7 Tujuh Tahun Lalu

Empat orang pengawal itu segera menghadap pada Encik Muar dan Puan Pong yang masih ada di ruang belajar. Madi menemani untuk mendengar laporan dari ke empat anak buahnya. Terutama ketika melihat salah satunya terluka.

Cil yang diturunkan dari gendongan segera berlari memeluk ibunya.

"Sayang. Sukurlah kamu baik-baik saja." Puan Pong memeluk dan mencium kepala anaknya.

"Ibu apa maksudnya 'tujuh tahun setelah pembantaian'?" Cil tiba-tiba bertanya dalam pelukan ibunya. Membuat setiap orang yang ada di dalam ruangan itu membeku.

Cil melepaskan pelukannya. Memperhatikan ibunya yang diam tertunduk. Begitu juga dengan yang lain.

Encik Muar memberi isyarat pada para pengawalnya untuk duduk yang segera diikuti.

Pintu di tutup oleh Madi sebelum menyusul duduk berbaris dengan empat bawahannya. "Baiklah. Sile cerita apa yang terjadi di hutan?" Madi bersuara, membuat Cil memperhatikannya.

Ke empat pengawal itu memulai ceritanya. Berawal dari memasuki hutan yang tidak merasakan diikuti oleh dua orang.

Beberapa kali memastikan tidak adanya yang mengikuti. Setelah menemukan Cil dan Yunus di air terjun, hanya dalam sesaat Cil mengetahui jika ada dua orang asing yang bersembunyi. Setelah mengikuti empat pengawal.

Empat pengawal itu memang memiliki kemampuan tempur luar biasa! Namun mereka tidak memiliki ketajaman naluri alami yang mampu merasakan adanya bahaya disekitarnya.

Encik Muar, Puan Pong dan Madi menatap takjub pada Cil mendengar penuturan ke empat pengawal.

"Saat itulah dua orang penyerang mengatakan sesuatu tentang kejadian tujuh tahun yang lalu." Kata pengawal yang tangannya terluka.

"Ada apa tujuh tahun lalu ibu?" Cil menggoyangkan lengan kiri ibunya.

Encik Muar berdehem. Membuat Cil terdiam. "Kamu pasti lelah. Tidurlah. Esok akan atuk ceritakan. Semua."

"Benar atuk?" Cil bersemangat.

Encik Muar tersenyum dan mengangguk.

Dengan semangat Cil segera berlari keluar ruang belajar. Setelah mandi air hangat yang sudah disiapkan, Cil segera lelap tertidur. Tubuh kecilnya memang sudah lelah setelah mengalami banyak kejadian hari itu.

***

Pagi-pagi sekali setiap setelah sholat subuh, Cil yang masih mengantuk biasanya akan tertidur. Di mana pun, jika tidak segera di ajak latihan.

Sudah hampir dua tahun, begitu menginjak umur enam tahun, Cil ikut latihan silat atau berpedang bersama para pengawal.

Awalnya hanya melihat saja dari masih belum tahu apa-apa di umur empat tahun. Kemudian tertarik sebab melihat pedang yang berkilauan terkena cahaya.

Madi membuatkan sebuah pedang kayu untuk berlatih menggunakan pedang. Cil membuangnya karena tidak berkilau. Ketika diberi yang asli, Cil merengek karena pedang itu ternyata berat. Membuat Encik Muar menghela nafas dan geleng kepala.

Setelah dibujuk rayu barulah bocah itu mau memakai pedang kayu. Awalnya sang ibu melarang. Takut anaknya terluka. Melihat Cil tidak mempunyai teman, hanya belajar dan bermain sendiri di rumah, akhirnya Puan Pong mengizinkannya.

Belajar atau latihan di pagi hari memang lebih disukai Cil. Udara yang masih dingin tidak membuatnya cepat lelah dan berkeringat.

Hari itu sedikit berbeda, Encik Muar mengumpulkan semua pengawal di halaman depan. Cil tidak tahu apa yang akan dilakukan Encik Muar dengan mengumpulkan semuanya. Hanya bisa menunggu di teras rumah utama sambil tiduran tetapi jadi tertidur sungguhan.

