Lho.. Lho.. Lho.." dahi putih itu sudah mulai mengernyit saat masuk ke dalam area parkir sebuah kafe. Menatap Dirga tajam. "Kenapa kita ke sini ? Chika kan tidak ingin makan".

"Yang tidak ingin makan kan dirimu, bukan aku" jawab Dirga santai. Dirinya segera melepas seatbelt sebelum melanjutkan kalimatnya. "Di dalam juga jual berbagai macam kue. Kau bisa memilihnya nanti".

Baiklah, bukan hal yang buruk untuk ke kafe ini. Lagipula kafe nya juga bagus, banyak spot fotonya. Ah, jadi tidak sabar ingin mengambil banyak foto—batin Chika.

"Kak, Chika pesan kue Red Velvet ya. Dua!" pesannya sambil menunjukkan jari yang membentuk huruf V dan bentangan gigi kecilnya. "Chika akan cari tempat duduk". Dirga pun yang melihat hanya mengangguk sebagai jawaban pesanan Chika.

Kini keduanya sudah duduk berhadapan dikursi untuk dua orang dekat jendela. Tempat yang strategis untuk menikmati makanan sambil melihat jalanan kota yang cukup ramai. Entahlah, Dirga rasa pemandangan didepannya jauh lebih menarik dari jalanan kota. Baginya Chika itu candunya saat ini.

Manik hitam Dirga tak ada habisnya untuk meniti setiap inci wajah gadis di depannya. Bersih, putih. Ia rasa Chika cukup pandai untuk merawat diri kendati dengan sifatnya yang sangat kekanakan. Hingga pita merah yang melingkar cantik dikepala gadis itu menarik atensi Dirga. Tidak. Bukan pitanya, tapi warnanya.

"Chika, aku ingin bertanya."

"Eum.. bertanyalah saja, Kak"

"Kenapa kau selalu memesan makanan berwarna merah ? Maksudku, apa makanan favorit mu memang berwarna merah semua ?"

"Hihihi.." tawanya saat mendengar penuturan Dirga. "Bukan makanannya, tapi warnanya" lanjutnya disertai tawa kecil lagi.

"Maksudmu, kau menyukai warna merah ? Makanya kau selalu membeli makanan yang berwarna merah juga ? Bahkan sampai pita yang kau pakai juga berwarna merah"

"Iya"

Dahi Dirga mengernyit, matanya beberapa kali mengerjap. Suatu fakta yang unik—batin Dirga. "Kau bohong ya ? Waktu itu ku belikan permen karet rasa semangka saja tidak mau, padahal kan itu warna merah."

"Saat itu Chika sedang ingin blueberry" jawabnya seraya mengambil handphone disakunya. "Kalau Kak Dirga, menyukai warna apa ?"

"Hitam"

Tak lama pesanan keduanya datang. Dua buah kue Red Velvet dan dua porsi es krim cokelat dan strawberry serta sebotol air mineral—pesanan Dirga. "Pantas saja, jika Chika bertemu Kak Dirga saat diluar jam sekolah, kakak selalu saja memakai hitam dari atas sampai bawah"

Chika kemudian mematikan ponselnya dan meletakkannya di samping vas bunga hiasan meja tersebut, dan melanjutkan kalimatnya. "Apalagi seperti saat Kak Dirga datang ke kamar Chika pagi-pagi sekali memakai jubah hitam besar. Seperti malaikat pencabut nyawa saja. Chika kan kaget"

"Kau ingin menyamakan aku dengan karakter di-DVD kartunmu ? Jelek seperti itu ?". Dirga sedikit kesal dikatai mirip malaikat pencabut nyawa yang jelek, yang berada pada DVD kartun milik Chika.

"Tapi kan Kak Dirga tampan"

.

.

.

bersambung...

avataravatar
Next chapter