webnovel

14 - Pada diri sendiri

|POV Odo|

Meringkuk di bawah pohon rimbun dengan warna dedaunan tajam, Aku memikirkan kembali apa yang dikatakan Reyah saat masih berada di dalam Pohon Suci. Fakta itu, kenyataan yang diucapkannya, memang saat dipikirkan lagi itu tidak bisa diacuhkan begitu saja ataupun diterima mentah-mentah.

Pikirkan lagi, apa semua itu benar-benar terjadi? Apa mungkin? Sejauh yang kutahu, dunia paralel merupakan sebuah dunia yang seharusnya berjalan sejajar dengan dunia realita yang ditepati⸻ tunggu! Dalam hal ini, aku masuk entitas realita mana? Dunia ini? Atau duniaku dulu? Tidak ..., kata Reyah dunia ini sudah tidak ada yang namanya dunia paralel yang benar-benar berbeda, di luar semesta ini katanya hanya ada kehampaan. Kalau begitu, apa faktor kemungkinan yang bisa menciptakan dunia paralel seperti halnya kasus kucing Schrondinger tidak mungkin terjadi di dunia ini? Mengapa? Seharusnya menurut mekanika kuantum⸻ tidak, itu saja tidak cukup menjadi pacuan untuk benar-benar menyatakan kalau faktor kemungkinan tidak bisa ada.

Tidak ..., tidak, tidak, ini tidak mungkin. Kalau dipikir lagi, semua tindakan Reyah sangat dipenuhi keyakinan, dia tidak seperti sedang mengira-ngira. Katanya dia menungguku di sini, jadi kenapa? Kenapa dia bisa tahu aku akan datang? Padahal saat itu baru pertama kali bertemu .... Apa karena teks kuno yang Ia tahu? Atau karena aku dari garis dunia lain pernah datang dan bertemu dengannya? Tunggu, kalau begitu kenapa dia berkata tidak ada semesta lain? Apa dia berbohong padaku? Tidak, tidak, untuk apa dia berbohong disaat seperti itu?

Pikirkan lagi ..., pikirkan lagi kemungkinan yang ada .... Pada saat kehidupanku dulu, kebenaran tentang dunia paralel masih menjadi perdebatan. Ada juga Ilmuwan pada saat itu mengatakan kalau dunia paralel itu semacam zona di luar kolam yang tidak bisa diketahui oleh entitas di dalam kolam. Meskipun tidak bisa melihat secara langsung, riak yang tercipta dari getaran di luar kolam bisa dirasakan oleh entitas yang ada di dalam kolam. Dalam hal itu, meski tak bisa melihat atau membuat kontak secara penuh, tetapi entitas dalam kolam masih bisa tahu kalau benar-benar ada kehidupan di luar kolam. Tidak bisanya melakukan kontak dengan dunia lain adalah karena terbatasnya teknologi.

Jadi, apa? Apa setelah kiamat ada teknologi berkembang sangat pesat sampai-sampai tidak hanya melakukan kontak, tetapi sampai bisa menggabung⸻ tunggu, apa benar ini dunia ini bergabung? Kalau telah terjadi kiamat, bukannya dunia paralel lain dihancurkan, dan dunia baru ini adalah satu-satunya dunia yang tersisa ..., apa benar itu yang terjadi?

Lagi pula, konsep dunia paralel dan dunia lain itu sedikit berbeda. Kalau dunia paralel terjadi karena faktor kemungkinan sehingga terciptanya jutaan dunia yang tak terhitung banyaknya di semesta, sedangkan dunia lain adalah sebuah dunia yang benar-benar berbeda. Seperti saat melihat kaca, ada dunia di dalam kaca yang merupakan dunia yang sejajar, tetapi bukan berarti itu percabangan dari dunia tempat orang tersebut yang sedang melihat kaca. Tapi, apa benar memang seperti itu perbedaannya? Alam gaib? Akhirat? Neraka? Surga? Apa itu juga masuk ke dalam dunia lain? Atau hanya dunia paralel yang berkembang jutaan kali lebih cepat sehingga mendapat teknologi yang bahkan bisa memberikan pengadilan dan pengaruh bagi dunia paralel lain yang tertinggal?

"Odo ...."

Ada juga faktor ketidakterbatasan jagat raya. Itu membuktikan kalau galaksi juga banyak sekali dulu, tapi apa sekarang jumlah galaksi juga masih sama? Apa aku harus membuktikannya dulu ..., pergi ke angkasa? Apa benar ada ruang di sana? Ada planet lain? Apa matahari hanya satu? Apa semesta ini masih tatanan tata suryanya sama? Apa⸻"

"Odo!!!"

Eh ....?

Aku mengangkat wajah dan melihat ke sumber suara yang memanggil namaku. Di sana terlihat Reyah, Roh Agung berambut hijau yang entah mengapa melihatku dengan penuh rasa cemas. Tiba-tiba Ia berlutut dan memelukku dengan erat. Tak tahu mengapa, tetapi itu terasa sangat membawa perasaan lega. Hangat, sungguh sangat menenangkan dan menghilangkan rasa cemas beserta semua apa yang aku pikirkan. Kenapa dia memelukku? Pertanyaan terbesit dalam benak.

"Sudahlah, Odo ...," bisiknya. "Kita hanya makhluk kecil di dunia yang amat luas ini. Memikirkan semua itu takkan mengubah apapun, hanya akan menambah beban pikiran .... Kita hidup di dunia ini ..., di sini ..., pada momen ini ..., apakah itu tidak cukup?" tanyanya dengan tersedu. Dia menangis, meski diriku tak bisa melihat wajahnya karena Ia sedang memelukku, tetapi yang jelas dia sedang menangis. Kenapa dia sebegitu pedulinya denganku? Pertanyaan lain terbesit kembali.

