webnovel

Great War Records 01 - Penyihir Cahaya dan Sang Ahli Pedang I

Ini merupakan kisah saat semuanya masih di dalam kekacauan yang tersusun dari hal yang sederhana, sebuah masa dimana kekejian yang terjadi sudah tidak dianggap hal menyimpang lagi. Saat seseorang ingin hidup, maka angkatlah senjata dan tusuk musuh yang datang menyerangmu. Jika ingin menegakkan ego yang mengatasnamakan kebenaran, kekuasaan diperlukan untuk melakukannya. Anak-anak hanya bisa merengek, perempuan hanya bisa pasrah, kematian dalam sebuah keluarga bukanlah hal yang aneh, bahkan orang-orang tidak akan punya waktu untuk bersedih atau merengek karena kehilangan.

Pemandangan senja kemerahan pada sebuah desa yang telah dibantai habis penduduknya, mayat-mayat yang menjadi makanan para gagak, dan bau busuk tersebar masuk melalui saluran-saluran air, semua itu bukanlah hal yang jarang pada masa kekacauan tersebut. Orang mati tanpa arti, sengsara tanpa akhir, penderitaan tak berdasar, itu juga merupakan hal yang wajar.

Pelacuran dan kebejatan, darah dan mayat, kekuasaan dan penyalahgunaan, ketidakberdayaan, mereka yang lemah hanya bisa merengek dan tidak bisa berbuat apa-apa dengan kekacauan yang datang bagaikan badai yang tak kunjung berhenti. Mereka tidak akan sempat untuk mengucapkan selamat tinggal, mereka tidak akan bisa sempat untuk membalas dendam atau kebaikan. Satu langkah di atas medan perang, tidak ada jaminan satu detik pun seseorang akan hidup.

Itulah Perang Besar, Peperangan ratusan tahun Benua Michigan, sebuah konflik yang berlangsung sampai ke generasi penerusnya. Hasil dari kegagalan Ego semua orang mencapai kesepakatan. Sebuah Yuda pada daratan tunggal di bawah kekuasaan Langit. Hasil dari kesalahan masa lalu yang akan terus dibawa sampai ke masa depan, sampai anak cucu mereka dan akan menjadi saksi bisu pembentukan wujud tatanan dunia di masa depan.

Tidak ada kebaikan atau kejahatan, yang dibawa hanya yang lemah dan yang kuat, itulah perang. Meski tujuan awal sebuah perang adalah untuk mendominasi kelompok lawan, tetapi pada kenyataannya batas dominasi tersebut sangatlah abstrak. Tidak ada ketetapan. Apakah sampai harus memperbudak seluruh warga dari negara lawan itu pantas disebut kemenangan, tidak ada yang menentukan. Karena itulah, peperangan tidak akan mudah berakhir hanya karena satu atau dua kali kekalahan, tidak akan berhenti hanya dengan seribu atau dua ribu nyawa melayang.

Hal tersebut juga terjadi pada Perang Besar yang telah berlangsung selama seratus tahun lebih di Benua Michigan. Awal perang sangatlah sederhana, dimulai dari perselisihan batas wilayah dan hasil tambang yang terletak di antara Kerajaan Unega dan Kerajaan Moloia. Kedua kerajaan tersebut mengklaim batas wilayah masing-masing, lalu tanpa bisa bersepakat kedua kerajaan tersebut akhirnya mulai berperang.

Pertempuran pertama terjadi di Gurun Muhdara pada daerah perbatasan Kerajaan Ungea. Dalam peperangan tersebut, tercatat korban mencapai lebih dari 2.000 jiwa. Sadar akan terbatasnya persediaan peperangan, kedua kubu mulai meminta bantuan kepada negara tetangga. Akhirnya, sebuah peperangan yang merambat sampai skala benua terjadi. Saling berkoalisi, tetapi pada akhirnya akan saling mengkhianati. Selama seratus tahun lebih, peperangan tidak kunjung selesai.

