2 Kedatangan Dini di Rumah Deny

Dini segera menuju ke dapur membuatkan kopi untuk suaminya, Haris. Meskipun gulanya tinggal sedikit, namun Dini mencoba menyesuaikan dengan takaran airnya agar kopi itu tidak terlalu pahit.

"Ya Allah ... permudahkan suamiku untuk mencari pekerjaan, aku mohon padamu ya Allah. Dia sampai terlihat putus asa seperti itu ," doa Dini dalam hati.

Dini pun segera membawa secangkir kopi itu ke depan, kopi pun diletakkan di hadapan Hendra. Di atas meja.

"Mas, silahkan di minum dulu. Biar Mas merasa tenang, baru kemudian nanti Mas pikirkan lagi," nasehat Dini dengan lembut. Hendra melirik ke arah Dini yang tampak memandang ke arah sisi lain. Hendra dapat menangkap bahwa Dini juga merasakan kesedihan akibat selama ini Hendra yang selalu pura-pura mencari pekerjaan di depannya kemudian Hendra juga pura-pura merasa sedikit putus asa.

Dalam hati, Hendra bersorak penuh kemenangan. Dia berhasil akting di depan istrinya.

"Iya. Aku minum ya kopinya."

Dipegangnya cangkir kopi itu, lalu dihisapnya tiga kali kemudian dikembalikan kembali di atas meja.

"Maaf ya, Mas. Gulanya habis, aku belum ada uang lebih untuk membeli gula. Uang hasil cuci gosok hari ini aku belikan beras dan lauk, kasihan anak-anak kalau harus makan pakai kerupuk lagi," ucap Dini serius.

"Ya udah nggak papa. Ooh iya, Din. Mas tadi ketemu sama orang yang mencari tenaga untuk cuci gosok di rumahnya, apa kamu bersedia untuk mengerjakannya?" tanya Hendra membuka percakapan, idenya tiba-tiba muncul begitu saja saat Dini mengatakan tentang pekerjaannya tadi. Hendra sebenarnya hanya berbohong karena Hendra ingin Dini ke rumah Deny, agar tidak ketahuan maka Hendra membuat cerita hoax.

"Wah ... Alhamdulillah, Mas. Aku pasti akan mengerjakannya, Mas. Ntar Mas tinggal kasih tahu alamatnya saja, besok pagi aku akan ke sana. Aku akan bekerja secara maksimal. Semoga menjadi langganan tetap ya Mas," kata Dini penuh dengan semangat, matanya pun memandang Hendra dengan tatapan berbinar.

Hendra tersenyum tipis, dalam hati Hendra membatin.

"Bagus. Ini adalah awal yang sangat sempurna, Dini akan kesana besok tanpa harus aku paksa. Urusan dia marah, itu nanti. Yang terpenting aku sudah berhasil membuat Dini dengan sukarela mendatangi rumah Deny.

"Iya, Din. Alhamdulillah, ya. Ini rezeki kamu," sahut Hendra.

"Iya, Mas. Semoga berkah bagi keluarga kecil kita ya. Dan ... Mas tidak perlu risau bila belum mendapatkan pekerjaan itu, Mas doain ya. Semoga Allah memberikan rizky maupun kesehatan di keluarga ini," timpal Dini.

"Aamiin ..." jawab Hendra. Dini tersenyum simpul yang kemudian dibalas oleh Hendra.

"Ya udah, Mas. Sekarang mendingan kamu istirahat, kamu terlihat seperti sangat capek dan Mas harus kurangi pikiran. Mas tidak usah memikirkan persoalan ini dengan terlalu berat karena masih banyak kok di luar sana yang juga susah mencari pekerjaan. Yang terpenting adalah kesehatan. Kalau Mas terlalu capek dan stress mikirin bagaimana cara mencari pekerjaan, bisa-bisa Mas malah drop dan aku tidak mau mengalami hal itu," nasehat Dini .

"Iya aku akan istirahat, ya udah aku kamar dulu ya," kata Hendra, Hendra buru-buru berdiri dan meninggalkan Dini. Hendra sebenarnya merasa capek mendengarkan ceramah dari istrinya itu, mentang-mentang dirinya suka mengikuti kajian di masjid dia jadi banyak omong. Itu yang membuat Hendra merasa telinganya panas, belum lagi Hendra harus bersikap manis di depannya dengan durasi yang lumayan panjangnya.

Hendra akui, suara Dini saat mengaji sangatlah merdu. Apalagi ketika mengajar anak-anak tetapi apa artinya jika dia mengajar mengaji di masjid tetapi Dini selalu menolak upahnya?

"Soal uang aku memang tidak menerimanya, Mas. Aku ingin ilmu yang aku punya ini dapat bermanfaat untuk orang lain dan semoga menjadi amal jariyahku yang akan menolongku nanti ketika aku sudah tiada di dunia ini," begitu kata Dini suatu hari, membuat Hendra memendam makian untuk Dini dalam hati.

"Tapi Mas tenang aja ya. Aku tidak akan menyusahkan, Mas. Aku tetap akan bekerja untuk anak-anak, selagi Mas masih belum mendapatkan pekerjaan," lanjutnya.

