2 Yunus

Encik Muar mengetuk kepala Cil dengan setangkai lidi aren sepanjang lima puluh senti, ketika anak itu menopang dagu dengan tangan kiri karena terkantuk-kantuk saat sedang membaca. "Belajar yang serius!"

Cil menganggukkan kepala sekali sebagai jawaban. Kalau menjawab untuk melawan, hukumannya adalah pelajaran bertambah satu jam setiap Cil membantahnya.

Encik Muar tahu Cil memiliki sifat sedikit tidak sabaran, jadi ia selalu memancing untuk mengetes kesabaran anak itu. Apa Cil akan melawan, diam saja dalam marah, mencoba bersabar atau berusaha menyelesaikan semuanya dalam tekanannya. Dari semua itu Cil pernah mencoba semuanya, tapi yang paling tidak asik adalah diam dalam marah, karena membuatnya menjadi semakin tidak sabaran setelah itu. Cil pernah membantah karena itulah ada tambahan satu jam belajar. Kalau mencoba bersabar sebenarnya bukan sifat Cil, tapi ia sedang berusaha walau sulit. Dari semua itu Cil paling suka berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan karena ia termasuk anak yang tidak mudah menyerah.

Perut Cil sudah sangat keroncongan malam itu karena sudah melewatkan makan siang lalu makan malam yang ditunda sebagai hukuman. Cil harus belajar terlebih dahulu untuk menyelasaikan tanggung jawab belajar yang harusnya dilakukan dari pagi hingga menjelang sore.

Encik Muar tiba-tiba tertawa mendengar suara perut Cil yang sangat keras hingga terdengar olehnya. Cil pikir ia akan marah lagi karena Cil melewatkan makan siang hingga mengganggu pelajaran, tapi Encik Muar malah mengusap-ngusap kepala Cil sambil berdiri untuk mengajak makan malam terlebih dahulu. "Suaranya begitu keras. Mengganggu konsentrasiku mengajarimu. Ayo kita makan malam dulu."

Cil bersorak kesenangan. Akhirnya makan. Anak itu benar-benar kelaparan setelah seharian belum menyentuh makanan yang sebenarnya.

Malam itu sudah menunjukkan jam sembilan malam saat makan malam baru dimulai. Ternyata semua anggota keluarga belum ada yang makan dan guru mengatakan itu salah Cil karena tidak belajar siang hari. Cil merasa bersalah pastinya karena membuat ibu yang paling di sayang menjadi ikut tertunda makan malamnya begitu juga dengan Encik Muar, istrinya yang sering sakit-sakitan, anak Encik Muar yang perempuan satu-satunya, juga pelayan dan para pengawalnya.

"Kenapa harus menungguku? Bukannya pelayan sama pengawal bisa makan duluan diruang makan mereka..."

Encik Muar menggebrak meja rendah tempat semua hidangan karena kesal mendengar perkataan Cil. "Itu salah satu tanggung jawab kamu! Kalau kamu tidak mau membuat orang-orang yang kamu sayang menderita, maka kamu harus bisa bertanggung jawab dengan semua tugas yang diberikan kepadamu! Mengerti?!"

Istri Encik Muar mengusap lutut suaminya itu, mencoba menenangkannya. "Dia masih kecil. Belum mengerti tentang tanggung jawab yang menantinya setelah dewasa. Jangan terlalu keras."

"Ini karena kalian terlalu memanjakannya. Mengajar ayahnya saja tidak sesulit dia!" seru Encik Muar yang di detik berikutnya langsung terdiam karena kata-katanya sendiri. Encik Muar tertunduk, merasa bersalah sudah kehilangan kontrol diri pada anak yang baru berumur tujuh tahun.

Cil diam melihat ibu yang ikut tertunduk mendengar perkataan pamannya itu. Cil tahu, ibu pasti menjadi sedih karena teringat tentang ayahnya yang sudah lama meninggal sebelum Cil lahir. Kata ibu, ayah Cil meninggal karena diserang perampok setelah pulang dari shalat jumat.

Setelah makan malam selesai Cil melanjutkan kembali pelajaran bersama Encik Muar hingga menjelang jam sebelas malam. Sebelum Cil pergi ke kamar untuk tidur, guru menceritakan tentang ayah Cil yang sangat jarang dibahas oleh anggota keluarga. Membuat Cil berdebar ingin tahu tentang sejarah masa kecil ayahnya.

