18 Be Quite!

Dibawah lampu temaram, kamar bernuansa monokrom nampak terasa sunyi. Saat sang pemilik hanya menatap langit kamar. Dua maniknya tak dapat ditutup sedari lima belas menit lalu. Kantuk tak kunjung menghampiri perawakannya. Ah, ini karena Chika yang tiba-tiba saja berbicara tinggi padanya. Hatinya terasa sakit, baru ini rasanya dibentak gadis kesayangannya.

Maksudnya, tak biasanya Chika seperti ini. Toh, Dirga itu sering melakukan panggilan video dijam malam seperti tadi, tapi Chika tak pernah semarah ini. Mencoba berpikir positif, mungkin gadis itu sedang banyak tugas.

Padahal aku ingin memberikan kabar baik untuknya—begitu batin Dirga.

Mengetikkan pesan pada kontak Chika adalah cara terakhir untuk menenangkan pikiran yang terus-terusan mengganggu.

'Maaf Chika jika aku mengganggumu'

Tepat setelah ponselnya diletakkan, sebuah pesan lain masuk. Tadinya dia berharap Chika akan membalas cepat pesannya. Namun, kenyataan itu harus dikubur dalam-dalam, lantaran pesan itu berasal dari pesan grup milik Goldie.

Dirga menghela nafasnya kasar, bukan karena kecewa tak mendapatkan balasan Chika, namun pesan yang diketikkan oleh Nanda. Tertulis bahwa dirinya beserta keenam temannya harus pindah ke apartement yang disedakan. Entahlah, tujuannya untuk apa, yang pasti pesan itu berasal dari sang manajer.

Padahal minggu depan Dirga mulai sibuk dengan jam tambahan di sekolah. Ini juga demi masa depannya. Dia berharap sang manajer mengizinkannya untuk pindah setelah ujiannya selesai.

Jika dipikir, harusnya Dirga senang karena satu langkah maju menuju cita-cita yang diinginkannya. Lagipula, siapa yang akan menolak mendapatkan panggilan dari agensi besar? Ditambah sudah dijamin akan terkenal.

Namun, berbeda yang dirasakan laki-laki itu saat ini. Seperti ada sesuatu yang belum melegakan.

Sampai pintu kamarnya terbuka, menampilkan sang ibu yang menatap lembut putranya tertidur masih dengan ponsel ditangannya. Wanita paruh baya itu tersenyum, "Pasti Dirga lelah" katanya sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh Dirga. Diletakkannya ponsel itu di atas meja sambil diisi daya—ibunya melihat sisa daya ponsel Dirga lemah.

Itu kebiasaan ibunya hampir setiap malam memastikan apa kedua anaknya sudah tidur atau belum. Pintu kamar keduanya memang tak pernah dikunci saat tidur, jadi memudahkan sang ibu.

Ibunya menatap lekat wajah Dirga, rasanya cepat sekali anaknya tumbuh. Sedikit demi sedikit, Dirga mampu mencapai tujuan yang diinginkannya.

***

Pagi di tempat semua transportasi terparkir, seorang laki-laki dengan lengan seragam sedikit digulung juga tas yang menggantung disalah satu pundak baru saja selesai memarkirkan motor hitam miliknya. Sedikit merapikan rambut sebelum memindahkan pandangannya pada motor hitam lainnya yang baru saja tiba.

Tatapan yang ditunjukkan laki-laki bernama Dante ini adalah sebuah tatapan heran. Memang sih rambutnya sering menutupi kedua netranya, tapi bukan berarti ia tak dapat melihat jelas bahwa Dirga berangkat sekolah sendiri, dan sedikit lebih siang dari biasanya.

"Wo-hoo," Dante memperhatikan teman sebangkunya itu melepas jaket. "Kemana putri cantikmu? Dan tumben sekali kau datang siang?" tanyanya jahil.

Dirga tak langsung menjawab, dirinya masih membayangkan bagaimana tadi pagi Chika tidak mengiriminya pesan jika sudah berangkat bersama Johan—kakaknya. Padahal Dirga sudah menunggu sekitar dua puluh menit di depan rumah Chika. "Aku telat bangun," alibinya sambil melepaskan kunci motor yang masih menempel, serta meninggalkan Dante yang masih terdiam ditempatnya.

