2 PESONA CINCIN PEMIKAT WANITA

Segera Casanova memungut kotak itu, merusak gemboknya menggunakan batu, hingga tampak sebuah cincin tergeletak di sana.

"Eh, cincin?" Dibolak-balik cincin putih itu. Yang mungkin terbuat dari perak, atau bisa dari emas putih, tetapi Casanova tidak perlu memusingkan hal tersebut sebab yang lebih menyita perhatian adalah mengenai mata cincin yang begitu menawan.

Sebuah batu yang berkilau cemerlang. Berwarna biru serupa air laut pada pagi yang tenang. Dan di dalam batu itu terukir satu huruf berinisal 'C', dengan detail yang elegan, serupa font yang kerap ditemui pada zaman Kerajaan Romawi Kuno.

"C? Ahahahaa! Apakah itu berarti C untuk Casanova?" Pemuda itu tertawa geli. Merasa Tuhan telah mempermainkan nasibnya.

"Tapi lumayan. Sekilas cincin ini terlihat cukup mahal. Terima kasih, Tuhan. Semoga masih ada toko perhiasan yang buka malam ini. Aku akan menjualnya." Casanova berdiri, secepat kakinya melangkah menuju toko perhiasan terdekat.

Menyusuri area pertokoan yang dibelah oleh kanal—sebuah sungai kecil yang berada di tengah perkotaan Venesia dan menjadi ciri khas kota tersebut—Casanova mendapati lampu-lampu telah pejam. Pemilik toko sudah menutup lapak-lapak mereka beberapa jam yang lalu, serta tidak tampak seorang pun yang berlalu-lalang di area pertokoan ini.

Sayang seribu sayang, nasibnya kurang beruntung sebab toko perhiasan yang diincar Casanova juga sudah tutup.

Namun pemuda itu tak menyerah, ia berjalan kembali dan berharap ada toko perhiasan lain yang masih buka, atau seseorang siapa pun yang mau ditawari untuk membeli cincinnya. Namun setelah berjalan ke sana-sini usahanya sia-sia sebab malam benar-benar telah larut.

"Hallo! Adakah seseorang yang mau membeli cincinku ini? Aku hanya membutuhkan uang $100 untuk membayar uang sewa kamar kepada Ibu Merry!" Casanova menoleh ke kanan-kiri, tapi yang terlihat hanya 2 ekor anjing tengah sibuk mengaisi tong sampah.

"Baiklah, besok pagi saja kalau begitu aku akan menjualnya," ujar Casanova mengendikkan bahu, lalu pergi melangkahkan kaki menuju jalan pulang.

Sesampai di depan rumah Ibu Merry, Casanova mulai berjalan mengendap. Matanya mengarah pada jendela di lantai 2, kamar tidur Ibu Merry.

"Yeah, lampu sudah gelap. Aman. Ibu Merry pasti sudah lelap."

Dia lalu membuka gerbang dengan sangat perlahan. Jangan sampai engselnya yang telah berkarat itu bersuara terlalu nyaring. Casanova masuk ke halaman rumah secepat kemudian mengendap kembali menuju ke kamarnya yang berada di belakang bangunan rumah utama.

"Fiuh... Syukurlah Ibu Merry sudah tidur." Ia meletakkan tas di atas meja, melepas sepatunya, lalu merebahkan diri di atas kasur yang berdebu. Hari yang berat. Malam ini Casanova telah kehilangan pekerjaan utamanya, sehingga harapan satu-satunya untuk membayar uang sewa kamar adalah menjual cincin mewah yang barusan dipungutnya dari pantai.

Casanova merogoh sakunya, lalu menerawang cincin mewah tersebut di bawah sinar lampu.

"Sangat menawan. Cincin ini pastilah milik orang kaya yang mungkin hendak diberikan kepada kekasihnya sebagai pengikat janji suci sehidup-semati di gereja," tebak Casanova seraya mengangguk.

Dan setelah memandangi cukup lama, Casanova lalu bangkit dan berdiri menghadap cermin yang menempel di lemari. Sebentar kemudian bibirnya tersenyum. "Hmm. Sebelum kujual cincin mewah ini, apa salahnya jika kucoba memakainya dulu?" Ia mengandikkan bahu.

Apa salahnya, mencoba barang milik orang kaya? Toh, seumur hidup Casanova belum pernah menyentuh perhiasan semewah ini.

Tanpa ragu dia langsung memakainya, tepat pada jari kelingking sebelah kiri. Hingga pada detik itu Casanova terperangah mendapati bayangan dirinya yang terpantul pada cermin.

"Wala! Perfecto!"

Tok! Tok! Tok!

"Casanova! Apa kau sudah pulang? Buka pintunya cepat!"

Tiba-tiba terdengar suara Ibu Merry berteriak dari luar.

