webnovel

21 - Einerseits Obst 3 of 4

Perlahan membuka mata dengan berat, Odo melihat sebuah kelambu transparan dari kain berwarna ungu gelap menutupi sekitar tempatnya berada. Pandangan pudarnya sedikit demi sedikit membaik, di balik kelambu mulai terlihat langit-langit ruangan berdekorasikan lampu gantung antik yang di dalamnya terdapat kristal cahaya bersinar biru keputihan. Menarik napas dan berusaha memahami situasi, anak itu bangun dan duduk dengan posisi selonjor di atas ranjang.

Ranjang yang anak berambut hitam itu duduki sekarang terlihat sangat megah dan mewah dengan seprei berwarna merah gelap yang mengeluarkan aroma wangi bunga mawar. Menoleh ke kanan dan kiri, di luar kelambu yang menutupi ranjang terlihat beberapa perabotan seperti meja dan kursi dari kayu yang mengkilat. Saat melihat memindai kembali, anak itu menemukan satu pintu keluar dan sebuah jendela besar yang tertutup gorden berwarna merah yang bagian bawahnya memiliki renda hitam bermotif bunga mawar.

Odo sama sekali tidak ingat mengapa bisa berada di tempat seperti itu. Menarik napas dalam-dalam dan berusaha memikirkan kembali apa yang sebenarnya terjadi, dengan cepat ingatan saat sebelum dirinya kehilangan kesadaran terlintas. Wanita berambut pirang dengan sorot mata merah datang menghampiri dan melakukan sesuatu padanya ketika dirinya akan pingsan.

Sambil terus berpikir, anak itu membuka kelambu dan turun dari ranjang. Memijakkan kaki tanpa alas di lantai keramik bersuhu rendah, Odo langsung terkejut karena dirinya tidak mengenakan sepatu dan pada saat yang sama dirinya juga baru menyadari kalau pakaian yang dikenakan sekarang sangat berbeda dari sebelumnya. Anak berambut hitam itu lekas berjalan ke arah meja rias di sudut kamar tersebut, lalu berkaca pada cermin yang ada.

"Eh? Apa ini ...?"

Sosoknya terpantul jelas pada cermin, tetapi dengan penampilan yang sangat tidak disangka. Sekarang Odo mengenakan tunik, sebuah pakaian atasan longgar yang menutupi dada, bahu, dan punggung, serta memiliki lengan panjang longgar. Sadar hanya mengenakan baju atasan saja, wajah anak berambut hitam itu langsung terlihat panik dan langsung lekas mencari sesuatu untuk menutupi bagian bawahnya. Mengambil selimut di atas ranjang, Odo lekas memakainya seperti sarung untuk bagian bawah.

Pikiran negatif mulai mengisi kepalanya karena terbangun di tempat asing tanpa bawahan dan pakaiannya telah berganti. Melihat ke kanan dan kiri, segera Ia berjalan ke arah jendela kaca besar. Tergesa-gesa membuka gorden dan melihat keluar jendela tersebut, apa yang ada di luar tempatnya berada membuat anak itu membuka mata lebar-lebar dengan terkejut.

Di luar kamar tempatnya berdiri, terlihat tumbuh bunga-bunga musim semi yang mekar dengan indah, berwarna-warni dan di atasnya terbang beberapa kupu-kupu yang sedang mencari sari bunga. Itu pemandangan sebuah taman yang seharusnya tidak ada di musim dingin, paling tidak Odo tidak pernah melihat kebun bunga yang mekar dengan indah di tengah suhu rendah.

"Ah ..., aku pingsan sangat lama lagi? Serius ..., ini ... kenapa kalau aku pingsan ...."

Dengan wajah sangat terkejut dan pikirannya mencari jawaban akan situasi dengan cepat, anak berambut hitam itu melangkah mundur dan kembali terduduk di atas ranjang. Wajahnya pucat memikirkan kemungkinan yang ada, cemas akan keadaan Julia dan yang lainnya.

Sadar berpikir saja tidak cukup karena memang dirinya kekurangan informasi, anak itu segera bangun dari ranjang dan berjalan ke arah satu-satunya pintu di tempat tersebut. Saat hendak membuka pintu kayu yang dipoles mengkilat dan memiliki ukiran bunga tersebut, itu dengan sendirinya terbuka sebelum Odo menyentuh gagang pintunya yang terbuat dari logam.

Melangkah beberapa kali ke belakang, mata anak berambut hitam itu langsung terbuka lebar saat melihat wanita yang sebelumnya dirinya temui sebelum pingsan beberapa waktu lalu masuk ke dalam kamar. Rambut pirang pudar mengkilat seperti tembaga yang dipoles, kulit pucat yang memancarkan aura dingin, serta mata merah tajam yang memancarkan aura memikat dan menawan. Wanita itu mengenakan Ruffle berwarna merah, sebuah gaun bertumpuk yang memiliki aksen berlipat-lipat sampai mata kaki ala Victorian yang terlihat klasik di mata Odo. Pada sekitar perut wanita itu terdapat korset berenda yang dikenakan di luar gaun, mengencangkan pakaian yang dikenakannya dan memperlihatkan lekuk indah tubuhnya.

Mereka saling menatap satu sama lain, antara sorot mata biru dan merah. Keheningan di antara mereka membuat suasana aneh yang membuat Odo merasa nostalgia, anak berambut hitam itu merasa pernah sesuatu seperti yang terjadi sekarang pernah terjadi dalam hidupnya. Ingatan yang tidak jelas mendorongnya bertanya, "Apa kita pernah bertemu?" Wanita itu terkejut anak berambut hitam itu mengajukan pertanyaan seperti itu. Tersenyum tipis, meletakkan kedua tangan yang berselimut sarung tangan transparan ke depan perut bagian bawah, wanita itu menjawab dengan suara anggun, "Kita bertemu di hutan, wahai anak muda."

Jawaban itu tidak sepenuhnya menjawab rasa penasaran Odo, tetapi memang itu jawaban wajar yang keluar dari wanita tersebut. Mengamati wanita itu kembali, anak berambut hitam itu benar-benar merasa tidak asing akan wanita yang berdiri di hadapannya itu. Sorot mata, cara bicara, ekspresi, serta kewibawaan wanita itu terasa mirip dengan seseorang yang Odo kenal.

"Siapa kau?" tanya Odo seraya sedikit mendongak dan menatap lurus mata wanita tersebut.

"Sebelum diriku menjawab pertanyaan dikau, lebih baik kita pilih tempat yang sesuai dulu. Melihatmu berpakaian aneh dengan selimut seperti itu, diriku rasa itu tidak sedap dipandang."

"Eh?" Odo baru teringat kembali kalau apa yang dikenakannya memang tidak pantas untuk berbicara dengan sosok seanggun wanita tersebut. Mata anak itu berkedut, lalu Ia segera berbalik dan bersembunyi di balik ranjang dengan perasaan aneh dalam benak. Odo tidak memperlihatkan ekspresi malu atau semacamnya, hanya sebuah perasaan tidak pantas pada diri sendiri yang membuatnya bersembunyi.

"Dikau tahu, sebenarnya diriku tidak menyangka diri dikau sudah bangun setelah terluka dan Inti Sihir dikau kering." Wanita itu berjalan masuk dan berhenti di depan lemari pakaian yang berbuat dari kayu mengkilat dengan ukiran bunga di pintunya. Membuka lemari tersebut, Ia mengambil beberapa pakaian dari dalam.

"Tolong kemeja dan celana panjang hitam saja!" ucap Odo sambil meloncat masuk ke dalam ranjang yang tertutup kelambu.

Mendengar itu, wanita berambut pirang itu menoleh dan memberikan tatapan heran dengan mata merahnya. "Ya ..., memang ada pakaian seperti itu .... Tapi ..., kenapa harus itu?" tanya wanita itu dengan suara anggun.

"Itu paling nyaman ...."

Mendapat jawaban tersebut, wanita itu kembali melihat ke arah lemari yang terbuka dan mengambil pakaian yang diminta Odo. Membawa kemeja dan celana hitam dengan kedua tangannya, wanita itu berbalik dan berjalan ke arah ranjang. Membuka kelambu dan duduk di atas tempat tidur dengan posisi membelakangi Odo yang duduk di tengah, wanita itu meletakkan pakaian yang diminta anak berambut hitam tersebut ke atas tempat tidur di sisi kanannya. Odo lekas mendekat untuk mengambil pakaian itu, lalu membawanya menjauh ke bagian tengah ranjang untuk segera memakainya.

"Punyamu besar ya," ucap wanita itu.

"Eh!?"

Odo terbelalak mendengar ucapan seperti itu saat dirinya baru melepas selimut dan hendak memakai celana hitam. Secara otomatis pikirannya langsung mengarah pada hal tidak senonoh mengingat kondisinya yang telanjang bagian bawahnya. "A-Apanya?" tanya anak itu dengan sedikit gemetar untuk memastikan. Sesegera itu mempercepat geraknya untuk mengenakan celana hitam dan kembali duduk di atas ranjang.

"Inti Sihirmu, Alam Jiwamu," jawab wanita itu tanpa menoleh ke belakang.

Odo sedikit mengangkat dagunya dengan ekspresi datar, anak itu sadar kalau dirinya telah salah paham akan perkataan ambigu wanita itu. Pengaruh dari hobi di kehidupan sebelumnya benar-benar masih meracuni pola pikir anak itu dalam berspekulasi. Menarik napas dan menenangkan diri, Ia segera melepaskan tunik dan mengenakan kemeja putih yang ada.

