12 Bad Day

Ruangan dari salah satu gedung yang telah disewa menjadi tempat berkumpulnya Goldie. Tujuh jas hitam yang tergantung serta siap akan digunakan menjadi pelengkap untuk masing-masing dari anggota grup itu.

"Sepuluh menit lagi kalian tampil," jeda Caroline saat melihat satu per satu anggota yang baru saja selesai dirias. "Tolong persiapkan diri kalian. Aku akan mengecek panggung dulu," lanjutnya yang kemudian pergi dari tempat itu.

Wanita berbaju putih serta celana levis berwarna biru itu tengah sibuk mempersiapkan keperluan untuk penampilan Goldie. Akhir-akhir ini Caroline menjadi lebih sibuk mencoba membiasakan diri menjadi manajer sebelum akhirnya jabatan itu diserahkan sepenuhnya. Bahkan beberapa hari lalu ia rela berbolak-balik bertanya pada Arka. Memang calon manajer yang profesional.

Disisi lain, Arka semakin yakin dengan kinerja Caroline. Laki-laki yang kini tengah memberikan arahan pada Nanda─sang pemimpin grup, siap untuk melepas ketujuh pemuda yang memilki tekad besar untuk sukses.

Kembali pada situasi saat ini, pandangan mata Jamal mengikuti arah tubuh Caroline yang hendak keluar pintu, tersenyum saat calon manajer barunya itu melihatnya sekilas. "Lihatlah, perhatiannya begitu besar pada kita," bisiknya pada Septian. "Aku yakin jika dia memiliki kekasih, pasti sangat diperhatikan".

"Kau berkata begitu karena kau menyukainya, kan?" tebak Septian.

"Hehe," kekehnya. "Seorang Jimmy, pasti bisa mendapatkan hatinya".

Septian hanya memutar matanya malas. Kalau jiwa playboy Jamal sudah keluar, pasti akan membanggakan diri sendiri. "Berhenti meracau, Jamal" tukas Septian dan langsung pergi mengambil jasnya. Disampingnya nampak Yogi tengah memainkan ponsel sambil menunggu lainnya untuk bersiap.

"Hey, aku sudah mengganti namaku menjadi Jimmy," protesnya, lantas menghadap Yogi dengan tatapan seakan meminta pembelaan.

"Bagiku, kau itu sekali Jamal tetaplah Jamal," tandasnya tanpa melihat Jamal.

***

Gerakan kaki dan tangan para tamu undangan serta mempelai pengantin yang tengah berdansa menambah kesan romansa iringan lagu yang terputar saat sebuah grup beranggotakan tujuh laki-laki menampilkan penampilan terbaik mereka. Suara merdu dan lembut seperti telah mengubah sebuah pernikahan layaknya menjadi sebuah pesta dansa.

Suasana hati yang ikut terbuai alunan musik membuat para insan yang berpasangan tak menyadari lagu yang telah berakhir. Bahkan tak sedikit yang meminta untuk dinyanyikan kembali.Tentu saja, mereka melakukannya harus seizin manajer serta pemilik acara. Hingga semua orang tersenyum saat Goldie mengiyakan permintaan para tamu─ini diluar dugaan mereka. Mungkin satu lagu dengan irama yang berbeda akan menghidupkan suasana hati lain. Dilain tempat, Arka dan Caroline jelas mematri senyuman, entahlah mereka hanya merasa bahagia karena tamu undangan menikmati penampilan tujuh pemuda itu.

Jujur, dilubuk hati terdalam masing-masing anggota juga merasakan kebahagiaan tersendiri. Bahagia membuat orang lain bahagia, bahagia penampilan mereka diterima banyak orang, serta bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Saat ini ketujuhnya duduk menikmati jamuan yang telah disediakan khusus bintang tamu. Beberapa dari mereka sedang menjajal makanan, sisanya melihat ulang penampilan mereka tadi─untuk evaluasi.