Ini adalah sebuah Kisah dari seorang Pemuda dari Keluarga Luke yang kelak akan dikenal sebagai Pahlawan Ahli Pedang. Perjalanannya menemukan makna di dalam peperangan, dan belajar arti dari sebuah perjuangan. Kisah pertemuannya dengan sosok yang mengubah kehidupannya yang hanya penuh dengan bau amis darah dan bau busuk mayat. Pemuda itu adalah ..., Putra Bungsu Keluarga Luke dari garis utama Keluarga Luke, sosok bertalenta yang tidak memiliki tujuan hidup sebelum mengenal apa arti sebenarnya kehidupannya.

««»»

Lebih dari delapan ratus meter dari permukaan laut, seekor elang berwarna keemasan terbang di angkasa dengan gagah. Senja bersinar kekuningan, menyinari daerah tanah genting yang terletak di antara Kekaisaran Urzia dan Kerajaan Felixia. Di arah utara terlihat daerah Pegunungan Pengabadian yang merupakan daerah milik Kekaisaran, dan di sebelah selatan terlihat Pegunungan Perbatasan yang merupakan daerah Kerajaan, daratan di antara kedua pegunungan itu bernama Lembah Gersang, tepat terletak di daerah tanah genting yang menjadi wilayah Kota Negara Sihir, Miquator. Melihat beberapa ratus kilometer ke arah timur, terdapat sebuah teluk raksasa yang dulunya menjadi jalur perdagangan, sedangkan beberapa puluh kilometer ke arah barat terhubung langsung dengan sebuah Laut Tengah yang menjadi rute laut keempat negeri.

Melihat apa yang ada di bawah, terlihat ribuan pasukan Kerajaan Felixia dan Kekaisaran Urzia berbaris dengan perlengkapan mereka, mengangkat bendera dan mengagungkan senjata untuk simbol kekuasaan dan kekuatan. Dalam ketegangan yang senyap, keringat para pasukan dengan jelas bercucuran di balik helm besi dan zirah mereka.

Dari arah utara, lebih dari lima ribu pasukan Kekaisaran berbaris rapi membentuk formasi frontal, membentuk beberapa divisi dengan pasukan kavaleri berkuda berada di barisan paling depan, sedangkan infanteri menjadi pasukan menjadi pendukung. Para kavaleri hampir semuanya bersenjatakan tombak trisula sepanjang tiga meter lebih, sedangkan untuk pasukan infanteri bersenjatakan senjata tombak dengan mata tombak melengung tajam dan pedang Katana. Mereka semua mengenakan zirah ringan berwarna warna merah kirmizi sehingga memusatkan kekuatan pasukan dalam mobilitasnya.

Di belakang divisi pasukan infanteri, terdapat pasukan artileri yang bersenjatakan meriam besi dan berbaur dengan pasukan pemanah. Meriam yang berada di barisan belakang pasukan Kekaisaran bukanlah meriam mesiu biasa, senjata tersebut terbuat dari logam campuran dari baja dan tembaga yang di permukaan dalam selongsong meriam terdapat Rune untuk meningkatkan kekuatan dari tembakan. Peluru besi yang digunakan juga bukanlah peluru sembarang, tiap-tiap bola besi yang disiapkan telah diberi mantra yang membuatnya bisa menghasilkan ledakkan saat terkena benturan keras.

Pada arah Pegunungan Perbatasan, pasukan Kerajaan Felixia juga telah siap perang. Mereka menggunakan Formasi Segitiga Terbang, sebuah formasi berbentuk V dengan pasukan kavaleri untuk menerjang masuk ke barisan lawan. Terdiri dari satu pasukan utama yang berada di barisan paling depan, di belakangnya terdapat beberapa peleton pasukan kavaleri yang juga menggunakan formasi serbu tersebut. Sebagan besar pasukan berkuda itu mengenakan senjata tombak dengan ujung runcing sepanjang tiga meter lebih, serta zirah berunsur biru tua ringan untuk memaksimalkan manuver.

Di belakang pasukan kavaleri, terdapat pasukan infanteri berat dengan zirah tebal berwarna biru tua dan perisai yang mengutamakan pertahanan. Sebagian besar pasukan infanteri adalah Ksatria yang memiliki pendidikan khusus, serta memiliki keahlian unik dari keluarga masing-masing. Mereka menggunakan formasi perang Pike Square, yang seperti namanya formasi tersebut terdiri dari pasukan bertombak dan membentuk persegi, sebuah formasi yang bisa digunakan untuk bertahan dan menyerang ke berbagai arah. Hampir mirip dengan Phalanx, tetapi cenderung tidak menyerang karena perisai yang digunakan hanya dipakai dalam mode bertahan.