Kembali duduk bersila di atas ranjang, anak berambut hitam itu menatap wanita berambut pirang itu seraya berkata, "Sudah selesai." Wanita itu menoleh ke arahnya, memberi tatapan tajam dan hanya diam tanpa satu patah kata pun terucap dari mulut berbibir merahnya yang menawan. Mereka berdua saling menatap kembali dalam keheningan semu yang tersingkir cepat oleh sebuah pertanyaan.

"Siapa kau?"

Mendapat pertanyaan seperti itu kembali dari Odo, wanita itu tersenyum tipis dengan ekspresi datarnya. Memalingkan pandangan darinya dan bangun dari sudut tempat tidur, wanita itu berjalan ke arah jendela besar yang tertutup gorden.

"Pertanyaan dikau itu terlalu luas. Siapa diriku ini? Jujur diriku sendiri bingung harus menjawab seperti apa." Wanita itu berbalik dan melihat Odo yang masih terduduk di atas ranjang tertutup kelambu. "Kalau disebut dalam pengetahuan yang dikau miliki, mungkin diriku ini adalah Sang Witch, nenek moyang pengembang sihir dalam cerita dongeng di daerah ini," lanjutnya seraya kembali tersenyum tipis.

Odo tidak terkejut mendengar itu, dalam pikiran anak itu sudah muncul beberapa kemungkinan kalau wanita di hadapannya tersebut adalah Witch dalam cerita dongeng yang pernah didengarnya. Sedikit menyipitkan mata, anak itu kembali memikirkan hal lain dan menyusun spekulasi untuk memecahkan pertanyaan dalam benak.

"Ini di mana? Berapa lama aku pingsan? Apa tahun sudah berganti?" Ketiga pertanyaan itu mewakili hampir seluruh rasa penasaran Odo akan situasinya sekarang.

"Tempat ini adalah kastel di Inti Hutan Pando, kediaman sekaligus tempat penelitianku .... Kalau soal beberapa lama dikau pingsan, kenapa dikau kira tahun sudah berganti?"

Odo menunjuk ke arah jendela yang tertutup gorden transparan seraya berkata, "Di luar sudah semi, bunga mekar dan banyak kupu-kupu." Mendapati perkataan tersebut, wanita itu sedikit tersenyum tipis seakan telah mendengar hal yang menarik. Berbalik dan membuka gorden, lalu mendorong jendela supaya terbuka lebar, angin hangat masuk ke dalam ruangan bersama beberapa kelopak bunga. Gorden dan kelambu berkibar tertiup angin, membuat jarak pandang keluar anak itu terbuka dengan jelas tanpa penghalang.

"Apa ini yang dirimu maksud?" tanya Witch seraya menoleh ke arah Odo.

"Ya ... habisnya ... sudah semi ... di luar sana."

"He hem, diriku rasa tidak. Coba lihat baik-baik di sudut halaman kastel ..., hutan di luar sana."

Witch kembali melihat keluar kamar melalui jendela, begitu pula Odo. Tepat di pojok taman yang ada, tumbuh beberapa pohon pando yang ranting dan cabangnya masih tertutup salju. Odo kebingungan melihat itu, memiringkan kepala dan sedikit menarik napas dengan berat. Di luar taman kastel, pepohonan hutan masih benar-benar tertutup salju tebal yang menumpuk.

"Sekarang ini masih musim dingin, tahun belum berganti .... Dikau tahu, dirimu hanya pingsan satu malam saja. Sungguh sangat mengejutkan dikau bisa bangun secepat ini mengingat kondisi dikau saat diriku bawa kemari."

Odo tidak merisaukan apa yang dirisaukan Witch tentang kecepatan pemulihan, tetapi pikirannya langsung tertuju dengan hal aneh di luar kamar. Seakan musimnya terbagi oleh garis ilusi yang tidak terlihat, di luar sana memang terbagi menjadi dua musim yang jelas terlihat. Turun dari ranjang, anak itu berjalan menghampiri wanita yang menyebut dirinya Witch tersebut. Menatap anak berambut hitam yang menghampiri, wanita itu memberikan senyum tipis yang terasa tidak tulus.

"Satu malam ..., apa aku benar aku hanya tidak sadarkan diri satu malam?" tanya Odo dengan tatapan lurus. Melihat sosok anak itu yang seakan bisa langsung memahami apa yang terjadi dan tidak mempermasalahkan pemandangan berbeda musim di luar, Witch sedikit menghela napas ringan dan memalingkan pandangannya ke luar jendela.

"Memang ..., hanya satu malam. Padahal sudah tahu jawabannya, tetapi engkau malah menanyakan hal itu. Sungguh ..., sifat itu sangat tak efektif, anak muda."

Mendengar perkataan tersebut Odo langsung merasakan déjà vu, Cara bicara wanita itu mengingatkan anak berambut hitam itu dengan Reyah. Kembali melangkah dan berdiri di samping wanita itu, Odo menghadapnya dan memberikan tatapan gelap dengan mata birunya. Wanita itu sempat tersentak mendapat tatapan seperti itu, dari hal itu Odo tahu kalau wanita berambut pirang tersebut berbeda dengan Reyah secara dalam beberapa aspek sifat.

"Kenapa kau membawaku kemari, Witch?" tanya anak itu tanpa membuang waktu.

"Untuk menolong dikau, memangnya apa lagi alasan diriku membawa anak yang terkuka parah ke kastel ini?"

"Hah, menolong ya .... Kalau memang kau seorang Witch, seharusnya kau sendiri tahu kalau aku tidak akan mati hanya karena kondisi seperti itu. Meski pun aku memang benar-benar akan mati, dia tidak akan membiarkannya."

Witch menatap anak itu dengan hening. Menghadap ke arah anak berambut hitam itu dan menegakkan tubuh dengan berwibawa, wanita berambut pirang tersebut sedikit memasang wajah sedih. Odo tidak paham akan ekspresi yang diperlihatkan wanita itu. Mengambil satu langkah ke belakang dengan tatapan terganggu, anak berambut hitam itu sedikit menggertakkan giginya.

"Dia ... ya. Maksud dikau ... Naga Hitam yang ada di dalam tubuh kecil yang memiliki ruang sangat luas itu?" Wanita berambut pirang tersebut menunjuk ke arah Odo. Meski dirinya melihat lurus ke arah anak berambut hitam tersebut, tetapi matanya seakan tidak melihat anak itu sebagai seorang individu, matanya seakan sedang melihat sebuah benda.

Odo terdiam tidak menjawab, anak itu langsung tahu kalau wanita di depannya itu sangat berbahaya dalam arti lain. Saat Odo memikirkan berbagai macam hal untuk bisa pergi dari tempat tersebut dengan segera, tanpa disadari wanita itu bergerak dengan cepat dan tanpa suara, ia mendekat dan langsung memegang ubun-ubun kepala anak itu dengan kencang.

Odo lekas menepak tangan kanan wanita itu dan menyingkirkannya dari kepala. Kembali melangkah mundur sampai punggung menyentuh meja rias di sudut ruang, Odo memberikan tatapan tajam penuh rasa bingung yang bercampur takut. Wanita itu lebih parah dari Reyah atau Seliari, kekuatannya sangat berbeda secara signifikan dengan makhluk-makhluk superior yang pernah ditemuinya. Sadar akan hal tersebut, Odo langsung mengidentifikasi wanita di hadapannya itu sebagai sosok yang sangat patut diwaspadai.

"Begitu ya .... Ternyata dikau memang bisa memperlihatkan ekspresi seperti itu ... meski belum terbangun sepenuhnya. Ya ..., itu juga tak apa. Biarlah seperti itu .... Kalau kekuatan itu kembali pada wujud yang sesungguhnya, dia juga akan terbangun dari tidur panjangnya."

Setelah mengatakan sesuatu yang tambah membuat Odo bingung, wanita itu berbalik dan berjalan ke arah pintu kamar. Beberapa langkah pertama, jendela tertutup dengan sendirinya dan gorden ikut menutup rapat, kelambu dengan cepat tertata rapi sendiri bersama seprei dan selimut yang ada di ranjang. Odo terkejut melihat semua itu, tetapi tatapannya tidak sedikit pun teralih dari wanita berambut pirang tersebut.

Saat sampai di depan pintu yang terbuka, wanita itu menoleh ke arah Odo seraya berkata, "Kenapa dikau diam saja di sana? Bukannya engkau ingin tahu ... kenapa diriku membawa anak seperti engkau ke kastel milikku ini?" Sedikit memasang ekspresi tidak puas, Odo memutuskan untuk berjalan mengikutinya. Tersenyum tipis saat melihat wajah terpaksa anak berambu hitam itu, sang Witch kembali berjalan dan meninggalkan ruangan.

Kurang dari dua detik setelah Odo melangkah keluar dari kamar, pintu tertutup sendiri dan suara kunci yang berputar terdengar. Melihat apa yang ada setelah melangkahkan kakinya keluar dari kamar tersebut, sebuah lorong megah dengan gaya Victorian menyambutnya. Sepanjang lorong yang ada terlihat lebih megah dan berkilau jika dibandingkan dengan Mansion tempat anak itu tinggal. Lampu-lampu antik digantung sepanjang dinding lorong dan di sisi lainnya terdapat kaca hias yang berjejer sepanjang tempat itu. Saat melangkahkan kaki, sebuah lantai keramik yang terasa sangat mulus terasa jelas oleh telapak kaki anak itu, pada lantai tersebut terdapat pola unik bunga merah dan ungu yang bersilang-silang.

