webnovel

Dead

"Kita harus melarikan diri, Kangmas." Rara Mendut membawa buntalan berisi beberapa pakaian, bakau, dan beberapa keping uang emas.

"Kita mau ke mana?"

"Pantai Selatan, kita sembunyi di sana, Kangmas."

Pranacitra memacu kuda bersama Rara menuju daerah Selatan wilayah keraton Mataram. Mereka akan bersembunyi di hutan dan gua yang ada di sekitar pantai. Wilayah tersebut cukup terpencil dan angker.

Jarang penduduk desa datang ke tempat tersebut. Membuat mereka leluasa untuk menyembunyikan diri. Jauh tersembunyi di hutan Selatan dekat pantai.

Ketika siang hari, mereka akan bersembunyi di hutan menyembunyikan diri dari pencarian para bawahan Tumenggung Wiraguna. Kala malam datang, mereka berbaring di kegelapan gua. Terlindung dari binatang buas di hutan.

Kadang Pranacitra menangkap ikan di laut dengan tombak bambu. Juga berburu binatang di hutan. Ia membuat api dan membakar ikan atau buruannya.

Rara membantu menguliti kulit menjangan. Ia memotong dagingnya menjadi beberapa bagian kecil. Kemudian, mengeringkan daging tersebut untuk persediaan makanan mereka.

Kehidupan mereka amat bahagia di pengasingan. Menjalin cinta bersama. Memadu kasih mesraberdua.

Hingga Tumenggung Wiraguna datang sendiri untuk mencari mereka. Ia menyisir pantai di siang hari. Ketika malam tiba, ia mengendap-endap di hutan.

Pranacitra ditemukan ketika sedang memangkap ikan di tepi laut. Rara menyusul setelah mengetahui kekasihnya tertangkap. Namun, Pranacitra tidak menyerah begitu saja.

"Aku mencintainya, Tumenggung."

"Kau kira aku tidak mencintainya juga!" teriak Wiraguna, penuh amarah.

"Aku rasa itu hanya nafsumu saja!" geram Pranacitra, membalas Tumenggung itu dengan suara keras.

Wiraguna tertawa keras. Kemudian, memasang kuda-kuda bersiap menyerang Pranacitra. Keris berada di tangan kanannya bersiap menembus jantung lawan.

Pranacitra tidak bersenjata saat itu. Ia hanya bisa sedikit bela diri. Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja.

Saat Wiraguna menyerangnya, Pranacitra menangkis dan mengelak. Lebih banyak menghindari senjata pusaka dari Tumenggung tersebut. Tanpa senjata, ia tidak dapat berbuat banyak.

Rara datang berlari ke arahnya sembari menjerit, "Berhenti!"

Tumenggung Wiraguna menengok ke arahnya. Ini kesempatan bagi Pranacitra melakukan serangan. Ia melayangkan kepalan tangannya ke arah wajah Tumenggung tersebut.

Tubuh Wiraguna menjadi limbung dan terjatuh. Rara berlari memeluk Pranacitra. Wiraguna melihat perempuan yang disukainya memeluk pria lain, menjadi sangat marah.

"Jika aku tidak bisa memilikinya, biarlah dia mati!" geramnya dalam hati. Ia mengacungkan keris dan menyerang Rara.

Pranacitra melihatnya dan berbalik untuk melindungi sang kekasih. Keris pusaka Wiraguna menembus punggung Pranacitra. Rara melihat dan menjerit menyayat hati.

Wiraguna tertawa melihat musuhnya roboh ke tanah dan mati. Ia berseru penuh kemenangan, "Ha-ha-ha! Lebih baik kau menyerah, Rara!"

"Tidak! Lebih baik aku mati!"

Rara mencabut keris dari punggung Pranacitra dan menikamkan keris tersebut ke perutnya. Air mata mengalir dari matanya. Namun, ada kebahagiaan pada sorot mata itu.

"Kangmas, aku ikut," lirih Rara, terkapar di sebelah mayat Pranacitra.

"Tidaaak!" teriak Wiraguna, menatap nanar tubuh keduanya.

***

Rara masih menahan sakit di perutnya. Ia belumlah mati. Namun, tubuhnya melemah. Ia kehilangan banyak darah.

Rara menangis meminta kematian kepada Sang Gusti. Ia ingin segera menyusul Pranacitra dalam keabadian. Kematian lebih baik baginya daripada hidup terkukung di kedaton Tumenggung.

Angin meniup rambut panjang Rara. Ombak bergulung menimpa tubuh keduanya hingga basah kuyup. Darah dari perut Rara mengalir hingga ke laut.

