1 BAB 1

-Cinta pada Pandangan Pertama itu bukan hanya mitos, tapi aku mencoba berpikir bahwa itu tidak nyata-

***

"Raisa, bangun Nak!"

Ketukan di pintu bersamaan suara Bunda yang setengah berteriak mengalihkan dunia mimpi gadis berpiyama hijau. Dia terkejut membuka mata dengan tangannya refleks mengambil ponsel.

"Ya Allah, Bunda kenapa baru bangunin Raisa?!"

Raisa kelimpungan melihat jam sudah hampir pukul tujuh, itu artinya dua puluh menit lagi pagar akan ditutup sedangkan jarak rumahnya menempuh waktu lima belas menit dengan kecepatan delapan puluh kilo meter per jam. Belum lagi harus menyiapkan segala keperluan sekolah karena tadi malam dia tidak sempat memasukkan roster ke tas.

"Udah Bunda bangunin sejam lalu, Sayang kamu aja nggak bangun. Siapa suruh tidur tengah malam, kamu sih anak cewek malah suka bola."

Raisa hanya cekikikan mendengar omelan Bundanya yang lembut ketika masuk ke kamar mandi. Dia harus segera membasuh tubuhnya tanpa melakukan ritual seperti pagi-pagi lalu. Tidak ada waktu untuk menunggu air hangat dulu, tidak apa-apa sesekali mandi air dingin. Pun tidak ada waktu untuk membayangkan bagaimana ekspresi Maldini Pali tadi malam saat berhasil memberi umpan pada Ilham yang membuahkan goal bagi Indonesia.

"Bun, Raisa pergi dulu. Assalammualaykum," pamitnya menyalami Bunda yang tengah menyedoki nasi buat Ayah sambil menyuruhnya sarapan dulu.

"Enggak Bun, Raisa makan di kantin aja. Ayah, Raisa pergi dulu. Oa Bun, tolong bilang sama Abang Fairuz jangan suka ganti channel parabola, kan Raisa enggak bisa lihat U19 di TV harus streaming. Nih gara-gara abang makanya Raisa telat. Raisa pamit!" pungkasnya menaiki motor matic.

"Hati-hati nggak usah ngebut. Pelan-pelan saja, biar telat tapi selamat!" teriak Bundanya takut anak gadis satu-satunya kenapa-kenapa apalagi banyak orang bilang kalau Raisa suka membalap pergi ke sekolah.

Jalanan memang selalu macet karena itu Raisa memilih jalan lintas agar bisa sampai dengan cepat ke sekolahnya. Dari jarak lima meter dia bisa melihat pagar yang akan ditutup, secepat kilat dia menerobos sebelum satpam menutupnya sempurna.

"Yah, telat juga." Raisa memakirkan motor dengan lesu. Pasalnya, ini sudah pukul tujuh lewat lima menit, waktu tambahan yang diberikan sekolah sudah berlalu semenit lalu, itu artinya meski dia sudah memasuki halaman sekolah tapi akan ada yang menilangnya di meja piket saat melewati koridor ke kelasnya.

Terlambat memang menjadi momok baginya meski dia bukan siswa teladan yang datang ke sekolah setengah jam lebih awal. Biasanya dia juga tiba ke sekolah di menit-menit bel dengan sengaja karena tidak ingin membuang waktu pecuma dengan duduk berhura-hura tanpa jelas di depan kelas atau kantin. Lebih baik waktu paginya digunakan untuk membaca novel thriller action di rumah oren. Tapi kali ini sesuatu yang dihindarinya bakal menjadi pengalaman pertama ditulis dalam catatan merah sekolah.

Bukan apa-apa, dia hanya malu nanti ketika akhir semester, waktu persidangan antar guru. Namanya sudah banyak pada piala yang dipajang di ruang kepsek. Tercantum satu saja memang tidak begitu berefek tapi baginya itu sangat tidak mengenakkan.

Itulah tiada manusia yang sempurna.

Raisa berjalan lesu, berdiri di belakang pohon jambu berjarak lima belas langkah dari meja piket. Sekitar sepuluh anak cowok tengah diomelin oleh guru BK karena mereka semuanya orang yang sama setiap harinya. Dan tidak ada satu pun anak cewek.

Matanya menoleh ke arah sumber langkah yang terdengar beradu dengan bunyi tawa. Diperkirakan lebih dari lima orang. Dia berbalik terkejut ketika mendapati mata cokelat terang menatapnya intens. Lima detik berlalu dia sadar telah terbuai dengan mata itu, seketika dia merasa salah tingkah. Memalingkan wajahnya ke kerumunan anak yang tengah dihukum.

"Eh, Yu, kenapa lo?"

Pertanyaan tanpa jawaban itu kembali membuat Raisa menoleh pada enam cowok yang berjarak tiga langkah darinya. Raisa tersadar bahwa mereka baru kali ini dia lihat di sekolah ini. Dugaannya diperkuat dengan seragam sekolah yang digunakan ke enam cowok tampan itu. Ke enamnya menatap ke arahnya bersamaan.

"Loh, lo telat juga, mau kabur?" celetuk cowok dekat yang dipanggil Yu.

Raisa terkesiap, menaruh telunjuknya di mulut sambil berisyarat jangan berteriak kencang. Langkahnya mendekat ke arah mereka, berdiri di belakang punggung tinggi cowok bernama 'Yu' sambil berbisik.

"Kalian bukan siswa di sini, kan? Bantuin gue ya, gue mau masuk tapi takut ketauan telat. Kalian bisa kan jalan terus dengan gue di antara kalian?"