Tepat di belakang pasukan infanteri, terdapat pasukan pemanah dan penyihir roh sebagai pasukan pendukung. Berbeda dengan para pasukan di depan, mereka hanya mengenakan zirah kulit dan jubah. Pasukan di garis belakang tersebut memilik jumlah paling sedikit, dan terpencar di sepanjang garis belakang pasukan Felixia.

Lurus di jarak penglihatan pasukan Kerajaan dan Kekaisaran, hanya terdapat lahan kosong yang amat luas, tidak terlihat satu pun makhluk hidup yang berani berdiri di tempat yang akan menjadi medan perang itu. Pasukan dengan ziarah merah tua dan zirah biru tua, mereka berkumpul di daerah tanah genting tersebut bukanlah untuk berperang satu sama lain, tetapi untuk melawan satu pihak dengan kekuatan mutlak di daratan Michigan.

Sedikit mendongak ke arah langit, pada tengah lembah di antara Kerajaan dan Kekaisaran, terlihat sebuah pulau raksasa yang melayang beberapa ratus meter di udara. Itu merupakan salah satu benteng pertahanan Kota Miquator, Aldebaran, sebuah pulau sihir dengan reaktor sihir raksasa sebagai pembangkit energi utama. Pulau yang melayang tersebut memiliki luas lebih dari tiga kilometer, terdapat sebuah bangunan benteng raksasa di atasnya, serta memiliki pelindung sihir di berbagai arah dan dikelilingi Wyvern yang ditunggangi para penyihir.

[Catatan: Wyvern; Sejenis naga. Rata-rata memiliki sepasang sayap, sepasang kaki, tidak memiliki tangan seperti naga, tetapi pada sekitar sayap terdapat bagian seperti cakar. Tinggi rata-rata sekitar empat sampai lima meter, panjang bisa sampai lima belas meter sampai ekornya. Memiliki kulit keras, dan sebagian ada yang bisa menyemburkan api.]

Elang yang terbang di angkasa kembali ke pemiliknya di pulau melayang tersebut, masuk melewati barisan para Wyvern di udara, lalu mendarat di lengan salah seorang penyihir yang berdiri di ujung pulau. Penyihir itu berambut pirang terang panjang, mata biru cerah, dan terlihat begitu cantik dengan paras mudanya. Saat penyihir tersebut mengelus kepala elang yang mendarat di atas lengan kanan, elang tersebut langsung berubah menjadi partikel cahaya dan masuk ke dalam tubuhnya.

Membuka tudung dari jubah hitamnya, sang penyihir itu menatap ke bawah dengan mata yang seakan tidak terlihat hidup. Rambut pirangnya berkibar tertiup angin dari bawah, membuat sosok anggun tersebut semakin memikat dengan kecantikannya, tetapi rasa dingin tetap terpancar jelas dari sorot matanya. Sosok tersebut adalah salah satu pemimpin para penyihir, merupakan salah seorang Sorcerer dari Miquator yang menyandang julukan Penyihir Cahaya.

"Kita bersiap. Mereka semua datang untuk mati, kalau begitu mari kita berikan kematian itu pada mereka," ucapnya seraya menunjuk ke arah pasukan Kekaisaran di bawah. "Kita hanya ingin kedamaian dalam mempelajari sihir, tetapi mereka malah menyulut kemarahan Penyihir Agung. Dasar orang-orang bodoh."

Mendengar perkataan penyihir berambut pirang tersebut, para penyihir lain yang menunggang Wyvern bersorak penuh semangat. Lapisan sihir mulai ditingkatkan kerapatannya untuk melindungi pulau melayang, ribuan perisai sihir transparan berbentuk heksagram mulai tersebar di berbagai sisi pulau melayang dan mulai menutupi secara penuh. Sebelum perisai sihir terbentang penuh, para penyihir yang masih berada di dalam pulau mulai menaiki sapu terbang mereka dan terbang keluar. Sebagian yang masih di dalam, mereka mulai merapalkan mantra dan membuat struktur sihir untuk memperkuat pertahanan pulau.