Perkiraan Cil tentang guru akan menceritakan masa kecil ayahnya ternyata salah. Encik Muar hanya mengatakan tentang maaf telah membandingkan Cil dengan ayahnya pada masa kecil dan lingkungan ayahnya sewaktu kecil, berbanding jauh seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan Cil sekarang. Karena perbedaan lingkungan masa kecil itulah menurutnya Cil lebih aktif dan sedikit sulit di atur.

Cil jadi bertanya-tanya, seperti apa lingkungan masa kecil ayah yang dimaksud Encik Muar yang dulu juga mengajarkan hal sama seperti yang diterima anak itu. Begitu penasarannya maka keluarlah pertanyaan itu. "Lingkungan seperti apa maksud guru?"

"Amm..." Encik Muar sepertinya salah tingkah dan bingung sendiri mau menjawab pertanyaan karena sebelumnya anak dihadapannya jarang bertanya secara langsung tentang ayahnya kepada Encik Muar. Hanya mendengar saja kemudian bercerita dengan ibunya. "Maksudnya bandar. Ya, bandar besar."

"Bandar besar? Ibu kota?" Cil yang balik bingung.

Encik Muar memberi penjelasan yang lebih rinci lagi. "Ibu kota, ya benar. Ibu kota kesultanan. Ah, sudahlah, ayo tidur. Tak baik anak kecil tidur larut malam."

Cil menurut tanpa mengeluh meski cerita tentang ayahnya selalu digantung Encik Muar. Cil bisa bertanya kepada ibu besok. Ibu pasti menceritakannya jika Cil bertanya tentang ayah yang sudah diceritakan Encik Muar terlebih dahulu, meski tak pernah selesai dan mengambang.

Ibu sebenarnya juga aneh, menceritakan tentang ayah selalu seizin guru atau yang sudah dibahas guru dan ibu memperjelasnya untuk Cil yang penasaran. Meski cerita tentang ayah masih ditutup-tutupi, tapi paling tidak Cil sudah cukup puas dengan penjelasan ibu.

***

Pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, Yunus keluar dari rumah menangkap burung pipit yang masih tidur di sarangnya. Saat masih gelap, akan mudah menangkap burung kecil itu yang biasa tidur di ranting-ranting pohon ubi yang ada dikebun belakang rumahnya. Yunus mengendap perlahan, mendekati seekor burung yang tidur terpisah dari beberapa kawanannya.

HUPP! Sekali sergap seekor burung pipit berhasil ditangkap dan anak itu bergegas kembali ke rumah mengabaikan burung lainnya yang sempat terkejut.

"Dapat?" ayah Yunus sedang mengangkat kayu bakar ke dapur ketika melihat anaknya berlari dan tersenyum riang saat memasuki rumah.

"Iya ayah." Sahutnya sambil melihat ke belakang pada ayahnya dan hampir menabrak ibunya yang sedang sibuk memasak air panas.

"Lihat ke depan kalau jalan Yunus."

"Maaf bu." Jawabnya sambil lari-lari di tempat karena menunggu ayahnya. Minta tolong diambilkan sangkar burung kecil di atas loteng dapur kecil mereka.

Setelah meletakkan kayu bakar di dekat tungku, ayah Yunus yang sudah mengerti permintaan anaknya segera mengambil sangkar burung. "Setelah sarapan." Kata ayah Yunus sebelum menyerahkan sangkar burung ke tangan anaknya.

"Iya ayah. Ayo cepat ayah!"

Ayah Yunus tersenyum, membukakan tutup sangkar agar burung yang baru ditangkap anaknya bisa segera dimasukkan. Begitu sangkar kembali ditutup barulah Yunus mengambil sangkar burung itu. "Nanti kamu ke tempat Tuan Muar?"

"Iya, memberikan burung ini. Aku sudah janji sama Cil akan memberinya burung pipit."

"Tuan Muar dan keluarganya sangat baik, jangan merepotkan mereka ya?"

"Iya ayah."

"Tuan Muar sangat baik mau mengajarimu menulis dan membaca. Ayah sama ibu yang cuma orang desa, tidak tahu apa-apa untuk mengajari kamu selain bertani. Karena itulah ayah sangat berterimakasih pada Tuan Muar dan keluarganya mau mengajarimu!"