Namun saat itu Casanova tak menjawab apa-apa. Dirinya masih terpaku-kagum untuk melihat bayangannya sendiri di dalam cermin.

"Hei, Pemuda Miskin! Buka pintunya! Dan bayar uang sewa kamarmu malam ini juga!" Ibu Merry mengetuk makin keras. Hingga beberapa saat kemudian Casanova membukakan pintu.

"Cepat bayar sewa kamarmu untuk bulan ini! Atau jika tidak, kau akan kuusir dari rumahku!" Mata Ibu Merry melotot.

Namun Casanova menggeleng lembut, meletakkan jari telunjuknya tepat ke depan bibir, tersenyum dengan ramah.

"Stt... Bisakah kita bicara sebentar, Ibu Merry? Aku akan membayar uang sewa kamarku. Tapi rasanya di luar udara sedang dingin, jadi mari, silakan masuk dulu."

Serupa sang pangeran tampan yang tengah menyilakan tuan putri masuk ke dalam singgasana kerajaan, Casanova menunduk sangat sopan. Ibu Merry sampai heran dibuatnya mendapati perilaku Casanova yang tidak biasa. Namun karena pemuda itu bilang akan membayar uang sewa, maka si janda gemuk itu menuruti saja.

Casanova menggeret satu kursi yang berada di pojok kamar.

"Silakan duduk, Ibu Merry. Aku tahu Anda pasti sangat lelah setelah beraktivitas seharian, kan?" Bibir tipisnya tersenyum. Ramah sekali.

Ibu Merry yang masih terheran tak bisa membantah. Ia duduk di kursi yang sudah disiapkan. Hingga sesaat kemudian Casanova berdiri di belakangnya. Lalu kedua tangannya memegangi pundak wanita paruh baya tersebut.

"Eh? Apa-apaan kamu ini, Casanova? Kenapa berani-beraninya kamu—"

Casanova menggeleng pelan, sengaja menyentuhkan cincinnya ke pundak Ibu Merry.

"Hei, kenapa Anda tidak menikmatinya saja, Ibu Merry? Aku janji akan membayar uang sewaku secara penuh. Nah, pijitan ini hanyalah bonus. Sebagai rasa terima kasih kepada Anda yang telah sudi menyediakan tempat tinggal untukku selama ini. Apa aku salah jika hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada Anda?" ucap Casanova dengan nada rendah yang memanjakan.

Seketika Ibu Merry terdiam. Lambat-laun pijatan Casanova mulai terasa nyaman, semakin nyaman, dan semakin lebih nyaman.

Benar-benar enak. Kedua mata Ibu Merry bahkan sampai terpejam, tak mampu berdusta lagi pada diri bahwa ia menikmati setiap sentuhan jari pemuda tampan itu.

"Shhh... Tidak ada yang salah, Casanova. Malahan seharusnya begitu. Sebagai anak kost seharusnya kau berkelakuan baik dan ahh, ssshh, oh, Tuhan, kenapa aku malah baru tahu jika kamu pintar memijat, Anak Muda?" Ibu Merry memuji. Matanya makin terpejam, menikmati setiap gerakan jari Casanova yang menekan-nekan pundaknya.

"Bagaimana rasanya, Ibu Merry?"

"Luar biasa! Nikmat sekali!"

Casanova tersenyum.

"Wala! Sebenarnya ini belum seberapa. Aku bisa memberi pijatan yang seratus kali lipat lebih nikmat daripada ini."

"Oh, ya? Sungguhkah begitu?" Sebentar Ibu Merry menoleh ke belakang. Wajahnya seperti anak kecil yang sedang diimingi permen gulali.

Casanova berhenti memijat. Bibirnya tersenyum pelan sebagai jawaban.

"Bisakah aku mendapatkanmu ... ee, maksudku, pijatanmu yang nikmat itu?"

Casanova senang mendapati Ibu Merry yang sudah terbuai ke dalam perangkapnya. Ia mulai memijat lagi, secepat mata Ibu Merry yang mulai memejam kembali, menikmati tarian jemari Casanova yang semakin intens menekan pundaknya.

"Tentu. Anda bisa mendapatkannya, Ibu Merry," ujar Casanova kemudian. "Namun, ada satu syarat yang harus Anda penuhi terlebih dahulu."

"Shh... ya, ya, sudah, katakan saja Casanova! Aku janji akan memenuhinya. Shh..."

"Berjanjilah padaku untuk jangan berteriak setelah ini. Cukuplah Anda diam dan nikmati permainan jemariku. Sebab, aku akan mulai memijat pada bagian tubuh yang lain."

"Euh?"

Ibu Merry tersentak! Sebab tiba-tiba kedua tangan Casanova mulai menyelip masuk ke dalam celah bajunya.

avataravatar
Next chapter