"Reyah ..., aku ingin bertanya lagi. Kenapa ..., kau sangat yakin tidak ada semesta lainnya? Apa ...." Anehnya pikiranku kembali ingin menguak keraguanku, tanpa memedulikan perempuan yang memulukku dengan rasa cemas tersebut.

Ia melepaskan pelukan, memegang kedua pundakku dan menatap tajam. Sorot matanya yang hijau begitu tajam ,terlihat basah karena air mata, dan wajahnya dengan jelas menunjukkan rasa khawatir. "Kenapa ... sampai sebegitunya, engkau ...."

"Aku harus tahu .... Harus .... Paling tidak sampai rasa yang mengganjal ini hilang ...."

Reyah terlihat enggan untuk berbicara. Setelah beberapa saat menundukkan wajar, pada akhirnya Ia menjawab dengan suara penuh rasa sukar, "Baiklah ..., akan diriku beritahu padamu ...."

Setelah itu, Ia menjawab dan menjelaskan hampir semua pertanyaan yang aku lontarkan, tentu saja hanya pertanyaan yang bisa dijawabnya. Dari semua itu, sebuah kesimpulan mutlak tercapai. Dunia ini memang benar-benar dunia yang sama dari duniaku dulu, bukan dunia paralel atau dunia lain, ini benar-benar sama. Dalam teks kuno yang diberitahukan Reyah padaku, di sana tertera kalau memang dunia sebelum kiamat itu terdiri dari jutaan dunia yang setiap detiknya bertambah, dengan kata lain itu terjadi karena konsep kemungkinan masih berlaku untuk menciptakan dunia paralel. Setelah kiamat, atau lebih tepatnya pada permulaan zaman Awal Kiamat, konsep kemungkinan menghilang dan dunia menjadi tempat dengan rute yang tak bisa terbagi. Tetapi, ada hal lain yang membuatku terkejut. Menurut Reyah, ada satu lagi garis dunia yang melaju lebih cepat dari dunia ini. Sayangnya, dunia itu hancur pada satu titik perkembangan tertentu dan dunia terulang. Kesimpulan dari itu, dunia ini adalah hanyalah sebuah pengulangan dari garis dunia yang telah hancur di masa depan itu. Itulah yang menjadi alasan Reyah sangat tahu kalau diriku akan datang, karena dia sendiri menyimpan ingatan dari garis dunia yang hancur itu. Reyah menyebut garis dunia sekarang ini dengan sebutan If.

Para Dewa Tertinggi juga tahu akan adanya hal tersebut, Reyah sendiri pernah dikontak mereka karena memiliki memori dari garis dunia yang telah hancur tersebut meski tidak secara utuh dan hanya bagian awalnya saja. Meski memiliki pengetahuan akan apa yang bisa terjadi nantinya, baik Roh Agung tersebut atau para Dewa Tertinggi tak ada yang bisa mengubah laju takdir karena memang faktor kemungkinan sudah tidak bisa menciptakan dunia paralel yang bisa membebaskan dunia dari takdir kehancuran. Bukti dari tidak bisanya takdir diubah, itu adalah Perang Besar beberapa puluh tahun lalu yang bahkan di zaman para Dewa berkuasa ini tidak bisa dihentikan oleh mereka.

Karena itulah aku ada di dunia ini, jiwa yang direinkarnasikan dari dunia yang telah hancur. Karena dengan adanya aku yang menjadi faktor abstrak dalam jalur dunia, jalur takdir akan menjadi kacau dan mungkin laju dunia akan dibawa ke arah yang berbeda. Karena itulah dalam catatan kuno, anak berambut hitam dikatakan sebagai Pembawa. Tetapi, meski begitu, tetap saja ada satu pertanyaan yang tersisa dalam benakku.

"Kenapa harus aku? Siapa sebenarnya aku sampai-sampai terpilih dari ribuan jiwa dari masa lalu untuk mempertaruhkan keberlangsungan dunia di masa kini?"

Meski telah menyusun pertanyaan untuk menjawab rasa penasaran itu, tetapi tetap saja tak bisa. Ada masih banyak hal yang tidak bisa dijawab Reyah dan ada juga yang tidak diketahuinya. Aku tak merasa kesal karena itu, paling tidak rasa penasaran dalam pikiran berkurang dengan ini. Setidaknya itu sudah cukup untuk mengurangi rasa yang mengganjal dalam benak ini dan membantuku menetapkan tujuan hidup yang lebih jelas. Meski ini terasa tidak berbeda dengan kehidupanku yang dulu yang selalu terbawa lingkungan dan orang-orang sekitar, tetapi paling tidak ini lebih baik karena memang bermakna bagi banyak orang.

««»»

|POV Author|

Rembulan bersinar biru terang, rerumputan berhembus ringan terkena angin malam, dan dedaunan berwarna tajam ikut melantunkan melodi sejuk dengan suara gesekan antara daun. Tepat di bawah salah satu pohon di dalam Hutan Pohon Suci, dua insan terlihat duduk saling berdekatan dan bersandar pada batang pohon. Reyah duduk menekuk lututnya, sedangkan Odo duduk menyelonjorkan kedua kakinya dan menyandarkan tubuh ke Dryad di sampingnya itu. Anak berambut hitam tersebut tertidur pulas, dengan wajar puas seakan tidak mengharapkan apa-apa dari dunia dan terlihat begitu polos. Dijadikan sandaran oleh anak itu, Reyah hanya tersenyum ringan tanpa rasa enggan. Sesekali Ia melirik, melihat wajar anak itu dengan penuh rasa lega dan kebahagiaan.

