2 1 Gadis kecil

"Kau sudah bangun."

Bianca mengalihkan pandangan ke perempuan paru baya yang masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan nampan yang berisi banyak makanan. Saat perempuan itu meliriknya, Bianca membuang wajah dan kembali menatap lurus ke depan.

"Makanlah. Kalau kau tak ingin di hukum tuan lagi."

Lagi-lagi, Bianca mengabaikan perempuan itu sampai perempuan itu keluar dari dalam kamar dan menggunci pintunya kembali.

Bianca menumpukan kepala di atas lutut dan menyembunyikan kepalanya di antara kedua tangan. Ia mengangis di sana, menangis karna di tinggal kedua orang tuanya dan menangis karna tak bisa membalas semua perlakukan pria bajingan itu. Bianca juga ingin mati menyusul kedua orang tuanya tapi hal itu akan membuat pria itu semakin senang dan Binaca tak ingin melihat pria itu senang. Ia ingin pria itu merasakan di tinggal sendiri dan Bianca akan menunggu hari itu datang. Sebentar lagi, saat ia sudah cukup dewasa.

Kemudian, Bianca menghapus air matanya, turun dari janjang dan berjalan mendekati nampan. Bianca memakan itu dalam diam dengan kepala memikirkan rencana-rencana jahat untuk membuat pria itu menderita. Tapi sampai makanannya tinggal sedikit, ia belum juga menemukan caranya.

Bianca mendengar suara pintu yang terbuka dan di sana pria itu tersenyum lebar melihatnya memakan sarapanya.

"Seperti ini yang aku mau. Kalau kau menurut, aku tak akan mengotori tanganku untuk menghukummu."

Bianca hanya diam, sampai pria itu berjalan masuk dan duduk di atas ranjangnya yang di lakukan Bianca hanya diam serta mengamati.

"Kau terus melihat aku seperti itu seakan aku adalah seorang penjahat." ucap pria itu lalu tertawa. "Aku lupa kalau aku memang penjahat." tambahnya lalu ia tertawa.

Bianca menatap pria itu penuh kebencian, pria gila ucap Binaca dalam hati.

"Ah iya." ucap pria itu, "aku sampai lupa tujuanku datang ke sini."

"Kau belum tahu kan namaku?"

Bianca lagi-lagi diam, benar walau tinggal bersama pria itu cukup lama tapi Binaca tak pernah mengetahui namanya dan Bianca juga tak mau tahu.

"Namaku James Marverick. Kau bisa memanggilku James, kalau kau mau." ungapnya lalu mendesah lelah. "bosan juga bicara pada gadis kecil yang sebenarnya bisa bicara tapi memilih diam atau kau mau aku membuatmu benar-benar tidak bisa bicara?"

Bianca dengan terpaksa mengelengkan kepalanya.

"Kalau begitu jawab aku!" ucapnya dengan nada tinggi.

"Jangan." ucap Bianca.

"Anak baik, pastikan kau tak menutup mulutmu itu kalau aku bicara padamu!"

Bianca menganggukan kepalanya. James berdiri dan merapikan tasnya. James lalu berjalan mendekati gadis kecil yang duduk ketakutan itu dan tersenyum kecil. James berjongkok dan membuat gadis kecil itu menatap matanya.

"Kalau sikapmu baik, kau bisa keluar dari kamar ini! tapi jangan coba-coba untuk kabur. Karna aku tak tahu apa yang akan di lakukan mereka–anak buah dan hewan padamu."

Lagi-lagi, Bianca menganggukan kepalanya lalu James keluar dari kamar dan tak lupa menguncinya.

••••••

"Kalian jangan biarkan gadis itu keluar dari kamarnya!"

"Baik, tuan."

James tersenyum tipis lalu berjalan melewati anak buahnya. James tak hentinya tersenyum mengingat gadis kecil itu ketakutan, tak berdaya, tatapan benci dan ingin membalaskan dendamnya tapi gadis itu tak tahu caranya. James seperti melihat dirinya dulu di dalam gadis itu dan memang itu tujuanya. Tiba-tiba, James tertawa berbahak-bakah lalu persekian detik kemudian tawanya itu hilang di ganti raut datar.

"Gadis kecil kau yang akan menanggung semua dosa yang sudah orang tuamu perbuat. " ucapnya lalu mendorong pintu kamarnya.

James membuka kain yang melekat pada tubuhnya sembari berjalan ke dalam kamar mandi. James membasahi tubunya di bawah air yang terjatuh seperti hujan.

