9 Yang Dipertuan Besar, Sultan Mahmud Syah ll

Sudah lebih setengah hari mereka meninggalkan rumah Encik Muar. Begitu usai subuh Encik Muar, istrinya, Puan Pong, para pengawal dan beberapa pelayan melepas kepergian mereka tanpa air mata. Semua tangis di tahan, agar bocah tujuh tahun itu tidak pula berat untuk pergi.

Meski manja, Cil bukanlah anak yang cengeng. Memang bukan untuk pertama kalinya bagi Cil bepergian tanpa ibunya. Walau belum pernah keluar dari Temasek.

Dan ini kali pertama bagi Cil keluar dari Temasek tanpa ibu atau Encik Muar. Mungkin jika tidak ada Madi yang sudah bersamanya sejak bayi, bisa saja Cil tidak mau pergi.

Menjelang maghrib akhirnya Madi, Tan dan Cil tiba di pelabuhan terdekat. Sedikit lebih cepat setelah berlari menghindari kejaran babi hutan.

Kata pelabuhan sebenarnya terlalu mewah untuk dikatakan pada sebuah dermaga kayu darurat. Beberapa kayunya bahkan ada yang sudah lapuk tergerus air dan panas, tapi bagian lapuk itu langsung ditindih dengan kayu baru. Begitulah keadaan dermaga kayu darurat yang membuat Tan menghela nafas melihatnya.

Tidak ada kapal yang berangkat malam. Hanya ada perahu yang akan berangkat selepas maghrib. Mereka harus naik perahu untuk ke pelabuhan lain agar bisa berganti ke sebuah kapal.

Tan melihat-lihat bangunan khas rumah-rumah panggung dari papan di sekitar dermaga. Tidak ada bangunan baru yang bagus. Semua rumah panggung yang sengaja dibuat untuk menghindari air di kala musim hujan.

Beberapa orang terlihat berjualan makanan di pinggir dermaga darurat itu. Membuat Madi menjadi lapar. "Cari makan dulu ya? Perut lapar habis olahraga."

"Di kejar babi hutan bukan olahraga namanya!"

"Jangan terlalu serius. Ayo Cil, kita beli jagung rebus itu." Madi mengajak Cil yang menggenggam tangan kanannya.

Cil mengangguk semangat. Berjalan mendekati seorang nenek penjual jagung rebus di pinggir sungai dekat pelabuhan.

Jagung rebus dalam tembikar besar itu masih mengepulkan sedikit uap panas. Tampaknya belum lama di angkat dari tungku perebusnya dan segera dijual.

Nenek penjual jagung rebus tersenyum melihat Cil mendekat. Memperlihatkan barisan giginya yang masih utuh namun kemerahan karena selalu memakan sirih saat tidak berjualan.

Madi membeli tiga jagung rebus. Setelah membayar ia mencari keberadaan Tan. Tidak menemukan Tan, Madi memilih duduk bersama Cil di pinggir sungai tidak jauh dari nenek penjual jagung rebus.

Menikmati sore hari dengan matahari yang mulai tak berdaya sinarnya, sambil makan jagung rebus panas bersama Cil. Kenikmatan tersendiri bagi Madi. Ia sangat menyayangi Cil seperti anak sendiri. Meski dirinya belumlah pernah menikah di usianya yang sudah dua puluh enam tahun.

Dulu sekali ada beberapa gadis menyukainya, namun karena panggilan tugas untuk mengabdikan diri pada Sultan Mahmud Syah ll yang sudah memungutnya, Madi meninggalkan semuanya.

Dirinya ketika kecil hanyalah seorang anak yatim-piatu terlantar hampir mati kelaparan di daerah pelabuhan. Tidak ada yang mengasihani dirinya yang sering mencuri ikan mentah hasil tangkapan nelayan. Tak jauh beda dari seekor anak kucing terlantar.

Hari itu setelah mencuri dua ikan mentah sebesar lengan orang dewasa, Madi segera hendak membakarnya seperti biasa di bawah pokok beringin tidak jauh dari pelabuhan.

Sesampainya di pokok beringin, Madi sempat terdiam melihat seorang anak berpakaian bagus tertidur begitu saja di pasir pantai. Terlindung bayangan beringin.