Dibandingkan dengan sebelumnya, suasana sekarang ini sangatlah damai. Anak itu tidak menghujani Reyah dengan pertanyaan, tidak membentak ataupun terlihat sangat emosional. Hembusan angin menerpa wajah mereka dengan lembut, meskipun dingin, itu terasa sangat menenangkan dan membuat hati Dryad itu merasa sangat hangat karena adanya anak itu di sampingnya.

Menikmati momen itu beberapa jam lamanya, hari semakin malam dan langit telah benar-benar tertutup ribuan bintang yang seakan hanya terlihat seperti tirai imitasi sebagai dekorasi langit. Setelah mendongak dan melihat itu melewati cela dedaunan, Reyah memejamkan mata kembali dan mengurungkan niat untuk membangunkan Odo.

"Kurasa ..., sedikit lebih lama lagi ....," benaknya.

Tetapi beberapa menit setelah itu, terasa sebuah keberadaan yang membawa kekuatan sihir besar mendekat. Membuka mata dan melirik ke sebelah kanan, terlihat pijaran cahaya yang melayang mendekat. Saat sudah dengan jelas terlihat sosoknya, Reyah menghela napas.

Yang datang menghampiri mereka adalah Sang Roh Agung Penguasa Api, Ifrit. Tubuhnya memang terlihat seperti pria kekar yang melayang, tetapi sepenuhnya Ia terbalut api membara dan berpijar putih terang dalam kegelapan. Matanya berwarna merah gelap dan tak terlihat jelas mana mulut dan hidungnya. Roh Agung Api itu berpenampilan terlihat berpenampilan seperti sedang telanjang dada dan bagian bawahnya hanya ditutupi oleh kain yang terbuat dari api merah, tetapi sebenarnya Ia sama sekali tidak mengenakan pakaian dan kain tersebut memang adalah bagian dari tubuhnya yang terbuat dari api.

Ifrit merupakan Roh Agung beratribut api seperti yang terlihat dan merupakan penjelmaan dari Firebird yang abadi karena tingkat regenerasinya sangat tinggi. Seperti halnya Reyah yang merupakan makhluk yang tercipta dari sesuatu yang Sakral seperti Pohon Suci, Ifrit juga tercipta dari kekuatan sihir yang memadat dan membentuk kepribadiannya di Lembah Api. Tetapi ada yang berbeda dari itu, tidak seperti Reyah yang bisa menyimpan ingatan dari pendahulunya yang telah tiada, Ifrit merupakan individu yang tidak bisa mewarisi ingatan atau kekuatan dari pendahulunya.

"Mau apa datang ke sini, Ifrit? Panas ..., jangan mendekat lebih dari itu," ucap Reyah dengan nada tajam. Matanya terlihat malas melihat Ifrit, seakan memang dirinya tidak suka dengan kedatangan Roh Api itu.

"Jangan begitu, Uni .... Padahal sebelumnya Uni juga ngobrol asyik denganku ini. Kenapa sih dingin amat begitu?" tanya Ifrit. Mendengar suara yang terdengar congkak tetapi tidak sesuai dengan wujudnya yang agung dan terlihat beringas tersebut, Reyah menyipitkan mata dan memasang ekspresi wajah datar. Bukan berarti Roh dari Pohon Suci itu benci Ifrit atau semacamnya, tetapi Ia hanya tak bisa memberi toleran pada sesuatu yang terasa sangat tidak sesuai seperti itu.

"Itu hanya karena diriku sedang perlu sesuatu. Jadi, jangan mendekat lagi ...." Reyah sekilas mengangkat jari telunjuk kanannya ke atas, dan Srrept! Dari dalam tanah, langsung keluar pagar akar yang mencegah Ifrit mendekat lagi. Melihat itu, Roh Api itu hanya terdiam tanpa memedulikannya karena memang tanaman dan api sudah ditakdirkan tidak bisa terlalu dekat, karena semakin dekat mereka akan semakin tinggi pula kemungkinan saling menyakiti. Meski Ifrit telah menghilangkan sifat membakar apinya sehingga tidak membakar hutan dan menurunkan tekanan sihirnya sampai tingkat terendah, tetapi hawa panas memang masih terpancar jelas darinya.

Reyah dan Ifrit sudah saling kenal sangat lama, bahkan sebelum Lembah Api diambil alih oleh Naga Hitam. Tetapi kenal lama belum tentu hubungan mereka baik, malah bisa dikatakan cukup buruk karena beberapa kali Ifrit tanpa sengaja membakar hutan milik Reyah. Itu bukan berarti Ifrit ingin mencari masalah dengan Reyah, malah Roh Api itu termasuk suka dengan Dryad itu dalam arti keluarga. Karena hal itulah, Ifrit selalu mendekat ke hutan dan tanpa sengaja membakarnya. Kemampuannya untuk meredam api dan menghilangkan sifat membakar Ia latih juga demi bisa masuk ke dalam hutan seperti sekarang, meski itu terbatas dalam jangka waktu tertentu.

