14 Tak Apa. Jangan Takut

Layar masih berkembang dengan langit yang cerah memperlihatkan ribuan bintang. Namun si Kekar dan si Botak tiba-tiba merasa gelisah. Dengan cepat mereka berdua menggulung layar.

"Kenapa di gulung?" Madi penasaran karena perahu jadi melambat.

"Akan ada badai!" jawab si Kekar.

"Kami lahir dan tumbuh besar bersama laut. Jadi kami bisa merasakan datangnya badai." Jelas si Botak.

Dan benar saja, angin mulai bertiup kencang dan tak terarah. Awan gelap segera menutupi langit. Hujan turun bersamaan dengan menggilanya angin.

Angin bertiup dengan ganasnya. Mengombang-ambingkan perahu. Semuanya berpegangan erat pada bagian perahu. Kecuali Cil yang memeluk erat Madi.

Dalam beberapa kali hempasan, perahu serta penumpangnya mampu bertahan. Namun dihempasan terakhir yang membuat perahu oleng, pegangan mulai terlepas dan mereka saling menyelamatkan sekuat mungkin.

"Madi jatuh!" teriak Tan di tengah deru badai yang mengamuk.

"Bertahanlah! Kami akan segera menarik kalian!" si Botak berteriak memanggil sambil melemparkan tali.

Madi jatuh ke dalam laut bersama Cil. "Tetap berpegangan sama pak cik!" seru Madi.

Cil hanya diam, melihat tali yang dilemparkan si Botak. Tiba-tiba saat itu juga perahu terhempas ke arah Cil dan Madi.

Perahu menghempas di air dengan menyapu Madi yang memeluk erat Cil. 'Maafkan saya tidak bisa lagi melindungi Cil, Puan.'

Tan berteriak memanggil Madi dan Cil. Si Kekar dan si Botak menahannya agar tidak melompat masuk ke dalam laut yang sedang mengamuk.

"Jangan bertindak bodoh! Mereka berdua pasti bertahan."

"Berdoalah mereka selamat! Dan kita akan mencari begitu badai reda."

***

Cil terbatuk beberapa kali. Memuntahkan air laut yang berlebihan masuk ketubuhnya. Cil membuka mata, ia menemukan dirinya terdampar di pantai dalam posisi telungkup. Cil tahu karena hanya pasir yang terlihat begitu membuka mata.

Perlahan Cil duduk sambil memperhatikan sekitar. Mencari Madi. Badai sudah berlalu dan sepertinya malam masih panjang.

Hanya beberapa meter dari tempatnya, Cil melihat sosok tubuh Madi. Diam. Tak bergerak. Cil cepat berlari menghampiri Madi.

Cahaya bulan membantunya melihat sebuah luka di antara batas rambut dan dahi Madi. "Pak cik." Panggilnya sambil menggoyangkan tangan kiri Madi.

Madi tak bergerak. Membuat Cil khawatir. Cil teringat pelajaran yang pernah diajarkan padanya. Untuk mengetahui seseorang masih hidup atau tidak, periksa denyut nadinya.

"Masih hidup. Bagaimana sekarang?" Cil memperhatikan Madi yang dalam posisi telungkup. Dengan hati-hati Cil membalik tubuh Madi. Bersyukur Madi terdampar cukup jauh dari air, jika tidak. Cil tidak tahu bagaimana menariknya menjauh dari air.

Cil membuka jubah songketnya, menggunakan kain itu untuk menyelimuti tubuh Madi. Setelah itu Cil terdiam. Berpikir akan melakukan apa.

Di sekitar tempatnya terdampar itu hanya ada hutan. Dengan berbekal pisau kecil, salah satu senjata tersembunyi milik Madi, Cil memasuki hutan. Mencari apa pun yang bisa dimanfaatkan.

Dengan berpedoman pada pelajaran tentang obat-obat darurat yang diajarkan Yunus, Cil mencari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari daun, kulit pohon dan akar tanaman hutan.

Menggores kulit kayu dan menggali akar tanaman bukanlah hal mudah. Cil sedikit kesulitan karena tenaganya masih terbatas sebagai anak-anak. Meski kadang tergores dan lecet tetapi Cil tidak menyerah.

Sampai akhirnya setelah mendapatkan cukup banyak daun, kulit serta akar tanaman barulah Cil kembali ke tempat Madi. Cil melumatkan daun, akar dan kulit pohon menggunakan batu-batu yang berserakan di sekitar pantai.

Begitu cukup halus, ramuan obat luka diberi sedikit air hujan. Mengaduk semuanya di atas daun talas, setelah itu barulah Cil menempelkan ramuan itu pada luka-luka Madi.

Dalam diam Cil duduk memperhatikan Madi yang masih belum sadar. Lukanya mungkin lebih parah dari yang terlihat.

Tubuhnya juga terasa dingin. Cil ingin membuat api unggun, tapi tidak bisa. Rasa kantuk dan lelah mulai menyerang, membuat Cil segera tertidur dalam posisi duduk memeluk lutut.