Dengan perasaan yang tidak tenang, Odo tetap berjalan mengikuti wanita bergaun merah tersebut. Sepanjang berjalan tidak ada pembicaraan terjadi, hanya ada keheningan di antara mereka. Tidak terlihat satu pun orang di tempat tersebut, bahkan hewan atau serangga tidak dapat Odo rasakan getarannya di dalam sepanjang lorong. Saat anak itu melihat keluar jendela di sisi kanannya, sebuah pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya memang ada di luar sana.

"Apa-apaan tempat ini? Musimnya .... Apa ada distorsi seperti Dunia Astral?"

Saat Odo fokus dengan pemandangan berbeda musim di luar bangunan, tanpa disadari mereka sampai di depan sebuah pintu ruangan dengan model dua daun, terbuat dari kayu mengkilat yang di atasnya memiliki ukiran bunga dan gangnya terbuat dari logam berwarna keemasan. Membuka pintu tersebut lebar-lebar, wanita berambut pirang itu berjalan masuk terlebih dahulu ke dalam.

Odo terbelalak sesaat ketika melihat betapa megahnya ruangan yang ada setelah pintu terbuka. Di dalam sana adalah sebuah ruang makan dengan gaya kerajaan barat yang sangat mewah, memiliki langit-langit berkubah yang terdapat lukisan naturalis bunga-bunga berwarna merah di atasnya, serta pada bagian tengahnya menggantung sebuah lampu gantung yang sangat megah penuh kaca yang menjadi aksen indah kemewahan yang terpancar dalam ruang tersebut.

Sedikit melihat ke bawah, terlihat sebuah meja kayu panjang yang mengkilat, dan di atasnya terdapat sebuah taplak meja yang memiliki rajutan rumit bunga-bunga dengan unsur merah gelap. Di atas meja tersebut juga terdapat beberapa stoples kaca yang berisi kue kering, serta beberapa kandelar bercabang empat yang di atasnya terdapat lilin menyala.

Melangkahkan kaki di lantai keramik yang tidak jauh berbeda dengan lorong pola hiasnya, Odo mengikuti wanita yang berjalan di depannya. Anak itu kembali menyusun spekulasi dalam pikiran, tentang apa yang diinginkan wanita itu darinya dan bagaimana caranya pergi dari kastel megah tempatnya berdiri dengan segera.

Sampai di depan meja panjang di tengah ruangan, wanita itu berhenti melangkah dan mulai berbalik menghadap ke arah Odo. Anak berambut hitam itu ikut terhenti, dan mereka saling menatap dalam keheningan. Tidak ada kata yang keluar, tidak ada suara yang keluar kecuali suara pelan sumbu lilin terbakar. Tanpa mengatakan apa-apa, wanita itu kembali berjalan ke arah Odo. Satu sampai tiga langkah wanita itu masih tertangkap secara visual oleh Odo, tetapi saat langkah keempat wanita tersebut, tiba-tiba Ia berdiri di hadapan anak itu sambil meletakkan tangannya ke atas kepalanya. Kali ini Odo tidak menepak tangan yang terasa dingin itu, Ia membiarkannya dan hanya mengangkat kepala seraya memberikan tatapan datar.

"Sebenarnya engkau siapa?" tanya Odo.

"Diriku adalah Witch, sudah dir―"

"Siapa yang peduli dengan julukan tidak berguna itu, yang ku tanya itu kau .... Siapa kau sebenarnya?"

Wanita itu terdiam dengan wajah terkejut, seakan tidak mengira kalau pertanyaan seperti itu akan terus diajukan anak berambut hitam tersebut. Mengangkat tangan kanan dari kepala Odo, wanita itu berbalik dan berjalan ke arah salah satu kursi di depan salah satu sisi meja persegi panjang. Menarik kursi yang memiliki bantalan wol yang dibungkus kain merah tersebut, wanita itu duduk dan meletakkan wajahnya ke atas permukaan meja seraya menatap ke arah Odo yang masih berdiri dengan tatapan datar.

"Duduklah dulu, anak muda. Kita bicara ..., mari kita bicara dan saling mengenal dulu. Dikau tak perlu menatap diriku seperti itu, diriku ini bukan musuh ...."

Wanita itu mengangkat wajah dari atas meja, lalu sekilas memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mengubah posisi duduk dengan menghadap ke arah Odo, wanita itu berkata, "Anak muda, dikau tak perlu gelisah seperti itu ..., orang-orang yang engkau khawatirkan sekarang baik-baik saja." Odo langsung terkejut mendengar itu, perkataan wanita di hadapannya tersebut seakan bisa membaca pikirannya. Tetapi dalam beberapa detik, rasa terkejut itu hilang dengan cepat karena memang hal seperti itu tidaklah aneh atau asing bagi anak berambut hitam itu.

Menarik kursi di dekatnya dan duduk berhadapan dengan wanita berambut pirang tersebut , mereka saling menatap satu sama lain pada satu sisi meja panjang yang ada. Sedikit menarik napas dan menarik tajam, Odo beryanya, "Apa maksudmu? Apa Julia dan yang lainnya baik-baik saja?"

"Ya, mereka baik-baik saja. Paling tidak orang-orang yang ikut datang ke Hutan Pando bersama dikau itu baik-baik saja dan masih berkumpul ...."

Odo meragukan perkataan tersebut, tetapi wajah tenang menyembunyikan hal itu dari wanita di hadapannya. Melihat wanita berambut pirang tersebut tidak memberikan reaksi tentang apa yang dipikirkan, Odo menambahkan spekulasi kalau wanita tersebut tidak bisa membaca pikiran seperti Reyah.

"Perkataannya tadi hanya mengira-ngira ya ...," pikir Odo. Sedikit menegakkan posisi duduk, anak itu menarik napas dalam-dalam dan berusaha memikirkan masalah yang ada di hadapannya.

"Kenapa kau bisa tahu mereka baik-baik saja?" tanya Odo.

"Hutan Pando ini sudah seperti halaman rumah bagi diriku, di seluruh hutan perbatasan ini tersebar beberapa hewan peliharaan yang indra mereka bisa terhubung dengan diriku."

Odo sedikit terganggu dengan perkataan itu, tetapi dirinya berusaha untuk tidak mempermasalahkannya karena ada hal lain yang perlu dibahas. Memegang dagu dengan tangan kanan dan sedikit memalingkan pandangan, anak itu kembali berpikir.

"Baiklah, aku percaya. Kau tidak punya alasan untuk bohong ..., motif juga tidak ada. Parahnya lagi ..., aku sama sekali tidak tahu kau itu apa." Perkataan dan nada anak itu sama sekali tidak terdengar seperti orang yang percaya, ditambah dengan tatapan tajam yang terarah menambah hal tersebut semakin jelas.

"Kenapa dikau berbohong seperti itu? Kalau tidak percaya, bilang saja tidak percaya. Diriku tidak akan tersinggung ..., wajar kalau dirimu tidak percaya pada diriku ini, wahai anak muda ...."

"Maaf ..., sepertinya perkataanku kurang jelas. Aku bukan berarti percaya padamu, aku tidak punya pilihan selain percaya padamu. Kau tidak punya motif bohong karena kau tidak perlu berbohong .... Ruang ini ..., bangunan ini ..., semuanya penuh dengan penghalang sihir, 'kan? Bagaimana aku bisa keluar?"

Wanita itu terdiam sesaat, sorot matanya berubah gelap saat Odo mengatakan itu. Setelah saling paham bahwa saling menipu tidak menyelesaikan masalah, mereka berdua memutuskan untuk tidak menampilkan sifat buatan, dan mulai menampakkan sifat asli masing-masing.

"Kapan dikau sadar?"

"Salju ..., di sini tidak turun, dan juga saat angin hangat masuk di kamar. Sihir penghalang biasanya memancarkan suhu ruang meski di tengah hawa dingin, salah satu Demi-human yang kukenal sering menggunakannya dan aku sendiri kurang lebih punya pengetahuan tentang itu."

"Begitu ya .... Ternyata pengetahuan tentang sihir yang dikau miliki sudah sampai pada tingkat itu. Kalau tahu akan seperti ini, sebaiknya pembatas fisik diriku hilangkan dulu dan menggantinya dengan pembatas visual."

Terdiam sesaat, wanita itu meletakkan siku kanannya ke atas meja dan menyangga kepalanya dengan tangan kanan. Menatap Odo yang berada di hadapannya, sorot mata merah wanita tersebut seakan membara akan sesuatu yang menyimpang. Tidak memedulikan apa yang sedang dipikirkan sosok di hadapannya, anak berambut hitam tersebut menurunkan tangan dari dagu ke atas pangkuan.

"Kembali ke pertanyaan awal, kau siapa?" tanya Odo.

"Diriku Witch, suda―"

"Sampai kapan kau akan menjawab layaknya program seperti itu? Jangan mengelak, kalau tidak aku akan bertanya hal sama sampai ribuan kali ...."