"Kak Dirga," suara itu, suara yang ingin sekali didengar Dirga. Bahkan dirinya tersenyum saat melihat foto Chika diponselnya. Kenapa suara itu seperti nyata untuk didengar? Ponselnya berdenyar menampilkan foto Chika bersamanya saat di taman bermain dengan jepit rambut berbentuk topi berwarna merah menghiasi salah satu sisi rambutnya. Dirga suka melihat Chika mengenakan sesuatu yang berwarna merah. Terlihat kontras sekali pada kulit terawatnya.

"Kak Dirga," suara itu lagi, namun kini sedikit terdengar ada penekanan. Terlalu aneh seandainya ini hanya imajinasinya. Lantas Dirga menoleh mencari pemilik suara yang ternyata telah berada disisi kanannya dengan wajah yang sedikit cemberut. Pasalnya, itu memanglah suara Chika, tapi bagaimana bisa disini?

Dirga tahu, jika gadis itu sudah merajuk seperti ini, satu-satunya cara untuk meluluhkannya hanya dengan menepuk-nepuk kepalanya. "Iya, Chika, maafkan aku. Aku tak tahu kau disini". Benar, kurang dari sepuluh detik, Chika telah memasang wajahnya seperti semula. Mungkin orang akan menyangka jika keduanya adalah sepasang kekasih. Sayangnya, itu bukan sebuah fakta.

"Woah, gadis minggu lalu," adalah Nanda yang mendadak ternganga melihat Chika─lebih mengarah menggoda Dirga. "Apakah ini Red Jelly-mu itu?" tanyanya.

Dirga hanya menganggukan kepalanya untuk menimpali pertanyaan sang pemimpin grup. Menurutnya, ini bukan awalan baik saat Chika berada disekitar teman-temannya. Laki-laki itu bersiap untuk membawa Chika pergi sebelum akhirnya Tomi menyapa gadis yang berada dibelakang punggung Dirga.

"Hai Chika," sapanya. "Bagaimana keadaanmu? Lebih baik?"

Chika hanya tersenyum, lantaran ia tahu sedari tadi Dirga menatapnya tak sedap. Bukan ide bagus jika nanti Dirga akan mengintrogasinya dikeramaian. Gadis itu paham jika Dirga cemburu, maka dengan menarik Dirga menjauh dari keramaian adalah satu-satunya cara menghindar membuat keributan.

Memilih duduk pada bangku disalah satu lorong yang kosong, keduanya memulai perbincangan. Dirga yang lebih dulu bertanya alasan Chika bisa berada disatu gedung bersamanya. Ya asal kalian tahu saja, sebenarnya acara ini milik tante dari gadis bergaun putih yang tengah bersampingan dengan Dirga. Bukan hanya itu, Dirga juga menanyakan obrolannya dengan Tomi tadi. Ah, telinga Chika mendadak pengang. Matanya dirotasikan sedikit malas.

Selang sepuluh menit, Dirga mendadak mendadak mendapat panggilan diponselnya dengan nama tera Arka. Sontak raut wajahnya mendadak berubah antusias setelah menerima panggilannya. Senyumnya terlihat jelas sekali. Bahkan dirinya sempat sedikit tergagap saat akan berbicara pada Chika. "Chi-Chika, a-aku pergi dulu. Nanti kau pulang bersamaku" katanya dengan gelagat yang terburu untuk pergi meninggalkan Chika dengan seribu kebingungan.

Pikir Chika, mungkin Dirga dicari teman-temannya. Toh tadi mereka ke sini juga tidak memberi tahu lainnya. Rasanya tidak perlu dipikir menjadi beban, Chika melajukan langkahnya untuk kembali bertemu orang tuanya. Berjalan sambil mengayunkan tangannya dengan pandangan mengarah pada jejeran keramik cokelat yang tersusun rapi, serta bersenandung untuk menghibur diri. Hingga tanpa disadari, kepalanya menabrak sesuatu. Tidak sakit, sih, hanya saja yang ditabrak itu jauh lebih menyakitkan dari tembok besar.