Jumlah penyihir yang ada di luar pelindung pulau tidak lebih dari enam ratus orang. Tetapi dalam tolak ukur kekuatan dalam perang, jumlah tersebut bukanlah hal yang bisa diremehkan, terutama untuk penyihir dari Kota Miquator. Jubah hitam, topi kerucut, dan tongkat pendek untuk mempercepat proses sihir, itulah perlengkapan dasar yang digunakan oleh para penyihir Kota Miquator. Melayang di sekitar Aldebaran, menunggu aba-aba dari Penyihir Agung untuk memulai peperangan.

Tepat di atas pulau melayang tersebut, seorang penyihir terbang tinggi di bawah langit gelap. Jubah hitamnya berkibar tertiup angin, rambut ungu gelapnya membentuk ombak terkena udara bagaikan melambangkan kehancuran. Ia tidak membawa sapu terbang yang terbuat dari pohon beringin seperti kebanyakan orang, hanya menggunakan tubuh sebagai media Mana ia sudah dapat menggunakan sihir melayang yang sulit untuk digunakan tanpa alat. Dialah sang Penyihir Agung sekaligus penguasa dan guru besar Kota Miquator, Anmutig Lila Ewig Aster.

Melihat ke bawah, wanita berambut ungu tersebut tersenyum tipis. Memandang orang-orang yang berkumpul dengan senjata primitif dan masih menggunakan taktik perang kuno, wanita itu mulai melebarkan senyumnya. "Sungguh menyedihkan. Tidak disangka mereka benar-benar akan bekerja sama, dua musuh bebuyutan itu ...." Mengibaskan rambutnya, wanita itu merentangkan kedua tangannya ke samping dan berkata, "Saat menemukan musuh yang lebih kuat, rasa persatuan akan muncul, ego akan berkurang, itulah sifat orang-orang lemah, sifat para mortal rendahan!!" Suaranya meninggi sampai terdengar para penyihir lain.

"Semuanya! Kita adalah orang-orang yang terpilih! Kita para penyihir berbeda kasta dengan makhluk-makhluk itu! Karena itulah Dewa kita memberikan sihir! Kekuatan dan pengetahuan ini! Tunjukkan pada mereka kekuatan kita!!"

"Hooooooooo!!!!!"

Para penyihir berorak semangat mendengar itu, mengangkat tongkat mereka tinggi-tinggi, dalam sebuah kesatuan. Awal mulai menyelimuti langit, membawa kegelapan yang datang bersama malam yang semakin mendekat.

Di bawah, para prajurit Kekaisaran melihat para penyihir bersiap. Salah seorang komandan kekaisaran yang mengenakan pakaian jubah berdiri telanjang dada di barisan paling depan, melipat kedua tangan berototnya ke depan dan melihat ke atas dengan penuh tatap kesombongan. Itu bukanlah rasa angkuh yang bodoh, pria berambut hitam yang menjadi komandan pasukan Kekaisaran itu sangatlah kuat, dari otot kekar dan auranya terlihat jelas menunjukkan wujudnya. Dialah salah satu dari 12 Komandan Zodiak, Sang Naga, Li Qiang Chen.

Pria itu mencabut tombak pedang yang tertancap di tanah, lalu menodongkannya ke atas. "Dasar para penyihir keparat, mereka pikir bisa melawan pasukanku hanya dengan tongkat? Hah! Akan aku penggal kepala mereka dan kuserahkan untuk Kaisar!" Dari mata tombak sepanjang empat meter tersebut, lengkung tajam mata pedang di ujungnya seakan memancarkan cahaya di bawah langit gelap.

Pria itu memutar tombaknya tiga kali dengan tangan kanan, menghembuskan angin kencang dan kembali menancapkannya ke permukaan tanah. Meregangkan jemari dan leher, Li Qiang tersenyum lebar seakan tidak sabar memulai pertempuran. Menoleh ke belakang, pasukan kavaleri yang dipimpinnya juga menunjukkan rasa tidak sabar. Kebanyakan pasukan garis depan adalah anak buah Komandan Naga tersebut, memiliki nafsu berperang yang tinggi dan menikmati pertempuran.