Wanita itu terdiam mendapat tatapan murni anak laki-laki di depannya. Dalam sorot mata anak itu memang terlihat sangat polos dan tulus penuh rasa ingin tahu, tetapi karena itu terdapat juga sebuah kekejian yang tidak pandang bulu di dalamnya.

"Dikau tahu, anak muda .... Keingintahuan adalah sesuatu yang mengerikan dan salah satu dosa, karena pada dasarnya keingintahuan adalah salah satu sifat yang menantang kepercayaan dan keyakinan akan para Dewa."

"Jika keingintahuan adalah dosa, maka mereka yang di atas sana lebih berdosa dariku. Mereka memiliki pengetahuan yang dinginkan banyak orang dengan rasa haus pengetahuan di dunia ini ..., tetapi dengan ego mereka, para dewa malah mengacuhkan orang-orang yang haus pengetahuan itu."

"Dikau menyetarakan para Dewa dengan makhluk fana?"

"Siapa bilang? Aku menjunjung tinggi mereka, makanya aku bilang mereka yang di atas, memiliki pengetahuan di atas makhluk fana yang kumaksud."

Wanita itu terdiam saat mendengar perkataan Odo, wajah tidak percaya sampai matanya terbuka lebar terlihat jelas darinya. Menangkan diri dan kembali memasang wajah datar, wanita itu memasang senyum seakan tujuannya telah tercapai.

"Tidak salah diriku membawamu kemari, anak muda. Engkau memang anak berambut hitam yang ditakdirkan, Sang Pembawa."

Raut wajah Odo sedikit bereaksi mendengar itu, dalam pikirannya puluhan perkiraan terlintas dan langsung tertata rapi untuk diseleksi. Menarik napas dalam-dalam, anak itu menatap malas seraya bertanya, "Apa kau juga seperti Dryad yang menjaga Pohon Suci itu?"

Wanita tersebut bingung mendapat pertanyaan itu. "Sama dengan Dryad? Oh ..., maksudmu Doll yang tinggal di salah satu cabang Shidratul Muntaha itu ya?" tanyanya.

"Hah?" Odo benar-benar terkejut mendengar itu. Ia memang tahu nama pohon yang disebutkan wanita di hadapannya, tetapi dirinya tidak menyangka kalau nama itu akan muncul di kehidupannya kali ini.

"Kenapa dikau terkejut? Ah ..., nama itu terlalu asing? Mungkin kalau diriku sebut Yiggdrasill atau Pohon Genesis dikau akan paham?"

Semua nama itu merujuk pada satu pohon, Odo sangat tahu hal tersebut. Tetapi pada saat yang sama, semua perkiraan yang ada dalam kepalanya runtuh karena hal tersebut masuk dalam faktor spekulasinya.

"Siapa kau sebenarnya? Kenapa bisa .... Kalau kau tahu semua itu ..., jangan bilang kau ini ... Dewa?"

"Dewa, ya .... Kurasa kurang tepat menyebut diriku seperti itu. Sekarang ini diriku hanya seorang Witch menyedihkan yang ditinggal kekasih pergi. Dirimu tahu tentang cerita memilukanku itu, bukan?"

Mengingat kembali cerita Witch yang menjadi legenda lokal Kerajaan Felixia, semua kepingan misteri tentang identitas wanita yang duduk di hadapannya mulai terpecahkan. Witch, sosok yang menjadi nenek moyang sihir di daratan Michigan. Dalam penjelasan dongeng tersebut, bisa sangat jelas disimpulkan kalau sosok tersebut sudah ada sejak dahulu kala, bahkan bisa saja sejak masa Awal Kiamat yang menjadi dasar penentu arah terbentuknya peradaban dan wujud dunia.

"Apa engkau diusir dari kayangan?"

Pertanyaan itu terucap dari Odo dengan mudahnya. Tetapi, hal tersebut sangat tidak terduga oleh wanita berambut pirang itu. Memasang wajah terkejut sekilas, Ia tersenyum senang saat mendengar ada orang yang dengan mudah membongkar identitasnya.

"Sungguh ..., dikau memang sangat berdosa. Tidak diriku sangka ada manusia yang bisa membongkar identitas diriku ini hanya dengan beberapa tukar kata saja, bahkan kekasihku tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya sampai berpulang ...."

Odo terkejut wanita itu tidak membantah dugaannya. Kembali mengamatinya, Odo sama sekali tidak menemukan perbedaan wanita itu secara fisik dengan manusia perempuan pada umumnya, dia tidak terlihat seperti Dewa atau Dewi yang dalam persepsinya. Sedikit menyipitkan mata, anak itu sedikit mendongak dan mengangkat dagu.

"Makhluk kayangan ya .... Kalau begitu, apa kau juga salah satu Dewi yang tahu kalau dunia ini adalah pengulangan dari dunia yang telah hancur di masa depan?"

"Kurang lebih .... Sebelum diriku diusir dari tempat bagaikan Utopia itu, kabar semacam itu sempat tersebar di seluruh langit setelah Dewa-Dewi berkuasa di dunia ini. Tetapi ... aku tidak peduli akan hal tersebut, mungkin para dewa-dewi lain juga demikian. Meski sudah tahu dunia akan hancur, fakta kalau ketetapan tidak bisa berubah membuat mereka semua pasrah mencari perubahan yang tercatat di Catatan Kuno itu."

"Mereka semua ya .... Kalau kau, dari mana bisa Witch sepertimu tahu kalau ada faktor bias sudah dimasukkan?" Odo menurunkan kepala dan menatap lurus ke arah wanita di hadapannya, sorot mata anak itu menipis dan bertambah tajam.

"Tajam, entah itu pikiran, mulut, atau mata itu, wahai anak muda. Dikau sama sekali tidak menahan kalau bicara ya. Tapi ..., diriku tidak membencinya. Dikau benar, diriku mengetahui sesuatu yang bahkan tidak diketahui mereka yang ada di atas, karena itulah diriku membawamu kemari, anak muda."

"Untuk apa?"

"Untuk mengubah takdir dan bertahan hidup."

Jawaban itu terdengar sangat aneh dari seorang makhluk yang telah hidup ribuan tahun dan sudah kehilangan orang yang berharga dalam hidupnya. Odo memang bisa memahami perkataan wanita itu tentang bertahan hidup adalah untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran yang telah ditentukan, tetapi ada beberapa hal yang tidak bisa dicerna melihat dalih dan latar belakang sosok Witch tersebut.

Membiarkan Odo terlihat kebingungan, wanita berambut pirang itu bangun dari tempat duduk dan berjalan ke salah satu meja di sudut ruang. Mengambil sebuah buku yang terlihat sangat tebal di atasnya, Ia berbalik dan kembali ke tempat duduk. Memangku buku tersebut, wanita itu memberikan tatapan datar dengan wajah sedikit tersenyum tipis.

"Buku apa itu?" tanya Odo langsung.

"Ini hanya buku tentang tanaman herbal, engkau tidak perlu terlalu tertarik seperti itu. Hmm, kalau begitu ..., mari kita bicara sedikit lebih lama lagi."

Wanita itu membuka halaman buku di pangkuannya dengan cepat sampai halaman terakhir dan kembali menutupnya. Melihat ke arah Odo, wanita itu bertanya, "Menurut dirimu, cara paling efektif dan efisien apa yang bisa dipakai untuk bisa mempelajari dan memahami keseluruhan buku setebal 576 halaman ini? Tentu saja ..., supaya waktu yang diperlukan seminimal mungkin tetapi hasil pemahaman semaksimal mungkin."

Odo memikirkan jawaban pertanyaan itu dengan matang-matang. Dengan menggunakan dasar caranya belajar, anak itu menjawab, "Aku akan membacanya setiap hari minimal seratus halaman, lalu setiap harinya membuat resume tiap bab yang ada secara bertahap .... Kalau pakai cara itu ..., kurasa kurang dari empat hari aku sudah bisa memahami isi inti bukunya. Kalau lebih lama, aku bisa keseluruhan menguasainya."

Wanita berambut pirang yang duduk di hadapannya terdiam mendengar jawaban tersebut. Sekilas memalingkan pandangan, Ia terlihat kecewa akan sesuatu dan menghela napas. Odo sedikit tersinggung dengan reaksi seperti itu.

"Memang kau punya cara yang lebih tepat?" Anak itu menatapnya dengan tajam.

"Lebih tepat ya? Kurasa tidak juga. Tapi ..., diriku punya cara yang lebih efektif dan efisien, dan bahkan lebih mencerminkan karakteristik manusia ..., lebih dari dirimu."

Itu terdengar seperti sindiran, tetapi Odo sama sekali tidak memedulikan hal tersebut. Menunggu perkataan lain wanita itu, Odo hanya terdiam dengan ekspresi wajah sangat tenang dan sorot matanya penuh rasa ingin tahu.

"Huh ..., baiklah. Mata dikau itu terlihat aneh, apa benar sifat yang dikau miliki itu adalah sifat manusia?" Wanita itu mengangkat buku di atas pangkuan, lalu memindahkannya ke atas meja.

Memberikan tatapan santai, wanita itu berkata, "Pemilihan dan penggunaan metode yang tepat dapat mempercepat pekerjaan. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, engkau tahu itu bukan? Dari pakaian, makanan, tempat bernaung, bahkan sampai alas kaki, semuanya tidak lepas dari peranan orang lain, sebab itulah manusia disebut makhluk sosial .... Jadi, kenapa dikau berpikir bisa mempelajari buku ini sendirian?" Wanita itu meletakkan telapak tangan kanannya ke atas buku, lalu memasang tatapan seakan menyindir.