Dari balik pakar akar renggang, Ifrit melihat ke arah seorang anak yang tidur bersandar pada Reyah. "Apa dia anak yang telah mengalahkan Naga Api itu?" tanya Ifrit dengan nada tinggi. "Dia terlihat seperti anak manusia biasa, lemah dan rapuh," lanjutnya dengan penuh rasa sombong.

"Bicara apa engkau ini ...? Roh Agung yang bahkan tidak bisa mempertahankan daerah kekuasaannya. Sebaiknya engkau malah harus berterima kasih padanya. Berkat Odo, Lembah Api kembali menjadi milikmu, bukan?" Reyah menatap tajam Ifrit. Matanya terlihat kesal saat Roh Api itu menyinggung Odo.

"To-Tolong jangan berkata seperti itu, Uni .... Bukannya Uni sendiri tahu ..., naga itu penguasaan unsur apinya lebih tinggi dariku .... Dia makhluk surgawi yang bahkan bisa membuat Perang Dewa dan Iblis terhenti, bagaimana mungkin aku bisa mengalahkannya?"

"Odo dan Daku bisa mengalahkannya ...."

Suasana berubah hening, Ifrit tidak bisa menang berdebat melawan Reyah. Memalingkan kepala dan mata merahnya menyipit malas, Ifrit berkata, "Maaf, aku hanya iri melihatnya bisa dekat denganmu, Uni ...."

"Kekanak-kanakan sekali engkau ini, padahal umur engkau ini bukannya lebih tua dari diriku ini? Dan Juga, berhentilah memanggilku Uni, diriku bukan kakakmu ...."

"Hee, ayolah, jangan bicara seperti itu. Bukannya kita sudah sangat akrab sampai seperti keluarga, Uni ...? Jangan dingin seperti itu, ah!"

"Engkau terlalu panas ...."

"Eng ...?" Karena pembicaraan Reyah dan Ifrit, Odo terbangun. Ia berhenti bersandar, mengusap mata dan perlahan membukanya. Saat baru bangun, yang pertama kali Ia lihat adalah Ifrit karena dari arah sanalah panas bersumber. "A ...." Odo terkejut melihat Ifrit.

"Banaspati!!!?" teriak anak itu.

"Banas ...apa?" Ifrit bingung mendengar itu.

"Tenanglah, Odo. Dia hanya Roh Agung yang tinggal di Lembah Api, Ifrit," jelas Reyah pada anak itu.

"Hanya ...?" Ifrit terlihat tidak puas dengan penjelasan tersebut.

"A .... Roh Agung, ya ...? Uh ...,untung hanya Roh Agung," ucap Odo seraya mengelus dada dan merasa lega.

"Manusia, meski Uni berhak bicara seperti itu, aku tak suka diremehkan oleh manusia sepertimu." Roh Api itu memijarkan apinya semakin terang, memperlihatkan keagungannya dan kekuatannya. Odo sangat tahu tekanan sihir yang memancar dari Ifrit sangat kuat, tetapi terasa tak terkendali dan brutal, berbeda sekali dengan yang Reyah miliki.

"Aku tak meremehkanmu, kok. Kamu Roh Agung, memang ..., terus kenapa? Apa aku harus bersujud di hadapanmu?" Odo menatap tajam ke arah Roh Api itu, tanpa mengubah posisi duduknya anak itu memancarkan aura membunuh yang sama dengan Naga Hitam. Seketika Ifrit gemetar, api yang berkobar tajam mulai goyah dan tekanan sihirnya menurun drastis. Ia seketika terbungkam dan kata-kata congkaknya berhenti keluar darinya.

"Tak usah takut, aku tidak akan menyerangmu atau membunuhmu," ucap Odo dengan penekanan pada kata terakhir. Reyah yang duduk di dekat anak itu merasakan ada yang berbeda darinya, terasa sebuah aura dari orang yang penuh percaya diri dan keyakinan kuat, berbeda dari sebelumnya yang terlihat penuh keraguan dan rasa malas.

"Odo ...." Menyebut nama anak itu dalam hati, Reyah menepuk pundaknya dari samping. Odo menoleh, lalu bertanya, "Ada apa, Reyah?" Reyah terdiam mendengar pertanyaan itu, sorot mata yang ada pada Odo sangat berbeda dari sebelumnya. Kegelapan benar-benar menghilang darinya, dan digantikan dengan mata biru terang yang amat tajam yang penuh semangat. Melihat tatapan seperti itu darinya, Reyah tidak tahu untuk apa semangat itu ada.

"Engkau ... terasa berbeda dari sebelumnya, ya?" tanya Reyah.

Odo bangun dan berdiri tegak, meregangkan kedua tangannya dan kembali melihat Reyeh. "Tidak juga, kok. Aku hanya sudah memutuskannya, untuk melihat ke depan ...."

"Melihat ke depan ...?" Reyah terlihat bingung.

"Aku hanya memutuskan untuk melihat ke depan daripada memikirkan dunia yang telah hancur. Jujur, memikirkan kemungkinan yang ada membuatku sakit kepala. Karena itu, dari pada bertaruh pada kemungkinan, aku lebih memilih untuk bertaruh pada hari esok. Dari pada memikirkannya dan terdiam tanpa melakukan apa-apa, dan menyesal, lebih baik sekarang aku melangkah dan membuat masa depanku sendiri .... Bukannya untuk itu aku ada di sini?"

Perkataan itu keluar dengan penuh keyakinan, matanya membara penuh semangat. Sebelumnya Odo tidak pernah memperlihatkan tatapan seperti itu. Reyah bangun, lalu berdiri menghadap anak tersebut dan kembali bertanya, "Kenapa ... tiba-tiba sekali?"

