webnovel

Bab 9

Brian mengangkat kepalanya keatas. "Nih, rasain!" Dia mendaratkan tinju kewajah William hingga termundur.

"Ahhh!" Sherly berteriak menutup mata.

Aku kaget, tak menyangka Brian akan melakukan tindakan buruk sejauh ini. Saat aku melihat Brian hendak memukul William lagi, aku berteriak dengan keras. "HENTIKAN!"

Setelah mendengar teriakkanku, Brian mendadak menghentikan tinju yang hendak dia arahkan pada William. 

"Kau tidak apa-apa?" Kudekati William dengan penuh khawatir. "Tidak apa-apa, kok, tenang saja." William tersenyum sambil mengusap darah pada ujung bibirnya.

Brian terlihat tidak senang, dia lalu memegang tanganku. "Kenapa, sih, kau terlihat begitu peduli sama pahlawan kesiangan satu ini?"

Aku geram mendengar ucapan Brian, saking geramnya, aku tak bisa menahan emosiku lagi, kutampar pipinya dengan keras. "Eh! Dasar cowok tidak tahu diri! Mulai sekarang, jaga jarakmu dariku! Anggap kita tidak pernah saling mengenal!" 

Brian diam tanpa berkata-kata, dia melirik kebawah seperti menyesali apa yang telah dia perbuat.

Aku menarik tangan William untuk membawanya ke ruang UKS, Sherly mengikuti dari belakang. Tiba disana, aku hendak merawat luka di bibirnya, "Gak usa repot2, bentar juga sembuh kok." William menahan tanganku menolak untuk dirawat. Membuat suasana menjadi hening karena dalam kondisi masih memegang tanganku, William menatap diriku tanpa berkedip.

Deg! Deg!

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Oh, tidak!

Aku terbuai akan tatapan matanya yang indah. Dia sekarang mulai mendekatkan wajahnya, sangat dekat dengan wajahku, membuatku jantung ini berdegup semakin kencang! Aku ingin menghentikannya, tetapi kenapa aku tak bisa? Aku tak dapat bergerak, hanya terdiam layaknya patung.

Bibirnya hampir menyentuh bibirku, aku mulai memejam mataku seakan-akan aku menginginkannya. Ada apa denganmu Raquel! Bukankah dalam hatimu hanya ada Gray? Banyak pertanyaan muncul dalam benakku, aku tak tahu harus berbuat apa lagi, maafkan aku Gray.

"Kacang! Kacang! Sekilo lima ribu!" kami spontan kaget, William langsung memundurkan wajahnya hingga menjauh dari bibirku. Astaga! Aku benar-benar melupakan sosok Sherly yang berada disampingku. Terima kasih Sherly! Jika bukan karenamu, ciuman pertamaku ini akan direngut oleh William!

"Loh? Kok tidak dilanjutin lagi adegan ranjangnya? Sudah! Lanjutin saja! Anggap saja aku ini pedagang kacang! Toh, daritadi aku disini juga berasa jadi makhluk astral." ejek Sherly sambil menyilangkan tangan.

William canggung tak dapat berkata-kata.

"Siapa suruh kau bisu daritadi!" ucapku sambil mendorong dahi Sherly dengan jari telunjuk, aku mendekat ke telinganya lalu berbisik. "Eh, makasih, loh! Berkatmu, aku selamat dari insiden yang dapat menewaskan jutaan warga sipil." 

Sherly tertawa lepas lalu balas berbisik. "Eleh, padahal kay suka juga, kan? Terlihat pasrah sampai mata terpejam, masih sok bilang aku selamatin lagi! Padahal dalam hati, aku pasti sudah habis kau caci maki"

"Eh, aku pergi dulu, ya," ucap William yang membuat kami berhenti berbisik.

"Jangan! Luka lu aja belum diobati, pasti masih sakit," ucapku khawatir.

"Ciee ciee." goda Sherly sambil menusuk-nusuk pinggangku dengan telunjuknya. Cecunguk satu ini pasti salah paham! Padahal aku khawatir hanya karena aku merasa bersalah sama William. Jika bukan karena menolongku, dia tak mungkin di pukul oleh Brian.

William hanya tersenyum, dia akhirnya membiarkanku merawat lukanya.

Pulang dari kampus, aku berdiri di depan gerbang menunggu ibu menjemputku. 

"Abang tukang bakso, mari mari sini, aku mau beli." Dering handphone-ku tiba-tiba berbunyi, aku segera membuka tas mengambil handphone-ku. 

Next chapter