Bau anyir darah tercium sampai istana Kanjeng Ratu Pantai Selatan. Ia mendengar ratapan anak manusia, memohon kematian. Tentu hal itu menggelitik Kanjeng Ratu.

Manusia meminta keabadian kepadanya. Namun, suara lirih yang didengarnya, penuh kesedihan memohon kepada Gusti Allah untuk segera menjemput kematian. Ia penasaran dengan suara rintihan perempuan itu.

Kanjeng Ratu menemui Rara Mendut yang telah memucat wajahnya. Bibirnya membiru. Matanya nyaris memutih. Rara kedinginan. Rasa sakit sudah tidak terasa. Hanya ada kesedihan dan kesepian.

Rara menangisi kehidupannya yang malang. Tiada tempat baginya di dunia. Hanya kepedihan dan kesengsaraan menyelimuti kehidupan. Kecantikan tidak menjadikannya bahagia.

Kanjeng Ratu berdiri memandangi perempuan nan malang tersebut. Rara nyaris putus nyawanya saat Kanjeng Ratu datang. Ia tidak sadarkan diri saat raganya dibawa ke Kerajaan Pantai Selatan.

***

Waktu berlalu dengan cepat. Rara membuka mata, melihat sekeliling. Terkejut ketika ia melihat manusia dengan ekor ikan tengah duduk di ranjangnya.

"Di mana aku?" pikir Rara di dalam hati.

"Kau berada di kerajaan sang ratu, Wahai Perempuan," sahut manusia setengah ikan tersebut.

Rara terkejut karena makhluk itu mengetahui pikirannya. Dengan terbata-bata, ia bertanya, "Ma–ma–afkan aku, tapi ratu siapa? Dan siapakah engkau?"

"Aku pelayan Kanjeng Ratu. Siapakah nama dikau?" tanya makhluk perwujudan manusia berparas nan menawan itu.

"A–a–ku Rara," jawab Rara, menatap takjub pada ciptaan yang menakjubkan di hadapannya.

"Kanjeng Ratu Pantai Selatan akan segera menemui dikau. Bersiaplah, Rara!" titah makhluk yang belum menyebutkan nama itu.

"Siapakah nama dikau, Saudari?" tanya Rara, mengumpulkan keberaniannya.

Makhluk itu tersenyum. Senyuman terindah yang pernah Rara lihat. Kecantikannya yang dipuja Temanggung Wiraguna tiada berarti dibandingkan kecantikan makhluk setengah ikan tersebut.

"Panggil aku Nyai Roro Kidul," sahutnya, ia berenang meninggalkan Rara yang masih duduk pada ranjang batu.

Rara terkejut karena ternyata makhluk yang ditemuinya adalah sang nyai. Kisahnya banyak diceritakan oleh leluhur Rara. Bahkan hingga ke Utara.

Rara dibantu oleh beberapa makhluk serupa Nyai Roro. Namun, tiada yang sebanding dengan kecantikan sang nyai. Ia berganti pakaian dengan kain sutra berwarna keemasan. Jaritnya disulam benang emas. Selendangnya lembut bercorak ular naga.

Rara memandangi wajahnya pada cermin emas. Kecantikannya terpancar berkali lipat. Semua makhluk yang ada di ruangan tersebut terkagum-kagum melihatnya.

Setelah bersiap, utusan Kanjeng Ratu memberitahukan bahwa sang ratu segera datang. Jantung Rara berdebar. Ia begitu penasaran dengan perwujudan Kanjeng Ratu yang katanya welas asih tersebut. Ratu para lelembut di laut selatan.

Kanjeng Ratu masuk ke ruangan peristirahatan Rara. Rara yang melihat wujud Kanjeng Ratu terkesiap. Napasnya tertahan karena begitu tegang sekaligus kagum.

Rara langsung menjura di hadapan Kanjeng Ratu, tetapi ratu melarang dan memintanya untuk bangkit. Dengan lembut, ia berkata, "Hanya kepada Gusti Allah engkau seharusnya bersujud, bukan kepadaku."

Air mata Rara tidak terbendung. Ia terisak menahan sesak di dada. Kehidupannya sungguh malang, bahkan ia mengatai Tuhan-nya saat sekarat. Ia begitu marah.

"Kemarahan tidak akan mengubah apa pun. Bartobatlah, Anakku," ucap Kanjeng Ratu lagi, lemah lembut.

Rara menangis meraung. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia juga sudah tidak memiliki apa-apa.

"Aku bisa memberikan engkau kesempatan ke dua. Kau akan bertemu kekasih hati di zaman yang berbeda."

To be continue

thanks

Creation is hard, cheer me up!

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Ksiti_Hannacreators' thoughts
Next chapter