Dante paham, teman sebangkunya itu berkata tidak sesuai kenyataannya. Terlihat dari wajah yang dipasang Dirga. Tak menunjukkan ada kebenaran disana. Maka, dengan menyusul Dirga, Dante merangkul bahu temannya seraya berkata, "Sudahlah, tak selamanya hubungan kalian akan berjalan mulus. Jika ini kesalahan gadismu, berikan waktu untuknya dan tunggu permintaan maaf darinya. Tapi, jika ini kesalahanmu, cepat-cepatlah minta maaf. Perempuan tak ingin menunggu lama-lama. Aku sangat yakin, kau juga tak ingin berlama-lama marahan dengannya, bukan?"

"Tapi kami bukanlah sepasang kekasih,"

Dante menghela nafasnya, "Aku tahu, tapi cobalah dulu. Karena jika kulihat, hubungan kalian seperti sepasang kekasih,".

Keduanya sampai kelas tepat saat bel masuk berbunyi. Tiba-tiba saja rungu Dirga terasa berdenging saat Dante yang berteriak lantaran pekerjaan rumah pada mata pelajaran pertamanya belum selesai. Untung saja Dante itu teman sebangkunya.

Ya mungkin ini bukan hari baik untuk Dante, dirinya harus dikeluarkan dari kelas karena tidak mengumpulkan tugas. Tapi ini adalah hal yang disukai Dante. Guru bahasa itu tidak akan menghukum muridnya untuk membersihkan toilet atau membersihkan halaman. Guru itu hanya memberikan tugas merangkum materi saja di perpustakaan, jika belum selesai ya diselesaikan dirumah, tapi harus dua kali lipat mengerjakannya. Tak masalah jika dirinya harus lembur, yang penting citranya sebagai kakak kelas tampan tidak jatuh. Memang guru kesukaannya.

Tapi ini bukan hal baik juga, jika ia berjalan disekitar lalu terlihat guru konseling atau kepala sekolah, bisa panjang urusannya. Mungkin dirinya akan mampir ke ruang seni sebentar, siapa tahu ada gadis cantik yang bisa diajak berkencan. Atau mungkin gadis yang akan ia tabrak?

Iya, Dante menabrak salah satu murid yang hendak masuk ke ruang seni. "Oh, maafkan aku. Aku tidak melihatmu," ucap Dante. "Kau pendek sekali, soalnya" sambungnya.

"Iya Kak, tapi bisa tidak jangan memanggilku pendek? Aku tahu akan hal itu," ucap gadis itu yang sedikit kesal dengan Dante.

Gadis dengan poni depan itu menekuk alisnya, setelah mengambil pensilnya yang tadi jatuh. Dante rasa ia suka pada gadis yang ia tabrak, bahkan senyumnya tak luntur sebelum akhirnya salah satu teman gadis itu menghampirinya. Jadi ini temannya Chika—batin Dante.

"Arum, kau tidak apa-apa?" tanya Chika yang belum sadar akan Dante di depannya.

"Tidak apa-apa. Ayo langsung masuk saja,"

Arum masuk lebih dulu, Chika yang baru akan menyusul seketika terhenti karena sebuah tangan yang memegangi lengannya. "Cepatlah berbaikan dengannya. Dia terlihat seperti orang yang tak terurus,"

Laki-laki itu melepas pegangannya dan menghalau pergi dari hadapan Chika. Entah apa maksud ucapan Dante, tapi Chika yakin jika Dante sedang membicarakan Dirga. Memangnya apa salah Chika? Dia merasa tak melakukan apa-apa. Chika tak ingin memikirkan hal itu, kelas seninya lebih penting.

Sampai di dalam ruangan, Arum masih saja meracau tak jelas perkara Dante menabraknya. Chika yang melihatnya seperti ingin menyumpal bibir itu dengan tulang ayam sisa sarapannya tadi.

"Mentang-mentang dia kakak kelas, seenaknya saja mengataiku pendek. Dia tidak tahu saja jika aku galak seperti ini,"

"Sudahlah, orangnya juga sudah pergi. Biasanya jika pertemuannya seperti ini, pasti nanti akan bertemu lagi," ucap Chika asal.

"Tentu saja, karena dia masih di sekolah ini,"

Chika tertawa, namun sepersekon kemudian dirinya terdiam, terbayang ucapan Dante yang masuk kedalam rugunya lima menit lalu. Gadis itu kembali mengingat apa yang dia lakukan.

Apa Kak Dirga marah karena aku membentaknya semalam? Tapi kan ini salahnya menggangguku—batin Chika. Matanya mengerjap beberapa kali hingga tersadar saat guru pengampu itu telah menaruh buku diatas meja.

avataravatar
Next chapter