"Gadis kecil, kau akan menjadi kelinci percobaanku." ucap James sambil membersihkan dirinya.

Beberapa menit kemudian, James sudah berdiri di depan kaca dan menatap tubuh bagian depanya dengan pandangan tak terbaca.

"Apa gadis jecil itu juga perlu merasakan luka ini?" James kembali bicara sendiri lalu tersenyum kecil. "Iya, gadis kecil itu perlu merasakannya."

"Tapi kalau dia kesakitan dan melaporkan diri kepolisi bagaimana?"

"Polisi ya? bahkan mereka tak bisa menanggapku hahaha!"

Jemes kembali tertawa dan bicara seorang diri. ia bukan pria punya kepribadian gada tapi suka bicara sendiri di depan cermin lalu tertawa. Ia juga bukan orang gila karna mana mungkin orang gila secerdas dirinya? James hanya percaya kalau orang. di luar sana tak bisa di percaya sekalipun anak buahnya sendiri.

Setelah cukup lama berbicara dengan cermin, James berjalan keluar dari kamar mandi dan mengenakan pakaiannya. James mendengar suara ponsel dan mencarinya. James menggeser tombol hijau dan menahanya di telinga.

"Tuan, kita sudah menemukanya."

James tersenyum lebar. "Aku akan tiba tiga puluh menit lagi." ucapnya lalu menyambar kunci mobil dan berlari keluar rumahnya.

"Tuan, mau kemana?" tanya Maria–pelayan yang cukup lama berkerja denganya.

James menghentikan langkahnya lalu melirik Maria tidak suka. "Mau kemanapun aku pergi, itu bukan urusanmu."

"Tapi tuan, nyonya–"

"Dan jangan sampai mama tahu, kalau mama sampai tahu kamu yang akan mengantikan gadis kecil itu nanti."

Maria mendengar itu menganggukkan kepalanya dengat dengan takut, membiarkan James berjalan dan meninggal rumah untuk menemui mainannya.

"Tidak aku sangka kalau tua bangka ini masih hidup. " ucap James di sesampainya di dalam ruangan sebagai tempat 'bermainya'.

"Kenapa kau menatapku begitu?" tanya James tidak suka karna di tatapan dengan emosi oleh pria tua bangka yang tak berdaya ini. "ah, atau kau mau bicara?"

James menatap kedua anak buahnya dan mengode mereka untuk melepaskan penutup mulut pria itu, James tersenyum menerima semua ucapan dari pria itu di depan nya.

"Bajingan! Seharusnya aku tidak membiarkanmu hidup!"

James tertawa sambil menepuk-nepuk tangan.

"Kau monster! Kau gila!"

Lagi, James tertawa menanggapi umpatan yang keluar dari mulut pria tua itu lalu James menggapus air matanya yang tanpa sengaja menetes. "Hiburan yang lucu."

"Kau gila!" ucap pria itu sekali lagi.

"Yayaya! Aku gila!" balasnya lalu tatapannya berubah menjadi tajam. "Dan kau yang menyebabkannya!"

Tiba-tiba pria tua itu merasakan takut apa lagi dengan suasana hati pria di depanya ini gampang berubah. Ia masih ingat beberapa menit yang lalu pria itu masih tertawa tapi kini sudah berubah. Suasana di dalam ruangan ini juga berubah seiring berubahnya suasana jati pria itu.

"Kenapa kau diam? Menyadari kalau yang menciptakan moster itu dirimu sendiri?" James kembali mengeluarkan suara dan meninggalkan tempat duduknya.

James berjalan mendekati pria itu dan mengambil alat berupa besi yang di berikan anak buahnya. James tersenyum miring melihat pria pria itu menatapnya takut.

"Kau takut? Seharusnya kau tidak takut." James memainkan besi di tangannya, ia mengayunkan besi itu kencang dan ayunan itu berhenti di depan wajah pria tua itu.

"Kau ingat? Dulu kau mengunakan ini untuk memukul tubuhku. Ah, tidak-tidak. Saat itu kau menggunakan kayu bukan besi. Tapi seiring berjalanannya waktu, aku tak mungkin melakukan dengan alat yang sama. Terlalu kuno." James berucap dengan tongkat besi yang ada di samping wajah pria itu.

"Dan aku mau kau juga merasakan hal yang sama." ucap James tiba-tiba dan tanpa ampun memukul tubuh pria yang tak lagi muda dengan tongkat besinya.

avataravatar