webnovel

Prolog

Kesadaran yang mulai menguat di otak, membuat kelopak matanya perlahan terangkat dan membuat ia melihat warna putih yang ganjil karena terlalu bersih. Pemandangan tersebut, bukan dihasilkan oleh langit-langit, bukan juga dinding, atau benda lainnya. Sebab semua hal tersebut tidak ada di tempat ini.

Bertumpu pada kedua tangannya, ia bangkit dari keadaan terbaring, untuk disuguhkan hamparan putih tanpa batas yang akhir-akhir ini mulai akrab di matanya. Ia mengenal tempat ini ..., atau mengira seperti itu. Tempat yang semula ia kira sebagai ruang ketiadaan, tempat di mana jiwa yang telah berpulang saat meninggalkan kefanaan berkumpul. Selalu kembali untuk pergi dari tempat ini, membuat ia tahu, dugaan tersebut suatu kesalahan. Tempat ini bukanlah dimensi tinggi tersebut.

Ruang daur-ulang. Itu nama yang ia sematkan pada tempat ini.

Ruang yang mana lebih tinggi dari kefanaan, namun juga lebih rendah dari dimensi ketiadaan. Tempat pemberhentian sementara untuk orang-orang seperti dirinya, setelah selesai menuntaskan peran yang diemban. Tempat yang sama di mana ingatan akan hal lalu dihapuskan, sebelum menjalani peran baru.

Atau ... seharusnya seperti itu.

Meski ia masih menjalani dua siklus yang berlangsung di tempat ini, untuk kembali dan pergi. Ingatannya yang seharusnya terhapus, tetap tinggal. Pada awalnya, serangan yang sepura dengan déjà vu, hanya ia anggap sebagai bentuk distorsi ingatan. Sampai kemudian segalanya kian menguat dan tidak terelakkan. Membangunkan kesadaran diri yang semula tertidur. Membuat ia sadar bahwa dirinya adalah salah satu tokoh dalam cerita yang dituliskan oleh seseorang.

Tepatnya seorang yang melakoni tokoh antagonis dalam sebuah jagat raya fiksi.

Atas fenomena yang ia alami, dirinya pun bingung untuk menyikapinya. Hanya bisa terus melakoni peran yang diberikan padanya dan berpura-pura bahwa ia tidak memiliki kesadaran akan dirinya yang hanyalah sebuah tokoh dalam cerita. Meski sebuah pertanyaan terus bergema dalam kepalanya, saat tiba di tempat yang ia namai sebagai Ruang Daur-ulang. Sebuah pertanyaan: 'Bagaimana jika hidup yang selama ini kamu jalani hanya sebuah cerita yang dituliskan oleh seseorang?'

"Selamat datang kembali dan terima kasih atas kerja kerasnya."

Sapaan yang sistematis dan dingin tersebut bergema langsung di kepalanya, tanpa menunjukkan identitas pemilik suara tersebut. Di awal, saat ia baru memiliki kesadaran, suara yang bergema di kepalanya membuat ia terkejut dan takut akan keganjilan tersebut. Namun setelah berkali-kali mendengar, membuat ia kehilangan kedua rasa tersebut, bahkan membuatnya bosan karena harus mendengarnya berkali-kali.

"Terima kasih juga atas kerja kerasnya." Ia berbalik menyapa. Tidak lupa menghadirkan senyum menawan di wajahnya yang sempurna. Rupa yang merupakan kriteria yang wajib ia miliki sebagai orang yang memerankan tokoh antagonis dalam sebuah cerita yang ditujukan untuk pembaca wanita.

Ia pun diam, meski senyuman tetap tinggal di bibirnya. Bersabar untuk menunggu instruksi lebih lanjut dari suara yang bergema di kepala, yang ia Identifikasikan sebagai operator di Ruang Daur-ulang ini.

"Sebelum kamu meneruskan perjalananmu, ada beberapa hal yang harus dibicaran terlebih dahulu." Tubuhnya seketika membeku mendengar kalimat itu. Situasi yang berlangsung sangat di luar kebiasaan. Pada biasanya, setelah operator menyambutnya dengan sapaan yang formal-tapi-begitu-klise, ia akan mulai ditransportasikan ke cerita berikutnya dan secara bersamaan ingatan akan tokoh serta cerita yang telah dilalui akan dihapuskan.

Ia pun mulai mencurigai bahwa baik operator ataupun sistem yang menjalankan jagad raya fiksi ini telah menyadari bahwa ingatan yang ia miliki tidak terhapus seperti seharusnya. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi alasan kenapa proses yang ia jalani di luar kebiasaan. Ia memiliki beberapa teori tentang hal itu, namun sayangnya bukanlah suatu hal yang menyenangkan.