"Baiklah, kalian sudah tidak sabar? Sekarang waktunya membalaskan dendam kita. Heh! Kalau begitu ...." Li Quang mencabut tombaknya, lalu mengangkat tinggi mata pedang senjatanya itu setinggi mungkin dan mulai memancarkan sinar terang. Ia menarik napas, lalu membusungkan dadanya.

"Ma―!!"

"Tunggu!" Perkataan itu menghentikan Li Quang. Dengan menahan gairah perangnya, ia menurunkan senjata dan menoleh ke belakang. Dari barisan prajuritnya, keluar seorang pria tua yang rambutnya sudah memutih. Li Quang kenal pria tua berjenggot panjang tersebut, dia adalah salah satu Komandan Zodiak seperti dirinya, Qibo Quon sang Ular. Meski sudah berumur lebih dari seratus tahun, pria tua tersebut masih bisa bergerak dengan cepat dan tidak pikun.

Pria tua itu mengenakan Hanfu, pakaian jubah dengan lengan longgar. Ia berjalan mendekat ke arah Li Quang, lalu memukul kepala pria itu dengan kipas kayunya. "Kau bodoh! Sudah kuduga kau pasti akan langsung menyerang! Bukannya kau sudah kalah perang dua kali melawan para penyihir itu!?" Pria tua itu langsung memarahi sosok perkasa tersebut. Seakan tidak bisa melawannya karena rasa insting dari dalam, Li Quang hanya memalingkan wajah dengan tatapan datar. Pukulan kipas bertubi itu sama bahkan sekali tidak membuat pria perkasa itu gatal.

"Kakek, jangan terlalu banyak gerak. Nanti encok kakek kambuh lagi ...."

"Diam kau! Padahal peperangan di barat belum selesai! Karena kamu, kaisar sampai memerintahkanku untuk membantumu di sini!"

Kakek itu berhenti memukuli Li Qiang dengan kipasnya, lalu menundukkan kepala dan memasang wajah lesu. "Si Monyet dan Kerbau meninggal saat perang sebelumnya, bukan? Jangan gegabah terus, Li .... Kalau kau pergi, kekuatan Kekaisaran akan semakin berkurang. Di pulau barat saat peperangan melawan orang-orang Moloia, Kelinci dan Tikus juga sudah ...." Mendengar ucapan Qibo Quon, Li Qiang juga kembali mengingat pertempuran beberapa bulan lalu melawan para penyihir Miquator.

Pada pertempuran tersebut, Kekaisaran mengalami kekalahan telak. Karena hal tersebutlah, pada peperangan kali ini pihak Kekaisaran menjalin gencatan senjata dengan Kerajaan Felixia yang juga bernasib sama. Pada perebutan rute peperangan yang ada, kedua kubu tersebut dikejutkan dengan sebuah kota yang dulunya menjadi tempat bertemunya dua budaya tiba-tiba mendeklarasikan menjadi sebuah Negara Tunggal beberapa tahun yang lalu. Meski kota tersebut telah menjadi wilayah netral sejak awal masa Perang Besar, wilayah yang mendeklarasikan kekuasaannya di tengah masa perang sama saja seperti berkoar ingin ikut serta dalam peperangan. Karena alasan tersebut, Kekaisaran dan Kerajaan memulai invasi, lalu mengalami kekalahan dan berakhir dalam kondisi sekarang.

"Jangan cemas seperti itu, Kakek. Aku tidak akan mati, tenang saja! Aku adalah Naga, aku adalah yang terkuat dari semua komandan dan merupakan ujung tombak Kekaisaran!" Li Qiang memukul dada kanannya sendiri, lalu membusungkan otot dadanya yang kekar dan menunjukkan kegagahannya. "Serahkan padaku! Kakek atur saja strateginya!" ucapnya dengan penuh rasa percaya diri.

"Terserah saja .... Kau memang bodoh ...." Qibo Quon berbalik, lalu mulai berjalan ke arah barisan para prajurit menuju barisan belakang pasukan. "Tapi aku tidak benci," lanjutnya dengan suara lirih. Ia menoleh ke arah Li Qiang, lalu tersenyum kecil layaknya seorang kakek melihat cucunya.