"Tiba-tiba? Tidak, kok. Aku sudah memikirkannya matang-matang, karena itulah semua pertanyaan itu aku lontarkan padamu .... Lagi pula ...." Odo sekilas memalingkan pandangan dan terlihat memikirkan sesuatu.

"Lagi pula apa?" tanya Reyah dengan penasaran.

"Tidak ..., gak apa."

Reyah bertambah bingung karena sekilas tadi Odo tersenyum. Mendekatkan wajar ke kedua mata anak itu, Reyah berusaha membuat anak itu bicara. "Lagi pula apa, Odo?" tanyanya.

"Lagi pula ..., ya lagi pula ...." Jawaban yang keluar tidak menjawab pertanyaan Odo. Menjauh dan menghela napas, Dryad tersebut memalingkan wajah dan bergumam, "Kenapa engkau selalu seperti itu? Dasar tidak peka ...."

Berbalik dan melihat ke arah Ifrit, Odo menatapnya dengan tajam, lalu mengamati bentuk tubuh dan konstruksi sihir luar yang membentuk Roh Agung tersebut. Mendapat tatapan dari Odo, Ifrit merasa seperti dilihat sampai ke inti sihirnya.

"A-Apa yang kau lihat!?" tanya Ifrit kesal.

"Tidak ..., hanya saja kamu benar-benar api, ya .... Persis seperti yang Reyah bilang."

Odo memalingkan pandangan dan terlihat tak peduli. Sejenak berpikir, anak itu berbalik melihat Reyah dan bertanya pada Dryad tersebut, "Reyah, kita lanjutkan perbicaraan kita di dalam, di luar seperti ini rasanya kurang enak ...."

"Ee ... eh, diriku tak keberatan .... Tapi ..., sekarang masih ...." Reyah melihat ke arah Ifrit. Sadar maksudnya, Odo menoleh ke belakang dan memberikan tatapan tajam pada Roh Api di balik pagar akar renggang tersebut. Ifrit benar-benar takut dengannya, tatapan anak itu sangat terasa mirip dengan tatapan buas sang Naga Hitam.

"Ngomong-omong kamu mau apa datang kemari, Roh Agung Penguasa Lembah Api?" tanya Odo. Ia balik menghadap Ifrit, lalu memasang wajah dengan ekspresi sangat tenang.

"I-Itu bukan urusanmu, memangnya kau siapa tanya-tanya urusanku dengan Uni!?" Roh Api tersebut terlihat marah, apinya mulai berkobar tajam dan cahaya memancar terang darinya.

"Uni ... katanya? Memangnya kau orang Minang apa?" pikir Odo. Anak itu sedikit memalingkan pandangan, lalu berpikir dengan sangat cepat untuk menghindari konflik dengan roh yang baik secara fisik atau sifatnya sangat panas itu.

Odo membungkukkan badan dan memberikan rasa hormat pada Ifrit. Melihat itu, kedua Roh Agung yang ada di tempat tersebut terlihat bingung. "Saya mohon maaf atas ketidaksopanan yang saya berikan. Atas ini, saya minta kepada anda untuk tidak bertindak onar di hutan ini ...." Perkataan Odo tersebut menambah kebingungan Reyah dan Ifrit.

"Siapa yang mau berbuat onar? Aku hany⸻"

"Lihat apimu," ucap Odo seraya menegakkan tubuh dan menatap tajam Ifrit.

"Api? Apa yan⸻ Kenapa ini!!? Padahal belum dua jam, tapi sudah kehilangan kendali lagi!?" Tanpa Roh Api itu sadari, ternyata apinya kehilangan kendali dan mulai membakar dedaunan. Ia mulai panik karena membakar beberapa pohon Reyah. Sambil menunjuk ke arah Odo, Ia berkata, "Kita tunda pembicaraan ini, manusia! Ingat! Jangan berani kau mengganggu Uni!" Setelah mengatakan hal tersebut, Ifrit mencitptakan bola api di atas telapak tangan kanan dengan kepadatan tinggi, lalu melemparkannya ke udara. Bola api putih itu berpijar terang, setelah itu terbang dengan kecepatan tinggi dan melesat menuju ke arah Lembah Api berada. Beberapa saat setelah itu, tubuh Ifrit mulai memuai dan apinya berpencar menjadi kobaran-kobaran kecil tidak beraturan yang melayang terbang mengikuti jalur yang dilalui bola api putih yang melesat sebelumnya.

"Manusia, apa yang sebenarnya kau inginkan dari Uni?" tanya Ifrit.

"Hmmm, tidak ada."

"Jangan bohong .... Wajah itu mengatakan kalau kau sedang merencanakan sesuatu."

Tanpa menjawab pertanyaan Ifrit, Odo hanya dia menunggu Roh Api itu sepenuhnya berubah menjadi kobaran-kobaran api kecil di udara dan melayang kembali ke Lembah Api. Setelah Ifrit benar-benar pergi, Odo berbalik ke arah Reyah, dan berkata, "Ayo ...."

Reyah sesaat terdiam melihat apa yang terjadi sebelumnya. Meski Ifrit tidak menyadarinya, tetapi Reyah sangat jelas mendeteksi Odo menggunakan sihir untuk mengakses api milik Roh Agung Penguasa Lembah Api yang barusan pergi.

"Odo ..., tadi ... engkau mengakses apinya Ifrit?" tanya Reyah dengan wajah terkejut. Tatapannya terlihat sangat tidak percaya dengan apa yang telah anak itu lakukan.

