6 Tuan. Ayo Kita Pulang.

Di bagian bangunan rumah utama. Tempat biasa belajar, ruangan seluas tiga kali empat meter tanpa perabot apa pun kecuali lemari buku, meja dan lampu. Lantai kayu beralas permadani.

Encik Muar menemui Puan Pong yang masih bersama istrinya. Duduk di dekat meja. Berat rasanya memberi tahukan yang sebenarnya kepada Puan Pong yang baru menikmati ketenangan merawat anak satu-satunya.

Encik Muar benar-benar tidak tega melihat Puan Pong yang terus saja hidup dengan bersembunyi. Puan Pong yang dari hamil terus saja melakukan perjalanan berat berpindah-pindah lalu melahirkan di tengah pelarian pasukan Sultan yang berkuasa.

Melihat Encik Muar memasuki ruangan dalam keadaan tertunduk dan diam, Puan Pong dapat menebak jika pedagang sutra itu bukan perampok, tapi orang suruhan Sultan.

Istri Encik Muar yang duduk di samping Puan Pong mengusap punggung Puan Pong ketika melihatnya ikut tertunduk.

"Apa rencana Tuan sekarang?" ucap istri Encik Muar pelan kepada suaminya itu yang masih terdiam, menunduk di hadapan ke dua perempuan itu.

"Maafkan pak cik, tak bisa memberi keamanan..." Encik Muar menjatuhkan diri dengan berlutut.

"Pak Cik salah." Potong Puan Pong segera mendekati Encik Muar agar tidak terus menundukkan kepalanya. "Selama Bendahara Paduka Raja yang sekarang menjabat sebagai Sultan Abdul Jalil lV masih ada, keamanan dan kedamaian tak akan tercipta!"

Encik Muar masih tetap diam.

"Bagaimana dengan Cil? Apa sudah di kirim pengawal untuk menjemput ke hutan?" tanya Puan Pong.

"Sudah puan. Empat orang pengawal sudah saya kirim secepatnya masuk hutan untuk menjemput Cil." Jawab Encik Muar kemudian melanjutkan. "Sepertinya ini saatnya kita kembali Encik."

Puan Pong terdiam dan tertunduk.

"Seterpencil apa pun dan sejauh apa pun kita bersembunyi. Selama masih di kekuasaan Johor-Riau, kita tak akan pernah aman encik!" Istri Encik Muar kembali bersuara.

Puan Pong mengangkat wajahnya, menatap langsung ke arah perempuan di sisi kirinya lalu kepada Encik Muar. "Baiklah. Persiapkan semuanya untuk perjalanan kembali ke Johor!"

Encik Muar duduk tegap. Posisi siaga. "Siap Encik!"

***

Malam cerah dengan cahaya bulan menembus rimbunnya hutan. Gelapnya hutan jadi tidak begitu menakutkan. Suara hewan malam bersahutan. Membuat bulu kuduk anak yang jauh dari rumah sedikit merinding.

Yunus sedapat mungkin membaca doa-doa yang diajari ayahnya sejak kecil. "Jika takut ingatlah Allah dan bacalah doa apa pun yang kamu bisa." Pesan ayahnya setiap setelah sholat isya.

Untuk mengurangi rasa dingin dan serangan nyamuk, selain menghidupkan api unggun. Yunus menggunakan kain sarungnya yang biasa dijadikan kain samping untuk menyelimuti tubuhnya dan Cil.

Cil memperhatikan Yunus yang terlihat ketakutan. Tapi Cil merasa tidak ada hal yang menakutkan. Ibu dan Encik Muar juga selalu mengatakan jangan takut pada apa pun, kecuali pada Sang Pencipta. Namun karena Yunus terus mengulang bacaan doanya, Cil juga ikut membaca doa yang sudah dipelajarinya.

Menunggu pengawal Encik Muar datang menjemput. Hanya berdua. Di tengah hutan. Sekira jam tujuh malam, empat orang pengawal akhirnya datang. Dua diantaranya membawa obor berjalan di depan dan belakang.