"Bagaimana anak kecil sepertimu bisa ada disini?"

Anak kecil dia bilang?. Chika ini sudah anak SMA, dia sudah tahu cara untuk mencuci dan menyetrika baju sendiri. Dia juga sudah tahu bagaimana cara membuat sup ayam yang enak. Enak saja dirinya dibilang anak kecil. Ya, tapi semua itu hanya diucapkannya dalam hati. Lagipula, untuk apa dirinya menceritakan semua hal yang bisa ia lakukan pada wanita bername tag hitam yang ada didepannya, kenal saja tidak. Chika juga sempat membaca namanya. "Aku hanya berjalan-jalan disekitar sini".

Perempuan itu tiba-tiba saja menyilangkan tangannya, apalagi kedua alisnya yang menyatu seakan menandakan bahwa dirinyalah yang menguasai tempat yang dipijakinya saat ini. Mengganggu perjalanan Chika saja.

"Lebih baik cepat temui orang tuamu. Disini banyak orang yang sedang bekerja". Tangannya mendorong pelan salah satu pundak Chika agar cepat-cepat menemukan jalan menuju ruang acaranya kembali. Untung saja, dia lebih tua dari Chika, dan untung juga Chika mengerti cara menghormati seseorang yang lebih tua darinya. Akhirnya Chika hanya menurut mencari ruang dimana acara tengah berlangsung.

Dibelakang panggung, para anggota Goldie dan manajernya sedang berkumpul membicarakan sesuatu. Terlihat keringat yang masih mendirus dahi sisa tampil, jas-jas juga sudah tergelantung tidak beraturan. Ada yang tergelantung tidak beraturan digantungan, ada juga yang berada pada senderan kursi. Ketujuhnya juga masih mengibaskan berbagai kertas untuk menghilangkan gerah.

Namun, wajah sang manajer tidak sama bahagianya dengan suasana hati tujuh anggota lainnya. Mendadak perasaan bahagia itu berubah, lantaran baru saja Arka mengungumkan hasil audisi yang terakhir mereka ikuti. "Maaf semuanya, kita gagal lagi," ucapnya sendu. "Kalian tidak lolos. Dan aku tetap harus mengundurkan diri dari manajer kalian".

Bagai kehilangan harapan untuk hidup, Nanda, Septian, Yogi, Haikal, Jamal, Tomi, dan juga Dirga menunduk merenungkan apa yang terjadi. Mungkin memang Tuhan memiliki jalan lain untuk mereka sukses. Sukses dijalan mereka sendiri-sendiri.

Nanda sebagai pemimpin grup merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Terutama pada hati keenam temannya. Sebenarnya, hal ini juga menyakitkan untuknya, namun lebih menyakitkan melihat teman-temannya sedih. "Tidak apa-apa. Kita masih bisa tampil di kafe," ucapnya dengan senyuman yang dipaksakan.

Yogi akhirnya memilih bangkit lebih dulu, membereskan barang-barang yang sempat dipakainya tadi. Mencoba tersenyum walaupun itu senyuman sumbang. Terdengar juga helaan nafas yang meluncur darinya.

"Jangan sedih, aku yakin pasti kalian akan sukses. Aku janji," ucap Caroline tiba-tiba menyemangati.

Tak ada satupun yang menyaut. Caroline sadar, dirinya juga belum sepenuhnya dipercaya, karena selama ini dia masih dibimbing Arka, dan belum menghasilkan pengaruh yang besar terhadap Goldie.

Satu per satu para anggota berdiri, mengikuti Yogi yang masih membereskan barang-barangnya. Bercampur aduk dengan perasaan yang tidak mengenakan tubuh. Lantas menenteng tas selesai dari kegiatan, keluar dari gedung dan memilih kembali pulang.

