19 Cemas

Terik panas saat jam sekolah masihlah terasa walaupun sang surya telah sedikit bergeser. Kulit yang terasa lengket, serta rambut yang terasa lepek dirasakan oleh seluruh siswa, tak terkecuali kelas Chika yang baru saja selesai dari mata pelajaran olahraga.

Wah, satu kelas Chika itu pernah protes pada guru pengampunya, namun jawaban sang guru hanya 'proteslah pada kepala sekolah'. Jika begini terus, bisa-bisa kulitnya terbakar. Beberapa ada yang senang, lantaran mereka tak perlu berganti seragam lagi setelah jam olahraga berakhir. Salah satunya Chika, dia senang sekali, jadi semisal pulang bersama Dirga naik motor, dirinya tak perlu khawatir jika roknya akan tertiup angin.

Kaki bersepatu putihnya diarahkan menuju salah satu kelas yang letak gedungnya berada didekat lobi. Tentu saja kelas itu milik kakak kelas tiga. Saat ini yang Chika lihat sepanjang jejeran kelas, tak ada banyak orang yang berlalu. Sampai didepan kelas Dirga, anehnya netranya tak menangkap presensi yang dicari. Chika hanya melihat Dante dan beberapa teman lainnya tengah bermain game online.

Salah satu teman Dante menyadari perawakan yang berdiri memegangi pintu kelasnya. "Mau bertemu siapa, dek?"

Chika sedikit terkejut ketika suara itu mengarah padanya. "Maaf kak, Kak Dirga kemana, ya?" tanyanya seraya berjalan mendekati teman-teman Dirga.

Seketika Dante menghentikan permainannya, lantas ia berdiri menarik Chika setelah mengambil tas dan jaketnya. Masa bodoh jika temannya akan mengomelinya karena game yang belum selesai.

Gadis itu bingung, saat ia dibawa menuju parkiran. Chika tak melihat kendaraan milik Dirga. Bukankah Dirga selalu memarkir kendaraannya didekat pohon yang rindang itu? Namun, yang lebih membuat Chika heran, Dante memberikan helm yang biasa dia gunakan bersama Dirga. Tapi kenapa bisa?

"Dirga pulang lebih awal tadi, sebelum jam sekolah selesai," kata Dante sambil memakai jaket. "Jadi aku diberi tugas Dirga untuk mengantarmu pulang,"

"Memang Kak Dirga kenapa? Lalu, kenapa dia tak mengirimkan pesan padaku?"

Dante tertawa sejenak, cara penyebutan Chika pada Dirga dan dirinya berbeda. "Dirga memang spesial untukmu, ya. Sudahlah, ayo naik," usainya.

Diperjalanan Chika sudah tak tenang, Dante tak menjawab pertanyaannya sejak di parkiran tadi. Akhirnya, Chika memberanikan diri untuk menepuk bahu kakak kelasnya itu, dilihatnya Dante hanya menengok ke belakang sebentar sebelum akhirnya motor hitam Dante dibelokan menuju pedagang kaki lima di pinggir jalan. Hal itu membuat Chika semakin bingung. Chika ini butuh jawaban, kenapa malah dibawa pada penjual mie ayam?

Chika mengikuti arahan Dante untuk turun dari motor. Bahkan sampai melepas helm pun, tatapan yang diarahkan pada Dante masih mengharapkan penjelasan.

"Ini juga tugas dari Dirga," katanya setelah memesan dua porsi penjual. Sebenarnya juga tidak suruhan Dirga, hanya saja beberapa kali Dante melihat selepas pulang sekolah, Dirga selalu membawa Chika untuk makan terlebih dahulu. "Maaf, aku mengajakmu makan di pinggir jalan,"

"Bukan ini yang aku tunggu," Chika menghela nafasnya. "Aku hanya ingin tahu, kenapa Kak Dirga pulang lebih awal? Lalu kenapa juga dia tak memberi pesan padaku?"

"Malah kukira kau dikirimkan pesan olehnya," kedua tangan Dante menerima pesanan mereka. Satu tangannya memberikan mangkuk untuk Chika. "Dia berkata padaku jika manajernya menghubungi grup mereka," sambungnya.

Tapi kenapa dia tak memberi tahu padaku?—batin Chika.

Mungkin baru lima menit mereka makan, Dante tiba-tiba menghentikan kegiatannya, melirik Chika yang masih mengunyah makanannya. Sedikit tersenyum melihat Chika mengunyah, hingga ia memalingkan pandangannya saat Chika melihatnya. Wah, Dante tertangkap basah melihat gadis itu. Namun yang Dante harapkan, Chika bertanya kepada dirinya. Kan Dante juga ingin bertanya soal Arum.

Chika yang menyadari, akhirnya membuka suara, "Kak Dante mengajakku makan disini pasti bukan karena suruhan Kak Dirga, tapi karena ada maunya,".