Madi melangkah maju ke tempat biasa, mengabaikan anak yang tertidur. Mulai menghidupkan api, hingga membakar ikan hasil curiannya Madi terus memperhatikan anak yang tertidur tidak bergerak seperti orang mati.

Tiba-tiba Madi berdiri seperti ada duri yang menusuk bokongnya. Jantungnya berdebar, "Jangan-jangan memang mati anak itu!" gumamnya.

Perlahan Madi mendekat, memperhatikan anak yang tertidur dan berpakaian bagus. Terlihat dadanya turun naik, menandakan anak itu masih bernafas. Madi membangunkan dengan menggoyangkan bahunya. Tidak bergerak. Anak itu tetap tertidur pulas.

Madi kembali pada ikan bakarnya. Baunya luar biasa. Beberapa kali Madi menelan ludah mencium betapa harumnya bau ikan bakar itu. Sebuah ide muncul, membuat Madi menyeringai jahat.

Ikan bakar yang telah masak itu disodorkan Madi tepat di depan hidung anak yang masih tertidur. Baunya sangat menggoda. Membuat hidung anak yang masih tertidur sedikit bergerak. Mengendus. Madi memperhatikan dengan tawa tertahan.

Mata anak yang tertidur tiba-tiba terbuka dan langsung duduk dengan cepat. Membuat Madi terkejut. Jatuh terduduk dengan bokong duluan. Ikan bakarnya terlepas dari pegangan dan melambung.

HUPP!!! Dua tusuk ikan bakar itu selamat. Anak yang baru terbangun refleks menangkap ke dua ikan bakar. Masih dalam posisi duduk, anak itu memperhatikan ikan bakar. Mengabaikan Madi yang mengeluh bokongnya sakit, anak yang baru terbangun itu langsung saja memakan seekor ikan bakar di tangan kanannya.

"Ikanku..." Madi memelas.

Anak yang memakan ikan bakar Madi terdiam. Baru menyadari keberadaan seseorang. Memperhatikan Madi lalu memperhatikan ikan bakar di ke dua tangannya. Tanpa bersuara anak itu memberikan tusukan ikan bakar di tangan kirinya kepada Madi.

Madi segera mengambil ikan bakar itu dan segera memakannya dengan rakus. Beberapa kali mata Madi memperhatikan anak di hadapannya. Pakaiannya sangat bagus, kulitnya putih bersih, rambutnya halus bergelombang dan wajahnya menarik. Tapi... kenapa anak itu bisa ada di pantai yang tak jauh dari pelabuhan.

Saat sedang asik memakan ikan bakar, tiba-tiba saja tampak empat orang nelayan berlari mendekat. Nelayan itu terlihat marah karena sambil berlari mendekat mereka mengayunkan tongkat kayu dan dayung.

"Itu anak sialan yang selalu mencuri ikan tangkapan kita!"

"Tangkap dia!"

Nelayan-nelayan itu berseru marah.

Madi terlihat ketakutan. Ingin berlari seperti biasa, tapi anak yang sedang makan ikan bakar bersamanya tidak tahu apa-apa bisa jadi sasaran amukan para nelayan jika tidak diajak melarikan diri.

"Hei. Ayo kita lari!" Madi sudah berdiri. Bersiap berlari.

"Kenapa?"

"Saya mencuri ikan mereka..."

Anak berpakaian bagus itu memperhatikan Madi sambil terus makan menikmati ikan bakarnya. Pakaian lusuh, penuh tambalan, tidak memakai alas kaki dan... kurus. "Mencuri?"

"Iye, tak ada yang ngasi saya makan. Emak, abah sudah meninggal. Ayo kita lari!"

"Kasihannya kamu."

"Ya. Kasihani juga diri engkau bila tau mau dihajar merekalah!" Madi sudah sangat ketakutan melihat nelayan sudah sangat dekat, tapi anak di hadapannya masih asik makan ikan bakar.

"Pegang dulu ikan bakar saya." Kata anak berbaju bagus sambil berdiri.

Madi menerima ikan bakar dan terdiam memperhatikan anak berbaju bagus itu yang ternyata lebih tinggi darinya.

"Dengarkan saya bicara dahulu. Pak cik semua." Anak berbaju bagus mencoba bernegosiasi.

Ke empat nelayan tidak mau tahu langsung saja mengayunkan tongkat kayu dan dayungnya. Membuat Madi meringkuk ketakutan.