Dirga yang berjalan menuju parkiran sudah melihat presensi gadis yang bersender disalah satu pintu mobilnya. Hanya menatapnya sekilas sebelum menekan tombol dari kunci mobil miliknya. Membuka pintu lantas masuk tanpa menghiraukan Chika. Bahkan tak mengeluarkan sepatah katapun.

'Mungkin Kak Dirga sedang lelah,' begitu batin Chika. Dengan rasa penasaran yang bercokol, Chika membuka pintu, menyusul Dirga didalam. Sampai-sampai didalam pun Chika hanya bergeming, sesekali melirik Dirga lewat ekor matanya. Ingin bertanya, tapi takut laki-laki itu marah. Padahal Chika ingin bercerita sesuatu. Namun, tak lama Dirga malah membuka obrolan lebih dulu.

"Aku akan menepati janjiku untuk menjadi arsitek"

'Ah, jadi itu yang membuatnya diam dari tadi,' batin Chika lagi. Tahu arah pembicaraan Dirga, Chika hanya mengangguk paham saja. Tapi tetap saja, mulutnya gatal sekali ingin bertanya. Maka, dengan setengah keberaniannya, pertanyaan itu lolos, pertanyaan yang membuat hati Dirga sedikit panas mendengarnya. "Kakak tidak lolos, ya?"

Dirga hanya mengangguk. Mencoba sebisa mungkin memasang senyuman tulus, namun tak bisa. Malah dirinya menangis, mobilnya dihentikan dipinggir jalan. Air matanya tak bisa ditahan, dibiarkan mengalir melewati pipi serta hidung bangirnya. Tak peduli Chika akan menganggapnya laki-laki cengeng. Sebenarnya, sedikit malu sih, tapi sudah terlanjur.

"Maaf, Kak Dirga, jika perkataan Chika menyakiti kakak," jeda Chika, tangannya diarahkan menyentuh pundak kiri Dirga, mengelus penuh kelembutan. "Tangisi saja, Kak. Chika akan menunggunya," lanjutnya.

Lima belas menit Chika menunggu Dirga menangis, pribadi disebelahnya mulai tenang. Menyeka air mata dengan punggung tangannya sebelum Chika memberikan sapu tangan hitam miliknya.

Dirasa Dirga mulai tenang, kakinya mulai menginjak pedal gasnya lagi. Melajukan mobil untuk mengantar Chika sampai rumahnya. Dia hanya butuh merebahkan diri di kamarnya. Hingga roda mobil itu sampai pada depan gerbang rumah Chika. Selepas gadis itu turun dan memberikan senyum menenangkan untuknya, dia kembali melajukan mobilnya menuju rumah.

***

Langkah Chika meniti anakan tangga satu per satu sambil memikirkan Dirga tadi. Entah kenapa, Chika ikut sedih melihat Dirga seperti itu. Seperti seseorang telah menghancurkan impian tertingginya. Dirinya hanya berharap ini cepat berlalu, agar Dirga tak perlu sedih lebih lama lagi.

Kaki gadis itu sampai pada depan pintu kamar miliknya. Langkahnya terhenti saat hendak membuka kenop. Fokusnya teralihkan pada sosok wanita lain dirumahnya. Iya, itu teman Johan. Johan tidak ikut ke acara pernikahan tadi. "Kaki kakak kenapa?"

"Ini? Aku tadi terpleset. Aku pulang dulu ya, Chika," pamitnya terburu. Johan juga membantu perempuan itu berjalan.

Memilih tak peduli, Chika lebih memilih ingin memasuki kamar. Tapi, fokusnya teralihkan lagi, seperti mencium bau yang tak sedap saat keduanya melalui Chika. Dia belum pernah mencium bau itu barang sekalipun. "Entahlah, mungkin bau keringat temannya Kak Johan," gumamnya sembari memasuki kamar.

.

.

.

bersambung

avataravatar
Next chapter