"Matahari dah tinggi, masih juge tidur! Bangun!" Perintah Yunus yang sudah datang untuk belajar. Menggoyangkan pundak Cil.

Cil tersentak. Bangun dengan cepat. Melihat sekitar halaman. Tidak ada siapa-siapa. Encik Muar masih sibuk merencanakan sesuatu dengan para pengawalnya.

"Tengok ke mana?" Yunus menghela nafas.

Cil segera melihat ke arah suara Yunus yang duduk tepat di sisi kirinya.

"Tidur beserak macam kucing ku tengok."

Tanpa komentar apa-apa Cil pergi membasuh muka di sebuah bak kecil. Bak berukuran satu kali satu meter dan dalam satu meter, yang biasa digunakan untuk membasuh kaki sebelum memasuki rumah. Setelah membasuh muka, Cil kembali ke tempat Yunus.

"Tak mandi?"

"Sudah."

"Kenapa ramai sangat Cil?" Yunus penasaran.

"Aku pun tak tau."

"Tidur pun kerja." Yunus menghela nafas.

Cil nyengir.

Tak berselang lama ketika ke dua anak itu sibuk main lempar gasing. Salah satu mainan yang di bawa Yunus dalam tas serut kecil yang selalu di sandang, berisi harta karun khas anak petualang.

Encik Muar datang mendekat dalam diam. Memperhatikan gasing yang sedang berputar. Dengan tangan kiri terlipat di dada dan tangan kanan mengusap janggut tipisnya.

Menyadari kehadiran Encik Muar, Yunus bergegas mengambil gasingnya. Takut akan dimarahi ketika harusnya belajar malah asik bermain gasing.

"Tak ape. Hari ini libur dulu. Ada hal yang perlu atuk urus. Lekas masuk ke ruang belajar." Ajak Encik Muar.

Di dalam ruang belajar yang jendelanya terbuka lebar ternyata sudah duduk Puan Pong di dekat meja. Madi dan seorang laki-laki lain yang usianya tidak terpaut jauh, duduk di dekat pintu.

Encik Muar memasuki ruangan itu bersama Cil dan Yunus. Encik Muar segera duduk di dekat sisi lain meja, semantara Cil dan Yunus di suruh duduk di dekat jendela. Anak kecil lasak dan mudah kepanasan itu akan duduk manis jika di dekat jendela sambil berangin-angin.

"Baiklah, sekarang atuk akan cerita. Hal yang berhubungan sama kejadian sore kemarin." Encik Muar membuka pembicaraan. Membuat Cil dan Yunus menjadi terdiam. Lalu berbicara sebagai keluarga dan bukan antara guru dan murid seperti sebelumnya. "Kalian berdua dengar baik-baik. Cil, Yunus. Atuk akan cerita semuanya. Tapi setelah itu kalian harus mengambil keputusan. Tidak boleh takut, lebih lagi ragu dengan dunia baru yang akan kalian berdue masuki. Dunia para penguasa. Para raja. Dengan aturan ketat dan kejam."

Cil diam. Yunus mengangguk sekali. Ke dua anak itu mendengarkan dengan baik.

"Ini adalah tentang kejadian tujuh tahun lalu. Tepat sebelum Cil lahir. Ini tentang ayah Cil. Ayahmu adalah Sultan Mahmud Syah ll, penguasa kerajaan Johor-Riau sebelumnya. Setiap orang pasti mempunyai sifat buruknya, begitu juga ayahmu. Sedikit kejam dan ditakuti lawannya karena sifatnya yang kejam..." Encik Muar berhenti. Ingin melihat reaksi anak kecil dihadapannya.

Yunus tampak terkejut, sementara Cil duduk tenang. Wajahnya tidak memperlihatkan rasa terkejut walau sedikit. Binar mata beningnya justru memancarkan ketertarikan seolah mendengar dongeng. Tanpa peduli ayahnya adalah orang yang kejam.

Menurut pandangan Encik Muar, Cil dan almarhum ayahnya memiliki sifat yang jauh berbeda. Cil sedikit keras kepala, nakal, manja namun sangat perhatian.

Berbeda dengan almarhum ayahnya yang lahir dan tumbuh besar dilingkungan istana adalah anak yang cerdas, memiliki hobi meracik obat, ramah, juga manja dan sedikit kejam.