"Apa kalian baik-baik saja?" seorang pengawal membawa tas serut yang di sandang di punggungnya, berisi obat dan minuman segera memastikan ke dua anak itu tidak cedera apa pun.

"Akhirnya..." Yunus menghela nafas melihat kehadiran empat pengawal. Menyandang kembali kain sarungnya di bahu.

Cil diam saja. Memperhatikan wajah ke empat pengawal yang dikenalnya. Ada yang aneh dirasakannya mengiringi kedatangan empat pengawal itu.

Pengawal bertubuh sedang dengan kulit kuning berlutut menghampiri Cil dan Yunus. Membantu memberikan minuman hangat yang di bawa. "Silahkan." Katanya pada dua bocah itu menyodorkan cangkir berisi susu di campur madu.

"Enak sekali!" seru Yunus setelah meneguk susunya.

"Ada apa?" pengawal yang membawa susu bertanya karena Cil tidak segera meminum susunya seperti biasa.

Cil menggeleng pelan. Hanya sekali lalu meminum susunya.

Pengawal pertama yang membawa obat dan minuman duduk dihadapan ke dua anak itu dengan tersenyum. Lega mereka baik-baik saja.

Yunus menghabiskan susunya dengan cepat. Rasa lapar dan dinginnya pun berkurang dengan cepat.

Sementara Cil tidak bisa menikmati minumannya. Bukan karena tidak suka atau bosan. Perasaan aneh yang dirasakannya semakin jelas terasa. Kemampuan naluri alamnya sangat kuat. Hanya saja karena tidak terlatih, Cil tidak memahami tentang apa yang dirasakan olehnya.

Dari dalam gelapnya hutan yang dilalui empat prajurit sebelumnya, Cil menatap. Mencoba memahami apa yang dirasakan. "Kalian cuma berempat kan?" tanya Cil tiba-tiba.

"Ya, kami datang berempat." Jawab pengawal pertama yang membawa susu.

"Ada apa tuan?" salah satu pengawal yang tadi membawa obor paling belakang balik bertanya. Memperhatikan Cil yang bertingkah sedikit aneh.

Cil menunjuk dari arah empat pengawal tadi datang. "Saya merasa ada dua orang di balik pohon besar itu." jawab Cil dengan polosnya.

Ke empat pengawal berdiri bersamaan mengikuti arah tunjukkan Cil. Menarik pedang masing-masing. Membuat Yunus terkejut melihat reaksi luar biasa ke empat pengawal itu.

"Siapa pun kalian... KELUAR!!!" seru pengawal berkulit kuning memerintah.

Sementara itu dua pengawal yang membawa obor sebelumnya segera mengambil posisi melindungi Cil dan Yunus.

"Ternyata tidak sia-sia menunggu dan mengikuti dari kejauhan." Terdengar suara serak dari balik pohon besar di dalam lindungan gelapnya hutan. Bergerak perlahan keluar dari persembunyian.

Dua sosok siluet keluar bersama dari kegelapan. Perlahan mulai memperlihatkan sosoknya begitu disinari cahaya bulan.

Seorang laki-laki bertubuh kekar namun tidak tinggi yang mula terlihat jelas sosoknya. "Tujuh tahun setelah pembantaian itu..." lelaki itu berhenti tepat di hamparan pasir dari air terjun.

"Orang itu seperti yang aku ceritakan jumpa pagi harilah." Yunus memberi tahu setengah berbisik.

Ke empat pengawal memahami apa yang baru disampaikan Yunus. Encik Muar sudah menyiagakan semua pengawalnya berkat laporan Yunus.

Laki-laki berpostur tinggi besar menatap Yunus dan Cil bersamaan. Tangan kirinya yang menggenggam pedang, menunjuk Yunus dan Cil bergantian menggunakan gagang pedang. Lelaki itu tahu betul siapa anak itu meski belum pernah melihatnya. Tunjukkannya berhenti pada Cil. Menyambung ucapan rekannya lelaki itu berkata. "Pastilah... Bocah berkulit putih itu."

Suasana hening sesaat. Tidak ada yang bersuara atau bergerak. Namun gerakan dari laki-laki bertubuh tinggi besar yang mengayunkan pedangnya mengusik keheningan.