Melihat pria tua tersebut berjalan ke barisan belakang, pria bertubuh kekar itu menarik napas lega. Ia kembali melihat ke depan, lalu mengangkat tombak pedangnya tinggi-tinggi. "Kita mulai perangnya!!" teriaknya dengan lantang. Mengikuti komandan penuh karisma pemimpin tersebut, pasukan kavaleri dan infanteri di belakangnya mulai bersorak penuh semangat.

"HO! HO! HO! HO! HO! HOOOO!!!" sorak pasukan Kekaisaran.

Lurus di dalam jarak pandang para pasukan yang bersorak semangat tersebut, para prajurit Kerajaan Felixia yang melihatnya mulai terpancing semangatnya. Mereka mulai bersiap-siap untuk menyerang dan menunggu perintah dari pemimpin tertinggi pasukan. Di barisan paling depan Kerajaan Felixia, terlihat sosok Jenderal tertinggi Kerajaan Felixia, Gaiel Garados. Seorang Jenius dalam peperangan yang bahkan dapat menggantikan keluarga Luke dalam sejarah puncak militer Kerajaan Felixia.

Pria tersebut mengenakan zirah ringan tanpa helm pelindung, menunggang kuda hitam dan membawa pedang keperakan pada sabuknya. Gaiel menatap tajam ke arah para prajurit Kekaisaran yang bersorak-sorak dan mengangkat senjata mereka. Pria yang umurnya baru menginjak usia kepala dua tersebut sangat tenang meski sebentar lagi akan melakukan perang, sama sekali tidak menampakkan emosi semangat atau takut.

Salah seorang pria tua berbadan besar kekar mendekatkan kudanya ke Gaiel. Ia adalah kepala Keluarga Luke generasi ke empat, Madis Luke. Meski sudah berumur lebih dari kepala enam dan rambutnya memutih, sosok dari pemimpin keluarga ujung tombak Kerajaan Felixia itu masih terlihat segar bugar dengan badan kekarnya yang terukir jelas dari balik zirah kulit yang dikenakan. "Nak Gaiel, sepertinya mereka akan menyerang para penyihir itu. Apa kita akan ikut juga?" tanya Madis.

"Kita tunggu dulu .... Tidak ada alasan untuk bersaing seperti ini, Paman." Gaiel melihat ke arah pria tua tersebut. Tatapan dari jenius itu terlihat seperti orang yang jiwanya sedang berada di tempat lain dan terlihat kosong. Mendapat jawaban seperti itu, Kepala Keluarga Luke tersebut menghela napas ringan dan berkata, "Baiklah, aku ikut denganmu. Engkau sudah berhasil memukul mundur orang-orang dari gurun itu, aku tidak akan meragukan perkataan jenis strategi sepertimu."

Gaiel berkedip, saat membuka matanya kembali, sorot matanya berubah hidup dan mata hijaunya berubah terang. "He Hehe, jangan menyanjungku seperti itu, Paman Luke. Aku dibantu Dart anak paman, dia sangat bertalenta meski usianya masih belasan tahun. Lagi pula, orang-orang Ungea itu juga sedang banyak kendala, karena itulah aku bisa menang dalam perang itu," ucapnya seraya sedikit memalingkan pandangan dan terlihat malu-malu.

"Sikapmu sangat berlawanan dengan bakatmu, ya." Setelah melontarkan perkataan tersebut, Kepala Keluarga Luke menjauhkan kuda yang ditungganginya dan kembali ke barisan pasukan yang dipimpin.

Setelah kembali ke barisan pasukannya, Madis langsung dihampiri seorang perempuan yang mengenakan zirah pelindung lengkap. Perempuan tersebut bernama Minra, seorang Shieal yang merupakan keluarga cabang Keluarga Luke. Berjalan mendekati kuda tuanya, Minra berkata, "Tuanku, apa yang tuan Gaiel ingin menunda perang ini sampai malam? Pasukan sudah menunggu cukup lama dari siang ...."