Meski secara fisik tampilan Cil sangatlah mirip dengan almarhum ayahnya. Rambut hitam sedikit bergelombang, kulit putih dengan mata berwarna coklat terang seperti madu.

Encik Muar tersenyum. Dalam hati berdoa semoga kelak Cil tidak mewarisi sifat ayahnya yang kejam. Encik Muar melanjutkan ceritanya.

"Ayahmu di bunuh salah satu panglima perangnya yang baru diangkat menjadi Laksemana setelah berhasil menumpas perompak..."

***

Tujuh tahun lalu.

Tahun 1699. Kota Tinggi, ibu kota Kesultanan Johor-Riau.

[berdasarkan Hikayat Taufat al-Nafis].

Di halaman istana tampak keramaian. Hari itu cukup spesial, Sultan akan memberikan penghargaan pada salah satu Panglima perang angkatan lautnya yang berhasil mengalahkan perompak.

Megat Sri Rama yang baru kembali dari menjalankan tugas, segera menghadap junjungannya yang sudah menanti. Sebuah kejutan diberikan Sultan Mahmud Syah ll. Pemberian kenaikan jabatan sebagai Laksemana karena sudah berjasa memberantas perompak.

Setelah menerima dan pengesahan jabatan baru sebagai Laksemana, Megat kembali ke kediamannya. Menyampaikan keberhasilan dalam menumpas perompak dan kenaikan jabatan.

Sambutan hangat yang diharapkan dari istrinya yang sedang hamil tak kunjung di dapatkan. Sahabatnya mengabarkan jika istrinya sudah meninggal. Di bunuh oleh orang utusan Sultan.

Dalam kesedihan dan kecewanya Megat memutuskan akan membalas perbuatan sang Sultan. Tapi Sultan muda itu belumlah memilik seorang anak dari istri-istrinya.

Sebelum Megat melaksanakan dendamnya, sang ayah mengingatkan untuk mengusut masalahnya terlebih dahulu tentang kebenaran berita. Tentu saja Sultan tidak melakukannya. Megat Sri Rama hanya dijadikan alat untuk kepentingan politik atas konspirasi yang dilakukan petinggi kerajaan.

Namun Megat yang sudah dibutakan amarah, kehilangan istri tercinta yang sedang hamil di bunuh secara kejam, tidak mendengarkan perkataan siapa pun. Kekurangan Megat itulah yang dimanfaatkan.

Hari itu jumat. Setelah pulang sholat jumat, Megat menghadang jalannya tandu yang membawa Sultan Mahmud Syah ll.

"Raja adil, raja di sembah! Raja zalim, raja disanggah!" Megat berkata dengan tenang. Kemudian tanpa ada mata yang bisa mengikuti gerakannya, Megat menikamkan sebuah keris tepat di dada sang Sultan yang masih berada di dalam tandu.

Melihat Megat yang sudah menikam dada Sultan, warga menjadi gempar. Dengan sisa tenaganya, Sultan Mahmud Syah ll menarik kerisnya yang ada di pinggang dan melemparkannya pada Megat.

"Tujuh turunan engkau Laksemana, tidak kuizinkan menginjakkan kaki di Kota Tinggi!" Sultan Mahmud Syah ll bersumpah sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Megat yang baru diangkat menjadi Laksemana karena berjasa pada kerajaan, jatuh berlutut. Paha kirinya tertancap keris.

Setelah kepergian Sultan Mahmud Syah ll, Sultan muda yang belum memiliki anak, sang Bendahara Sultan sebagai saudara jauh menyatakan diri sebagai Sultan berikutnya.

Begitu naik tahta, Sultan Abdul Jalil lV memburu dan membunuh semua istri almarhum Sultan Mahmud Syah ll. Untuk menghindari gugatan tahta dikemudian hari.

Namun Puan Pong salah satu istri Sultan Mahmud Syah ll yang sedang hamil berhasil selamat dengan bantuan ayahnya, Datuk Laksemana. Bersama Tumenggung Muar, paman dari Sultan Mahmud Syah ll, Puan Pong melarikan diri ke Temasek. Dan melahirkan seorang anak laki-laki.

avataravatar
Next chapter