"Hah, maksudmu aku harus bekerja sama dalam melakukan sesuatu?"

Wanita itu memindah tangannya kembali ke atas pangkuan, lalu menghela napas dan terlihat seakan tidak senang akan sesuatu yang sedang dipikirkan Odo yang bisa terlihat jelas dari raut wajahnya.

"Ya ..., kerja sama. Contohnya ..., kalau dikau punya dua rekan, masing-masing bisa membaca 192 halaman dalam waktu yang lebih singkat, dan mengadakan belajar bersama untuk membagi pemahaman yang telah dipelajari masing-masing. Kalau menggunakan cara itu, bukannya lebih efektif dan efisien?"

Odo terdiam mendengar itu, raut wajah penasarannya berganti cepat dengan ekspresi tidak puas. "Itu hanya cara pandang ideal, kenyataannya tidak akan semudah itu kalau bekerja sama dengan orang lain," pikir Odo. Menarik napas ringan, anak itu mengesampingkan apa yang dirasakan dan langsung dengan cepat memahami apa yang hendak ingin disampaikan wanita di hadapannya.

"Apa kau ingin bekerja sama denganku?"

"Ya, benar. Lebih tepatnya ..., menyambung kerja sama yang diriku buat dengan Doll di Dunia Astral itu."

"Doll? Kenapa Reyah kau panggil seperti itu?" Odo sedikit menatap bingung.

"Dia merupakan bentuk fisik dari sistem penyimpanan informasi dunia, meski punya kepribadian dan kehendak sendiri, Dryad itu memang seorang Doll dari pohon yang tumbuh ke berbagai dimensi ...."

Merasa akan memakan waktu kalau mendebat cara Witch menyebut Reyah, Odo sedikit memalingkan pandangan dengan rasa kesal dalam benak yang terlihat jelas pada raut wajah.

"Terserah .... Jadi, memangnya untuk apa kau membawaku ke tempat ini dan ingin mengajak bekerja sama? Terlebih ..., untuk apa? Memangnya kerja sama apa yang kau buat dengan Reyah?" tanya Odo dengan beruntun.

Tatapan wanita itu berubah tajam dengan cepat, senyum lebar yang menghapus ekspresi datarnya nampak jelas. Sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendekatkan wajah, wanita itu bertanya, "Mau mendengar cerita sebentar? Tentang seorang Dewi yang digulingkan dan jatuh ke dunia dengan menyedihkan."

"Cerita tentangmu?"

"Ya ...." Wanita itu menjauhkan wajah dan kembali duduk tegak. Meski hendak menceritakan kenangan buruk, wanita itu tersenyum dengan ekspresi bahagia, seakan memang dalam lubuk hati wanita itu mencari seseorang untuk mendengarkan ceritanya.

"Ya ..., kurasa tidak masalah."

"Bagaimana ya kita memulainya ....? Oh, kurasa dari awal saja. Itu ... saat awal kekuasaan langit atas dunia ..., sebuah masa di mana surga masih tidak jauh berbeda dengan dunia ini ...."

Setelah itu, wanita itu menceritakan masa lalu saat dirinya masih tinggal di kayangan dan bagaimana dirinya terusir, jatuh ke dunia dengan menyedihkan dan begitu memalukan hanya karena sebuah masalah yang kalau ditinjau kembali sangatlah sepele.

Wanita itu bercerita bahwa dunia para Dewa pada masa itu hampir seperti dunia makhluk mortal sekarang, terbagi menjadi beberapa kekuasaan dan memiliki hierarki dalam tatanan peraturannya. Kayangan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan Dunia Nyata, memiliki pulau-pulau dan daratan. Tetapi pulau yang ada di dimensi tersebut bukanlah sebuah pulang yang dikelilingi laut, melainkan sebuah pulau yang mengapung di langit dan dikelilingi awan yang dapat dipijak dengan kaki para penghuninya.

Tatanan tempat tersebut memiliki tingkatan tersendiri, semakin tinggi tempat tinggal seorang Dewa atau Dewi, maka itu juga mencerminkan tingkat kekuasaannya. Hal tersebut mirip dengan sistem kebangsawanan yang berlaku di Dunia Nyata sekarang. Tidak aneh kalau makhluk-makhluk mortal dibilang meniru sistem para dewa pada masa itu.

Pada sudut Kayangan yang indah bagaikan sebuah Utopia, tinggal seorang Dewi nan anggun pada salah satu pulau yang berada di tingkat pertengahan dari susunan hierarki yang ada. Dewi itu merupakan putri ke 87 dari 100 anak yang lahir dari hubungan Dewi Angin Iratia dan salah satu Dewi Petir bernama Baraq. Meski tidak seteladan atau sepandai Dewa atau Dewi lain, Dewi yang lahir dari pasangan yang sering disebut dengan Dewa Badai dalam kesatuan itu sangatlah energik jika dibandingkan dengan saudara dan saudarinya. Begitu polos, riang, menawan, dan juga dungu.

Dewi itu pada sore hari selalu berjalan-jalan di pinggiran pulau melayang tempatnya tinggal, melihat betapa menariknya dunia bawah yang masih primitif setelah peperangan Besar Dewa dan Iblis. Pada suatu saat ketika dirinya berjalan di pinggiran pulau melayang kekuasaannya, sebuah burung rajawali yang sangat menawan melintas di daerah langitnya.

Burung itu begitu indah dan menawan, lebih dari apapun yang pernah sang Dewi penuh energik itu lihat. Memiliki bulu berwarna jingga keemasan dengan corak merah. Dengan girang Dewi yang sedang berjalan-jalan itu melangkah di atas awan dan mengejar-ngejar burung tersebut. Tetapi, sayangnya sang burung rajawali tidak membiarkan dirinya tertangkap dan terbang semakin jauh.

Kesal tidak bisa mendapatkan burung indah tersebut, sang Dewi menciptakan sebuah busur petir dan panah petir menggunakan kekuatannya, lalu memanah jatuh sang burung rajawali. Itu sebuah kesalahan fatal yang tidak dikiranya.

Saat sang Dewi hendak mengambil burung yang terpanah tersebut, tiba-tiba langit terbuka dan awan menyingkir, sinar terang benderang terpancar dari tempat yang lebih tinggi menyorotnya. Mengikuti tubuh burung rajawali yang terangkat ke atas, sang Dewi penuh rasa ceria itu berhenti memasang wajah ceria saat melihat salah satu Dewa Tertinggi menatap dengan penuh amarah.

Di atas sana berdiri sang Dewa Matahari sekaligus penguasa cahaya, merupakan sosok yang memiliki kekuasaan tinggi sampai tingkat Surga. Dengan burung rajawali yang dipegang dengan kedua tangannya, Dewa Matahari itu membuat ribuan tombak api di udara yang siap dihujankan kepada sang Dewi untuk menghukum tindakannya. Alasannya murkanya Dewa Matahari itu sangat sederhana, burung rajawali yang dipanah sang Dewi tersebut adalah peliharaan kesayangannya. Hanya dengan alasan itu sudah cukup untuk Sang Dewa Matahari membunuh Dewi itu.

Gemetar ketakutan melihat ribuan tombak api membara, sang Dewi berlari kocar-kacir ke pulau kekuasaannya. Seperti halnya sang Dewi menunjuk burung rajawali dan memanahnya, Sang Dewa Matahari menunjuk ke arah Dewi itu dan melesatkan tombak-tombak api.

Ribuan tombak api itu menghancurkan segalanya, meski bersembunyi di alam kuil atau di dalam gua, Dewi itu tidak bisa kabur dampak kehancuran yang dibawa tombak. Terus dihujani selama lima puluh hari lebih, pulau tempat Dewi itu tinggal mulai jatuh ke dimensi yang lebih rendah dan terus menerus jatuh sampai ke Dunia Nyata, dan hancur menjadi berkeping-keping di daratan dan menjadi sebuah gunung.

Tersadar dengan raut wajah gelap dan penuh penyesalan, sang Dewi nan bodoh itu terduduk meratapi apa yang telah dilakukannya, melihat ke arah langit dimana tempatnya tinggal dulu. Di tengah puing-puing pulau yang hancur dan hutan yang porak-poranda, sang Dewi menangis selama berbulan-bulan lebih dan merengek meminta tolong seraya menyebut nama kedua sosok yang melahirkannya.

Suaranya tidak tersampaikan kepada langit, hanya melayang-layang di udara dan menghilang tak bernilai. Pada bulan ke sembilan dirinya jatuh ke dunia, Dewi itu berhenti menangis dan mulai melangkakan kaki untuk menyusuri tempatnya jatuh. Itu merupakan kesalahan lain sang Dewi, Ia mencoba belajar tentang Dunia para makhluk mortal, karena itulah dirinya mulai paham mengapa para Dewa dan Dewi memilih untuk tinggal di Kayangan. Karena hal tersebutlah Ia mulai jatuh cinta pada dunia.

Dunia yang dulu selalu dirinya lihat dari atas tidaklah seindah yang dirinya kira, tempat itu penuh kesengsaraan dan penderitaan, bahkan rasa lapar yang tidak pernah dirasakan mulai menyiksa sang Dewi. Saat dirinya berjalan dengan tubuh kurus dan pakaian compang-camping di tengah hutan bambu, seorang penebang menemukannya terbaring lemas bersandar pada salah satu bambu. Tidak tahu menahu kalau sosok tersebut seorang Dewi, penebang tersebut membawanya pulang dan memberinya makan.