Mendengar itu Madis melirik ke arah Minra, lalu menatap tajam dan terlihat sedikit terganggu. "Kalau kau ingin kembali, aku tidak akan melarangnya. Perang ini hanya diikuti bagi mereka yang ingin memperjuangkan Kerajaan." Minra langsung berlutut hormat saat mendengar hal tersebut. "Maafkan saya, Tuanku. Kami para Shieal tidak bisa membiarkan keluarga utama berperang sendirian. Sudah tugas perisai mendampingi pedang kerajaan," ucapnya dengan penuh rasa loyalitas.

"Terserah saja. Tapi ..., jangan sampai mati. Kembali ke barisanmu bersama Karli, sampaikan kepadanya kalau dia juga jangan sampai mati. Kau tahu, keluarga Utama dan Keluarga Cabang sudah sangat terbatas jumlahnya ...."

Kepala Keluarga Luke kembali melihat ke depan, dengan tatapan lurus tanpa rasa takut. Mendongak dan melihat sosok tuannya yang menunggang kuda dengan gagah, rasa kagum terbesit dalam benak Shieal yang bertugas mendampingi pria tersebut.

Saat kembali bersama barisan pasukan, rekan Minra bernama Karli bertanya, "Apa kau dimarahi lagi?" Gadis yang mengenakan zirah berwarna biru gelap itu menoleh dengan kesal dan menatap tajam ke arah pria besar di sebelahnya. Karli, pria besar itu juga adalah salah satu Shieal, memiliki perawakan tinggi gendut dan mengenakan zirah besar berwarna biru tua yang sesuai dengan ukuran tubuhnya.

"Tidak juga .... Tuan Besar hanya bilang akan mengikuti rencana Tuan Gaiel."

"Rencana dari si Jenius itu ya .... Sejak dia memimpin alur peperangan, kita memang selalu unggul. Kata Jenius bukan hanya isapan jempol saja."

Pembicaraan mereka langsung berakhir ketika mendengar suara dengkuran dari seseorang yang berdiri di sebelah kanan Karli. Menoleh ke arah tersebut, Karli dan Minra melihat seorang pemuda remaja yang tidur berdiri. Remaja itu tidak mengenakan zirah tebal, hanya pakaian sederhana dengan rompi kulit dan bersenjatakan dua pedang yang dikaitkan pada kedua sisi pinggangnya bersama sabuk.

Karli dan Minra tidak menegurnya, mereka tidak punya hak seperti itu karena pemuda yang tertidur dalam posisi berdiri tegak tersebut adalah Putra Bungsu dari Kelapa Keluarga Luke, Dart Luke. Melihat betapa santainya Dart, kedua Shieal yang melayani Kepala Keluarga Luke itu sedikit menghela napas dengan rasa gelisah.

Salah seorang yang menunggang kuda mendekati mereka bertiga yang ada di barisan terdepan pasukan. Melihat kedatangan sosok yang menunggang kuda, Karli dan Minra langsung menegakkan tubuh dan memberikan hormat dengan membungkuk. Kembali menegakkan tubuh, mereka melihat ke arah pria dengan paras rupawan yang datang itu. Rambut berwarna hitam mengkilat, badan kekar yang berlapis zirah megah, dan pedang satu tangan yang sarungnya penuh dengan dekorasi serta ukiran di pinggang kiri, sosok tersebut adalah Anak Sulung Keluarga Luke dan calon pewaris keluarganya, Griad Luke.

Griad menatap jengkel saat mengetahui adiknya tertidur dengan posisi berdiri di barisan. Ia turun dari atas kuda, lalu menyerahkan pedangnya kepada Shieal yang mendampinginya, Urka Neta, perempuan berambut hitam panjang yang mengenakan seragam pelayan di dekatnya. Griad mendaratkan telapak tangan ke jidat Dart, dan pemuda itu pun terbangun dengan cepat. Sadar kakaknya berdiri di depan dengan tatapan kesal, Dart sama sekali tidak terlihat peduli dan memalingkan pandangannya dengan malas.

"Ada apa sih, Kakanda? Bukannya seharusnya Kakanda ada di garis pasukan tengah memimpin infanteri?"

"Oooh, kamu sengaja masuk ke barisan terdepan hanya untuk tidur, ya?"

"Kalau aku satu divisi dengan Kakak, pasti kena marah terus, bukan?"