Ketika tertidur, terdengar sayup-sayup ada suara memanggil namanya. Cil melirik ke arah Madi yang masih belum bergerak. "Mungkin hanya mimpi." Gumamnya.

***

Dari atas perahu Tan yang panik terus saja mengucap tanpa henti. Ia tak mengira akan mengalami musibah seperti itu. Sahabatnya dan Tuannya menghilang di telan lautan.

"Tenanglah. Kita akan segera mencari di daratan terdekat!" Si Botak menenangkan.

Si Kekar mengangguk. "Benar. Engkau tak akan bisa berpikir jernih kalau tidak bisa menenangkan diri."

"Bagaimana saya bisa tenang kalau Madi dan Tuan Cil menghilang tepat di depan ke dua mata saya! Dan saya tak bisa berbuat apa-apa!"

"Lalu apa yang bisa kamu lakukan kalau bukan duduk dan tetap mendayung dengan tenang?!" si Kekar menjadi kesal.

"Sudah jangan ribut. Di depan sepertinya ada daratan!"

***

Tan, si Kekar dan si Botak mendorong perahu ke pantai dari daratan terdekat yang mereka temui. Berharap akan menemukan Cil dan Madi terdampar di pantai itu.

Mereka segera berpencar di sepanjang bibir pantai. Sesuai kesepakatan, mereka akan berpencar mencari sejauh dua kilometer dari titik pendaratan.

Sambil berteriak Tan mencari keberadaan Cil dan Madi. Seperti orang putus asa, Tan terus berlari dan memanggil tanpa ada jawaban. Dia harus cepat.

Sudah hampir dua kilometer Tan berlari dan terus memanggil. Ia harus kembali begitu mencapai jarak dua kilometer mencari di pantai itu. Namun sebelum mencapai jarak dua kilometer, Tan melihat sesuatu di kejauhan.

Sosok yang dari kejauhan dipikir Tan adalah batu karang ternyata bergerak. Seorang anak kecil berdiri. "Pak cik Tan!" panggilnya sambil melambaikan ke dua tangan.

Tan menambah kecepatan larinya. Begitu sampai di tempat Cil, Tan langsung berlutut di pasir dan memeluk Cil. "Terimakasih banyak ya Allah! Kamu baik-baik saja?"

"Saya tak apa-apa pak cik. Tapi pak cik Madi..." Cil tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Tangisnya pecah. Air mata yang tidak bisa keluar ketika dirinya harus bisa bertahan sendiri dan harus membantu Madi yang terluka akhirnya memberontak keluar. Tak terbendung lagi.

Tan memeluknya erat dan mengusap-ngusap punggungnya. Melihat Madi yang tetap terbaring di atas pasir. "Tak apa. Jangan takut."

***

Cil terbangun di atas alas tidur yang empuk, hangat dan nyaman. Memperhatikan langit-langit ruangan tempat dirinya tidur.

Sebuah wajah terlihat tepat di hadapan Cil. Wajah tua yang ramah dan penuh kasih. Tangannya besar dan kekar menyentuh dahi Cil. "Sudah bangun? Tapi masih sedikit panas."

Cil diam saja mencoba mengingat siapa sosok di hadapannya.

"Kamu lupa kalau sempat jatuh masuk ke laut saat badai kemarin? Setelah itu kamu ditolong Tan dan di bawa ke sini dalam keadaan demam. Karena demam kamu tidak bangun selama dua hari."

Cil tidak mendengarkan perkataan sosok di hadapannya karena sibuk mengingat siapa sosok itu. Begitu teringat, Cil segera memeluk sosok itu. "Atuk..."

"Kamu masih ingat ternyata? Walau sudah dua tahun tidak bertemu." Sosok itu yang tidak lain adalah Datuk Laksamana juga memeluk cucu kesayangannya itu sambil mencium rambutnya.

"Atuk... pak cik Madi..."

"Tak apa sayang. Karena ramuan obat luka yang kamu buat, lukanya tidak infeksi. Dan mengering lebih cepat."

"Benarkah atuk?"

"Ya, benar. Pak cik Madi ada di kamar sebelah. Dari siapa kamu belajar membuat ramuan obat?"

"Dari Yunus."

"Yunus?"

"Teman Cil di rumah atuk guru. Dia sangat baik dan bisa melakukan apa saja! Yunus yang mengajarkan membuat obat luka darurat dari akar rumput alang-alang."

"Tapi yang kamu buat kemarin bukan dari akar rumput alang-alang?"

"Iya atuk. Karena tak ada, maka dari itu saya buat sendiri dari bahan yang ada."

Datuk Laksamana tersenyum sambil mengusap rambut Cil, lalu segera teringat sesuatu. Cil mewarisi bakat ayahnya yang mampu menciptakan jenis obat-obatan baru dari bahan alam yang melimpah.

avataravatar
Next chapter