Pengawal berkulit kuning menahan serangan yang datang dengan pedangnya. TRINK!!! Suara benturan logam itu dengan kuat. Pengawal berkulit kuning merasa tangannya ngilu menahan serangan langsung. Tenaga lelaki bertubuh besar itu memang luar biasa.

Sebuah tendangan mengarah langsung ke rahang. Pengawal itu menghindar ke samping sambil mengayunkan pedangnya. Kaki kanan lelaki besar tentang betisnya putus dan sebelum tubuhnya mendarat karena kehilangan keseimbangan, darah menyembur dari leher yang telah ditinggalkan kepala. Menggelinding ke dalam aliran air dan segera hanyut.

Dua pengawal lain segera melindungi Cil dan Yunus dari melihat pemandangan itu.

Sementara itu lelaki bersuara serak cukup berhasil melukai lengan pengawal pertama yang membawa obat dan susu. Lengan kirinya terluka gores. Tidak begitu serius.

"Mau di bantu?" pengawal berkulit kuning berkata sambil membersihkan pedangnya dengan baju lelaki besar yang telah dikalahkannya.

"Saya terharu." Jawab pengawal itu menatap kesal pada laki-laki bersuara serak yang telah melukainya.

"Serius?"

Si suara serak merasa geram karena sepertinya dianggap remeh. Mengayunkan pedang dengan ganasnya.

"Tentu saja tidak!" jawab pengawal itu. Menggenggam pedang dengan ke dua tangan, mengelak setengah berputar lalu mendekati laki-laki bersuara serak. Menebas tangan yang memegang pedang. Semua itu terjadi begitu cepat, di remang cahaya api unggun dan bulan. Pedang pengawal itu menancap tepat di dada lelaki bersuara serak.

Si pengawal mencabut pedangnya. Darah menyembur cepat ketika tubuh lelaki bersuara serak jatuh menghempas tanah. Setelah membersihkan pedang, memasukkannya ke dalam sarung. Pengawal itu melihat kepada Cil dan Yunus yang untungnya tidak melihat kebuasan mereka dalam menghabisi nyawa lawan yang mengancam keselamatan tuannya.

Ke empat pengawal itu saling pandang. Merasa lega. Kagum dengan ketajaman insting alami Cil. Jika terlambat tahu sedikit saja, mereka pasti akan dihabisi dua orang tadi.

Setelah menaburkan obat pada lukanya sendiri akhirnya pengawal itu berkata. "Tuan. Ayo kita pulang."

Cil dan Yunus yang terlindung tubuh dua pengawal yang menjaga mereka akhirnya membuka mata. Melihat apa yang sudah terjadi.

Tidak ada apa-apa. Ke dua mayat orang tadi sudah diamankan ke semak, jadi ke dua anak kecil itu tidak akan ketakutan melihatnya.

Cil mengangguk.

Dua pengawal yang tadi melindungi Cil dan Yunus, sekarang menggendong ke dua anak itu meninggalkan hutan.

Sementara itu dua pengawal yang tadi bertarung, gantian membawa obor selama perjalanan pulang.

***

"Maafkan kami lambat mengantar Yunus pulang pak cik, mak cik." Kata pengawal yang menggendong Yunus pulang.

"Tak apa. Tadi sore ada yang mengabarkan ke mari kalau Tuan Muar mau mengajarkan sesuatu." Ungkap ayah Yunus.

Pada sore ketika ke empat pengawal itu pergi, Encik Muar memang menyuruh seorang pengawalnya memberi tahu Yunus akan terlambat pulang agar orang tua nya tidak khawatir.

"Baiklah kalau begitu kami pergi pak cik, mak cik."

"Terimakasih tuan." Sahut ke dua orang tua Yunus hampir bersamaan.

"Makasih dah antar saya, tuan."

Pengawal yang tadi menggendong Yunus tersenyum lebar sambil mengusap kepala anak itu.

"Saya pulang pak cik. Mak cik." Cil melambai dari balik punggung pengawal yang menggendongnya.

"Ya. Hati-hati di jalan." sahut ke dua orang tua Yunus.

avataravatar
Next chapter