"Cil juga anak yang ramah." Sahut ibu Yunus di sela menyendok nasi yang telah masak ke dalam mangkok besar lalu memberikannya pada suaminya yang telah menunggu untuk di bawa ke tengah rumah.

"Tapi manja."

"Tidak apa. Kamu juga masih sering manja sama ayahmu dan ibu kan?"

Yunus tertawa kecil melihat ibunya sedang menyalin sambal yang juga sudah siap di masak.

"Yap... sip. Mari masuk, kita makan." ajak ibu sambil berdiri membawa sambal gulai ayam hutan yang ditangkap sore kemarin oleh Yunus.

Di ruang tengah rumah, keluarga kecil itu makan pagi bersama. Nasi putih yang baru terasa manis, panas mengepulkan uap dan begitu enaknya di makan bersama gulai ayam hutan di pagi yang masih dingin. Beberapa kali Yunus kepedasan mengipas mulutnya namun tetap menyuapkan nasi panas dan sambalnya dengan lahap.

"Jangan makan seperti orang kalap begitu Yunus." ucap ayahnya menyodorkan teh hangat pada anaknya.

Yunus segera meminum tehnya setelah itu baru menyahuti perkataan ayahnya. "Sambal ibu enak sih."

Ibu tertawa kecil mendengar dan melihat ekspresi anaknya. "Jangan lupa mandi dulu sebelum pergi belajar ke rumah Tuan Muar."

Yunus mengangguk cepat, sebagai jawaban karena mulutnya sedang terisi penuh nasi. Setelah selesai makan Yunus mandi pagi seperti biasanya sebelum belajar ke rumah Encik Muar.

***

Dengan langkah ceria sambil makan timun yang dipegang di tangan kanan dan sangkar di tangan kiri, Yunus berjalan menyusuri jalan setapak di desa menuju rumah Encik Muar yang berada di pinggir hutan. Di tengah jalan, Yunus melihat dua orang laki-laki warga desanya berhenti di pinggir jalan sedang berbicara dengan orang asing. Bukan warga desa karena tidak pernah di lihat Yunus selama dirinya tinggal di desa itu. Yunus memelankan langkahnya, menyapa beberapa warga desa yang dikenalnya.

Seorang laki-laki paruh baya melirik Yunus, mengedipkan mata sekilas melihat kehadiran anak laki-laki itu. Yunus paham maksud kedipan mata itu, karena saat itulah Yunus mendengar laki-laki paruh baya warga desanya mengatakan sesuatu yang menarik perhatiannya. "Kami tidak pernah mendengar ada warga kampung ini yang namanya Encik Pong. Apalagi kalau orangnya cantik. Perempuan warga kampung ini wajahnya biasa-biasa saja."

Encik Pong adalah nama ibunya Cil. Dan Yunus tahu jika Encik Muar sudah berpesan pada setiap warga desa. 'Jika ada orang, siapa pun, bahkan utusan kerajaan mencari tahu tentang keluarga saya, jangan pernah ada yang memberikan informasi sedikit pun! Jika masih ingin melihat hari esok!' Begitulah peringatan yang disampaikan Tuan Muar saat mereka baru pindah beberapa tahun yang lalu di desa Bunga Pandan.

"Tapi Encik Dahlia cantik orangnya." Sahut laki-laki warga desa yang memikul cangkul di bahu kiri.

"Oh iya benar. Tubuhnya aduhai... mekar luar biasa!" timpal laki-laki pertama.

"Siapa Encik Dahlia, pak cik?" orang asing bertubuh kekar jadi penasaran.

Ketika para orang dewasa itu mulai membicarakan Encik Dahlia, seorang penari yang cantik terpelajar, berpinggul besar, pinggang kecil yang ramping dan dada yang mekar sempurna benar-benar sangat menggoda itu sering dipanggil untuk menari ke kota. Dan banyak laki-laki memperebutkannya, namun tidak mudah karena ternyata Encik Dahlia mempunyai bekal ilmu silat untuk menjaga tubuhnya. Beberapa orang laki-laki gatal yang mencoba mengganggunya habis di hajar jikalau Encik Dahlia tidak menyukainya.

Cerita tentang Encik Dahlia benar-benar mengalihkan perhatian orang asing itu. Yunus pun berlalu dengan langkah lebih dipercepat untuk memberikan pipit tangkapannya dan tentu saja tentang orang asing yang mencurigakan tadi.

avataravatar
Next chapter