"Hmm, ketahuan ya? Maaf, sampai harus membakar pohonnya segala. Tapi, kalau tidak begitu si Roh Api itu tidak akan pergi, bukan?" ucap Odo seraya memasang senyum kecil. Pada wajah anak itu sama sekali tidak terlihat seperti ada yang aneh dengan apa yang dilakukannya tadi.

"Ba-Bagaimana bisa? Bukannya api milik Ifrit itu sangat sulit dikendalikan ..., bahkan Ifrit sendiri tidak bisa dengan sempurna mengendalikannya ...."

Odo melihat ke arah pohon yang terbakar oleh api Ifirit, lalu mengulurkan kedua tangannya ke arah pohon itu dan mulai membuat dua lingkaran sihir sebesar telapak tangan. Aksesnya pada api didapat, lingkaran sihir berubah warna menjadi hitam dan satu buah Rune muncul di antara kedua lingkaran sihir sebagai kontrol akses. Dalam hitungan detik, api itu langsung padam dan hanya meninggalkan asap dari dedaunan dan batang yang sebagian hangus. Odo menghilangkan lingkaran sihir, lalu tersenyum kecil. Melihat apa yang Odo lakukan, Reyah sadar kalau kontrol elemen api Odo lebih tinggi dari Sang Roh Agung Penguasa Lembah Api, Ifrit.

Odo menoleh ke melihat Reyah, lalu berkata dengan nada santai, "Itu sederhana, Reyah .... Aku sudah benar-benar menyerap kekuatan Naga Hitam. Ya, meski belum bisa menggunakannya secara maksimal, tapi paling tidak memanipulasi api tanpa disadari Roh Agung itu cukup mudah ...."

"A ...!!" Reyah terbelalak mendengar itu. Meskipun Ia samar-samar sadar kalau bagian dari kekuatan Naga Hitam pernah masuk ke dalam diri Odo, tetapi dirinya tidak mengira kalau anak berambut hitam itu akan menyerapnya dan menjadikan kekuatan Naga Hitam menjadi miliknya sendiri.

"Engkau ..., mengusainya? Naga yang bahkan bisa memangsa Ifrit sampai tidak bisa beregenerasi itu!?" tanya Reyah dengan panik.

"Ya, kurang lebih .... Tapi, katamu memangsa? Apa Naga Hitam bisa memakan api?" tanya Odo.

"Ti-Tidak ..., bukan memakan. Dia memangsa ..., menyerap api melalui kulit kerasnya dan bisa menguasai hampir segala jenis api. Karena itulah setiap serangan Ifrit tidak mempan padanya dan Ia bisa kalah dengan mudah sehingga terusir dari Lembah Api dulu ...."

"Oh ...." Odo terlihat tidak begitu peduli dengan perkataan Reyah, Ia berbalik ke arah Pohon Suci, dan berkata, "Ayo, masuk ke dalam. Kita lanjutkan pembicaraannya tentang kristalnya ..., ada juga beberapa hal lain juga yang ingin aku bahas."

"Me-Memangnya hal lain apa itu?" tanya Reyah.

Odo berhenti melangkah, lalu berkata, "Senjata .... Yah, jujur saja saat melihat Ifrit, sekilas aku langsung terpikir untuk membuatnya. Mungkin saja dengan bantuan Roh Api itu bisa jadi itu benar-benar berhasil."

"A-Apa lagi yang ingin engkau lakukan ..., Odo? Memangnya senjata apa yang ingin engkau buat?"

"Pedang ..., aku ingin sebuah pedang yang tahan banting dan tekanan sihir. Karena itu aku ingin meminjam kekuatannya untuk membuatnya ..., begitu juga bantuanmu, Reyah ...."

"Pedang ..., pedang apa memangnya ...?"

"Pedang yang terbuat dari bangkai Naga Hitam ...."

"Tu-Tunggu! Bukannya bangkai itu menjadi milik diriku ini? Karena itu kristal sihir itu ada .... Kenapa malah ...."

"Karena itu aku mau membicarakannya denganmu .... Setelah dipikir lagi ..., sepertinya memang menerima kristal sebanyak itu hanya akan membuat perasaanku tidak enak, jadi aku ingin menukarnya dengan memintamu membuatkanku pedang dari bangkai Naga Hitam .... Tenang saja, bukan berarti aku menggunakan semuanya, hanya sebagian saja sampai bahannya cukup untuk membentuk pedang ..., tidak masalah bukan?"

Reyah terdiam, tanpa bisa menjawab karena pemikiran anak berambut hitam itu begitu mendadak dan tidak masuk akal. Sejenak memikirkannya lagi, Roh Agung itu mulai paham kenapa Odo tiba-tiba ingin membuat senjata dari bangkai Naga Hitam. "Apa dia berniat menyempurnakan kekuatan Naga Hitam dengan menggunakan pedang yang terbuat dari bangkai naga untuk mediumnya?" pikir Reyah.

Tetapi pada kenyataannya, Odo hanya ingin membuat senjata yang kuat menahan tekanan sihirnya yang sudah meningkat drastis. "Yah, waktu tidur ..., aku masuk ke Alam Jiwa dan mengobrol dengan Seliali lagi, sih .... Katanya aku butuh senjata untuk bisa mewujudkan tujuanku, jadi paling tidak senjata paling cocok ya itu ...," pikir Odo.

Memasang senyum santai seraya melihat ke arah Reyah, Odo berkata, "Ayo!"