Dante terkekeh, akhirnya caranya berhasil membuat Chika berbicara. Laki-laki itu meneguk minumannya sebelum berujar, "Kau tahu saja, iya aku ingin sesuatu,"

"Apa yang Kak Dante inginkan?" tanya Chika lagi.

"Arum," katanya sedikit takut lantaran melihat air muka Chika yang mengerutkan dahinya. "M-maksudku semua yang berhubungan dengan Arum,"

Gadis didepan Dante itu sampai menyipitkan matanya, menelisik jauh tujuan ucapan Dante. Dengan sekali tarikan nafas, Chika tersenyum jahil, "Kakak menyukai Arum, ya?" tanyanya dengan telunjuk yang diputar dan diarahkan ke wajah Dante—Chika tengah menggoda Dante.

Laki-laki dengan rambut bergelombang itu terperanjat, tergagap juga untuk menimpali ucapan Chika barusan. Matanya berlarian kesana-kemari sibuk mencari alasan. Namun, Chika kembali berujar yang membuat Dante mematung.

"Arum galak"

Hanya dua kata, namun membuat Dante dirundung kebingungan. Pantas saja saat dia tak sengaja menabrak Arum, gadis itu seperti tak takut dengan siapa saja yang menabraknya, sekalipun itu kakak kelas. Anehnya, itu malah membuat Dante tertarik akan sosok teman Chika.

Rambutnya yang setara dengan bahu, bibir tipis yang mungil, poni depan yang hampir sama dengan milik Chika, serta dagu yang memiliki belahan ditengahnya. Rasanya, seperti ia belum pernah bertemu dengan gadis seperti Arum.

"Dia sedang menunggu kekasihnya yang tinggal diluar negeri,"

Seketika semua bayangan Dante mengenai Arum terbayarkan karena ucapan lanjutan Chika. "Tidak bisakah kau berikan informasi yang jelas?"

"Tidak, karena itu privasi milik Arum. Jika kakak ingin tahu lengkapnya, tanyakan saja pada orangnya,"

"Kalau begitu, berikan aku nomor ponselnya,"

"Tidak, kakak izin dulu pada Arum, baru kakak akan mendapatkannya,"

Sungguh ya, bagaimana bisa Dirga menyukai perempuan seperti Chika? Baru sehari bersama Chika saja, Dante sudah dibuat naik pitam. Dante menghela nafasnya kasar, terdengar gemertak gigi atas dan bawah yang saling beradu. Untung saja gadis ini milik Dirga, teman sebangkunya.

"Cepat habiskan, setelah itu ku antar kau pulang,"

***

"Johan," panggil sang ibu dari lantai bawah. Petang ini, seorang gadis datang bertamu ke rumahnya. Ibunya menyambut dengan senyuman lembut. Bahkan sampai dibuatkan teh hangat.

Putra sulung keluarga Abraham itu turun mendengar panggilan sang ibu. Namun langkahnya terhenti melihat presensi tengah duduk di sofa ruang tamu ditemani sang ibu. Wajahnya berubah masam seketika, menatap jengah ke arah wanita yang beberapa lalu ia ambil perawannya.

"Johan," sapa gadis itu. Johan hanya tersenyum sumbang. Duduk berhadapan dengan sang ibu.

"Aruni ini cantik sekali lho, Han," puji sang ibu sambil mengelus lengan Aruni. "Kenapa kau tak mengenalkan kekasihmu pada Papi dan Mami?"

"Johan pikir Papi dan Mami tidak menyukainya," jawab Johan. Apalagi jika kalian tahu dia sudah tak perawan lagi karenaku—tambah batinnya.

Satu rahasia yang benar-benar ditutup rapat oleh keduanya. Baik Johan maupun Aruni sepakat untuk menutupi asal Johan bisa memenuhi satu persyaratan yang diminta Aruni. Sebenarnya menurut gadis itu, persyaratan yang diminta adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban Johan semisal ada kejadian yang tidak diinginkan.

Sherly selaku ibunda Johan, menyadari keduanya pasti canggung jika dirinya masih berada disekitar mereka. Maka, memilih pergi dengan sapaan terakhir yang ditujukan untuk Aruni. Setelah ini, Sherly pasti akan membicarakannya pada suaminya. Hatinya terasa menghangat sekaligus terharu, cepat sekali waktu menemaninya membesarkan dua anaknya.

Saat sang ibu telah hilang dibalik perpotongan dinding, Johan mendekat pada Aruni. "Sudah kubilang, jangan temui aku," lirihnya.

"Tidak bisa, aku tidak ingin kau lepas dari tanggung jawabmu,"

"Aku akan tanggung jawab, tapi itu jika memang kau mengandung anakku,"

"Kau gila, apa? Kau kira aku melakukannya dengan siapa? Aku hanya melakukannya denganmu,"

"Bisa saja kau melakukan lagi dengan yang lain," tuturnya sambil memperhatikan sekitar rumah. "Lagipula, melakukan sekali tak akan membuatmu hamil," pungkas Johan.

"Melakukan apa?"

avataravatar
Next chapter