Melihat reaksi nelayan-nelayan itu, anak berbaju bagus menjadi kesal. Dengan tenang anak berbaju bagus menghindari sebuah ayunan tongkat kayu dengan melangkah sekali ke belakang, kemudian dengan cepat anak itu menangkap tangan nelayan yang mengarahkan tongkat kayu padanya.

Serangan lain datang dengan cepat, anak itu menggunakan tubuh nelayan yang tangannya di tahan untuk melindungi diri dari serangan nelayan lain dengan dayung.

BRUAKKK!!! Seorang nelayan jatuh tersungkur terkena hantaman dayung rekan sendiri di kepalanya. Anak berbaju bagus tadi segera mengambil tongkat kayu.

Dengan tongkat kayu di tangan, anak berbaju bagus mengayunkan tongkat tanpa ampun di dada lalu punggung nelayan yang terkejut ketika pukulannya melukai teman sendiri. Nelayan itu jatuh terjerembab.

Dua orang nelayan berseru marah, ketika menyerang bersamaan anak berbaju bagus. Tetap tenang anak berbaju bagus dengan mudah melihat gerakan kasar dua nelayan yang akan menyerang bersamaan.

Satu nelayan menyerang dari depan. Satu nelayan lagi menyerang dari sisi kiri. Anak berbaju bagus menarik nafas perlahan, menahan sesaat sebelum melakukan serangan.

Dengan ke dua tangan menggenggam tongkat kayu, anak berbaju bagus mengayunkan tongkat laksana pedang. Menahan serangan nelayan yang datang dari kiri, pertama sampai. Kemudian secepat kilat anak itu menusukkan tongkat kayu ke dada nelayan pertama. Lalu dengan gerakan lebih cepat lagi yang tak terikuti mata, anak itu menebaskan tongkat kayu ke dada nelayan ke dua seolah pedang.

Kini ke empat nelayan itu jatuh mengerang kesakitan di bawah kaki anak berbaju bagus.

Madi yang tidak bisa apa-apa selain meringkuk ketakutan, mencoba membawa kakinya yang masih gemetar untuk berdiri. Sementara itu beberapa orang berdatangan karena suara perkelahian. Tepatnya hanya suara nelayan.

"Kamu sangat hebatlah!" Madi terkagum.

"Siapa kamu sebenarnya sampai bisa mengalahkan empat orang dewasa?" ucap seorang nelayan tua.

"Yang Dipetuan Besar, Sultan Mahmud Syah ll."

Mulut Madi ternganga mendengar penuturan anak yang mengaku sebagai Sultan Mahmud Syah ll. Beberapa nelayan yang melihat ikut ternganga, namun nelayan tua yang menanyai siapa diri anak itu segera berlutut.

Nelayan tua itu pernah melihat Sultan Mahmud Syah ll yang baru berumur sepuluh tahun, ketika mengantar ikan segar ke dapur istana.

Sultan muda itu suka membeli ikan segar dari nelayan langsung secara bergantian. Itu sebabnya banyak dari nelayan pernah melihat Sultan mereka.

"Ampuni kami..." ke empat nelayan tadi segera berlutut.

"Saya sebenarnya hanya ingin istirahat sebentar menikmati hari yang cerah. Tapi melihat bagaimana kalian memperlakukan seorang anak yatim-piatu sungguh membuat saya marah!" Katanya dengan suara datar pada empat nelayan yang sudah bersujud di pasir. Lalu pada Madi, ia mengulurkan tangan. "Ikutlah dengan saya."

"Ke mana?"

"Ke istana saya, sebagai pengawal pribadi saya!"

Madi melihat tangan putih bersih di hadapannya lalu melihat tangannya yang kotor. Membuatnya takut akan mengotori tangan itu. "Tangan saya kotor. Tak patut berjabatan..."

"Karena kotorlah maka dari itu ikut saya. Kamu bisa mandi dan membasuh tangan sepuasnya di sana."

Air mata Madi berlinang untuk pertamanya setelah lama kehilangan ke dua orang tua. Di hadapan banyak orang, dirinya yang bukan siapa-siapa diangkat menjadi pengawal pribadi sang Sultan yang masih berumur sepuluh tahun. Madi menerima uluran tangan itu dan berlutut dengan menangis terharu.

avataravatar
Next chapter