Entah darimana ide gila itu, Raisa menunggu respon ke enam cowok yang menghimpit tubuhnya.

"Please!" Mohon Raisa dengan memelas. Dia merutuki dalam hati sejak kapan lebay begini. Andai saja mereka bersekolah di sini pasti akan mengatakan sesuatu di luar akal kepadanya. Ke mana Raisa yang jutek kepada setiap cowok yang mendekatinya. Jangankan mengajak mengobrol, didekati saja sudah dipelolotin. Lha, ini bersikap menjadi cewek imut.

'Raisa sekarang bukanlah Raisa yang dulu.'

"Lo mau gue bantu?"

Raisa mengangguk pelan meski tidak melihat wajah orang yang bertanya di depannya. Tubuhnya memang tidak digolongkan dalam kategori cewek pendek tapi berdiri di antara enam cowok ini membuat dirinya tidak kelihat juga sangking tingginya para cowok tersebut.

"Boleh, kasih Line lo!" gumam cowok tadi masih membelakanginya.

"Uaha, lo ya Yu masih aja nyari kesempatan dalam kesempitan," kata Rio yang terkekeh melihat tingkah Yuda yang tidak pernah berubah.

"Mau enggak lo atau gue bilangin sama piket agar-''

"Iya-iya gue mau," potong Raisa cepat sambil menyebutkan ID Linenya padahal tidak ada satu pun teman cowoknya yang diberikan ID Line.

BBM, FB, IG, Line, Twitter dan Sosmed lainnya dia hanya berteman dengan sahabat cewek. Katakanlah dia sombong atau sejenisnya tapi begitulah cara dia menjauhi kriminalisasi hati di kemudian hari.

Stalker bukan pekerjaannya, di saat sahabatnya sibuk membicarakan ketua basket sekolahan yang akan bertanding dengan anak sekolah tetangga dia malah sibuk mencari nama movie laga terbaru yang akan ditontonnya.

"Okey, kalau begitu lo jalan di belakang gue. Rio, Alif, lo bikin tubuhnya enggak keliatan. Kalian juga," kata Yuda yang memberi instruksi pada ketiga teman lain yang di belakang.

Bagaikan siap bertempur, Yuda memberi aba-aba untuk bergerak serentak.

"Kita naik tangga itu aja, kan?"

Raisa mengangguk. Hanya ada dua pilihan lewat meja piket atau jalan samping menaiki tangga.

"Eh, Yu bukannya kita juga harus melapor dulu," ucap Alif menghentikan langkah mereka.

"Yaudah, lo Rijal sana lapor dulu sama bu piket, lo kan jago gombal," suruh Yuda langsung dijalankan oleh anak buahnya.

"Siap, captain!" Rijal menarik tubuh Aldo untuk menutupi celah agar tidak kelihatan bajunya Raisa.

"Lo kali Yu rajanya mengombal," celetuk Rio disambut tawa mereka.

"Sesekali kasih kesempatan buat cadangan, biar siap nantinya kalau dia berganti tahta."

Raisa hanya memainkan jemarinya ketika mendengar para lelaki aneh itu bercakap. Rijal kembali ke posisi, mengatakan semuanya aman. Yuda segera menyuruh mereka melakukan aksi penyelamatan.

"Udah, lo nggak usah takut," ucap Yuda ketika mereka sudah sampai di tangga atas.

Raisa mengembuskan napasnya lega, keluar dari persembunyian. Melirik meja piket yang tidak ada tanda-tanda kalau dia ketahuan.

"Thanks ya, gue duluan!" pamit Raisa segera berlari ke koridor kelasnya tanpa melihat wajah mereka satu persatu.

Raisa terus mengucapkan doa agar guru Matematika belum masuk, soalnya Bu Jasmine biasa telat, ngerumpi pagi dulu di kantor.

"Syukur banget dah kelas kita nggak kayak IPA satu, kebagian guru killer, ahhaah."

Raisa terkekeh mengingat wajah ceria Bela ketika melihat nama guru baru yang akan menjadi pengajar di kelas mereka semester satu XII IPA 2. Siapa coba yang tidak senang kalau dapat guru yang baik apalagi di mata pelajaran yang bikin otak dag dig dug. Matematika.

Raisa memelankan langkah karena kelasnya sudah terlihat dari arah dekat. Suara temannya sampai terdengar ke luar, dia mengetuk pintu sebelum masuk. Temannya seketika terkejut mengira dia Bu Jasmine.

"Elah, elo Raisa, gue pikir Bu Jasmine masuk lagi ngasih tugas!" seru Queen, cewek mungil yang selalu mengadakan doa berjamaah agar para guru tidak masuk.

Terkadang Raisa tidak habis pikir dengan kemauan teman sekelasnya. Jika berharap guru tidak masuk agar tidak belajar, kenapa mesti ke sekolah. Kan habis uang dan waktu. Mending di rumah saja melakukan sesuatu daripada sampai ke sekolah berharap free time, bersantai di kantin, membuang waktu saja.

Raisa mengabaikan celoteh temannya, berjalan ke bangku samping Bela yang tengah sibuk dengan ponsel. Arifah sama Kinta juga sibuk sendiri dengan tab.

Raisa langsung mendudukkan bokongnya. Kejadian beberapa menit yang lalu itu membuatnya tidak bisa konsentrasi, dia masih memikirkan dari mana keberaniannya meminta tolong pada orang yang tidak dikenal. Apalagi memberi ID Line dengan pecuma.

'Lo udah di kelas, kan? Bentar lagi gue tanding. Gue tunggu di lapangan!' -Yuda-

avataravatar
Next chapter