1 Prolog

Di sebuah gua besar nan gelap, seorang wanita berjubah hitam duduk di atas sebuah batu dalam keremangan siang. Cahaya masuk melalui mulut gua, lubang-lubang gua, menyinari kedalaman gua yang gelap. Di hadapan wanita itu ada sebuah meja yang terbuat dari batu. Di atasnya terdapat tujuh buah cangkir emas dihiasi untaian berlian. Dari tujuh cangkir yang ada, dua di antaranya berisi sebuah permata. Yang satu berisi permata berwarna merah, dan yang satunya lagi berwarna hijau.

Wanita berjubah hitam itu mengambil sebuah cangkir besar berisi air yang sangat jernih, tampaknya bukan air biasa. Dia menuangkan air itu ke dalam dua cangkir yang berisi permata. Lihat, air itu berubah warna, sesuai dengan warna permata yang direndamnya. Bibir wanita itu tampak menyeringai, dibaluti kegelapan di dalam mata hitam pekatnya.

Wanita itu masuk ke dalam sebuah ruangan dalam gua. Di sana terdapat stalakmit dan stalaktit yang menempel di lantai dan di langit-langit gua, sedangkan di tengah-tengah ruangan itu, ada sebuah air terjun berukuran kecil. Airnya terlihat sangat jernih. Ditemani irama percikan air, wanita itu duduk di atas sebuah kursi batu yang letaknya tidak jauh dari air terjun kecil itu. Dia bertapa, memejamkan matanya, memusatkan pikirannya, dalam hatinya berkata, aku pasti akan mendapatkan yang lainnya.

🎆🎆🎆

Lantas sangat jauh dari tempat itu, di sebuah kerajaan kecil yang berdiri megah di sebuah negeri yang terletak pada belahan dimensi yang berbeda, terjadi sebuah pergumulan hebat.

"Apa? Mengapa mereka tidak percaya, bukankah buktinya sudah cukup kuat?" ucap seorang wanita bergaun putih. Kharisma dan kelembutannya seketika lenyap saat tengah marah atau kesal. Di hadapannya ada seorang pria berperawakan kekar, memakai zirah besi.

"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya sudah memberikan semua bukti yang ada, tetapi mereka masih saja belum percaya," ucap pria yang tak lain adalah panglima kerajaan itu.

"Bukankah dua warna pelangi yang hilang di Sungai Pelangi masih belum meyakinkan?" protes sang Ratu.

"Sepertinya pengetahuan kita tentang hal-hal semacam ini masih sempit. Kata mereka, fenomena hilangnya dua warna pelangi itu sering terjadi. Hal itu bisa saja disebabkan karena awan hippo yang sangat mendung sehingga menutup cahaya salah satu permata seperti yang terjadi beberapa tahun silam. Atau bisa saja karena ada hujan disertai badai nepto sehingga terjadi pembiasan cahaya ke arah lain yang bahkan terjadi tahun lalu," jelas sang Panglima, dia begitu takut melihat Ratu yang berdiri di depannya murka.

"Memangnya apa yang membuat mereka begitu yakin akan hal tersebut? Apakah mereka memiliki bukti?" ucap sang Ratu masih berusaha mencari celah.

"Kata mereka, bukan kerajaan kecil kita ini saja yang melaporkan hal mengenai hilangnya permata, sehingga mereka telah melakukan observasi jauh hari. Pada observasi tersebut, mereka memanggil para ahli untuk melihat apakah permata itu masih ada di tempatnya atau tidak. Dan hasilnya, masih ada. Oleh karena itu, mereka menolak segala pernyataan maupun argumen mengenai hilangnya permata neutron yang telah menjadi sumber kedaulatan negeri kita," sang Panglima lanjut menjelaskan. Ketika dia bersiap untuk berdiri ketika melihat sang Ratu sudah mulai tenang, antusiasme sang Ratu seketika muncul bercampur dengan kekesalannya.

"Lalu apa lagi yang menjadi dasar mereka mengatakannya. Bukankah tujuh permata neutron terletak pada tujuh dimensi yang berbeda, mereka memancarkan cahaya kemudian bergabung menjadi warna putih yang sangat terang saking kuatnya cahaya yang dihasilkan tepat di Sungai Pelangi kemudian didispersikan oleh air terjun yang ada di sana menjadi pelangi yang sangat indah? Observasi yang mereka lakukan bisa saja salah karena kita semua tahu bahwa keakuratannya bahkan tidak sampai delapan puluh persen. Jadi apa yang membuat mereka begitu yakin bahwa ketujuh permata neutron masih ada di tempatnya?" sang Ratu terus mendesak dengan lontaran pertanyaan.

"Kata mereka, apa untungnya mencuri permata itu? Kalau hanya untuk uang, pencuri itu tidak mungkin sampai melakukan penjelajahan dimensi yang resikonya sangat besar dan hanya bisa dilakukan oleh orang dengan kemampuan tertentu. Dan teknologi yang digunakan telah diperbaharui dengan tingkat keakuratan pasti seratus persen, sehingga tidak mungkin ada kekeliruan bahwa ketujuh permata masih ada di tempatnya. Mereka mengatakan bahwa kita yang tidak mengetahui dan memahami informasi terbaru mengenai kemajuan teknologi negeri kita ini, bahkan mereka mengatakan kita hanyalah kerajaan kecil yang sok tahu," sang Panglima mulai bersikeras.

"Apa? Mereka mengatakan bahwa kita hanya kerajaan kecil yang tidak tahu apa-apa? Apa dasar mereka mengatakan kita sok tahu hanya karena kita kerajaan kecil? Salah mereka tidak pernah mengajakku untuk mengikuti konferensi antar kerajaan. Meski kerajaanku ini kecil, tapi kerajaan ini tetap memiliki hak untuk mengikuti konferensi tahu!" ujar sang Ratu semakin kesal. Sang Panglima yang melihat keadaan mulai memanas, berusaha menenangkan.

"Saya tahu dan saya sudah mengatakan bahwa kerajaan kita yang kecil bukan berarti kita tidak dihargai, tetapi mereka masih saja tidak peduli. Yang Mulia, saya memiliki saran," ucap sang Panglima lantas melanjutkan, "kalau Ratu begitu yakin kalau ada dua permata yang dicuri, sebaiknya Ratu harus mengetahui terlebih dahulu apa konspirasi pencuri itu mengambil permata-permata neutron?"

"Tunggu dulu!" sang Ratu memotong, "observasi yang dilakukan mereka hanya membuktikan permata itu masih ada di tempat atau tidak, kan? Tetapi apakah mereka sudah membuktikan apakah permata itu masih mengeluarkan cahaya atau tidak?"

Sang Panglima terdiam sebentar kemudian berkata, "Sebaiknya kita tidak usah mengkritisi teknologi yang mereka gunakan, nanti terjadi salah paham. Sebaiknya kita harus benar-benar fokus kepada pencuri itu."

Sang Ratu mengangguk paham. Tak lama kemudian, sang Ratu melontarkan argumen baru, "Bagaimana tentang dongeng Naga Tujuh Warna?"

Kali ini sang Panglima benar-benar terdiam.

🎆🎆🎆

avataravatar
Next chapter