Pada saat itulah Dewi tersebut mulai belajar tentang kebaikan yang tidak pernah dirinya kenal. Lambat laun tinggal bersama sang penebang dan keluarganya, sang Dewi mulai dianggap oleh mereka sebagai keluarga. Meski tanpa memberitahukan identitasnya, sang Dewi itu pun mulai menikmati tinggal bersama keluarga penebang bambu tersebut meski dalam berbagai kekurangan.

Ia belajar menenun benang, merajut kain, membuat pakaian, memasak, mencuci, dan hal-hal lain yang biasanya dilakukan oleh para makhluk pelayan yang diciptakan di pulau kekuasaannya dulu saat masih di Kayangan. Dewi itu benar-benar belajar banyak hal dari kekeluargaan yang bahkan tidak pernah didapatnya dari kedua sosok yang melahirkannya, sampai rasa kepuasan setelah mendapat sesuatu melalui kerja keras.

Tetapi, apa yang dipelajari sang Dewi tidak seluruhnya menyenangkan dan baik, ada beberapa yang membuatnya menderita. Saat batas hidup penebang babu habis karena usianya, sang Dewi belajar betapa sakitnya kehilangan, saat dirinya melihat anak dari sang penebang hutan menikah dengan perempuan lain, sang Dewi belajar betapa sakitnya rasa cemburu, dan saat semua orang yang memperlakukannya dengan baik telah berpulang, sang Dewi belajar apa itu kesepian.

Pergi dari daerah yang telah ditinggali selama ratusan tahun lebih, Dewi itu menjelajahi dunia dan menjadi saksi perubahan dunia yang ada. Terciptanya daratan baru, hilangnya sebuah benua, bencana alam skala dunia, dan bahkan sebuah pemusnahan massal oleh iklim pernah dirinya lihat. Peperangan, diskriminasi, dengki, perselisihan, pengkhianatan, dan berbagai hal lainnya yang membuat hati sang Dewi semakin hancur. Meski begitu, rasa cintanya pada dunia tidak hilang.

Pada suatu masa, sang Dewi benar-benar membuang namanya dan memutuskan untuk menolong orang-orang yang ditemuinya di sepanjang penjelajahannya, tentu saja itu demi dirinya sendiri yang merasa tersakiti melihat para makhluk-makhluk di sekitarnya dalam kesengsaraan. Dewi mengajarkan pengetahuan pengobatan untuk menyembuhkan yang sakit, memberitahukan cara menumbuhkan tanaman untuk menghindari kekurangan pangan, dan memberikan pengetahuan tentang beberapa sistem peraturan untuk menghindari perselisihan. Tetapi dari semua itu, yang paling terkenal darinya adalah sihir, sebuah pengetahuan yang dapat membawa keajaiban. Tanpa disadari, sosok Dewi dikenal dengan sebutan Witch, yang lalu pada akhirnya cerita tentangnya yang masih tersebar sampai sekarang adalah sebuah kisah cinta tragis dari sang Witch tersebut.

"Seperti itulah kisahnya," ucap wanita itu setelah bercerita tentang masa lalunya yang kelam, tetapi dengan ekspresi wajah penuh keceriaan seakan memang menikmati bercerita seperti itu.

Mendengar kisah tersebut dengan seksama, Odo tidak terkejut dan hanya terdiam. Ia sama sekali tidak memperlihatkan ekspresi tersentuh atau empati, pikirannya malah berfokus menganalisa bagaimana dunia para dewa yang diceritakan wanita yang duduk di hadapannya.

Menarik napas ringan, Odo mengalihkan pikiran dan berusaha memikirkan hal lain, berusaha fokus pada pertanyaan utama yang belum terjawab. Menarik napas dalam-dalam, Odo melontarkan pertanyaan secara terang, "Jadi kerja sama apa yang kau buat dengan Reyah? Asal kau tahu, Drayd itu sama sekali tidak memberitahuku tentangmu."

"Dikau sama sekali tidak tersentuh setelah mendengar cerita seperti itu ya .... Kejamnya, hati kecil dirimu itu terbuat dari apa?" tanya wanita berambut pirang itu. Raut wajahnya yang tadinya mulai ceria berubah muram lagi, dan tatapannya menjadi datar.

"Tentu saja tersentuh .... Memang Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi rasanya sangat menyakitkan terus hidup seperti itu. Tapi ..., kau sama sekali tidak menyesal, bukan?"

Wanita itu terkejut mendapat pertanyaan balik seperti itu. Kembali tersenyum dan benar-benar terarik pada Odo, wanita berambut pirang itu menjawab, "Tentu saja tidak! Untuk apa aku menyesal? Meski banyak hal yang menyakitkan dan diri ini kehilangan banyak hal, tetapi ... banyak yang tersimpan dalam hati dan membuat hidup lebih berarti."

"Kau ... lebih manusiawi dari manusia itu sendiri ya," ucap Odo.

"Kalau dikau malah tak terlihat seperti manusia."

Mereka terdiam sesaat setelah bertukar sindir seperti itu. Menghela napas dan memalingkan wajah satu sama lain, mereka langsung sadar perbedaan signifikan dalam pola pikir dan sifat masing-masing.

"Tadi dikau ingin tahu perjanjian apa yang diriku buat dengan Doll itu, bukan? Perjanjian itu bukanlah diriku yang mengajaknya, dia yang memaksa diriku untuk membuat perjanjian itu," ucap wanita berambut pirang tersebut.

Ia mengulurkan tangan kanan ke arah Odo, lalu berkata, "Dunia akan hancur, bantu diriku ini atau dunia yang engkau cintai ini akan benar-benar lenyap dalam beberapa tahun ke depan, itu yang Doll tersebut katakan saat diriku jalan-jalan di Dunia Astral. Koyol sekali, bukan?"

"Perjanjian apa yang kau buat memangnya?"

"Tentu saja tentang cara menyelamatkan dunia. Dikau tahu ..., meski dia memiliki banyak informasi, tapi dia sangat payah dalam menganalisa dan berpikir. Hah! Kenapa Doll sepertinya bisa lahir dari Pohon penuh informasi itu ...."

"Ah ...."

Odo memasang wajah setuju dengan perkataan wanita berambut pirang tersebut. Reyah memang pada dasarnya memiliki pola pikir sederhana, meski berpengetahuan luas dan banyak memiliki keahlian yang hanya bisa dilakukan olehnya.

"Memangnya rencana apa yang kau sarankan padanya?" tanya Odo.

"Eng ..., sebenarnya diriku malu karena rencana yang dibuat gagal dan kacau."

Wanita itu memalingkan pandangannya, wajahnya terlihat sedih bercampur kesal akan sesuatu. Kembali melihat ke arah Odo, wanita itu bertanya, "Apa dikau tahu tentang Perang Besar yang baru berakhir beberapa puluh tahun lalu?"

"A ..., jangan bilang maksudmu gagal itu ...."

"Ya, diriku gagal mencegah perang tersebut .... Yang bisa diriku lakukan ... hanya menyelamatkan satu kota yang telah ditakdirkan hancur. Tidak lebih dari itu ...."

"Satu kota ....?" Odo punya perkiraan tentang hal tersebut. Kota, berhubungan dengan sihir yang menjadi ciri wanita di hadapannya. "Apa kota yang kau maksud itu ... Miquator?" tanya Odo.

"Ya, kota yang menjadi tempat konferensi Keempat Negara untuk mencapai perdamaian. Yah, meski perang berakhir, tapi korban yang ada selama peperangan itu sangat melebihi ... perkiraan yang ada. Kota itu dapat diselamatkan pun ... karena memang takdir kota itu untuk selamat, tentu saja bukan karena diriku sepenuhnya."

Wanita itu memasang wajah sedih, seakan memang peperangan yang terjadi itu adalah kesalahannya. Mengetahui kalau sesuatu yang buruk akan terjadi tetapi gagal mencegahnya itu hampir sama dengan rasa bersalah saat melakukan hal buruk tersebut, itulah yang dirasakan wanita berambut pirang tersebut.

"Kalau kau berusaha sekeras itu ..., kenapa Reyah sama sekali tidak memberitahuku tentangmu? Dia juga ingin mencegah kehancuran, loh ...." Odo menatap dengan rasa curiga.

"Ah ..., itu karena perjanjian kami."

"Perjanjian?"

"Sebagai ganti informasi tentang apa yang akan terjadi, dirinya tidak akan memberitahu tentang faktor bias yang akan mengubah ketetapan dunia. Yah, meski diriku mencari cerah dari makhluk dungu itu dan bisa tahu kalau orang dengan unsur hitam itu adalah dikau."

Alis Odo berkedut mendengar itu, wanita di hadapannya tersebut benar-benar menganggap Reyah sangat bodoh. "Maaf, Reyah .... Aku tidak bisa menghajar orang ini menggantikanmu. Jujur entah mengapa aku juga ingin menghajarnya sekarang," pikir Odo.

"Jadi meski bekerja sama, kau tidak pernah benar-benar melakukan kerja sama dengannya ya?" tanya Odo.

Wanita itu terusik, wajahnya terangkat dan bibirnya sedikit moncong ke depan karena rasa kesal menguat. "Tentu saja pernah ..., saat membimbing para Pahlawan, dirinya benar-benar membantu," ucapnya.