"Y-Ya ...."

Dengan wajar santai dan penuh rasa hangat, Ia berjalan ke arah Pohon Suci. Reyah mengangguk dan berjalan mengikuti anak tersebut, tanpa merisaukan kembali apa yang sebenarnya hendak dilakukan anak tersebut. Dalam diri Reyah, tanpa Ia sadari dirinya telah termabuk sebuah perasaan yang membuatnya mengacuhkan pemikiran logis yang menjadi panutan hidupnya selama ini. Roh Agung tersebut benar-benar menemukan hal yang lebih memberinya arti hidup daripada hanya menjaga Pohon Suci.

Setelah itu, mereka berdua kembali masuk ke dalam Pohon Suci dan melajukan pembicaraan mereka. Tidak seperti sebelumnya, pembicaraan berlangsung dengan kondusif tanpa adanya suasana negatif. Dalam pembicaraan tersebut, diputuskan kalau Odo memegang penuh hak atas bangkai Naga Hitam sebesar seperlima dari keseluruhan yang ada, dan dengan itu Ia mendapat sebagian saja dari semua kristal sihir yang Reyah siapkan. Roh Agung Pohon Suci sendiri yang mengajukan hal tersebut, dalam diri Roh Agung itu masih tidak ingin menyerahkan setengah dari bangkai Naga Hitam pada Odo karena memang seberharga itulah bangkai tersebut. Odo tidak keberatan akan hal tersebut. Setelah Ia menyelesaikan pembuatan Gelang Dimensi, Odo memasukkan sebagian kristal sihir ke dalam dimensi penyimpanan dalam gelang. Berat total dari kristal sihir yang didapat Odo sekitar kurang lebih sekitar 2.000 kilogram atau 2 ton. Dari berat tersebut, harganya masih belum bisa diperkirakan karena standar kualitas kristal sihir masih belum anak itu ketahui di pasaran.

Setelah membuat kesepakatan tersebut, pagi harinya Odo dan Reyah berkunjung ke perbatasan Lembah Api dan meminta Ifrit untuk menempakan pedang yang diminta Odo. Meskipun awal-awal Ia menolaknya, pada akhirnya Roh Api itu setuju berkat bujukan dari Reyah. Karena proses pembuatan tidak bisa langsung dilakukan dan bisa memakan proses sangat lama, Odo menyerahkan semua yang diperlukan untuk diatur Reyah dan Ia sendiri langsung diantar pulang ke dunia nyata pada hari itu juga oleh Roh Agung tersebut.

««»»

Di depan Altar Gerbang Dimensi di daerah kediaman Keluarga Luke, Mavis dan Dart menunggu kepulangan anak itu dari Dunia Astral. Karena pada saat Odo pergi waktunya sudah menjelang sore, sekarang hari sudah benar-benar malam dan hampir berganti dalam waktu kurang dari satu jam. Pasangan suami istri itu menunggu tanpa ditemani satu pun pasukan atau pelayan, tanpa tenda dan makanan, hanya di bawah pepohonan rimbun dan duduk di atas batu yang terpapar cahaya langit berbintang yang sebagian terhalang dedaunan.

Mereka mengenakan jaket tebal dari kulit hewan berbulu sebagai penghangat di minggu terakhir musim gugur, mereka dengan sabar menunggu kepulangan anak mereka. Tidak seperti terakhir kali menunggu Odo dengan rasa cemas, sekarang terlihat sangat tenang dan damai tanpa ada pertengkaran.

Duduk di atas batu besar yang tidak jauh dari dekat altar, Mavis menyandarkan tubuh pada suaminya yang duduk di sisinya. Sekilas memejamkan mata, wanita itu memikirkan banyak hal dan merenungkan kembali apa yang telah dilalui selama hidupnya. Begitu juga Dart, saat melihat bintang di langit malam, Ia sekilas mengingat kembali banyak kegagalan dan penyesalan yang tertinggal di masa lampau. Membuka mata dan melihat langit yang sama dengan Dart, Mavis mengingat kembali saat pertama kali bertemu dengan sang Ahli Pedang tersebut. Pertemuan mereka bukanlah kenangan yang indah seperti kebanyakan kekasih dalam pertemuan pertama mereka, pertemuan pertama Dart dan Mavis ada di medan perang, menjadi musuh dari kedua belah pihak yang berseteru. Mavis berada di pihak Negara Kota, Miquator, sedangkan Dart berada di pihak Kerajaan Felixia. Sebelum kesepakatan damai dibuat oleh Keempat Negeri Besar, mereka saling membunuh rekan satu sama lain dan bahkan pernah melakukan pertarungan hidup mati di medan perang. Tetapi karena adanya kemunculan aktivitas Iblis saat perang, gencatan senjata dibuat dan mereka berdua lambat lain menjadi rekan dan dikenal sebagai pahlawan karena mengalahkan banyak iblis.

Karena hubungan mereka yang terkenal sangat akrab dan sering berpasangan saat menjalankan misi pemusnahan para Iblis, pihak Miquator dan Felixia mengajukan pernikahan politik antara Dart dan Mavis untuk mempererat hubungan mereka berdua. Menikah muda bukanlah hal yang bisa diperkirakan kedua orang tersebut, tetapi karena itu merupakan keputusan negeri, tidak ada diantara keduanya yang bisa menolak. Meski awal-awal mereka tidak bisa seperti pasangan suami istri pada umumnya dan masih sering berselisih karena rasa tidak puas dengan situasi, tetapi pada akhirnya setelah beberapa tahun berlalu mereka bisa mengeri apa arti sebenarnya dari sebuah keluarga. Adanya Odo sebagai anak mereka adalah bukti dari buah cinta mereka berdua.