Bagi Hendra itu hanyalah pemikiran bodoh. Jika saja Dini mau menerima uang itu, kalau dia merasa tidak butuh karena uang yang Dini peroleh cukup untuk mereka makan, setidaknya uang hasil upah dari mengajar mengaji bisa untuk tabungan atau kalau perlu diberikan kepada Hendra. Ya sekedar buat beli rokok, bensin, judi, misalnya.

Tetapi Hendra tidak mampu memaksa pendirian dari Dini, bukan karena Hendra tidak berani tetapi karena Hendra masih membutuhkan Dini. Lebih tepatnya membutuhkan uang Dini, yang di dapat dari Dini bekerja untuk keluarga kecilnya.

"Akhirnya Dini berhasil menjadi umpanku, aku bisa membayar hutang pada Deny dan setelah ini aku akan kembali bisa main lagi," batin Hendra sembari membetulkan posisi tidurnya yang paling nyaman.

***

Pagi hari seperti biasanya, Dini mempersiapkan kebutuhan anak-anak dan suaminya. Seperti sarapan dan pakaian untuk anak-anaknya sekolah. Mereka duduk di bangku SD. Dewa kelas 3, sedangkan Dewi kelas 1. Mereka satu sekolah.

"Anak-anak Mama. Kalian sudah mandi ya? Ini sekarang kalian pakai pakaian kalian ya, baru setelah itu kalian sarapan kemudian berangkat sekolah," kata Dini sambil tersenyum.

"Iya, Ma," sahut mereka serentak. Dini sangat bangga memiliki anak yang begitu menurut, sama sekali mereka tidak pernah rewel meminta mainan ini dan itu seperti anak-anak lain. Terkadang Dini merasa, Dini begitu sedih. Harus membesarkan anak-anaknya dengan penuh kekurangan materi. Tetapi melihat mereka yang sangat semangat belajar membuat Dini menjadi kuat. Dewa dan Dewi adalah penyemangat untuk Dini untuk terus berjuang.

"Ohh ya, Ma. Apa Papa masih tidur?" tanya Dewa sambil mengancingkan baju seragam sekolahnya. Dini tersenyum.

"Iya, Sayang. Papa masih tidur karena Papa semalam pulang terlambat karena mencari pekerjaan, makanya Papa masih ngantuk. Kenapa, Dewa?" tanya Dini.

"Jadi Papa selalu bangun siang ya, Ma?" tanya Dewa lagi.

Dengan sabar, Dini menanyakan maksud dari pertanyaan Dewa. Padahal waktu sudah tidak pagi lagi.

"Memangnya Dewa mau ngapain? Ohh, mama tau. Pasti Dewa mau sarapan bareng kan sama Papa?" tebak Dini.

"Bukan seperti itu, Ma. Tapi Dewa pengen mencium tangan Papa sebelum Dewa dan Dewi berangkat sekolah, sudah lama Dewa tidak melakukan hal itu," kata Dewa. Tampak ada kesedihan di wajah Dewa begitupun juga dengan wajah Dewi. Mereka berdua tampak memandang ke arah Dini.

"Lain kali saja ya, Nak."

Hanya itu yang bisa Dini katakan seperti hari-hari sebelumnya.

Setelah sarapan, Dewa dan Dewi berangkat sekolah. Dini melepaskan kepergian kedua anaknya di ambang pintu.

Sepeninggal mereka, Dini menuju kamar. Dia pun melihat suaminya yang masih tertidur lelap.

Di atas bufet ada sebuah kertas kecil yang bertuliskan nama dan alamat seseorang yang Hendra sebut sebagai orang yang membutuhkan tenaga cuci gosok di rumahnya, tadi malam.

Semalam Hendra mengatakan bahwa dia telah menuliskannya dan paginya Dini tinggal mencarinya. Hendra juga mengatakan bahwa dirinya tidak bisa mengantar Dini ke rumah orang tersebut karena motornya mogok.

Dini meraih kertas itu dan mengambil tas kecilnya lalu masukkan kertas itu ke dalam tasnya. Hingga akhirnya Dini pergi meninggalkan kamarnya yang di dalamnya Hendra masih meringkuk karena tidur. Sebenarnya Dini ingin berpamitan kepada suaminya tetapi karena Dini tidak tega membangunkannya maka Dini pun segera bergegas meninggalkan rumahnya.

Dini menyusuri jalan, hari ini Dini memang belum menerima orderan dari siapapun. Tetapi Dini merasa lega, alamat yang dituju tidaklah jauh. Meskipun beda kampung.

Dalam hati Dini bertekad akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat calon pelanggannya merasa puas dengan pekerjaannya itu.

***

RUMAH KEDIAMAN DENY

Dini telah berdiri di depan gerbang rumah Deny yang amat besar. Dini berdecak kagum.

"Selamat pagi, Anda kenapa berdiri di sini?" sapa seseorang yang berada di balik gerbang rumah Deny.

"Selamat, pagi. Saya Dini, katanya Tuan rumah ini membutuhkan jasa saya ya," ucap Dini. Membuat kedua anak buah Deny saling berpandangan.

avataravatar
Next chapter