"Eh? Membimbing?" Odo terkejut.

"Ya ..., membimbing. Menggunakan kekuatan Drayd itu, diriku mencari orang-orang yang berpotensi menjadi pahlawan dan membimbingnya, memberi saran, dan memberikan pengetahuan tentang sihir dan Battle Art ..... Salah satunya ... adalah Keluarga Luke tempat dirimu lahir, anak muda."

Odo benar-benar terkejut mendengar itu. "Apa ..., tunggu! Akal sehatku mulai kacau lagi .... Kau ... membuat keluarga Luke?" tanya Odo.

"Diriku tidak membuat Keluarga Bangsawan itu, hanya memberi kekuatan saja .... Manipulasi Mana untuk seni bela diri pedang dan beberapa seni bela diri lain, itu adalah pemberianku. Langkah Dewa, salah satu teknik paling kuat yang diriku berikan ..., dikau tidak asing dengan teknik itu, bukan?"

"Serius ..., ah ... ini rasanya mulai tidak masuk akal lagi ...." Odo menundukkan kepala dan mulai berpikir dengan keras, rasa yang ada dalam benaknya sekarang mulai kacau seperti saat Reyah memberitahukannya tentang fakta dunia.

"Kenapa tidak masuk akal? Bukannya malah tambah wajar?" tanya wanita itu.

"Aaaah, sudahlah, terserah saja .... Aku tidak peduli lagi, yang penting tujuanku tercapai."

"Tujuan? Apa itu?"

Mengangkat kepala, anak berambut hitam itu menatap seraya berkata, "Sama sepertimu, menyelamatkan dunia dari takdir kehancuran mutlak. Memangnya apa lagi? Karena alasan itu aku hidup kembali."

"Eh? Hidup kembali!? Engkau seorang jiwa yang direinkarnasikan!?" tanya wanita itu dengan penuh rasa terkejut.

"Ya ..., kurang lebih."

"Dari zaman apa? Masa Awal Kiamat? Peperangan Besar?"

"Salah semua."

"Terus dari masa apa?"

"Jauh sebelum faktor kemungkinan yang dapat menghasilkan dunia paralel hilang."

Wanita berambut pirang itu benar-benar terkejut mendengar hal tersebut, wajahnya sangat terlihat jelas baru mengetahui kalau jiwa yang disebut Sang Pembawa adalah jiwa yang direinkarnasikan dari dunia Sebelum Awal Kiamat. Setelah itu, wanita berambut pirang itu benar-benar menghujani Odo dengan pertanyaan tentang dunia yang ada sebelum hilangnya faktor kemungkinan. Itu benar-benar memakan waktu lebih dari tiga jam sampai rasa penasaran wanita tersebut benar-benar berkurang.

.

.

.

"Wah~! Begitu ya, ternyata ada dunia seperti itu!" ucapnya dengan penuh semangat setelah mendapat kepuasan atas keingintahuannya.

"Sebenarnya masih banyak yang diriku ingin tahu, tapi diriku rasa waktunya sudah hampir habis .... Dan juga ..., sepertinya mereka juga lelah menunggu," ucap wanita berambut pirang tersebut. Melihat pintu yang masih terbuka saat mereka berdua masuk, wanita tersebut tersenyum tipis. Odo bingung saat itu juga dan ikut melihat ke arah pintu.

"Kalian semua, masuklah .... Ibu sudah selesai bicara dengannya."

Secara otomatis Odo merasakan getaran beberapa pasang kaki yang mendekat. Saat melihat pemilik langkah kaki-kaki tersebut, Odo sangat terkejut dengan apa yang nampak. Enam anak yang terlihat masih berumur kurang dari sepuluh tahun melangkah masuk ke dalam ruang, mereka tidak jauh berbeda dengan anak pada umumnya. Tetapi, saat diamati paras wajah mereka ada sesuatu yang berbeda.

Mereka mirip, itu bukan hanya sekedar kembar, tetapi sangat mirip. Dari warna rambut, kulit, kornea mata, bahkan sampai tinggi badan mereka persis. Meski jenis kelamin dari keenam anak tersebut berbeda-beda, terdiri dari tiga laki-laki dan tiga perempuan, tetapi wajah dan penampilan mereka benar-benar mirip, kecuali rambut yang lebih panjang untuk ketiga anak perempuan. Dari keenam anak kembar tersebut, anak perempuan semuanya mengenakan pakaian berupa gaun polos panjang selutut berwarna putih, sedangkan yang laki-laki mengenakan setelan formal dengan unsur warna gelap.

Melirik ke arah wanita berambut pirang yang duduk di hadapannya, Odo sedikit mengangkat kedua alisnya. "Banyak ya ... anakmu, tapi kok ibunya masih langsing begini?" sindir Odo.

"Hmm, tentu saja. Meski mereka semua anakku, bukan berarti diriku melahirkan mereka."

"Eh?"

"Mereka Artificial Life, lebih tepatnya klon yang kubuat dari peta DNA milikku dan kekasihku. Karena itulah ..., mereka anakku."

Odo bisa memahami istilah tersebut dengan sangat jelas, Artificial Life itu merupakan sebuah istilah untuk menyebut sebuah bentuk kehidupan buatan yang tercipta melalui rekayasa berbagai bidang pengetahuan. Tetapi mendengar hal semacam itu di dunia yang penuh dengan sihir dan hal-hal ajaib, anak berambut hitam itu tidak bisa langsung menerimanya.

"Me-Mereka klon? Ba-Bagaimana kau menciptakan mereka?" tanya Odo.

"Kenapa dikau jadi gagap seperti itu? Dan juga, seperti biasanya engkau bertanya hal yang tidak penting, ya. Tentu saja dengan pengetahuan Langit. Mereka ... tercipta dari proses pertumbuhan yang dipercepat dan rekayasa genetik, lalu diberikan kepribadian dengan cara pengaturan dasar pada neutron otak mereka. Yah, meski jujur diriku tidak terlalu pandai memberikan sifat, hasilnya mereka terlihat seperti boneka."

Odo dan wanita itu kembali melihat ke arah keenam anak berambut pirang yang masih berdiri di dekat pintu masuk. Keenam anak itu hanya terdiam, dengan wajah tanpa ekspresi yang bahkan lebih parah dari sosok ibu keenam anak itu. Kembali melihat ke arah wanita berambut pirang di hadapannya, Odo merasa ada yang salah dengan pola pikir wanita tersebut.

"Mereka ... kau anggap anak, bukan?"

"Tentu saja, karena itu mereka diriku sebut anakku."

"Nama mereka siapa?"

"Kalau laki-laki diriku beri nama Unit 01 sampai Unit 03, dan untuk yang perempuan diriku beri nama Unit 04 sampai 05, ada satu yang berjenis kelamin perempuan yang menyandang nama Main Cluster tipe 00."

Mendengar perkataan seperti itu, Odo benar-benar sadar ada yang salah dengan wanita di hadapannya. Itu bukanlah nama yang pantas diberikan kepada seorang anak yang sudah dianggap sebagai darah daging, paling tidak Odo merasa seperti itu. Menarik napas dalam-dalam, anak berambut hitam itu mengajukan sesuatu yang membuat wanita tersebut terkejut.

"Sebelum melanjutkan pembicaraan kita, boleh aku memberi ceramah sedikit padamu?"

"Ceramah? Apa itu?"

"Hmm, kata yang lebih tepat apa ya?" Odo sekilas memalingkan pandangan dan berpikir. Mendapat kata yang sesuai, Ia kembali melihat ke arah wanita itu seraya berkata, "Kuliah ..., pembelajaran secara dalam. Aku akan mengajarimu tentang sesuatu."

Odo berdiri dari tempat duduk, lalu berjalan ke arah keenam anak yang masih berdiri seperti patung di dekat pintu masuk. Menggandeng satu dari mereka, kelima anak lain mengikuti Odo dan berjalan ke arah wanita yang menjadi sosok ibu keenam anak tersebut. Membiarkan keenam anak tersebut itu duduk di kursi yang ada di sepanjang meja, Odo kembali menggandeng satu anak secara acak dan memintanya duduk di pangkuannya.

Melihat anak berbadan bongsor itu duduk memangku salah satu anak perempuan berambut pirang yang tubuhnya lebih kecil, sosok Witch tersebut terlihat bingung dengan apa yang akan dilakukannya.

"Kau anggap apa anak ini?" tanya Odo sambil memeluk anak perempuan di pangkuannya.

"Itu anakku, memangnya apa lagi?"

"Kau sebut apa anak ini?"

"Dia tipe 00, itu namanya."

Odo benar-benar paham cara pikir wanita di hadapannya. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya ke samping, anak berambut hitam itu memasang wajah gelap dan tatapannya berubah tajam. Secara pribadi anak berambut hitam itu tidak bisa menerima hal semacam apa yang ada di hadapannya.

"Kau tahu ..., seorang ibu tidak boleh seperti itu dan harus lebih menghargai anaknya. Meski mereka hanya klon, tetapi paling tidak kau harus melakukan mereka sebagai manusia."

"Tapi mereka bukan manusia, mereka klon ..., lebih tepatnya homunculus karena kepribadian mereka juga buatan."