Hanya saja, apa pun itu, ia tidak bisa mengelaknya sama sekali. Hanya bersiap untuk menghadapinya. Sama seperti nasib buruk juga akhir tragis yang selalu di alami tokoh antagonis. Oleh itu ia pun merespon, "Ya?"

"Ada beberapa penyesuaian yang akan diberlakukan pada perjalananmu selanjutnya."

Ia diam. Secara tidak langsung menyetujui apa pun menyesuaikan itu. Karena sepertinya ini tidak seburuk yang ia bayangkan. Yang mana ia akan dibuang ke tempat penistaan, di mana tokoh yang tidak layak untuk melanjutkan perjalanan ke cerita lainnya berkumpul. Terjebak dalam dimensi antah berantah di sepanjang keabadian.

Dalam kalimat yang diucapkan operator, ia masih melanjutkan ke cerita berikutnya dan berperan di dalamnya. Ia pun mengambil kesimpulan atas kemungkinan terburuk yang akan ia alami dalam perjalanan berikutnya. Bersiap bahwa ia mungkin akan berperan sebagai hewan, hantu atau sejenisnya.

"Tidak seperti sebelumnya," lanjut operator, "yang mana perjalananmu menjadi tokoh di sebuah cerita baru. Kali ini kamu akan menjadi tokoh di cerita yang sebelumnya kamu jalani."

"Tunggu!" dengan segera ia menyela operator "mungkin ini bukanlah hal yang sebaiknya saya bicarakan. Tapi ingatan saya akan cerita sebelumnya tidak terhapus." Ia tidak perlu menjelaskan implikasi akan hal itu. Baik ia ataupun mereka sama-sama tahu akan kenyataan tidak terucap. Dalam fiksi, tokoh yang memiliki ingatan atas alur cerita yang akan terjadi, memiliki keuntungan dan secara menempatkan ia di beberapa tingkat lebih tinggi dibanding tokoh lain yang sama sekali buta akan cerita.

Sama seperti halnya protagonist di novel dengan tema reinkarnasi atau transmigrasi jiwa. Yang memiliki ingatan akan masa depan yang belum terjadi atau yang sudah mereka alami dan mengubah keadaan dengan dirinya di pihak yang tidak terkalahkan.

Namun ada satu masalah. Masalah yang sangat besar jika ia harus tekankan dalam situasi ini. Tokoh yang bolah memiliki keunggulan tersebut hanyalah protagonist. Di mana baik pengarang, pembaca, atau bahkan jagad raya, merasa protagonist harus memiliki kelebihan—atau kecurangan jika dilihat dari pihaknya sebagai tokoh antagonis.

Sementara ia, yang dengan jelas dan tertulis dengan format tulisan tebal sebagai antagonis, yang mana dilaknat, dinistakan, dan direndahkan, ditempatkan dalam situasi yang menguntungkan? Ini konspirasi!?

"Tentang ingatanmu yang tidak terhapus, kami sudah mengetahuinya. Tapi hal tersebut tidak mengubah penyesuaian yang akan kami lakukan."

Menjalani berbagai macam cerita sebagai peran antagonis, membuat ia sedikit mengerti tentang keputusan yang diambil oleh operator akan dirinya. Ia memang mengulang cerita yang telah dilalui sebelumnya, tapi dengan beberapa penyesuaian seperti yang dikatakan oleh operator sebelumnya. Namun yang dia masuki kemungkinan merupakan versi revisi. Di mana pengarang ingin membuat protagonist teraniaya, menderita karena terkurung dalam keadaan menyedihkan dari awal hingga akhir.

Jika memang seperti itu, ia sama sekali tidak mengeluh. Sebaliknya ia akan menikmati di setiap detiknya. Kali ini ia yang merupakan tokoh antagonis tidak perlu melakukan suatu hal yang dratis dan menggali kuburan sendiri untuk membuat protagonist sengsara. Karena protagonist sudah melakukannya sendiri.

Ia, yang akan di tempatkan di posisi yang lebih baik, mulai merasa serakah. Berpikir jika pada perjalanan di cerita kali ini mungkin ia akan memiliki akhir yang tidak seburuk yang selama ini alaminya. Kesempatan disajikan di atas nampan perak langsung ke hadapannya. Jika ada seseorang yang menolak, ia bukanlah salah satunya.

Untuk itu tanpa ragu ia mengatakan, "Baik, tolong antarkan saya ke cerita berikutnya.

Next chapter