"Dart ..., saat pertama kali kita bertemu ..., kalau tidak salah juga malam berbintang seperti ini, ya?" ucap Mavis. Ia berhenti bersandar, lalu melihat wajah suaminya dengan tatapan lemas. Melihat itu, Dart merasakan gairah yang sudah sangat lama dirinya tidak rasakan lagi.

"Ya ..., malam itu juga berbintang. Tapi ..., tidak seperti di medan perang saat itu, sekarang kita ...." Dart mendekatkan bibirnya, begitu juga Mavis. Untuk sepasang suami istri, mereka berdua memang terbilang telat menyadari arti sebenarnya menjadi sebuah keluarga. Tetapi berkat kelahiran Odo, mereka berdua semakin sadar akan kebahagiaan yang ada. Meskipun kecil dan rapuh di dunia yang sering terjadi perang ini, mereka sadar kalau hal itu sangat berharga dan pantas menjadi tujuan hidup untuk melindunginya.

Saat bibir mereka hendak bertemu satu sama lain, tiba-tiba Altar Gerbang Dunia Astral aktif, dan cahaya memancar terang dari tempat tersebut. Saat cahaya mulai redup, dari sana sosok Odo terlihat. Membuka mata dan melihat ke depan dengan tatapan santai, Odo lekas meregangkan kedua tangannya ke depan. Sesampainya kembali dari Dunia Astral, yang pertama kali Odo lihat adalah kedua orang tuanya yang duduk di atas batu besar dan saling memalingkan pandangan satu sama lain. "Hmm, Ayah? Ibu?" benak Odo. Ia mendongak ke atas, lalu melihat langit malam penuh bintang.

"Di sini hari belum berganti, ya ...? Di sana bahkan sudah satu hari terlewat .... Kalau seperti ini, memang perbedaan laju waktu sangat terasa, ya ... Terakhir kali aku datang ke Dunia Astral pingsan melulu sih ...," pikir Odo. Kembali melihat ke arah kedua orang tuanya, Ia berjalan keluar dari altar. Sekarang Odo tidak mengenakan Gelang Dimensi yang telah dibuatnya, benda itu disimpannya di dalam Rune di atas punggung tangan kanannya.

"Sedang apa Ayah dan Bunda di sini?" tanya Odo setelah sampai di depan batu tempat mereka duduk. Dart dan Mavis langsung memandang Odo dengan tatapan datar, wajar mereka terlihat hampa karena sesuatu yang anak berambut hitam itu tidak ketahui.

"Tidak ..., kami hanya menunggumu ...."

"Memangnya apa ada alasan lain ... yang bisa membuat kami harus duduk di sini sampai tengah malam seperti ini, anakku?"

Perkataan Mavis dan Dart yang keluar dengan tatapan datar membuat Odo memiringkan kepala dan terlihat bingung. "Padahal tak usah repot-repot menunggu seperti ini, Ayah dan Bunda bisa tunggu saja di Mansion," ucap Odo dengan santainya seakan memang tidak tahu rasa khawatir kedua orang tersebut.

Alis Mavis berkedut mendengar itu, Ia langsung turun dari atas batu dan berdiri tepat di hadapan Odo. Menatap tajam anak tersebut, Mavis langsung menjewer telinganya dengan kencang. "Kau ini ..., didikan apa sih sampai-sampai jadi anak yang tidak peka dengan perasaan orang lain!?" ucapnya. "Sa-Sakit!" Odo benar-benar tidak bisa melawan Mavis, sebagai seorang anak Ia tidak berdaya di hadapan Ibunya. Melihat hal itu, Dart yang duduk di atas batu besar hanya melihat dengan senyuman hangat.

"Ay-Ayah, tolong!! Bunda mengamuk!" ucap Odo sambil mengulurkan tangan kanan meminta bantuan. Dart hanya tersenyum kecil melihat itu, dan berkata dalam hati, "Bertahanlah, nanti juga selesai." Apa yang dipikirkan Dart terlihat pada raut wajahnya dan tersampaikan kepada Odo.

"Nih anak, sama sekali tidak menyesal, ya? Bandel amat sih kamu!? Meski Bunda jarang mengawasimu sejak kecil, tapi kenapa sifatmu ini .... Apa ini didikannya, Julia!?" Mavis tambah kencang menjewer telinga Odo. "Sakit! Sakit! Sakit! Nanti putus, telingaku bisa putus, bunda!"

"Hahaha." Dart tertawa kecil melihat itu. "Kejam! Kok malah tertawa sih, Yah?!" ucap Odo.

Dalam malam yang cerah, di bawah langit berbintang, Keluarga Luke setelah sekian lama bisa merasakan kehangatan sebagai keluarga yang pantas mereka dapat. Meski masih banyak masalah yang masih belum diselesaikan, tetapi paling tidak mereka bisa bersama menghadapi hal itu. Pada saat kebahagiaan itu menghampiri mereka, masih belum ada satu pun dari mereka yang menyadari kalau kebahagiaan itu hanya mampir dan kelak akan pergi. Setelah perginya kebahagiaan, sebuah cobaan akan menghampiri mereka dan takdir akan menentukan nasib. Entah itu mengarah ke hal yang baik atau buruk, masih tidak ada yang tahu tentang hal itu, bahkan para dewa di atas langit sana.

Next chapter