Tatapan Odo bertambah gelap mendengar itu. Dirinya tahu kalau wanita di hadapannya itu tidak bermaksud buruk karena memang sudah seperti itu akal sehatnya, tetapi tetap saja hal tersebut mengganggu Odo. Menenangkan diri dan berusaha untuk tidak terbawa emosi, anak berambut hitam itu sedikit demi sedikit menjelaskan akal sehat yang pantas tentang cara seorang ibu memandang anaknya.

Satu jam, dua jam, sampai lima jam lebih dan hari sudah gelap, Odo dengan telaten menjelaskan apa itu arti seorang Ibu dan apa itu seorang anak, menjelaskan bagaimana hubungan yang ada dan ikatan apa yang tidak bisa diputuskan. Wanita itu benar-benar baru pertama kali mendengar hal semacam itu, Ia memang tahu apa itu keluarga, tetapi konsep hubungan ibu dan anak dalam dirinya sangatlah kosong.

Mendengar apa yang dijelaskan Odo, wanita itu menerimanya tetapi masih tak bisa memahaminya secara penuh, itu terlalu rumit bagi dirinya dan tidak bisa diterima akal sehatnya.

"Mengapa seorang Ibu harus berkorban demi anaknya? Mereka bisa hidup karena ibu, bukannya anak yang seharusnya berkorban untuk Ibu? Dulu saat masih di Kayangan diriku juga seperti itu ..., terus berkorban untuk kedua sosok yang melahirkanku," ucap wanita yang duduk di hadapan Odo.

"Cobalah pahami mereka, sayangi mereka, dan cara sesuatu yang membuatmu nyaman. Kau tahu, dunia ini bukan hanya tentang logis, efektif, dan efisien. Gunakan perasaanmu."

"Tidak paham ..., diriku tidak paham. Mengapa harus seperti itu?" Wanita itu menatap dengan tatapan datar, tetapi matanya terbuka lebar seakan pikirannya kacau.

Melihat itu, Odo tambah menyipitkan mata sesaat dan memejamkan mata untuk berpikir. Wanita di hadapannya lebih keras kepala dari yang dikira. Membuka mata kembali, Odo memberikan tatapan santai.

Di hadapan sosok Ibu tersebut, Odo meraba dada anak perempuan yang duduk di pangkuan. Ia meraba-raba dada kecil dari anak perempuan yang sama sekali tidak menujukan ekspresi dan tetap terdiam seperti boneka. Suasana hening terjadi, wanita itu menatap dengan bingung dengan apa yang dilakukan Odo.

Tidak memedulikan ekspresi yang mulai berubah dari wanita itu, Odo memeluk anak perempuan berambut pirang yang ada di pangkuannya dan tambah meraba-raba tubuhnya, dari dada, paha, bahkan sampai bagian yang tidak boleh disentuh. Saat Odo kembali melihat ke depan seraya menyeringai gelap, wanita berambut pirang itu masih memasang wajah bingung.

"Apa yang sedang dikau lakukan?"

Tidak menjawab pertanyaan tersebut, Odo melepaskan pelukannya pada anak perempuan di pangkuan. Odo membuka telapak tangan kiri dan mengumpulkan Mana dalam jumlah kecil, lalu mengubah atributnya menjadi petir. Tersenyum tipis, anak berambut hitam itu menyentuh pundak anak perempuan yang duduk di pangkuan dengan tangan berselimut petir tipis tersebut.

Anak perempuan itu langsung tersetrum, wajahnya tersentak memperlihatkan ekspresi kesakitan dan air liur membusa keluar dari mulutnya, serta matanya mulai berputar ke atas. Wanita di hadapan Odo mulai gemetar melihat itu, rasa cemas dengan jelas terlihat dari raut wajahnya.

"Apa ... apa yang kau lakukan!!?" tanya wanita tersebut dengan panik.

"Aku akan membunuhnya, anggap saja sebagai tanda kontra―"

Sebelum Odo menyelesaikan ucapannya, wanita berambut pirang itu berdiri dan langsung menapak wajah anak berambut hitam tersebut dengan tangan kanan. Dalam hitungan kurang dari satu detik, sebuah reaksi sihir terjadi dan ledakkan dari telapak tangan wanita itu langsung menerbangkan tubuh Odo ke udara, kaki kursi tempatnya duduk patah dan membiar laju terpelantingnya sedikit condong ke samping dan tubuh Odo berhenti saat membentur dinding, lalu jatuh ke atas meja berisi perabotan di atasnya.

Wanita itu terkejut saat tubuh bergerak sendiri dan menyerang Odo seperti itu. Rasa khawatir menyelimutinya, tetapi bukan kepada Odo, melainkan anak perempuan yang tadi disetrum. Wanita berambut pirang itu kacau, ia gemetar melihat anak perempuan yang jatuh terbaring di atas lantai dengan mata terbuka lebar dan sama sekali tidak bergerak. Dadanya langsung sakit, bahkan lebih sakit daripada saat jantungnya tertusuk tombak.

"Benar ..., kau sakit bukan?"

Mendengar suara Odo, wanita itu terkejut melihat anak berambut hitam itu bisa langsung bangun setelah mendapat serangan telak. Anak berambut hitam tersebut mulai bangun dengan sebagian wajahnya terdapat luka bakar dan dari mulutnya mengeluarkan darah yang mengalir.

"Auto Regen ...." Dalam hitungan detik, partikel Mana yang telah tersebar di sekitar anak berambut hitam itu berkumpul, lalu membentuk kulit dan daging anak itu yang terkelupas. Tidak butuh sampai sepuluh detik, wajahnya kembali seperti semula dan beberapa tulang beserta organ dalamnya yang rusak pulih dengan cepat.

"Rasanya sakit, padahal bukan diriku yang tersakiti, kurang lebih itu yang kau rasa sekarang, bukan? Pahami perasaan itu ..., dan biasakan. Kalau tidak, kau akan merasakan penyesalan atau rasa sakit yang lebih parah," ucap Odo.

Anak berambut hitam itu berjalan mendekati anak perempuan yang terbaring di lantai, lalu membalik tubuhnya supaya terbaring terkapar. Menyentuh dada kiri, lalu kembali menyetrumnya supaya detak jantungnya kembali. Tidak butuh sampai lima kali, detak jantung anak perempuan itu kembali berdetak dan kembali bernapas.

Odo berdiri, lalu sekilas melihat ke arah anak-anak lain yang terlihat lega saat anak perempuan itu kembali bernapas. "Ah, bukan berarti mereka tidak punya perasaan ternyata. Apa mereka juga belajar?" pikir anak berambut hitam tersebut.

Melihat ke arah wanita berambut pirang yang berdiri dengan wajah terkejut, Odo sedikit memasang wajah gelap seraya bertanya, "Apa sudah paham? Hubungan Ibu dan Anak itu seperti ya begitu. Untuk sekarang, paling tidak pahami itu dan lebih hargai mereka ...."

Perkataan tersebut kali ini benar-benar dipahami wanita itu. Ia memasang wajah dengan mata berkaca-kaca karena lega, dan merasakan sesuatu yang belum dirinya pernah rasakan sebelumnya.

"Terima kasih ..., sudah memberitahukan hal seperti ini kepada diriku ...."

"Odo Luke ...."

"Eh?"

"Namaku Odo Luke. Penting untuk saling kenal, bukan? Paling tidak bertahu namamu ..., dan juga ... berikan nama yang pantas untuk mereka."

"Nama .... Sayang sekali diriku tidak memilikinya. Itu sudah ...."

Wanita itu menundukkan wajah dan terlihat sedih. Melihat itu Odo menghela napas, merasa lelah meladeni hal semacam itu.

"Pakai saja nama Dewa milikmu."

"Eh? Tapi .... " Wanita itu terdiam seraya mengingat kembali berbagai hal. Mengangkat wajah dan berusaha tegar, Ia berkata, "Baiklah ..., diriku akan menggunakannya."

Di dalam ruangan tersebut, Witch yang telah membuang namanya lebih dari ribuan tahun yang lalu kembali menyebutkan nama pembawa kesalahan tersebut. Mendengar apa yang diucapkannya, Odo hanya tersenyum kecil.

"Hmm, namamu memang lebih manusiawi. Kenapa tidak berikan saja nama semacam itu pada anak-anakmu?" tanya Odo.

"Diriku ... tidak pandai memberi nama."

Odo terdiam sesaat, memalingkan pandangan dan merasakan hal yang serupa dengan apa yang dirasakan wanita tersebut.

"Kenapa tidak dikau saja yang mengganti nama mereka? Nama yang lebih pantas dan penuh makna," ucap wanita berambut pirang tersebut.

"Eh?"

Pada akhirnya, Odo benar-benar dimintai untuk mengganti nama keenam anak berambut pirang yang ada. Karena memang selera penamaan Odo tidak terlalu bagus, nama yang diberikan sangat sederhana. Untuk yang berjenis kelamin laki-laki, Unit 01 sampai 03 diberikan nama En, Karl, dan Santo, sedangkan untuk yang perempuan diberikan nama Riria dan Wulan. Untuk anak perempuan yang tadi disetrum Odo, nama yang diberikan untuknya lebih dipikirkan olehnya karena sedikit rasa bersalah yang ada. Hilya, itulah nama yang Odo berikan peda tipe 00 yang tadi dirinya setrum, di ambil dari salah satu bahasa di kehidupan sebelumnya, yang berarti perhiasan dari dasar laut.

=====================================

Catatan:

Next chapter