PROLOG

Ibu selalu menggenggam tanganku, setiap kami berjalan berdua di pinggir sawah pada pagi hari sebelum belajar. Aku sangat menyayanginya, begitu juga ibu sangat menyayangi dan memanjakanku.

Tapi sekarang... Ibu yang paling kusayang. Satu-satunya keluargaku yang tersisa, setelah kami terpisah sejak aku berumur tujuh tahun. Di tahan oleh bajingan tua yang bisanya berlindung di balik para prajurit-prajurit lemahnya.

Pedang Jenawi bermata satu dan sedikit melengkung yang dibuatkan khusus oleh panglimaku terus berayun membabat apa pun yang menghalangi! Selain bilahnya menebas apa pun dari depan, ujungnya yang runcing juga selalu mendapatkan bagian menikam setiap musuh yang mencoba menyerang dari belakang.

Aku akan merebut ibu kembali. Apa pun yang akan terjadi. Apa pun akan aku lakukan untuk menyelamatkan keluargaku!

***

Langit sore yang memerah beberapa saat setelah hujan membasahi bumi yang sedang dalam gejolak. Menyisakan gelimpangan mayat dengan air sisa hujan telah berubah warna menjadi merah darah.

Seorang pemuda berlari mencari Tuannya. Di antara sisa-sisa pasukan musuh yang berlari ke arahnya.

Pemuda itu takut terjadi sesuatu tidak diinginkan pada Tuannya. Langkahnya terhenti, bersiap menghadapi sisa pasukan musuh. Namun alangkah terkejutnya pemuda itu kala pasukan musuh berlari ketakutan dan tidak menghiraukan keberadaannya bersama pasukan bantuan.

Sisa pasukan musuh itu seolah merasa lebih baik di tangkap dari pada harus berbalik arah dan dibantai oleh sesuatu. Sosok laki-laki tampak mematung di atas tumpukan mayat yang membukit, dengan tangan kanan menggenggam pedang Jenawi menghujam dada Laksamana Indra. Itulah sang Tuan yang di cari pemuda tadi.

"Di mana?" si Tuan itu bertanya pelan.

Laksamana Indra terbatuk. Memuntahkan darah. "Engkau tak akan pernah menemukannya..."

"Di mana?" si Tuan menaikkan volume suaranya.

"Tidak akan. Kamu cuma bayi kemarin sore yang kehilangan mainan. Jangan coba mengancam!"

Si Tuan yang bermandikan darah itu memutar pedang di tubuh Laksemana Indra. Si Tuan sengaja membuatnya merintih kesakitan. Menarik pedangnya lalu kembali menusuk tubuh Laksamana Indra.

"Sudah! Cukup! Itu terlalu kejam!" seru si pemuda mencoba menghentikan kekejaman Tuannya.

"Selamanya tidak akan..." seruan terakhir Laksamana Indra sesaat sebelum kepalanya terlepas dari tubuh dan jatuh menggelinding tidak jauh dari tempat si Pemuda berdiri. Terdiam melihat betapa mengerikan sosok Tuannya yang telah menghabisi separo anak buah Laksamana Indra.

Si Pemuda bergerak mendekati Tuannya yang sepertinya belum juga puas dan ingin menghabisi setiap musuh dihadapannya sebelum mendapatkan keinginannya.

"Menyingkir dari hadapanku!" desis si Tuan yang tampak seperti iblis haus darah.

Membuat si Pemuda merinding dan sebenarnya juga ketakutan melihat sosok Tuannya seperti itu. Si Pemuda tidak menyingkir, justru menantang. Walau ke dua tangan yang menggenggam pedang Jenawi dan di arahkan ke depan tampak bergetar beberapa kali.

Keberanian si Pemuda membuat Tuannya menyeringai, yang terlihat semakin menakutkan. Terlebih ketika si Tuan mengangkat pedang lalu mengayunkannya hingga membuat si Pemuda menutup ke dua matanya.

Ketakutan.

"Haa... membosankan!" Keluh si Tuan. Ternyata hanya mengayunkan pedang untuk membuang darah yang melekat dipedangnya. Beberapa percikan mengenai wajah si Pemuda hingga membuatnya jatuh terduduk.

Si Pemuda membuka mata. Melihat Tuannya berdiri dengan angkuh, menatap si Pemuda sambil memasang sarung pedangnya. "Eh... Saya tidak apa-apa?" ucapnya bingung sendiri sambil memeriksa diri. Mencari adakah luka.

"Panglima yang menyedihkan." Ucap si Tuan membuat Pemuda itu tertunduk malu karena begitu ketakutan. "Dengan penampilan menyedihkan seperti itu, kamu tidak akan pernah bisa membantu. Mendukung, melindungi atau menghentikanku. Jika hal seperti tadi terjadi lagi!"

Mata si Pemuda membulat dan mulutnya ternganga mendengar ucapan Tuannya.

"Dan tutup mulut itu." Lanjutnya sambil berpaling dan mulai melangkah meninggalkan si Pemuda.

"Tuanku..." si Pemuda tersenyum lalu berubah menjadi tawa. "Saya senang kamu tidak apa-apa!" serunya mengejar Tuannya.

"Aku mau teh."

"Siap!"

"Aku juga mau mandi air panas."

"Itu tidak mungkin. Kita jauh dari..."

"Aku tidak mau tahu. Lakukan apa saja untuk mendapatkan air panas!"

"Baiklah..."

jawab Pemuda itu tetap tersenyum tulus.

avataravatar
Next chapter