Perdebatan yang sering terjadi antara kakak adik tersebut pun terjadi. Graid seperti layaknya kakak terus memberi saran-saran dengan nada memaksa, tetapi Dart sebagai adik hanya mendengarkannya dengan telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Melihat perdebatan kakak adik tersebut, ketiga Shieal dan para prajurit yang melihat hanya tersenyum kecil, dan bahkan sebagian ada yang tertawa melihat hal tersebut.

Madis, kepala Keluarga Luke yang mendengar suara ramai tawa kecil melirik ke barisan. Tahu kalau kedua anaknya sedang berdebat, sosok ayah tersebut sedikit tersenyum ringan. Tetapi saat mengingat pertempuran akan dimulai, rasa senang tersebut langsung hilang. Kembali melihat ke depan, Kepala Keluarga Luke tersebut mengingat mendiang istrinya yang telah meninggal beberapa tahun setelah melahirkan Dart. Dalam janji dengan mendiang istrinya, Madis diminta untuk tidak akan membawa Dart ke medan perang. Sayang sekali janji tersebut tidak bisa ditepati Madis, sebab bakat yang dimiliki Dart lebih dari perkiraan dan sangat disayangkan kalau hanya tinggal di kediaman tanpa digunakan untuk kontribusi kerajaan.

"Kenapa kau memasang wajah seperti itu, sahabatku?" Salah seorang komandan perang mendekatkan kuda yang ditungganginya ke tempat Dart. Pria dengan zirah tebal yang datang tersebut adalah Kepala Keluarga Rein, Michara Dima Rein, sosok pria yang menjadi petinggi dalam pemerintahan Kerajaan Felixa.

Melihat ke arah Dima, Madis sedikit menatap heran karena orang yang biasanya selalu berdiri di garis belakang peperangan dan bertugas menata persediaan, sekarang berada di barusan depan. "Kenapa ada di sini, Mich?" tanya Madis. Kepala Keluarga Rein generasi keempat membuka helm besinya saat mendengar itu, lalu menatap Midas dengan sedikit sombong. Raut wajah berwibawa dan terlihat cerdas, rambut pirang ikal panjang sebahu, sosok tersebut sangat mencerminkan seorang bangsawan bermartabat tinggi. Meski pun pada kenyataannya, pria yang terlihat muda tersebut sudah bermur sekitar 50 tahun dan memiliki lebih dari sepuluh istri.

"Hemp, aku hanya ingin melihat wajah sahabatku sebelum berperang."

"Oh, begitu. Sebaiknya kau cepat kembali ke belakang, kalau ada panah yang tersasar ke kepalamu bisa gawat nantinya."

"Mulutmu selalu kasar ya, sahabatku ...."

Kepala Keluarga Rein tersebut lebih mendekatkan kudanya, lalu berbisik kepada Madis, "Ada kabar dari pergerakan Moloia. Kekaisaran mulai terdesak, dan kemungkinan pulau utara mereka di barat akan diambil alih secara penuh oleh orang-orang sok intelektual itu."

"Hmm? Kekaisaran kembali didesak? Jelas saja mereka mau membuat aliansi sementara ini. Kaisar itu ..., sudah kuduga dia juga ternyata punya ikatan dengan makhluk superior juga ya."

"Apa Roh Agung?" Kepala Keluarga Rein menjauhkan mulutnya dari telinga Madis, lalu sedikit menjauhkan kuda. "Apa mereka juga punya Gerbang Portal seperti kita?"

"Kurasa tidak .... Menurut nak Gaiel, kekaisaran punya semacam sosok yang memiliki koneksi dengan dewa ..., hampir mirip dengan Ratu kita."

Kepala Keluarga Rein terkejut. "Apa itu benar? Mereka ...." Pria rupawan tersebut memegang dagu, lalu berpikir. "Kurasa ... kemungkinan itu memang ada. Pergerakan kekaisaran memang sangat aneh, mereka juga terlalu banyak punya jenis sihir dan artifak legendaris ....."

Kedua Kepala Keluarga yang menjadi inti Kerajaan Felixia tersebut mulai berbincang tentang kondisi Kekaisaran, lalu merambat sampai pembicaraan mengenai teknologi dan senjata Kerajaan Moloia yang terbilang cukup aneh di benua Michigan.

Next chapter